logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

CHAPTER 4 - BARTENDER

Aku tidak bisa tidur sepanjang malam. Mataku pun tidak mau terpejam hingga pagi menjelang. Pikiranku terlalu kalut untuk berhenti sejenak dan beristirahat. Bagaimana bisa perekam suara itu hanya merekam suaraku, tetapi suara Khandra hanya terdengar samar-samar, padahal kami duduk bersebelahan? Sangat tidak mungkin jika alat perekam itu rusak. Tidak mungkin.
Tia memberikan materi konten hari ini di atas meja balkon, di mana aku duduk menyendiri, mencari angin untuk menenangkan pikiranku. Aku yang masih frustasi, memegang kepalaku yang pening, pikiranku kacau, hatiku tidak bisa tenang. Rasanya, aku tidak bisa fokus sama sekali hari ini. Sesekali, aku meregangkan leherku ke kanan dan ke kiri, mencoba melepaskan beban pikiranku. Tia hanya berdiri memperhatikanku, membiarkanku sendiri dan tidak mengucapkan kata sedikit pun.
“Jangan ganggu dia dulu. Sepertinya, tadi malam Arin tidak tidur kepikiran perekam suara itu,” aku bisa mendengar suara Tia melarang seseorang mendekatiku.
“Sebentar saja. Setelah itu aku tidak akan mengganggunya lagi.”
Aku menoleh ke arah pintu balkon, ingin tahu siapa yang mau menggangguku. Rey melambaikan tangannya ke arahku, saat mata kami bertemu. Aku mengangguk pada Tia, berterima kasih karena sudah mencoba membiarkanku sendiri, namun juga sebagai tanda untuk mengizinkan Rey bertemu denganku. Tia menghela napas dan akhirnya meninggalkan kami berdua, melanjutkan pekerjaannya yang lain.
“Mana alatnya? Mungkin bisa aku edit supaya terdengar, Rin.”
“Alatnya tidak rusak. Kalau dari awal rusak, pasti kita juga tidak mungkin mendengar suaraku di sana, Rey.”
“Kalau tidak dicoba, kita mana tahu.”
Aku berdiri, mengambil semua kertas yang ditinggalkan Tia untukku dan berjalan masuk menuju ruang meeting studio kami, di mana aku menaruh alat perekam itu di dalam tasku dan mengambilnya. Aku memberikannya pada Rey yang ternyata juga mengikutiku pergi dari balkon. Kami akhirnya melanjutkan aktivitas kami seperti biasanya. Merekam konten yang akan kami upload ke channel kami minggu ini. Kami menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari biasanya, karena kesalahanku yang sering tidak fokus dan salah membaca naskah.
“Kita istirahat dulu saja lah...” kata Banyu sambil mengerang saat meregangkan badannya.
“Sorry guys... I’m so sorry,” sesalku. Jujur saja aku merasa kesal dengan diriku sendiri sekarang. Tidak fokus, bukanlah kebiasaanku.
“Tidak apa-apa, Rin. Sebenarnya kita semua juga tidak terlalu fokus hari ini.. it’s okay bukan sepenuhnya salahmu kok. By the way, ada yang mau ikut pesan makanan? Aku lapar,” tanya Kayla yang sudah duduk bersandar pada kursi sofa sambil mencari makanan di aplikasi pesan antar makanan. Kami semua setuju untuk ikut memesan makanan.
Banyu menyalakan televisi dan berkali-kali menekan remote televisi, mengganti channel, mencari berita yang menarik untuk dilihat. Sedangkan Rey masih sibuk dengan laptopnya. Dia mencoba mengedit suara dari alat perekam suaraku, sedangkan aku duduk di sebelahnya mencoba memahami apa yang sedang dia lakukan.

“Headline News! Ditemukan mayat berjenis kelamin laki-laki di bawah jembatan sungai C dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Mayat tanpa identitas ini ditemukan oleh salah satu warga setempat pada pukul 05.00 WIB pagi sebelum memulai aktivitas. Pada tubuh korban, ditemukan luka sayat di bagian leher yang menyebabkan korban meninggal karena kehabisan darah. Keterangan Polisi mengungkapkan, bahwa waktu meninggal korban sekitar 3 hingga 4 jam sebelum ditemukan oleh saksi........”
“Ada pembunuhan di bawah jembatan,” kata Banyu sambil membenahi posisi duduknya. Kami berempat yang sibuk dengan kegiatan masing-masing, langsung terhenti dan berkumpul di depan televisi ikut menonton berita itu dengan seksama. Namun, belum sempat berita itu selesai, Kayla dan Tia sudah meninggalkan ruang tengah untuk melanjutkan kesibukannya.
“Mungkin tidak ada hubungannya dengan kasus ini,” ucap Kayla yang sudah kembali pada layar handphone untuk memesan makan siang. Aku, Banyu dan Rey masih menonton, mengharapkan yang tidak mungkin, berharap bahwa ini adalah kasus SS.
“Identitas korban memang belum kami temukan....” Banyu menambah volume suara televisi, mengakibatkan memenuhi seluruh isi ruangan apartemen kami yang akhirnya sukses membuat Kayla dan Tia kembali ke ruang tengah karena penasaran. “—tapi kami yakin ini adalah kasus yang sama dengan pembunuhan berantai yang telah terjadi beberapa tahun terakhir.”
“Kami menemukan kartu ini pada leher korban. Kartu yang selalu kami temukan di setiap TKP dari korban pembunuhan berantai SS. Kami sangat yakin jika kasus kali ini memang benar ada hubungannya dengan pembunuh berantai SS. Kami dari kepolisian berharap untuk warga tetap tenang dan lebih waspada dengan sekitar. Terima kasih.”
“Ini gila. Setelah tiga tahun, of all time, sekarang pembunuh itu datang lagi saat kita sedang mencoba menyelidiki kasusnya?” erang Kayla yang sudah mondar-mandir di tengah ruangan, merasa frustasi. “Ini sesuatu hal yang sangat tidak mungkin, kan? Katakan ini semua bohong.”
Aku melihat ke arah Rey yang sudah kembali fokus pada laptopnya. Mencoba mengingat ucapan Khandra. “Tapi, Khandra kemarin bilang jika SS mungkin akan datang lagi.. ada kok di rekaman itu. Rey, apa sudah bisa terdengar?” aku mendekati Rey yang mencoba untuk mengerjakan lebih cepat.
“Semoga saja bisa terdengar. Dari tadi, aku belum berhasil menyelesaikannya.”
Banyu mengetik dengan cepat laptop di pangkuannya, mencari berita di situs-situs berita dan forum-forum diskusi.
Kami semua terlihat lebih sibuk dari sebelumnya, berita di tv itu membuat kami semakin gencar mencari dan membaca kembali berita tentang SS, baik yang diberikan oleh Khandra maupun apa yang tersebar di dunia maya.
“Banyu, coba kamu cari di youtube berita tadi. Aku ingin menontonnya sekali lagi,” pintaku yang juga sedang mencoba mencari lebih banyak berita dari media sosial.
“Rin, ada berita ini,” Kayla menunjukkan sebuah berita di handphonenya dengan headline,
‘Bukan korban, Pria yang tewas di jembatan C adalah pembunuh berantai SS!!’
“What?!” aku terkejut dengan headline berita di handphone Kayla.
“Di sini, ada tulisan jika kartu yang tersebar tidak hanya satu, tapi di bawah punggung mayat juga berserakan kartu itu. Dan hanya ada sidik jari dari laki-laki itu saja,” kata Kayla sembari membaca beritanya.
“Rey! Sudah belum?” aku mendesak Rey. Aku ingin mendengarkan pembicaraan tadi malam antara aku dan Khandra. Aku merasa ada yang tidak beres atas kasus ini. Aku benar-benar ingin mendengarkan kembali rekaman itu dan mencari petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh Khandra di sana.
“Semoga yang ini berhasil!” Rey menekan tombol enter pada keyboard laptopnya, mencoba memutar file rekaman yang sudah dia coba perbaiki itu. Kami mendengarkan file rekaman suara yang terputar, dan hasilnya nihil. Hanya ada suaraku di sana, sedangkan suara Khandra tetap tidak terdengar sama sekali.
Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Aku mencoba untuk tenang. Ini benar-benar di luar nalarku. Semua ini sangat mengganggu jalan pikiranku. Aku yang mengikuti berita ini sebentar saja sudah frustasi, tidak bisa kubayangkan bagaimana para polisi yang sudah mencoba menyelidiki kasus ini selama bertahun-tahun.
Mungkin jika benar korban di bawah jembatan itu adalah si pembunuh berantai, maka semua ini jelas sudah berakhir. Tapi rumor yang dikatakan oleh Khandra kemarin… Bagaimana jika suatu saat tiba-tiba muncul lagi orang lain yang sebenarnya memang pembunuh yang asli? Lalu, siapa sebenarnya korban yang sekarang, jika dia bukan SS? Tapi kita tidak akan pernah tahu, jika tidak ada hasil autopsinya. Iya benar… hasil autopsi.
“Apakah ada berita yang menyatakan mayatnya akan di autopsi?” tanyaku pada yang lain. Mata Tia dan Kayla masih tertuju pada handphone mereka masing-masing, membaca seluruh berita yang muncul di internet.
“Hmm, sebentar... sepertinya tadi ada beritanya, deh!” tangan Tia menggeser layar handphonenya lebih cepat. “Ini... di sini ada berita di mana mayatnya sedang di autopsi oleh Tim Forensik Kepolisian.”
“Baiklah, jika ada berita tentang hasil forensiknya, segera hubungi aku ya! Aku pergi dulu.”
Dengan segera aku menyambar tasku dan keluar dari studio. Aku harus menemui Khandra sekarang juga. Sambil menunggu lift terbuka, aku membuka email dan tidak ada tanda-tanda Khandra mengirim email pada kami. Sesekali aku melirik ke layar penunjuk lantai lift berada, memastikan jika lift sudah berada dekat dengan lantai ini. Di saat yang bersamaan, aku mendengar suara langkah kaki orang yang sedang berlari. Aku menoleh ke belakang dan menemukan Rey yang berlari sambil membawa jaket dan ranselnya
“Kamu mau mencari narasumber itu, kan?” tanya Rey terengah-engah. “Jangan pergi sendiri, aku ikut.”
Dia memakai jaketnya dan kami masuk ke dalam lift. Selama di lift, Rey tidak bertanya apapun padaku yang tenggelam dalam pikiranku akan kejadian ini. Banyak hal yang terjadi sejak kami memutuskan untuk melanjutkan kasus serial killer ini. Semuanya adalah misteri, semua adalah teka-teki yang harus dipecahkan satu demi satu, dan aku… tidak tahu harus memulai dari mana.
Aku menunggu email dari Khandra, ingin memastikan berita tadi pagi. Tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda email baru darinya.
“Belum ada email dari narasumber itu?” tanya Rey. Aku menggeleng pelan dan menghela napas panjang.
“Rey, mengapa kamu mengejarku? Aku bisa berangkat sendiri. Kamu bahkan tidak tahu di mana dan ke mana aku mau mencari narasumber itu, kan?” Aku menatap Rey yang hanya bersandar di dinding lift, namun pertanyaanku itu membuatnya berbalik menatapku tajam.
“Kamu tahu kan ini sangat berbahaya? Kamu tidak bilang apa-apa pada yang lain dan langsung pergi keluar dari studio. Semuanya takut kamu akan melakukan hal yang bisa membahayakan dirimu, bodoh!”
“Sebenarnya… aku juga takut. Tapi rasa takutku kalah dengan rasa penasaranku ini, Rey. Aku sebenarnya bersyukur kamu mengejarku tadi, thanks,” ucapku sambil tertawa miris. Rey ikut tersenyum. Timku ini memang yang terbaik. Kami selalu berusaha untuk saling menjaga antara satu dengan yang lain walaupun kami memiliki sifat yang berbeda-beda.
“Don’t mention it,” Rey mengangguk dan kemudian berdiri di sebelahku, menunggu pintu lift terbuka, “Jadi kita coba ke bar dulu kalau gitu?” tanya Rey.
“Iya… tentu saja… karena itu adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa bertemu dengan Khandra.”
“Oke, aku yang nyetir.”
-o-
Sesampai di bar, kami terkejut bukan main. Bar yang kami datangi kemarin malam, berubah menjadi tempat kosong, banyak semak dan seperti tidak ada yang mengurusnya. Berbeda dari yang kami lihat tadi malam, tempat ini menjadi seperti rumah tidak berpenghuni sesuai dengan apa yang kita lihat di google. Kami berdua keluar dari mobil dan bertatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Ini semua seperti mimpi buruk.
“Rey, kamu yakin ini tempatnya?”
“Iya, aku sudah dua kali menyetir ke sini mengantarmu,” ujar Rey yang tidak percaya dengan apa yang dia lihat sama sepertiku, tiba-tiba dia menunjuk dua gedung di sebelah kiri dan kanan rumah kosong itu. “Kamu ingat kan dua gedung itu! Ini sudah jelas tempat yang kita kunjungi sebelumnya!”
Aku menepuk keningku yang mulai pening lagi. Mencoba mencerna kembali apa yang sebenarnya terjadi, semua keanehan ini sungguh bagaikan mimpi buruk di siang hari. Aku dan Rey akhirnya berpencar, mencari orang yang melewati jalan di area ini untuk dapat kami tanyakan mengenai bangunan rumah kosong ini. Namun nihil, tidak ada satu orang pun yang melewati gang ini. Hingga sebuah mobil sedan hitam keluar dari belakang rumah kosong tersebut melewatiku, membuatku berhenti dan menatap pria yang mengemudikan mobil tersebut.. aku.. tahu orang itu.. Aku mencoba mengingat-ingat pria yang mengendarai mobil tersebut karena menurutku dia sangat familiar di mataku.
“Rey! Rey! Kamu kenapa melamun seperti itu! Ayo! Kita ikuti mobil itu!” aku memanggil Rey setelah ingat siapa pria di dalam mobil itu. Kami bergegas masuk ke dalam mobil dan Rey langsung menancap gas sesegera mungkin sebelum tertinggal jauh dari mobil sedan hitam itu.
“Mobil siapa yang kita kejar ini, Rin?”
“Bartender bar. Aku yakin itu bartender bar,” kataku meyakinkan diriku sendiri, “Rey....”
“Hm?”
“Bar itu… Aku yakin bar itu nyata.”
Rey diam saja tidak menanggapi perkataanku, dia terlihat berpikir keras akan sesuatu. Aku melihatnya yang hanya mencengkeram setir mobil dengan emosi. Tiba-tiba dia menghela napas panjang mengagetkanku, dan akhirnya membuka suaranya.
“Bagaimana kamu tahu bar itu nyata? Kamu tidak lihat semak setinggi itu? Bagaimana bisa tumbuh dalam waktu sekejap! Rumah kosong tak berpenghuni, lebih menakutkan dari rumah di film horor. Ini sesuatu yang tidak mungkin terjadi, Rin!”
“Tapi Bartender itu nyata! Bahkan di siang bolong begini, kita berdua sedang mengikutinya sekarang!” kataku sambil menunjuk mobil bartender di depan kami. “Dan lagi, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini!” kataku keras kepala. Rey menggelengkan kepala tidak setuju.
“Ya kalau bar itu nyata, bagaimana cara mereka semua melakukannya sesempurna itu? Kecuali mereka punya teknologi canggih untuk membalikkan satu petak tanah itu dan lalu menggantinya dengan bar, hah? seperti di film-film? Ah sudahlah,” Rey mengibaskan tangannya, menghentikan percakapan kami yang mulai memanas.
Aku diam saja tidak menanggapi hal konyol yang diucapkan Rey. Rey tidak pernah semenyebalkan seperti ini, kecuali..
“Kamu sebenarnya takut, kan?” Aku mengejeknya yang hanya dia balas dengan senyum kecut.
Setelah beberapa saat kami mengikuti mobil itu, akhirnya mobil itu berbelok masuk ke area kompleks gedung perkantoran yang sangat tinggi dan mewah. Mobil kami pun ikut berhenti, dan mata kami mengikuti arah gerak mobil itu hingga menghilang dari pandangan kami, masuk ke dalam area parkir gedung.
“Ini.. kompleks gedung perkantoran yang sangat mahal itu kan?” tanyaku. yang masih memperhatikan betapa megah dan tinggi gedung yang terlihat di jendela mobil kami itu.
“Iyaa... setahuku, biaya sewa lantai di kompleks gedung perkantoran ini salah satu yang termahal di daerah sini.”
“Mencurigakan,” kataku sambil bersandar ke jok mobil.
“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang? Menunggu atau pulang? Kita tidak bisa berhenti di pinggir jalan seperti ini lama-lama, Rin.”
“Kita tunggu di dalam parkiran saja bagaimana?” tawarku.
“Parkiran gedung perkantoran itu? aku tidak tahu bisa apa tidak sih.. tapi kita coba saja.”Rey menjalankan mobilnya kembali dan mencoba memasuki parkiran gedung.
Aku melihat ke arah sign-board gedung. Terdapat tiga perusahaan besar yang menyewa gedung ini, dengan masing-masing memiliki kurang lebih 10 lantai per perusahaan. Apakah mungkin bartender itu memiliki hubungan dengan perusahaan tersebut? Apakah salah satu perusahaan itu memiliki hubungan dengan kasus serial killer ini? Sangat mencurigakan.
Beruntungnya kami bahwa parkir gedung ini tidak memiliki penjagaan ketat, mobil kami bisa langsung masuk begitu mengambil karcis parkir. Tidak membutuhkan waktu lama hingga kami dapat menemukan mobil sedan bartender itu karena plat nomornya yang dengan mudah bisa kuingat.
Kami menunggu hampir tiga jam di tempat parkir mobil gedung perkantoran mewah ini. Rey sedari tadi masih sibuk dengan file rekaman suaraku itu, berharap dia dapat menyelesaikan masalahnya. Sedangkan mataku menatap tajam pintu masuk gedung, berharap bartender itu segera keluar dari gedung. Walaupun mataku lelah, aku masih tetap menatap dan menunggu bartender itu.
Aku meminta Tia, Kayla dan Banyu untuk mencari tiga perusahaan besar yang ada dalam gedung ini. Mungkin kami bisa mendapatkan jawaban jika kami mencari tahu tentang perusahaan-perusahaan tersebut apakah mungkin salah satu dari perusahaan itu berhubungan dengan kasus ini.
“Rin, aku bisa dengar suara Khandra,” Rey melepas salah satu headsetnya dan memberikannya padaku. Aku mencoba mendengarnya.
“Suaranya tetap kecil, Rey.” aku mengembalikan headsetnya dengan muka masam, kenapa bisa suara Khandra begitu kecil sedangkan suaraku terdengar sangat jelas.
“At least, lebih jelas daripada pertama kali terekam, kan?” kata Rey yang menerima headsetnya kembali, namun tiba-tiba dia menunjuk ke arah luar mobil, membuatku mengikuti arah jarinya itu. Bartender itu terlihat keluar dari pintu lift dan sedang berjalan menuju mobilnya. Rey langsung menaruh laptopnya di jok belakang dan langsung cepat-cepat mencoba menyalakan mobil kami.
“Ayo ikuti dia lagi!”
Tanpa kami sadari, kami sudah mengikuti mobil bartender itu sangat jauh dari gedung perkantoran, hampir 2 jam lamanya kami berada di belakang mobilnya. Arah mobil itu menuju pun berbeda dari yang aku pikirkan, bukannya menuju ke arah Ghost Bar, tapi mobil itu semakin menjauh dan menjauh dari bisingnya kota. Kami menjaga jarak dengan sangat hati-hati karena jalan mulai sepi dan kami mulai melewati bukit dan gunung. Mobil kami kira-kira berjarak 300 meter dari mobil sedan hitam itu, dan untuk urusan jarak pandang, aku selalu membawa teropongku ke mana pun, selalu berjaga-jaga untuk hal penting seperti pengejaran ini.
Sejauh ini tidak ada lagi hal aneh selain semakin menjauhnya kami dari kota dan memasuki jalan gunung. Sampai pada akhirnya, aku melihat mobil bartender itu berbelok turun keluar dari jalan utama dan berhenti di jalan kerikil di bawah jembatan besar di depan sana. Rey langsung menepikan mobil kami dari jalan utama begitu aku memintanya berhenti, tepat sebelum jalan menurun menuju ke jembatan itu. Aku turun dari mobil.
“Rin! Kamu mau apa!” teriak Rey terkejut melihatku keluar dari mobil. Dia membuka kaca jendela mobilnya dan melihatku kebingungan tanpa tahu apa yang aku pikirkan.
Aku melihat sekelilingku. Tempat ini terasa sangat familiar. Aku meneropong kembali ke arah bartender itu yang sekarang berada di kaki gunung tempat jembatan itu berada. Tempatku berdiri ini cukup menguntungkanku karena aku dapat melihatnya dengan jelas melalui teropongku. Semakin dilihat, kenapa jembatan itu terasa semakin familiar… seperti, aku baru saja melihatnya.
“Rey! Itu–” aku berlari kecil menuju jendela mobil Rey sambil menunjuk ke arah jembatan itu, “—TKP tadi pagi, kan?” tanyaku bersandar pada jendela pintu mobil Rey dan memberikan teropongku padanya.
Rey keluar dari mobil dan berdiri di tempatku berdiri tadi, di pinggir tebing dan melihat ke arah jembatan itu menggunakan teropong yang aku pinjamkan padanya,memastikan benar atau tidaknya ucapanku. Aku masuk kembali ke dalam mobil dan mengambil handphone ku, mencari berita tadi pagi di kanal berita di youtube. Rey masuk kembali ke dalam mobil tepat di saat aku menemukan video itu, langsung saja aku menunjukkannya pada Rey. “Ini kan?”
Rey melihat kembali jembatan di depan kami itu dan membandingkannya dengan yang terpampang di video. “Iya, benar itu jembatannya.”
“Bisakah kita lebih dekat dari tempat kita sekarang, Rey? Aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan oleh bartender itu dengan jelas.”
“Bagaimana jika kita ketahuan?” tanyanya ragu.
“Maju sediiikit saja...” aku merajuk. Rey menghela napasnya dan akhirnya menjalankan kembali mobil kami hingga menemukan spot yang tepat untuk kami.
“Rin, menurutmu untuk apa bartender itu ke sana?” tanya Rey padaku. Mata kami tertuju pada bartender itu yang sudah turun dari mobilnya dan terlihat sibuk berputar-putar di TKP.
“Entahlah. Mungkin ada hubungannya dengan kasus yang akan kita bahas?” tanyaku balik pada Rey yang juga hanya mengangkat bahunya tidak tahu, “Apa yang dia cari di sana ya?” Aku melihat bartender itu berjalan mengitari tempat kejadian perkara seperti mencari sesuatu. Berkali-kali dia mengambil sesuatu yang ada di tanah, lalu berdiri, lalu berjalan lagi.
Fokusku terpecah saat handphone yang aku kantongi bergetar karena notifikasi, notifikasi yang datang dari email timku.
REPLY TO: ARINDA NAVY
SUBJECT: SS
Korban tewas di Jembatan itu adalah pembunuh dari salah satu kasus pembunuhan di desa K. Seluruh warga habis ditembak oleh pembunuh itu dengan menggunakan senapan AK-47. Jumlah korban pembunuhan itu kurang lebih 30 orang. Dan dia tidak dibunuh oleh SS di bawah jembatan itu. Mayatnya hanya dipindahkan ke tempat yang terlihat oleh warga setempat.
Aku menunjukkan email Khandra pada Rey. Dia Mencoba mengingat-ingat kembali kasus mana yang dimaksud oleh Khandra. “Aku sepertinya pernah membaca file itu. Kalau tidak salah, semua orang tewas di desa itu, sekitar 30 orang di tahun 1998, kalau tidak salah.”
“Rey apa kamu tidak merasa aneh dengan email ini?” tanyaku.
“Tidak. Apa kamu merasa ada yang aneh?” tanya Rey balik padaku, matanya membaca ulang email yang ada di handphone ku itu.
“Rey… jadi korban tewas hari ini ternyata adalah SS yang sebagai pelaku pembunuhan di desa K. Dan yang melakukan pembunuhan sekarang di bawah jembatan itu adalah SS. Jadi SS dibunuh SS??”
“Kamu ini ngelantur apa lagiii?!” Rey spontan menyentil keningku keras.
Notifikasi handphone ku berbunyi kembali. Aku yang masih mengusap keningku, membuka email baru tersebut. Khandra mengirim satu email lagi padaku.
REPLY TO : ARINDA NAVY
SUBJECT: SS
PERGI DARI TEMPAT ITU SEKARANG JUGA!

Bình Luận Sách (46)

  • avatar
    AuliaSela

    ceritanya bagus bangetttt tapi kenapa gak pernah up lagi

    20/07

      0
  • avatar
    aryaalif

    Sigit rendang

    12/06

      0
  • avatar
    Jack Andrew

    iloveyou

    24/12

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất