logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

5. Bora Cafe / Ingatan masa kecil

"Vino hai!" Runi memasuki sebuah cafe, lalu menyapa temannya. Bora Cafe adalah cafe favorit Runi, dan tempat dimana teman gantengnya, yaitu Vino bekerja. Walaupun Runi sudah pindah sekolah tapi pertemanan mereka tetap terjaga, buktinya Runi menyempatkan diri untuk mengunjungi cafe tempat temannya bekerja itu.
"Hai Runi, lama sekali tidak bertemu." Vino menyambut hangat temannya itu sambil menjabat tangannya. "Lama? Ini bahkan belum seminggu." Runi heran, bahkan belum ada seminggu mereka tak bertemu, tapi Vino mengatakan itu lama.
"Duduklah! akan kubuatkan secangkir coffee gratis spesial untukmu"
Coffee spesial? Gratis? Runi takkan mungkin melewatkan itu, apalagi itu adalah coffee buatan Vino. Para gadis pemburu cinta barista tampan 'Vino' pasti akan iri dengannya karena mendapatkan keistimewaan itu. Kursi pelanggan yang berada tepat di depan barista menjadi pilihan Runi untuk duduk. Sembari menunggu coffee spesial, alangkah baiknya melakukan wawancara kecil.
"Tumben sekali sepi, kemana para gadis pelanggan setiamu?" Sebagai seorang barista yang terlahir dengan wajah tampan, tentunya membuatnya memiliki para pelanggan setia yang tak hanya menyukai coffee buatannya, tapi karena wajah tampannya yang membuat kegiatan minum coffe menjadi lebih menyenangkan.
"Kau telat, mereka baru saja pergi." Vino meletakan secangkir latte di meja, inilah coffee spesial khusus untuk Runi.
"Harusnya aku datang lebih awal, akan kubuat mereka cemburu dengan coffee ini." Runi menyeruput sedikit latte itu sambil merasakan bagaimana rasa coffee yang katanya spesial ini. "Rasanya sama, apa yang spesial?" Rasanya sama seperti yang biasanya Runi pesan,
"Karena ini gratis, jadi spesial."
Ah, harusnya Runi paham sejak tadi dimana letak spesial itu, tentu saja dara kata gratis yang Vino ucapkan sedari awal. "Baiklah, masuk akal." Runi sedikit kecewa, dia pikir akan ada hal spesial lain seperti rasa atau latte art yang berbeda dari yang lain.
"Padahal aku berharap kau menggambar wajah Kim Taehyung di atas coffee ini." Tentu saja Runi tak serius dengan perkataannya, mana ada yang bisa melukis wajah Kim Taehyung yang nyaris sempurna di atas coffee?
"Kalau wajah Kim Taehyung aku tidak bisa, tapi kalau wajahmu aku bisa." Dengan pedenya Vino mengatakan itu, "Bagaimana kau akan menggambar wajahku?" Runi bertanya serius,
"Aku tinggal membuat lingkaran dengan tiga titik di dalamnya." Vino terkekeh sendiri dengan ucapannya, Runi sadar dia sedang diledek "Aku tidak seburuk itu." Runi mencubit tangan Vino.
"Bagaimana sekolah barumu?"
"Hmmm, Aku sudah mendapatkan teman baru." Setelah menyeruput latte untuk kesekian kalinya, Runi baru menjawab pertanyaan Vino. "Kau tidak suka mengomeli temanmu kan?" Runi memang punya kebiasaan mengomel, terutama pada Axellsen dan kakaknya, Alva. "Tidak, aku hanya melakukannya pada dua orang saja, Kak Alva dan Axellsen. Hehe."
Seseorang membuka pintu, dia Axellsen. Panjang umur sekali dia, baru saja diomongin. Mendadak cafe itu menjadi tempat reuni dengan teman SMP, walau cuma tiga orang. Runi, Axellsen dan Vino lulus dari SMP yang sama, dan memutuskan untuk melanjutkan di SMA yang sama, sayangnya Runi sudah pindah sekolah sekarang.
"Axellsen, kau tahu aku disini? Jadi kau datang untuk menemuiku?" Runi menggoda Axellsen bahkan sebelum lelaki itu duduk. "Jangan bermimpi!" Dengan dingin Axell merespon Runi. Lelaki itu kemudian duduk di sebelah Runi dan memesan minuman "Buatkan aku segelas Ice americano!"
Runi sudah tidak heran dengan jenis coffee yang dipesan Axell, americano adalah favoritnya. Vino pun langsung mulai meracik pesanan temannya itu. Tak lama kemudian segelas ice americano sudah siap dinikmati.
"Mau kemana kau?" Sambil menyuguhkan coffee, Vino bertanya pada Axellsen.
"Studio" jawab Axell pendek.
"Sudah kutebak." Jawaban singkat dari Axellsen sebenarnya sudah bisa ditebak Vino, kemana lagi perginya Axell dengan membawa gitarnya kalau tidak ke studio musik.
"Berapa banyak lagu yang sudah kau buat? Kenapa aku tak pernah mendengarnya?" Runi tak pernah mendengar satupun dari sekian banyak lagu yang pernah Axell buat. Bahkan Runi pernah tak sengaja mendengar lagu Axell saat masuk masuk ke kamarnya, tapi tiba-tiba saja dia mematikannya, dia sangat pelit menurut Runi.
"Aku menyimpannya sendiri." Jawab Axellsen singkat.
"Kau harus menunjukkan hasil karyamu pada orang-orang. Kenapa kau menyimpannya sendiri?" Runi terpancing emosi, untuk apa membuat lagu jika hanya dirinya sendiri yang mendengar? Itulah yang dipikirkan Runi. Axellsen tak peduli pendapat pribadi Runi, Ia justru membalasnya ketus, "Itu bukan urusanmu!!"
Perasaan Vino sudah mulai tidak enak, pasti sebentar lagi ada pertengkaran hebat diantara mereka berdua. Daripada telinganya panas mendengar mereka berdua debat, lebih baik Vino menyibukkan diri meracik kopi pesanan pelanggan.
"Ya!!! Bagaimana kau bisa hidup dengan cara seperti itu? Kau harus menjual lagumu agar kau mendapat uang!!" Layaknya seorang ibu yang memarahi anaknya, Runi meninggikan suaranya mengomeli Axellsen.
"Apa kau ibuku? Berhentilah menasihatiku!!!" Axellsen terpancing emosi. Mengomeli Axellsen sudah menjadi kebiasaan Runi, sudah dilakukannya sejak mereka berdua tinggal bersama. Jadi sulit bagi Runi untuk berhenti dari kebiasaannya itu.
"Kalau begitu hiduplah sendiri!!" Runi menghabiskan minumannya dan bergegas pergi, entah kenapa atmosfer di sekitar Axellsen membuatnya ingin marah-marah. Sementara Axellsen tak bergeming dari tempatnya, dia menikmati segelas americano dengan santai.
☆○☆○☆
"Aku pulang!!"
Rumah dalam keadaan sepi saat Runi sampai di sana, "Dimana Kak Alva, apa dia belum pulang?" Runi mulai mencari kakaknya, mungkin saja sedang istirahat di kamar. Runi mengetuk pintu, tak terdengar sautan dari dalam kamar. Benar saja, saat Runi membukanya Kak Alva tak ada disana.
"Ah, kenapa berantakan sekali!!" Melihat kamar kakaknya berantakan, Runi bersimpati dan membereskan semuanya. Sepertinya kak Alva mulai sibuk dengan pekerjaannya? Sampai-sampai tak sempat membereskan kamar? Runi terus bergumam sembari membereskan semuanya.
"Apa ini?" Runi menemukan sebuah map yang lumayan tebal, sepertinya itu dokumen penting. Karena penasaran Runi mulai membacanya, mata Runi membulat saat mengetahui bahwa map itu berisi dokumen-dokumen tentang kematian orang tuanya. Mulai dari hasil autopsi, sampai biodata sang tersangka. Di lembar terakhir Runi menemukan satu foto yang nampaknya adalah foto tersangka. Seketika itu Runi kembali teringat kedua orang tuanya, ada rasa benci yang sebenarnya sudah lama hilang tiba-tiba muncul karena melihat foto itu.
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana bisa Alva memilikinya? Dan kenapa dia menyimpan dokumen ini? Harusnya dia melupakan semuanya.
"Runi!!" Lamunan Runi buyar, begitu juga dokumen yang sedang Ia pegang, karena terkejut, tanpa sadar Runi melepas semuanya jatuh ke lantai. "Kakak?" Entah sejak kapan, tapi Alva sudah berdiri di depan pintu sekarang.
"Apa kau membacanya?" Alva langsung menata semua dokumen yang berserakan, "Kenapa kau menyimpannya?" Rasa penasaran Runi tak bisa dibendung lagi, jadi dia mengintrogasi kakaknya, bahkan saat kakaknya sedang sibuk membereskan dokumen itu.
"Aku hanya ingin menyimpannya" Alva menyimpan dokumen itu lagi ke dalam laci. "Kalau kau rindu Ayah dan Ibu kita bisa mengunjungi makam mereka! Kau tidak perlu menyimpan dokumen seperti ini! Itu hanya akan membuatmu sakit! Lagi pula pelakunya sudah mendapat hukuman yang setimpal." Bagi Runi, apa yang dilakukan kakaknya adalah tindakan yang tak berarti. Dokumen itu hanya akan membuat Alva terus teringat dengan kematian orang tuanya.
"Bagaimana jika polisi menghukum orang yang salah?"
Pertanyaan Alva barusan sanggup membuat Runi tercengang, pasalnya Alva mengatakannya dengan mimik wajah yang serius. "Apa maksudmu?" Runi mencoba mencari pencerahan tentang maksud pertanyaan kakaknya itu.
"Bagaimana jika orang yang sedang dipenjara sekarang, bukan pelaku kecelakaan itu?"
"Jadi maksudmu polisi salah menangkap orang begitu? Itu tidak mungkin. Mereka pasti punya bukti kuat." Runi tak percaya dengan perkataan kakaknya, semua bukti terkumpul. Bahkan pelaku mengakui kesalahannya. Bagaimana bisa salah orang?
"Yang kau lihat adalah yang ingin mereka perlihatkan, dibaliknya banyak kebusukan yang tersembunyi." Alva frustasi mencoba menjelaskan semuanya pada Runi tentang apa yang Ia tahu. Runi mencoba memcerna kembali kata-kata itu, tapi tetap saja Ia butuh kejelasan yang lebih jelas. "Katakan padaku dengan jelas apa yang kau tahu!"
Sepuluh tahun lalu di rumah duka. Alva menyembunyikan dirinya, Ia tak bisa terus-terusan menangis di depan adiknya, walalu rasanya sangat menyakitkan kehilangan kedua orang tuanya disaat bersamaan. Tapi dia harus tegar di depan adik perempuannya.
Di satu ruangan yang tak terjamah orang-orang, Alva memutuskan untuk bersembunyi disana. Tak lama setelah itu tiba-tiba masuklah beberapa orang ke sana, Alva bisa mendengar suaranya. Dari balik lemari Alva mengintip mereka, Alva tidak bisa melihatnya dengan jelas, yang Ia lihat hanya seorang lelaki tua yang sedang berlutut. Walaupun begitu Alva bisa mendengar jelas percakapan mereka.
"Apa kau tidak mau mengakuinya?" Alva mendengar suara seorang laki-laki yang nampaknya sedang marah, sasarannya adalah lelaki tua yang sedang berlutut.
"Tapi bukan saya pelakunya" lelaki tua itu mencoba membela dirinya. Satu pukulan keras mendarat di wajah lelaki tua itu. Alva terkejut, suara pukulan itu terdengar keras, membuat Alva ketakutan. Dia menutup mulutnya, hampir saja Ia menjerit ketakutan. Bahkan Ia tak menggerakan tubuhnya sedikitpun, karena saking takutnya ketahuan.
"Terus saja membela diri jika kau ingin melihat keluargamu menderita, aku harap kau tidak melupakan kebaikanku padamu. Dan juga ingat hutang-hutangmu!" Satu ancaman diberikan pada lelaki tua itu.
Untuk beberapa saat Alva tak mendengar jawaban dari lelaki tua itu, Ia coba mengintip lagi. Lelaki tua itu sedang menunduk. Sepertinya sedang berpikir keras.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang?" Lelaki tua itu sudah pasrah,
"Mengakulah, sebagai gantinya saya akan menanggung biaya pendidikan anakmu!" Setelah lelaki tua itu mengangguk, segerombol orang yang tadi memojokkannya pergi. Lelaki tua itu ditinggalkan begitu saja, seketika dia menangis terduduk lemas dilantai. Alva yang saat itu masih kecil, tak memahami apa yang terjadi. Barulah beberapa hari setelah itu, Alva melihat lelaki tua itu ditangkap polisi dan dinyatakan sebagai tersangka pembunuhan kedua orang tuanya. Alva tak tahu apa yang harus dilakukannya, tak ada orang dewasa yang percaya dengan perkataannya saat itu, bahkan tante Mia sekalipun.
Runi tercengang mendengar cerita kakaknya. Apa dunia sekejam itu? Orang yang berkuasa akan mudah menginjak-nginjak yang lemah? "Apa kau tahu siapa orang kejam itu?"
"Itulah masalahnya, aku tak melihat wajahnya. Dan saat itu aku masih sangat muda, tak ada yang bisa kulakukan." Raut wajah kecewa terpampang jelas di wajah Alva.
"Inikah alasanmu ingin menjadi polisi?"
Alva mengangguk, "Aku baru saja mengambil dokumen itu kemarin." "Aku tidak bisa membiarkan pelaku yang sesungguhnya berkeliaran bebas di luar sana." Alva sangat gigih untuk memperjuangkan kebenaran itu.
"Pelaku itu benar-benar masih berkeliaran bebas?" Runi juga merasakan hal yang sama dengan kakaknya. "Jadi apa yang akan kau lakukan?" Runi sama sekali tak tahu apa rencana Alva selanjutnya. "Aku belum tahu, kau jangan terlalu memikirkannya. Secara perlahan semua kebenaran pasti terkuak"
"Kembalilah ke kamarmu! Istirahatlah, aku juga akan istirahat." Alva menyuruh adiknya itu untuk kembali ke kamarnya.
"Baiklah, aku akan mendukung apapun yang akan kakak lakukan." Dengan senyum di wajahnya, Runi berusaha menyemangati kakaknya.

Bình Luận Sách (86)

  • avatar
    MikaKyra

    alur ceritanya benar-benar bagus. Penulis nya hebat dapat membuat cerita seperti ini. Semangat untuk penulis nya

    02/01/2022

      0
  • avatar
    junelsyDelphi

    bgus

    04/04

      0
  • avatar
    Lamongan IndahPraditha

    🥳🥳🥳

    01/03/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất