logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

CHAPTER 6 - TEROR

Kami bertemu dengan Khandra sesuai dengan waktu yang dia tentukan di email tadi malam. Di depan pintu masuk bar, tidak nampak sosok Madam yang biasanya menghentikanku ataupun kami seperti beberapa malam sebelumnya, dan masuk ke dalam bar tanpa ada yang menatap aneh. Tak perlu lama, kami berlima sudah duduk di kursi depan bartender sambil menunggu datangnya Khandra. Aku duduk di ujung, bersebelahan dengan Banyu yang paling dekat dengan pintu masuk, lalu Rey, Tia dan Kayla duduk secara berurutan.

Rey menatap ke arah bartender seakan dia sedang bersiap mengintrogasinya, selagi aku berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa di siang itu. Aku mencoba menepuk lengannya dari belakang Banyu, tetapi Rey masih tetap memandang tidak enak pada bartender itu.
“Apakah Anda ingin memesan sesuatu?” tanya bartender itu pada Rey. Rey agak gelagapan merespon bartender itu.
“Kami pesan minuman tidak beralkohol kak. Lima ya, kak,” sahutku. Rey menoleh padaku lega.
“Apa dia bartender yang kalian maksud?” tanya Banyu. Rey dan aku mengangguk bersamaan.
“Rey, stop doing that!” kataku padanya. “Jangan memperparah masalah.”
Rey tertawa kecil padaku. Aku mengingatkan pada mereka berempat untuk tidak berbicara atau menyinggung tentang kartu tulisan kanji Jepang dengan suara yang keras. Aku tidak mau mimpi buruk itu terjadi lagi pada kami. Sudah cukup kami mendapatkannya sekali saja. Tidak berselang lama, aku melihat sosok Khandra datang dari arah pintu masuk. Aku berdiri dan menyambut Khandra.
“Selamat malam, Kak. Malam ini saya datang bersama rekan-rekan saya. Apakah Kakak tidak keberatan?”
Awalnya Khandra memandang kami tidak terlalu enak, namun dia tersenyum dan mengizinkan keempat rekanku untuk gabung.
“Kita duduk di ujung sana saja ya, karena ada banyak orang tidak enak kalau duduknya seperti ini,” Khandra menunjuk kursi-kursi yang telah kami tempati. Wajah Tia sedikit berubah, yang awalnya tersenyum jadi sedikit muram. Sepertinya Khandra tahu wajah Tia berubah, “Bagaimana kalau di sebelah sana, dekat dengan panggung?”
“Terserah Kak, yang pasti kita bisa nyaman untuk mengobrol,” jawabku santai.
Setelah kami duduk, Khandra memesan sebuah minuman karena hanya dia yang belum memesannya. Aku duduk di depan Khandra bersama rekan wanitaku, sedangkan dua rekanku yang lainnya duduk bersebelahan dengan Khandra.
“Akhirnya aku bisa bertemu dengan kalian semua. Sebelumnya aku hanya sering bertemu dengan Arinda dan sekali bertemu dengan Tia. Apa kalian sudah lama menjadi partner kerja?” tanya Khandra pada kami.
“Sejak pembentukan tim, kami sudah berlima, karena sebenarnya kami juga teman satu jurusan dan satu unit kegiatan saat kuliah, walaupun berbeda angkatan,” jawab Banyu. Wajah Rey terlihat sudah sangat penasaran untuk bertanya pada Khandra.
“Apakah Kakak sudah lama tahu tentang kasus ini? Maksud saya kasus ini kan sudah sangat lama dan terus berlanjut, tapi apakah Kakak sudah mengikutinya sejak awal?” tanya Rey. Aku menelan ludahku.
“Hm, mungkin tidak terlalu lama ataupun terlalu baru, tapi bisa dikatakan sudah bertahun-tahun,” jawab Khandra. Terlihat dari mata Khandra jika dia sedang memikirkan sesuatu tentang Rey. Hanya saja aku tidak bisa menebak apa itu.
“Apakah ada sesuatu hal yang Kakak tahu tentang pembunuhan kemarin pagi, Kak? Kartu itu muncul lagi di TKP. Apakah itu artinya SS telah muncul setelah 3 tahun lamanya?” tanya Rey lagi.
“Pembunuhan yang kemarin memang salah satu dari serial kasus pembunuhan dari SS. Tapi dia tidak hanya korban, dia juga salah satu pembunuh di kasus ini.”
“Apa maksudnya korban adalah pembunuhnya?” tanya Kayla. “Jika dia juga salah satu pembunuh, berarti SS sebenarnya tidak hanya satu orang?”
“Ya, kalian benar, SS tidak hanya satu orang. SS juga bisa dibunuh oleh serial killer yang lain, yang berhubungan dengan kasus ini. Kemarin aku bilang pada Arinda bahwa SS adalah orang yang paling kuat dan cerdik di negeri ini, itu adalah sebuah kenyataan, dan jika ada orang yang ikut campur, orang itu akan habis ditangan SS, namun itu berlaku untuk the real SS atau otak dari SS—”
“Beberapa orang yang dilaporkan hilang ke polisi, mungkin termasuk SS yang membunuh orang-orang kecil yang sebenarnya tidak bersalah. Lalu tidak lama, SS ini akan dibunuh oleh SS yang lain yang tentu saja lebih kuat darinya. Kemudian, identitas mereka dihilangkan dan seakan tidak pernah ada. Seperti pembunuhan yang terjadi kemarin pagi.”
“Identitasnya belum ditemukan,” ucap Tia pelan. Khandra mengangguk.
“Apakah Kakak kenal dengan Madam?” tanya Rey tiba-tiba. Khandra diam sambil menatap Rey. Aku merasa Khandra sedikit terusik dengan pertanyaan Rey.
“Madam siapa ya kalau aku boleh tahu?” Khandra bertanya balik pada Rey.
“Jadi ada seorang wanita di depan bar yang selalu melarang kami untuk datang kemari,” ucapku santai. “Mungkin Kak Khandra tidak kenal siapa madam, Rey. Orang yang masuk ke bar ini kan banyak.”
“Tapi saya bingung, mengapa Madam itu berkata bahwa Ghost Bar ini adalah tempat yang terkutuk? Apakah tempat ini memang benar terkutuk? Sebenarnya bar ini tempat apa?” Aku memberikan tanda pada Rey untuk berhenti, tetapi dia tidak menggubris sama sekali.
Khandra tertawa kecil pada pertanyaan Rey. “Apa kamu tidak lihat, bar ini adalah sebuah bar? Apa kamu tidak pernah datang ke bar sebelumnya?”
“Bagaimana bisa bar ini berubah saat siang hari dan kembali menjadi bar ketika malam hari tiba. Lalu mengapa kita harus bertemu di tengah malam seperti ini? Bukankah ini waktunya orang-orang untuk beristirahat?” Khandra terlihat malas untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey.
“Lalu, bagaimana Kakak tahu apa yang kami lakukan? Kakak seorang stalker? Jika tahu kejadian seperti ini... mengapa tidak bisa menyelesaikannya sendiri?”
Khandra yang sedari tadi terlihat menahan diri untuk tidak meluapkan emosi, tiba-tiba berdiri dan memecahkan gelas kaca miliknya ke tembok. Kami dan orang-orang di sekitar kami diam terkejut dengan apa Khandra lakukan. Khandra menarik kerah kaos yang dikenakan oleh Rey dan menarik Rey keluar dari tempat dia duduk. Banyu yang tadi berada di tengah mereka, berusaha untuk menggeser kakinya, karena takut semuanya menjadi semakin runyam. Walaupun, apa yang dilakukan tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.
Khandra mendorong Rey hingga menabrak meja di depan bartender. Wajah Khandra menjadi seram, namun Rey malah tertawa seakan berhasil membuat Khandra tersinggung. “Katakan padaku, mengapa kami tidak mendengar suaramu di alat perekam suara?” emosi Khandra memuncak dan membanting tubuh Rey ke lantai.
“Aku akan melaporkan ini pada Polisi, jika kakak tidak berhenti. Aku akan menceritakan semuanya pada Polisi! Lepaskan temanku, Kak!” teriakku pada Khandra.
Semua orang yang ada di dalam bar terdiam terpaku, suasana bar menjadi suram dan sangat menakutkan. Lampu bar tiba-tiba saja berkedip-kedip nyala dan padam. Di saat lampu menyala seperti semula, orang-orang di dalam bar menjadi terlihat sangat menakutkan dan udara menjadi terasa sangat dingin. Setiap wajah mereka menjadi kelam dan suram walaupun ada yang berdiri di bawah lampu penerangan sekalipun, dan bagaimana mereka hanya terdiam tak bergerak di tempat mereka masing-masing itu membuatku ingin segera berlari keluar dari bar ini.
Namun, kami tidak bisa pergi kemana-mana karena posisi kami berada di depan panggung, di mana letaknya berada di seberang jauh dari pintu masuk, dan kami harus melewati orang-orang yang menakutkan itu. Aku mulai sesak napas, tidak dapat berpikir lebih jernih lagi. Rasanya seperti dihujam ribuan jarum, oleh semua tatapan mata yang kini tertuju pada kami. Aku melihat Banyu yang membantu Rey untuk berdiri, namun Khandra yang masih berdiri di depan mereka mulai berteriak.
“Lapor saja ke polisi. Kalian tidak akan pernah bisa keluar dari lingkaran setan ini!” ancam Khandra pada kami berlima. Khandra tertawa terbahak-bahak pada kami, hingga membuat kami bergidik ngeri mendengarnya.
Mata kami tertuju pada seseorang di belakang Khandra ketika tangan Tia yang terlihat gemetar itu menunjuk seorang pria dengan baju berwarna biru muda. Wajahnya suram dan pucat pasi, namun bagian badannya terlihat sangat jelas. Kayla berbisik di belakang telinga kami, “Guys.... itu.... korban pembunuhan yang kemarin. Aku ingat baju yang dipakai walaupun mata hingga lehernya diburamkan.”
“Yang benar?” tanya Banyu. Aku menoleh ke belakang mencari jawaban dari Kayla dan Tia.
“Iya, aku yakin.” jawab Kayla pelan, seakan dia tidak ingin pria tersebut menyadari apa yang ia ketahui.
“Kita harus keluar dari sini sekarang juga!” Aku berteriak memerintah teman-temanku agar cepat berlari sesegera mungkin.
Kami berlari menuju pintu keluar bar yang entah mengapa terasa sangat jauh. Aku pun akhirnya memejamkan mataku erat, terus menerobos dan tidak peduli jika tertabrak oleh benda-benda di sekitarku. Kami masih terus berlari, namun tetap saja pintu itu terasa sangat jauh dan susah untuk digapai. Aku bisa merasakan orang-orang di dalam bar yang masih terus memperhatikan arah gerak kami, di depan dan belakang kami, walaupun mereka hanya diam tak bersuara. Tiba-tiba saja aku merasa ada seorang laki-laki bertubuh besar yang mendorong kami hingga keluar dari bar itu. Kami terjatuh di pekarangan bar, tepat di depan pintu masuk, mencoba membenahi napas kami yang tersengal-sengal.
“Siapa yang tadi mendorongku?” tanya Kayla. Aku dan Tia menggeleng tidak tahu di saat nafas kami yang masih belum normal.
“Ada laki-laki besar yang mendorong kita keluar tadi, tapi aku tidak tahu siapa,” kata Banyu yang membopong Rey sedari tadi. Aku mengangguk setuju karena aku juga melihat laki-laki itu.
“Mungkin saja bouncer bar.. tapi setelah melihat isi bar itu, aku tidak tahu apa aku masih bisa memberikan alasan yang logis…” ucapku melihat lampu sign board dari bangunan bar itu yang berkedip cepat.
“Guys, sepertinya kita harus bawa Rey ke rumah sakit…. badannya panas sekali!”
Melihat Rey yang terkulai lemas pun membuat kami tidak berpikir panjang untuk segera bergegas membawa Rey ke rumah sakit terdekat. Di saat kami menunggu keluarga Rey datang ke rumah sakit, kami tidak dapat berbicara banyak, kami sangat lelah, bingung, takut, dan tidak percaya dengan apa yang telah kami lihat di bar tadi. Kata polisi kemarin, korban pembunuhan kemarin lehernya tersayat sangat mengenaskan, tapi apa yang kami lihat di bar tidak sesuai dengan apa yang diucapkan oleh polisi di berita. Laki-laki itu terlihat sehat, leher yang sempurna tidak ada sayatan, bahkan tidak seperti orang yang sudah meninggal secara mengenaskan.
“Menurut kalian, apa kita akan baik-baik saja setelah ini?” tanya Kayla.
“Entahlah aku bahkan tidak bisa berpikir jernih, Kay,” kataku lemas. Banyu sesekali melihat keadaan Rey, dokter yang memeriksa mengatakan bahwa kemungkinan besar Rey mengalami syok sehingga membuat badannya lemas dan demam tinggi. Untungnya tidak ada luka atau patah tulang karena dibanting oleh Khandra, karena menurut kami, Khandra melakukannya dengan cukup keras.
“Aku tidak pernah melihat Rey melakukan hal seperti itu sebelumnya,” kata Tia.
“Aku juga tidak pernah. Biasanya dia yang paling tenang dibandingkan Banyu. Bahkan tadinya aku pikir Banyu yang akan memojokkan Khandra,” kataku.
“Tadi aku berkali-kali menendang kaki Rey, tapi dia tidak peduli sama sekali,” ucap Kayla dengan nada kesal. “Lihat dia sekarang dengan infus itu. Seharusnya dia tidak perlu melakukan itu. Kita juga bisa mengancam tanpa harus membuat dia tersinggung banget kan?”
“Aku tadi benar-benar takut. Mana aku duduk di tengah-tengah mereka berdua. Rasanya tanganku ingin menutup mulut Rey tadi. Tapi ketakutanku lebih besar daripada rasa yang lain,” Ucap Banyu saat kembali dari tempat Rey berbaring.
“Paling tidak sekarang kita harus bersyukur bisa keluar dari tempat itu dan memastikan bahwa Rey tidak terluka parah karena kejadian tadi,” kataku sambil menyenderkan badanku ke dinding, menghela napas panjang.
-o-
Tiga hari setelah kejadian malam itu, kami menjalankan aktivitas seperti biasa. Keadaan Rey juga sudah membaik dan kami telah bekerja seperti sedia kala. Di saat bersama, sebisa mungkin kami tidak membicarakan kejadian malam itu. Kami juga tetap mengerjakan video untuk di upload minggu ini. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang aneh juga. Ya perasaan kami berkata demikian. Kami masih bisa tertawa dan fokus terhadap apa yang kami kerjakan.
Di hari selanjutnya, aku merasakan ada yang aneh dengan diriku sendiri. Entahlah, setiap aku sendirian, aku merasa kaca jendela tempat aku berada seperti ditabrak sebuah benda. Tetapi ketika aku mengecek keluar jendela, tidak ada benda yang menabrak. Di kamarku, di studio, di ruang tengah rumahku, di kamar mandi, hampir semua tempat di mana aku berada selalu ada suara jendela yang tertabrak oleh benda yang keras. Dug! Dug! Suaranya seperti memanggilku, berusaha mendapatkan perhatianku.
Kejadian yang sama juga terjadi siang ini, saat aku berada di ruang meeting. Aku hanya sendirian di ruangan dan yang lain berada di luar untuk mengerjakan pekerjaan mereka.
Dug! Dug!
Aku mencari asal suara itu, di atas ventilasi ruangan yang menghubungkan dengan luar gedung. Aku menarik kursi untuk melihat keluar, memastikan benda itu terlihat, namun di saat yang sama aku mendengar suara teriakan dari luar ruang meeting. Aku keluar dari ruangan, dan melihat Banyu, Kayla dan Rey sudah berada di tempat printer berada. Aku melihat Tia duduk di depan printer menutup wajahnya dan banyak kertas yang berserakan. Kayla mendekati Tia, mencoba menenangkan Tia, dan yang lain membereskan kertas-kertas yang berserakan.
“Ada apa, Tia?” tanyaku. Tia menangis sekeras mungkin di pelukan Kayla yang sedang menepuk punggung Tia, mencoba menenangkannya. Tia tidak menjawab pertanyaanku. Aku menoleh ke arah yang lain, tapi mereka memberikan tanda tidak tahu dengan wajah bingung.
Kami menempatkan Tia ke sofa di depan televisi agar dia lebih tenang. Setelah aku memberikan air minum, dia terlihat lebih tenang. Aku duduk di depan Tia dan menatap mata Tia, “Ada apa sebenarnya Tia, kamu harus cerita pada kami…”
“Kertas yang aku print.… hiks…. berubah Rin…,” kata Tia masih terisak. Aku masih tidak paham maksud Tia apa, Kayla yang berada di samping Tia pun juga menggeleng pelan padaku.
“Maksudnya? Berubah apa?” tanyaku sekali lagi. Banyu dan Rey memeriksa kertas yang tadi berserakan, dan kami tidak menemukan hal yang aneh yang dimaksud oleh Tia.
“Ada tulisan ‘TOLONG KAMI!’ dengan warna merah darah!” tangisan Tia semakin pecah. Aku menyadari apa yang terjadi padaku dua hari terakhir bukan aku sendiri yang merasakan.
“Apa ini teror dari Ghost Bar?” tanya Kayla tiba-tiba.
“Teror? Mana mungkin. Di dunia ini mana ada hal semacam itu,” ucap Banyu tertawa kecil tidak percaya, “mungkin hanya imajinasi Tia saja, aku tidak menemukan tulisan itu satu pun di kertas ini.”
“Teror itu ada! Aku kemarin merasakannya juga, Banyu!” kata Kayla yang tiba-tiba meninggikan suaranya pada Banyu.
“Memangnya kamu diteror apa, Kay?” tanya Banyu. Kayla melihatku dengan agak ragu. Aku mengangguk padanya agar dia cerita pada kami.
“Kemarin sore, sewaktu Banyu, Tia dan Arinda keluar untuk beli makan malam, aku merasa ada yang memperhatikanku. Tapi bukan hanya satu orang, seperti banyak orang yang sedang memperhatikanku dari sudut-sudut ruangan. Aku mencoba untuk bodo amat, dan ketika menulis bahan di notesku, tiba-tiba tanpa sadar aku menulis ‘Kalian tidak perlu melapor ke polisi, polisi tidak pernah berpihak pada kami’. Dan ketika aku sadar, tanganku tidak bisa aku hentikan, aku menulis hal-hal aneh juga, seperti kata-kata mengejek tapi seperti tertuju padaku…”
“Oh, jadi karena itu kamu melempar buku notesmu ke lantai? Aku tahu waktu itu Kayla wajahnya sempat pucat, dan aku juga membaca tulisan di notesnya, yang dia katakan benar terjadi padanya.” jelas Rey.
“Apa kamu juga merasakan hal yang sama, Rey?” tanyaku. Rey menggeleng. “Kamu, Nyu?”
“Aku tidak percaya pada teror seperti itu. Aku yakin itu hanya halusinasi kalian saja,” kata Banyu meremehkan.
“Jangan bilang begitu, Nyu. Aku dua hari ini… juga merasa terganggu dengan suara di jendela.”
“Jendela mana, Rin?” tanya Tia yang sudah lebih tenang.
“Di mana pun aku berada. Di kamarku, di studio, di ruang tengah rumahku, di kamar mandi. Di mana-mana,” jawabku. Aku harus lebih tenang.
“Kamu tidak takut?” tanya Tia lagi. Aku memberikan tanda sedikit dengan tanganku.
“Aku awalnya tidak berniat untuk bilang ke kalian, tapi sepertinya kalian juga merasakan hal yang sama sepertiku. Jadi…ternyata aku tidak sendirian.”
-o-
Kami berpikir bahwa teror itu akan berakhir jika kami tidak memedulikannya. Namun ternyata besok harinya kami mendengar Banyu sakit. Kami mendengar dari kakaknya jika Banyu merasakan sakit setelah bermimpi buruk, mengigau seperti orang ketakutan hingga histeris. Setelah subuh datang, Banyu mengalami demam yang cukup tinggi hingga sekarang.
Belum juga Banyu sembuh dari sakitnya, hari ini Kayla dan Tia merasakan hal yang mirip dengan cerita Banyu. Mereka juga mengalami demam yang tinggi hingga Kayla harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Aku dan Rey khawatir dengan apa yang terjadi sebenarnya. Aku mencoba untuk menghubungi Khandra lewat email, namun hingga hari ini, lebih dari satu minggu lamanya email itu tidak dibalas olehnya.
Sore menjelang malam aku dan Rey menjenguk Kayla di rumah sakit, setelah Kayla mengabari bahwa dirinya ingin dijenguk. Tanpa pikir panjang kami bergegas untuk datang ke sana menemui Kayla.
“Rin….” panggil Kayla saat dia melihatku membuka pintu kamarnya. Di sana sudah ada Rey yang sedang duduk di sebelah kasur pasien.
“Kamu sudah tidak apa-apa, Kay?” tanyaku khawatir. Dia tersenyum padaku dan memelukku saat aku sudah berada di sampingnya.
“Rin, kamu harus dengar cerita Kayla dulu,” kata Rey. Aku langsung saja duduk di kasur bersebelahan dengan Kayla, menggenggam erat tangan Kayla.
“Malam ketika kita mendengar Banyu sakit, aku merasa gelisah, tapi gelisah ini sangat berbeda, sangat luar biasa. Rasanya seperti nyata, bahkan aku tidak bisa membedakan jika itu di dalam mimpi atau di dunia nyata. Waktu itu aku merasa diikuti oleh seorang laki-laki, dengan jas hitam dan topi yang menutupi wajahnya. Orang itu sebenarnya tidak membawa apa-apa, sepertinya, tapi aku merasa terancam seakan-akan aku akan menjadi korban pembunuhan. Aku berlari di lorong yang sangat panjang, sangat panjang dan sangat hampa. Tidak ada orang yang mendengarku saat aku berteriak minta tolong, dan menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa mendengar suaraku sendiri yang bergema di sana.
“Waktu benar-benar terasa sangat lama, dan aku hanya bisa berlari sekuat tenaga untuk keluar dari lorong itu, dan… dan juga… waktu itu hujannya sangat lebat, jadi aku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas siapa laki-laki yang mengejarku. Setelah sekian lama aku berlari yang rasanya itu seperti berlari di tempat atau bahkan mungkin hanya berputar looping tanpa henti.. aku merasakan ada seseorang yang menarikku ke sebuah lorong lain yang tidak ada sebelumnya, membuatku terjungkal ke arahnya dan… yang bisa aku lihat hanyalah baju yang orang itu pakai…”
“Apa… kamu kenal sama baju itu?” tanyaku. Kayla mengangguk pelan.
“Baju Madam.”
“Baju… Madam?”
“Iya, baju yang dia pakai, dress yang dipakai oleh Madam yang kita temui itu, dress gypsy unik yang tidak akan bisa kulupakan. Sewaktu aku mau berterima kasih, tiba-tiba aku terbangun dari tidurku dan sudah berada di rumah sakit.”
“Apa kamu yakin, Kay?” tanyaku sekali lagi. Jujur saja aku tidak percaya pada cerita Kayla.
“Iya, kamu ingat waktu aku sakit setelah keluar dari bar itu? Aku juga merasa Madam lah yang membuat aku bangun dari tidurku. Waktu itu rasanya aku seperti tidak bisa keluar dari mimpi burukku itu, Rin,” ungkap
Rey yang begitu mengejutkanku, dia tidak pernah cerita akan hal ini pada kami bahkan setelah dia terbangun dari sakitnya itu.
“Kamu tahu, Rin.. jika memang benar yang kita alami ini adalah teror dari bar itu…” Kayla tiba-tiba terhenti, seakan enggan melanjutkan apa yang ingin dia ucapkan padaku, namun perkiraanku salah, tatapan matanya berubah, pandangannya menjadi kosong seakan menembus masuk ke dalam diriku.. gerakan pelan dari kepalanya dan mulutnya yang memberikan sebuah lengkung senyum yang tak bisa aku deskripsikan.. senyuman itu, itu bukanlah Kayla yang aku kenal..
“Bukankah, selanjutnya adalah.. kamu?”

Bình Luận Sách (46)

  • avatar
    AuliaSela

    ceritanya bagus bangetttt tapi kenapa gak pernah up lagi

    20/07

      0
  • avatar
    aryaalif

    Sigit rendang

    12/06

      0
  • avatar
    Jack Andrew

    iloveyou

    24/12

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất