logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

2. Arunika

"Bahkan dia bukan anakmu kenapa kau sesedih itu?" Axell memperhatikan tantenya yang semenjak kepergian Runi tadi terus diam dan melamun. Dia bahkan tak mengerti kenapa Tante Mia sesedih itu, padahal Runi bukanlah anaknya.
"Diam saja! Kau tak mengerti perasaanku." Sambil memandang kosong ke jendela, Tante Mia merespon Axell. Tentu saja Axellsen yang dingin itu tak akan mengerti bagaimana perasaan tantenya yang sudah menganggap Runi dan Alva adalah anaknya. Bisa dikatakan mereka memang tak punya ikatan darah, tapi kedua orang tua Runi adalah sahabat dekatnya sejak lama, jadi wajar saja jika Tante Mia merasa bertanggung jawab dengan kelanjutan hidup anak sahabatnya itu. Terlebih lagi kerabat mereka tak ada yang mau merawat dua anak malang itu.
"Dia sudah pergi, bukankah kau seharusnya juga pergi?" Pertanyaan tak sopan itu dilontarkan Axellsen pada Tantenya, tapi Tante Mia sama sekali tak heran dengan kelakuan ponakannya itu. Dia sama seperti ayahnya, yang tak lain adalah kakak dari Tante Mia sendiri.
Karena kedua orang tua Axellsen memilih menetap di luar negeri sedangkan Axellsen lebih memilih tinggal di tanah air, jadi mau tak mau Tante Mia harus mengurus ponakannya itu sejak kecil. Awalnya tante Mia berniat untuk membawa Axell ke rumahnya, tapi anak itu tak mau pindah dari rumahnya, Jadi dengan terpaksa Tante Mia membawa Runi dan Alva untuk tinggal di rumah Axellsen, dengan begitu Tante Mia tak akan terlalu repot.
Tentu saja dia tak bekerja sendiri, dia mempekerjakan dua ART sekaligus untuk membantunya, karena Tante Mia sendiri adalah seorang pekerja kantoran. Tidak mudah untuk mengakurkan ketiganya, terutama Runi dan Axell, terlebih sejak kecil Axellsen adalah anak yang dingin dan tidak mau mengakrabkan diri, bahkan sampai sekarang bisa dibilang Runi dan Axellsen tak bisa akur.
"Baiklah, aku akan tinggal di rumahku sendiri. Tapi kau harus menjaga dirimu sendiri!" Tante Mia bangkit dari kursinya, dan bersiap untuk pergi. Sebenarnya Ia tak yakin untuk meninggalkan Axellsen sendiri di rumah sebesar ini, sedangkan kedua ART yang pernah dipekerjakan memilih untuk berhenti karena sudah terlalu tua.
"Oke, aku akan melakukannya." Axell sangat yakin dengan ucapannya.
"Apa aku harus mencari ART untuk rumah ini? Kau tak mungkin bisa merawat rumah sebesar ini."
"Aku tidak suka jika ada yang tinggal di rumahku, jadi carilah pembantu yang datang hanya untuk bersih-bersih dan setelah itu pergi. Kalau urusan masak aku bisa sendiri." Tanpa menunggu jawaban dari tantenya, Axell langsung pergi keluar rumah sambil membawa sebuah gitar yang sudah menempel di punggungnya sejak tadi.
"Anak itu benar-benar!! Dia pikir aku pesuruhnya??" Tante Mia hanya bergumam kesal, memarahinya pun akan terasa sia-sia.
☆○☆○☆○☆
Karena hari ini adalah hari pertama Runi di sekolah barunya, Alva sang kakak dengan senang hati mengantar adiknya itu sampai di depan gerbang, itung-itung sebagai bentuk penyemangat untuk Runi. Runi terpesona dengan bangunan sekolah yang bisa dikatakan lebih bagus dan lebih luas dari sekolah lamanya,
"Wow, kau yakin menyekolahkanku disini?" Dengan bangunan sekolah semewah itu sudah dipastikan biaya sekolahnya juga tak sedikit. Runi tak yakin kakaknya yang baru saja bekerja mampu membiayainya. Belum lagi biaya sewa apartemen dan cicilan mobil.
"Aku hanya memilih yang paling dekat, bukankah kau yang memintanya?." Dengan santainya Alva menjawab tanpa memahami kekhawatiran adiknya.
"Kak! Harusnya kau bilang padaku." Niat hati ingin menghemat pengeluaran dengan sekolah yang lebih dekat, tapi nyatanya malah sebaliknya. Sekolah elit seperti ini pasti akan banyak kegiatan dan pengeluaran.
"He!! Kau tak percaya padaku? Sekarang turunlah!! Jangan sampai telat di hari pertamamu." Alva sangat yakin dia bisa menanggung semua kebutuhan sekolah Runi.
"Tapi,"
"Sudah, sana!!" Alva menyuruh Runi untuk segera keluar
"Semangat!!" Setelah mengucapkan kata semangat yang sangat biasa itu, Juna meluncur pergi dengan mobilnya. Sementara Runi tetap berdiri di tempat selama beberapa menit.
Ada hal yang sama buruknya dengan tidak bisa membayar biaya sekolah, yaitu satu sekolah dengan anak-anak elit yang terkenal sombong dan menatap sinis kepada siswa yang dianggap lebih rendah darinya. Tapi Runi tak pernah takut dengan hal itu, dia cukup berani dan bermental kuat. Setelah hembusan nafas yang panjang, dengan langkah beratnya Runi memasuki sekolah, mulai dari gerbang sekolah sampai koridor sekolah yang lumayan panjang dan menguras tenaga. Sekarang dia harus mencari dimana ruang kepala sekolah berada.
Setelah naik ke lantai dua, Runi terlihat bingung. Kanan atau kiri? Haruskah dia mengikuti feelingnya?
"Kenapa kau berdiri disitu?" Tiba-tiba seorang siswa muncul dari belakangnya dan menegur dirinya, wajar saja siswa itu menegurnya, sekarang Runi sedang berdiri di tengah jalan dan menghalangi orang lain lewat.
"A ya! Maafkan aku!!" Runi segera meminta maaf.
Melihat wajah yang asing siswa itu pun melontarkan pertanyaan, "Apa kau siswi baru?" Runi mengangguk "Iya, bisakah aku bertanya dimana ruang kepala sekolah?" Runi tak melewatkan kesempatan untuk bertanya.
"Ruang kepala sekolah? Baiklah, aku akan mengantarmu." Berjalan mendahului Runi, siswa itu berniat untuk menunjukkan jalan.
Berkat bantuan siswa itu, akhirnya Runi sampai di depan pintu ruang kepala sekolah, "Terimakasih sudah mengantarku" tak lupa Runi mengucapkan terimakasih.
"Sama-sama!" Siswa itu langsung pergi setelahnya.
☆○☆○☆○☆
Ruang kelas yang ramai berubah damai seketika seorang guru mendekati ruang kelas, dengan membawa daftar hadir ditangannya, Pak Anas masuk kelas 2-2. Tidak hanya itu, ada seorang siswi yang berjalan di belakangnya, yang tak lain adalah Arunika.
"Perhatian semuanya! Kita kedatangan siswi baru yang akan belajar bersama kalian. Silakan perkenalkan dirimu!' Suara sorakan terdengar keras menyambut kedatangan Runi di kelas.
"Nama Saya Arunika, senang bertemu kalian!" Perkenalan Runi disambut tepuk tangan meriah para penghuni kelas, bahkan ada yang bersorak keras, salah satunya adalah siswa yang duduk di bangku paling pojok di belakang. "Siswa yang bersorak itu, pasti pembuat onar sekolah." Runi bergumam dalam hatinya.
"Kalau begitu, Runi silakan duduk di samping Lisa!"
Runi tidak tahu siapa siswi yang bernama Lisa, tapi hanya ada satu bangku kosong di kelas itu, jadi dia tahu harus duduk dimana. Runi segera duduk, dan berkenalan dengan teman sebangkunya itu, "Hai, aku Runi." Runi mengulurkan tangannya, dan disambut baik oleh siswi itu, "Senang berkenalan denganmu, namaku Lisa." Runi mengangguk paham.
"Karena semuanya lengkap, jadi bapak tidak perlu absen satu persatu. Selamat belajar." Pak Anas segera meninggalkan kelas, beliau adalah wali kelas 2-2 yang setiap harinya harus datang dan mengecek kehadiran para siswanya.
"Guru yang tadi namanya Pak Anas, dia wali kelas di kelas ini." Sebenarnya tak ada yang menanyakan tentang hal itu, tapi dengan semangatnya Lisa memberi tahu.
"Jika kau bertanya siapa siswa yang bersorak paling keras tadi, dia adalah Gery murid paling bermasalah di kelas ini." Sambil menunjuk ke bangku pojok paling belakang, Lisa menjelaskannya dengan suara sedikit berbisik. Bahkan tanpa bersuara Lisa sudah menjawab pertanyaan yang sebenarnya sempat terlintas di benaknya.
"Kau lihat siswi yang duduk paling depan? Dia Yuna, bisa dibilang dia siswi paling kaya disini dan juga dia lumayan pintar, tapi yang lebih pintar ada di sebelah kirimu."Lisa sudah berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang sebenarnya tak pernah Runi tanyakan, walaupun begitu Runi menyimaknya dengan baik informasi yang disampaikan teman barunya itu.
"Dia Hana siswi paling pintar di sekolah, dan disebelahnya yang duduk di dekat jendela itu namanya Juna, siswa paling tampan di sekolah ini" Runi sedikit terkejut setelah mengetahui siswa yang dikatakan Lisa sebagai yang paling tampan ternyata adalah siswa yang membantu Runi menemukan ruang kepala sekolah tadi pagi. Ternyata namanya Juna.
"Masih ada lagi?" Runi bertanya pada Lisa yang nampaknya sudah selesai dengan ceritanya,
"Kau mau tahu tentang apa? Aku akan memberitahumu." Rupanya Lisa masih sanggup untuk bercerita, tapi Runi tak mau menanyakan apapun, "Tidak, terimakasih!" Mungkin saja jika Runi bertanya, Lisa tak akan berhenti berbicara dan membuat telinganya panas.
☆○☆○☆
"Jadi Runi benar-benar pindah?" Pertanyaan itu dilontarkan Vino pada teman sebangkunya, Axellsen. "Iya," singkat dan jelas jawaban dari Axell.
"Ah, jika Runi pindah, siapa yang akan mengunjungi cafe dan membeli kopi buatanku." Vino merasa sedikit kecewa mendengar berita perpindahan teman dekatnya itu.
"Memangnya cuma dia pelangganmu? Lagi pula dia tidak pindah jauh, dia bisa kapan saja mengunjungi cafemu."
"Benarkah?" Ada secercah harapan di wajah Vino.
"Dia pasti pindah karena kau tak pernah akur dengannya." Vino mulai lagi meledek Axellsen. Axellsen tak menanggapinya, dia fokus mendengarkan lagu dari earphonenya.
Hubungan ketiganya bisa dibilang dekat, Vino dekat dengan Axell maupun Runi. Sementara hubungan antara Runi dan Axell sendiri bisa dikatakan unik. Walaupun mereka tinggal serumah, tapi keduanya tak pernah terlihat akrab, mereka saling menunjukkan sikap keras kepala masing-masing. Bahkan jika mereka saling bicara pun, bisa dipastkan itu adalah perdebatan.
Vino yang sudah berteman sejak SMP dengan Runi maupun Axell sudah paham dengan perilaku keduanya. Sikap masa bodo Axell dan sikap cerewet Runi membuat keduanya sulit untuk mengakrabkan diri. Runi bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi jika berkaitan dengan Axellsen dia sangat cerewet.

Bình Luận Sách (86)

  • avatar
    MikaKyra

    alur ceritanya benar-benar bagus. Penulis nya hebat dapat membuat cerita seperti ini. Semangat untuk penulis nya

    02/01/2022

      0
  • avatar
    junelsyDelphi

    bgus

    04/04

      0
  • avatar
    Lamongan IndahPraditha

    🥳🥳🥳

    01/03/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất