logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Ke rumah Maya

Drrrt... drrrt... drrrt.
Ponsel Danu bergetar, tapi di abaikan olehnya. Setelah tau kalau yang menelpon adalah Mira.
"Pasti dia sudah melihat Airin," gumam Danu.
Tangannya mencengkram setir mobil dengan erat, hatinya masih panas.
Dia tak menyangka, kalau Airin yang selama ini pendiam, bisa dengan lantangnya berteriak.
"Pasti ini ulah ibu," Fikirnya.
Drrrt... drrrt... drrrt.
Kembali ponselnya bergetar. Di rasanya benda pipih yang sedari tadi berada di kursi samping.
Di usapnya layar enam inci tersebut, foto dia dan Maya yang sedang berpelukan jadi wallpapernya.
Kembali terpampang nama Mira di layar panggilan sebagai panggilan tak terjawab.
Di tekan tombol power di samping, kemudian memilih matikan. Danu tak ingin di ganggu.
Karena tak tahu hendak ke mana, dia memilih melajukan mobilnya ke rumah Maya.
Baginya, Maya adalah obat di kala hatinya gundah.
Tiga puluh menit kemudian, Danu telah sampai di sebuah rumah tipe 34, bercat putih dan berpagar besi berwarna hitam.
Motor Maya terparkir, berarti dia juga sudah pulang dari hotel.
Setelah memarkir mobil, Danu melangkah menuju pintu.
Merogoh kantong celananya, mencari kunci duplikat rumah Maya.
Hanya sekali putar, pintu itu terbuka. Nampaklah ruang tamu yang masih gelap, Danu langsung saja masuk, tak lupa dia menutup pintu.
Tujuannya adalah kamar Maya, hanya perlu beberapa langkah. Dia sudah berada di pintu kamar kekasih gelapnya itu.
Dipegangnya handel pintu dan di putar.
Ceklek!
Pintu terbuka lebar setelah di dorong pelan, Danu menggeleng. "Maya suka sekali tak mengunci pintu."
Kamar juga nampak gelap, tapi siluet tubuh Maya yang sedang berbaring cukup jelas terlihat.
Danu mendekat, kemudian ikut berbaring di samping Maya.
Tak butuh waktu lama, Danu telah terlelap di samping kekasihnya itu.
*****
“Bagaimana, Mir? Kakakmu bisa di hubungi?” tanya bu Marni.
Dia memerintahkan Mira untuk memberi tahu Danu kalau Airin mereka bawa ke rumah sakit.
“Masih belum aktif, Bu,” jawab Mira.
“Dimana sih itu anak, istri jatuh malah dia tinggalkan,” omel bu Mirna.
Dia sama sekali tak berfikir kalau Danu yang membuat Airin seperti itu.
“Coba, telpon semua temannya yang kamu kenal,” titahnya lagi.
“Untuk apa sih Bu? Mas Danu di kasih tau. Jelas-jelas dia tak peduli.” Protes Mira.
Mira memang jengkel dengan kelakuan kakaknya itu, dia sangat menyayangi Airin.
Bahkan dia lebih menganggap Airin sebagai saudara daripada Danu.
“Dia kan, suaminya.” Bu Marni menjawab sambil berlalu.
Niatnya, bu Marni hendak ke kantin. Kantuk sudah datang bertamu, dia tak mau tidur sebelum tau bagaimana kondisi menantunya.
 
Belum beberapa langkah dia berjalan, pintu tempat Airin di tangani terbuka. Seorang
Dokter berpakaian APD lengkap keluar dari ruangan tersebut.
“Keluarga saudara Airin!” ucapnya.
“Kami, dok!” seru Mira sambil mengangkat tangan.
Bu Mirna yang mendengar panggilan dokter, juga ikut mendekat.
 
“Pasien Airin sedang dalam kondisi kritis, sempat tadi selama penanganan dia anfal. Untungnya kami masih bisa mengembalikannya. Jadi, untuk penanganan lebih intensif, kami akan memindahkan pasien ke ruang ICU. Mohon keluarga mengurus administrasinya segera.” Jelas dokter.
 
“Baik, Dok! Kami urus sekarang. Tapi, tolong selamatkan menantuku.” Balas bu Marni.
 
“Kami usahakan yang terbaik, Bu! Mungkin itu saja, saya permisi, mau kembali menangani pasien.” Kedua tangan dia tangkupkan di depan dada, lalu dia beranjak pergi.
 
“Mir, tolong hubungi siapapun teman kakakmu yang kau kenal.” Kembali, bu Marni memerintahkan anaknya itu.
 
“Kenapa bukan Ibu, yang telpon orang di kantor kak Danu. Dijamin pasti Ibu langsung dapat info konkret.” Mira memberi saran.
 
“Iya... ya, kok Ibu nggak kepikiran.” Di rogohnya tas merek gincu, lalu mengeluarkan telpon merek apel tergigit.
 Entah siapa yang dia hubungi, setelah berbasa basi sejenak. Bu Marni mulai menanyakan tentang Danu.
Orang yang bu Marni telpon bercerita tentang apa yang dia tau.
Hampir setengah jam, bu Marni menelpon.
Ekspresi wajahnya sering berubah-ubah, ketika mendengarkan cerita orang tersebut.
Setelah menutup panggilan telponnya, Mira mendekati ibunya tersebut.
“Bagaimana, Bu? Dapat kak Danu di mana?” Mira bertanya kepada ibunya.
“Sudah, benar dugaan Ibu. Kakakmu itu selingkuh, Mir. Selama ini dia telah membohongi kita,” ucap bu Marni, tangisnya pecah.
Dia tak menyangka, kalau anaknya sebesar itu. “Semua orang di perusahaan sudah tau,” lanjutnya lagi.
“Jadi, Ibu akan berbuat apa?” tanya Mira.
Sebenarnya, Mira sudah lama tau kalau Danu punya selingkuhan.
Tapi, saat bertanya kepada kakaknya. Dia malah di ancam. Kalau dia memberi tahu kepada ibu mereka, maka Danu akan menceraikan Airin.
Danu tahu betul kekhawatiran Mira.
“Sebentar juga, kamu akan tau,” jawab bu Marni.
*****
Maya merasakan sebuah tangan memeluk pinggangnya.
Saat berbalik, dia tersentak kaget. Melihat Danu telah terlelap di sampingnya.
Pelan-pelan di pindahkan tangan kokoh itu dari pinggangnya. Dia bangkit menuju kamar mandi.
Sejujurnya, dia masih marah kepada Danu. Karena, meninggalkannya sendiri di kamar hotel.
Dia sudah berjanji dalam hati, untuk tak bertemu lagi dengan suami orang tersebut.
Tapi, ketika melihat Danu tertidur di sampingnya, keinginan rersebut pergi entah kemana.
Maya membersihkan diri dengan cepat, dia berencana membuat sarapan untuk Danu.
Saat keluar dari kamar mandi, Danu masih tertidur. Nampaknya dia terlihat lelah, Maya tak ingin mengganggunya.
Setelah berpakaian, dia melangkah ke dapur. Membuka kulkas, mengeluarkan semua bahan makanan untuk membuat nasi goreng sea food. Makanan favoritnya dan Danu.
Sedang asyik berkutat di dapur, terdengar ketukan di pintu luar.
Maya menghentikan kegiatannya, mempertajam pendengaran. Jangan sampai dia salah dengar, kembali pintu depan di ketuk.
“Siapa sih, pagi-pagi sudah bertamu!” gerutunya.
Diletakkannya pisau dengan sembarangan, lalu mencuci tangan.
“Sabar!” teriaknya ketika ketukan di pintu semakin cepat dan keras. Lebih tepatnya di gedor.
Setengah berlari Maya membuka pintu, saat pintu terbuka, dia melihat seorang wanita paruh baya, bersama seorang anak gadis berdiri di depan pintunya.
“Ogh, ini pelac*r yang berani menggoda anak saya?” tanya bu Marni ketika pintu rumah Maya terbuka.
Dia memegang gagang pintu, mendorongnya. Lalu memaksa masuk, Maya yang tak siap dengan perlakuan bu Marni tak bisa berbuat apa-apa.
“Di mana kamu sembunyikan anak saya?” tanya bu Marni sambil tersenyum. Tapi,  dari intonasi suaranya jelas tersimpan amarah yang siap di salurkan.
“Maaf, saya tidak tau siapa anak Ibu!” elak Maya.
Padahal, dia tau jelas kalau wanita itu Ibu kekasih gelapnya.
“Selain pelakor, kamu ternyata pembohong juga!” sindir bu Marni.
“Jaga mulut Ibu! Saya tidak kenal anda. Jadi, tolong pergi dari rumah saya,” usir Maya.
“Hehehehehe, rumah kamu? Rumah ini di beli dari uang saya, jangan mimpi kamu punya rumah,” bu Marni tertawa, lalu mencemooh wanita yang ada di depannya.
“Apa buktinya?” tantang Maya.
“Dasar, wanita jala*g. Jangankan rumah, bahkan perabotan rumah, baju, sampai BH dan Celana da*am kamu di beli pake uang saya,” cecar bu Marni.
Plak... plak!
*****
Plak... plak!
Maya menampar wajah bu Marni. Lalu berkata “Jaga bicara anda! Saya bisa lebih kasar dari ini.”
Bu Marni memegang wajahnya yang perih, dia tak menyangka Maya akan berani menamparnya.
Biasanya, pelakor akan ketakutan kalau di datangi. Berbeda dengan Maya, dia malah melawan.
“Pantas Danu bertekuk lutut di kakinya, wanita sia*an ini punya karisma,” batin bu Marni.
Tak menerima ibunya di tampar, Mira maju dan menarik rambut Maya, sampai dia terhuyung ke belakang.
“Jangan beraninya sama orang tua, kalau kamu mau bertarung. Ayok, lawan saya.” Mira bekata dengan penuh amarah.
Rambut panjang Maya masih dalam genggamannya.
Maya yang tak bisa menjaga keseimbangan akhirnya terjatuh.
Bugh!
Badannya menghantam meja kaca dan
Prang!
Kaca meja pecah, Maya terduduk di atas pecahan kaca.
Melihat hal itu, Mira tambah menarik rambut Maya.
Maya memegang tangan Mira, berusaha melepaskan rambutnya. Karena merasa kekuatan Mira besar, akhirnya Maya mencakar Mira dengan kukunya yang panjang.
“Aduh,” teriak Mira.
Tangannya terlepas dari rambut Maya.
“Ternyata kucingnya, kucing garong, Bu,” ucap Mira kepada ibunya.
Bu Marni yang mendengar perkataan anaknya itu ikut tersenyum, lalu berkata.
“Hati-hati, Nak! Dia bukan kucing garong. Tapi, kucing gila.”
Ejekan Mira dan bu Marni, kembali menyulut emosi Maya. Dia segera bangkit dan mendekati Mira.
Dia menendang kaki Mira, sampai Mira tersungkur. Kakinya dengan cepat menginjak punggung Mira agar tak bergerak.
Melihat hal itu, bu Marni menarik tangan Maya untuk menjauh dari Mira.
Merasakan tangannya di tarik, dia segera berbalik dan menghentakkan tangannya. Bu Mirna terhuyung ke belakang.  Untung saja dia tak jatuh.
“Se*an memang kalian, beraninya keroyok. Coba satu lawan satu!” seru Maya dengan napas yang ngos-ngosan.
 
“Banyak bicara kamu,” timpal Mira yang tiba-tiba telah berada di belakang Maya.  Lengannya dia kalungkan di leher Maya, membuat wanita cantik itu tak bisa bernapas.
Sekuat tenaga, dia memukul tangan Mira. Tapi tenaganya kalah dari tenaga adik Danu tersebut.
Wajah Maya sudah memerah, dia sudah mulai kehilangan oksigen. Tangannya masih memukul-mukul lengan lawan.
Bu Marni duduk di sofa menyaksikan kekasih anaknya kehabisan napas, dia sama sekali tak punya niat untuk melerai. Dia tau Mira tak akan membunuh wanita itu.
Hanya, dia harus di beri pelajaran fikirnya.
“Le— pas— kan,” terbata Maya berucap. Dengan sisa tenaga yang di miliki, kakinya menendang tulang kering Mira.
Mira kesakitan, tangannya terlepas dari leher Maya.
Maya jatuh terduduk.
 “Uhuk... uhuk... uhuk....” Dia terbatuk, baik Maya maupun Mira, mereka sama-sama kecapaian.
Merasa sudah agak mendingan, Maya bangkit mendekati Mira, melihat hal itu bu Mira mengambil figura yang terletak di atas bufet. Lalu melemparkan ke arah Maya.
Bugh!
Punggung Maya terkena figura tersebut, tapi dia tak peduli, targetnya adalah gadis yang tadi mencoba untuk membunuhnya.
Mira yang masih berguling kesakitan pasrah, ketika rambutnya di tarik. Dia hanya bisa berteriak. “Aduh, tolong... tolong.”
“Silahkan, teriak sekencengnya. Tak akan ada yang bisa menolong kamu!” ucap Maya.
Bu Marni mendekat, mendorong Maya sampai terjatuh.
“Hentikan!”
Mereka yang mendengar teriakan tersebut, langsung berbalik ke arah sumber suara.
Terlihat, wajah Danu merah menahan amarah.
“Apa-apaan ini!” gertaknya.
Maya yang pintar membaca situasi, segera meringis lalu berkata.
“Mas, tolong! Mereka mengeroyok saya.”
Mendengar perkataan Maya, dan melihat apa yang baru saja ibunya lakukan, Danu lebih percaya pada Maya.
“Bu, apa yang Ibu perbuat? Bikin malu saja,” tegur Danu.
“Bikin malu! Siapa yang bikin malu? Ibu atau kamu?” bu Marni bertanya balik.
“Ya, Ibulah! Datang ke rumah orang, terus mengeroyok yang punya rumah,” jelas Danu.
 
“Heh, anak tak tau diri, kalau kamu angkat telpon, tidak akan Ibu sama Mira ke sini.” Bu Marni membela diri.
“Kok, Mas tega marahi Ibu demi ular seperti dia.” Mira yang sedari tadi diam, ikut menimpali.
“Anak kecil tidak usah ikut campur,” tegur Danu.
Maya yang melihat perdebatan kecil, antara Anak dan orang tua tersenyum dalam hati.
Tak sia-sia ektingnya, dirinya berharap Danu mengusir mereka dari rumahnya.
“Sudahlah, Ibu juga tak sudi lama-lama di sini. Sekarang kamu ikut Ibu pulang,” ajak bu Marni pada putra semata wayangnya itu.
“Danu, masih mau di sini, silahkan Ibu dan Mira pulang duluan,” tolak Danu.
“Hehehehehe.” Bu Marni tertawa. Lalu berkata. “Kalau kamu tidak pulang bersama Ibu, berarti, kamu sudah siap di coret dari daftar pewaris perusahaan Danu Reksa Perdana.”
Danu menggeleng, ibunya tau betul kelemahannya.
“Bagaimana?” tanya bu Marni ingin memastikan.
“Baiklah, Danu ikut Ibu pulang,” putus Danu Akhirnya.
“Kamu lihatkan? Kakakku lebih mencintai harta daripada kamu, SUND*L!” bisik Mira, saat dia melewati Maya.
Maya yang mendengar, hanya bisa mengepalkan tangan. Tak mungkin membalas perkataan gadis itu.
“Sial*n,” Makinya dalam hati.
Maya hanya bisa menyaksikan Danu berlalu pergi, hatinya tiba-tiba nyeri. Terbayang perjalanan untuk bersatu dengan Danu pasti berat.
“Huffft,” dia menghembuskan napas panjang.
Saat berbalik, dia melihat ruang tamunya berantakan, tambah membuat semua sendinya tambah sakit.
Baru saja hendak duduk, Maya merasakan semua siku dan tangannya perih, saat dia memperhatikan tangannya. Matanya terbelalak, telapak tangan sampai siku penuh goresan-goresan kaca, bahkan ada beberapa pecahan kaca yang menempel.
“Sepertinya, aku butuh dokter,” lirihnya.
Segera dia melangkah ke kamar, berganti pakaian. Lalu segera berangkat ke rumah sakit.
*****
“Danu, nggak usah pulang ke rumah. Langsung ke rumah sakit saja,” perintah bu Marni pada anaknya itu.
“Nggak usah, Bu! Luka Mira bisa di obati di rumah,” tolak Danu.
 
“Siapa yang mau mengobati Mira?” tanya bu Marni balik.
Danu melirik ibunya, wanita paruh baya itu sedang memainkan telpon genggamnya.
“Lalu, kalau bukan untuk mengobati luka Mira, terus untuk apa kita ke rumah sakit?!” tanyanya lagi.
“Sudah, nggak usah banyak tanya. Lebih baik kamu konsentrasi menyetir. Ibu tidak mau kalau karena kelalaian kamu, kita semua berakhir di kuburan,” cecar bu Marni.
Hatinya masih kesal kepada Danu. Tapi, dia tak mau Danu kembali lagi ke rumah pelakor itu.
Lebih baik, dia konsentrasi dengan rencana awalnya.
“Pelakor harus dilawan dengan pelakor,” gumam bu Marni.
“Apa, Bu?” tanya Danu, dia mendengar gumaman bu Marni.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ke ruang ICU. Danu yang masih tidak tau apa yang terjadi hanya bisa mengekor ke mana Ibu dan adiknya pergi.
Sampai di ruang ICU, pintu ruangan terbuka dan sosok lelaki yang sangat di kenal oleh Danu keluar. Mereka saling bertatapan, lelaki itu mendekati Danu, lalu tersenyum dan.
Bugh!
Bugh!
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Bình Luận Sách (55)

  • avatar
    Nur Mutya Mutya

    makasih

    23d

      0
  • avatar
    Yeldi Alfitra

    bagus sekali

    08/02/2023

      0
  • avatar
    DeaFifit

    kerenn

    24/11/2022

      1
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất