logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 six

lanjutt!!
pemandangan di belakangku.
"Cool, right?'
"WHAT THE HELL MICHEL ?"'seru mereka panik.
"Kau sedang ada dimana Michel?!" teriak Obelix.
"Itu seperti rumah pohon kita," cetus Urien.
"Bagaimana kau bisa sampai disana Michel?" tanya Alaric panik.
Alaric yang penuh ketenangan saja bisa sepanik itu melihatku disini.
"Ini benar-benar bahaya. Apa kita tidak bisa segera pulang saja?" seru
Ireneo.
Sekarang justru aku yang panik. Hell! Mereka akan pulang hanya
karena aku. "No. Tidak perlu. Aku disini tidak sendirian. Aku bersama
Kak Eldric" lalu aku menggeser smartphone-ku agar bisa menampilkan
wajah Eldric.
"Hai kembar!" sapa Eldric dan mereka terperangah.
"Kenapa kalian bisa bersama?" tanya Urien.
"Aku akan membunuhmu kalau terjadi apa-apa dengan Michel" ancam
obelix
"Jangan pulang terlalu larut El" pesan Alaric.
"Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Ireneo.
"Well, aku hanya menemaninya selama kalian tidak ada" jelas Eldric.
"Ya, setidaknya aku terhibur meski kalian tidak ada. Kak Eldric
mengajakku bermain bersamanya" ujarku senang.
"Bermain?"
"Bola basket" jelasku.
"Dia cukup baik ternyata,"kata Eldric.
Aku sedikit malu. "Aku juga baru tahu ternyata werewolf sekuat itu. Kak
Eldric menggendongku hingga kami sampai di rumah pohon" ceritaku
pada mereka.
Lalu terdengar suara gaduh dari ujung sana dan suara pintu yang
terbanting kuat.
"Ada apa?" tanyaku pada keempat pria di layar yang wajahnya sedikit
menunjukkan kekhawatiran.
"Tidak ada apa—apa Michel. Lekaslah kembali. Disana sedikit
berbahaya ketika malam. El, jaga dan antar Michel" pesan Alaric.
Eldric mengangguk.
"Oke. Bye Michel" seru mereka dengan senyum sedikit terpaksa.
Kenapa?
~~
author pov
Kenyataannya selama panggilan video itu berlangsung, Esteve ada
disana. Mendengar semuanya meski tidak terlihat kamera. Keempat
saudaranya menggunakan laptop untuk menghubungi Michel dan
Esteve duduk di kursi di belakang meja dimana laptop itu diletakkan.
Esteve sedang membaca sebuah buku, meski sebenarnya ia tidak
mengerti isi buku tersebut karena telinganya hanya fokus mendengar
suara gadis yang ia rindukan itu.
Mendengar pernyataan sang kakak yang ingin memeluk mate-nya
saja sudah membuat hatinya kesal. Tetapi dia tetap sukses dengan
menampilkan wajah datarnya.
Michaela tidak menyebut namanya ketika saudaranya bertanya
tentang siapa saja yang gadis itu rindukan. Esteve tetap berusaha
terlihat baik-baik saja. Walau buku yang ia pegang sudah cukup kusut
karena cengkramannya yang begitu kuat pada buku tersebut. Padahal
dia setengah mati merindukan gadis itu. Tetapi gadis itu bahkan tidak
mengingatnya.
Lalu ketika Esteve tahu bahwa gadisnya berada di hutan, dia
benar-benar merasakan oksigen hilang di sekitarnya. Kepanikan mulai
mencekik dirinya dengan kuat. Banyak makhiuk yang menginginkan
gadis itu dan bagaimana bisa gadis itu sekarang mengumpankan
dirinya sendiri ke hutan?
Dia hampir saja loncat dari tempat duduknya dan kembali ke kota itu
jika tidak mendengar nama Eldric yang disebut. Gadisnya asekarang
bersama Eldric. Esteve sekarang merasakan hal yang lainnya. Dia
bahkan sulit mendeskripsikannya. Ada sesuatu yang menyentil hatinya.
Dan dia tidak suka itu. Bahkan lebih tidak suka daripada saat Obelix
memapah Michel ke kamarnya. Kejadian itu yang membuat dia tidak
mendatangi tempat kencannya dengan Michel kemarin. Itu semua
karena perasaannya yang menjadi jengkel ketika melihat kebersamaan
adik dan mate-nya itu.
Dan sekarang saat bersama Eldric, dia jauh lebih tidak suka. Apalagi
mendengar bibir gadisnya yang memuji temannya itu. Esteve rasanya
ingin meledak. Bermain basket bersama? Sebenarnya sudah sejauh
apa kedekatan mereka?
Esteve sudah tidak ingin mendengarnya. la ingin pergi. Dia
melemparkan asal bukunya. Lalu membanting pintu dengan kuat untuk
menunjukkan emosinya. Chel-nya benar-benar bisa mengendalikan
emosinya. Esteve masuk ke ruangan lain di rumahnya. Ruangan
manapun yang tidak bisa menangkap suara Michel.
la dibuat bingung dengan perasaannya sendiri.
"Apa lagi Esteve?" tanya suara itu. Suara ayahnya.
"tidak."
"Dad tahu Esteve. Aku juga pernah muda sepertimu"' terangnya.
Esteve mendengus.
"Wanita itu tidak akan mengerti jika kita tidak menunjukkan apa yang
kita rasakan. Mungkin akan mudah bagimu untuk membaca ekspresi
Michel. Tapi apa dia mudah untuk mengerti dirimu yang tidak terbaca
ini?" tanya Edmund sambil menyesap kopinya.
"Aku tidak meminta dia untuk mengerti aku. Kedekatan kami adalah
paksaanmu. Kau yang meminta kami bertunangan" seru Esteve.
"Oke. Jadi kau tidak ingin aku mengatakan kalau kau dan dia
dijodohkan. Kau ingin aku mengatakan bahwa kau dan dia adalah
mate?" tanyanya.
"Tidak. Aku tidak ingin terikat dengan siapapun"' tegas Esteve.
"Kalau begitu kau siap untuk melihatnya terikat dengan yang lain?"
desak Edmund lagi.
Esteve membayangkannya. Michel tertawa dan bersanding dengan
yang lain, saling memeluk, saling memiliki, saling men-- Tidak. Tidak!
Esteve tidak bisa membayangkannya.
Esteve sudah akan beranjak pergi lagi dari ruangan itu.
"Nah untuk membayangkannya saja kau tidak sanggup" Edmund
terlihat senang karena berhasil membungkam anaknya itu.
Edmund kembali berujar, "Kau harus bangkit Son. Percayalah dia
memang takdirmu dan jangan biarkan masa lalumu menghalanginya."
Esteve berdiri kaku di tempatnya.
"Kau tidak bisa memukul rata semua wanita sama sepertinya. Dia
sudah pergi dan jangan menyamakannya dengan wanita iblis itu" kata
Edmund lagi.
Edmund menghela napas lelah.
"Aku tidak mau merasakan sakit yang sama lagi" cetus Esteve.
"Michel takdirmu. Percaya saja" saran ayahnya.
Kali ini Esteve yang menghela napas lelah, "akan kucoba."
~~~~
Dering terdengar dari ponsel canggih milik Michaela di antara malam
yang sunyi. Dia baru saja pulang dari hutan bersama Eldric. Dan sudah
bersiap-siap untuk menyusul Helena ke alam mimpi, jika saja dering itu
tidak terdengar.
Id caller-nya menunjukkan kata orang aneh. Dia sudah berniat untuk
tidak menggubris panggilan itu. Namun sesuatu di hatinya berdesir
penasaran. Jika orang kemarin hanya-lah salah sambung, dia tidak
mungkin akan menelpon Michel lagi di jam yang hampir sama seperti
malam kemarin.
Michaela menggeser tombol answer.
"Halo, sapanya. Sama seperti kemarin malam, yang terdengar
hanyalah deru napas teratur. "Sebenarnya aku tahu kau mendengarku.
Tapi aku masih tidak mengerti kenapa kau tetap tidak membalas
sapaanku. Jika memang hanya salah sambung, kupikir kau tidak
harus kembali menelponku bahkan di jam yang hampir sama seperti
kemarin malam. "Kau siapa?” desak Michel. Tetapi yang ia dengar hanya
dengusan geli.
"Ah seharusnya aku sudah tahu sedari awal. Kau tidak akan pernah
berbicara sedikitpun. Baiklah. Terserah padamu. Selamat malam" kesal
Michel.
Dia sudah akan menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Jika saja
ia tidak mendengar sebuah suara dari ponselnya.
"Selamat malam. Mimpi indah."
Michel menegang.
Bahkan ketika suara sambungan itu terputus, Michaela masih tetap
setia menatap layar hitam di ponselnya. Rasa keterkejutan itu masih
mendominasi dirinya.
"Tidak. Tidak mungkin" Michel menepuk kepalanya dengan keras. "Aku
benar-benar berhalusinasi" pipinya kembali ia pukul dengan sedikit
lebih keras. "Tapi hanya dia yang memiliki suara sedingin itu" pikir
Michaela lagi.
"Benar-benar mustahil kalau itu adalah Esteve Graffielo Walcott."
Selamat malam. Mimpi indah.
~~~~
Michaela POV
“AKu lelah, Lena!” sungutku padanya. "Dan aku rasa semua toto dan
materi yang kita catat sudah lebih dari cukup."
Lena terlihat cemberut, "tapi aku masih ingin jalan-jalan dan
mengelilingi tempat ini. Hanya jalan-jalan. Janji. Tidak ada lagi materi
dan foto!" Helena memberikan tanda peace-nya padaku.
Aku mendengus. Muka lugu dan puppy eyes andalannya hanyalah
kedok yang ia pasang. Lihat saja, sebentar lagi ia akan menyiksaku
dengan menyuruhku memotretnya dengan beberapa gaya narsisnya.
Kami kembali lagi menyusuri museum. Lelah? Tentu saja. Tetapi tidak
dengan manusia di sebelahku yang tetap menarik tanganku menyusuri
tempat ini dengan semangat. Beberapa menit setelahnya, telepon
genggamku bergetar di saku.
Aku membaca id caller yang tertera dan betapa terkejutnya aku ketika
melihat nama penelpon yang sama seperti malam kemarin.
Orang aneh.
terima?
Tolak?
terima?
Tolak?
Aku menimang-nimang.
"Ada apa Ela?" tanya Lena.
"Tidak ada apa-apa" aku kembali memasukkan teleponku ke saku dan
berjalan bersama Helena.
Aku kembali mendesah lelah. "Aku lelah dan lapar Lena."
Helena hanya memberi cengirannya padaku. "Oke kita akan makan."
Aku mengangguk. "Aku ke toilet sebentar. Kau yang cari tempat makan
untuk kita dan segera share location padaku."
"Oke."
Aku melangkah masuk ke toilet dan keadaan toilet benar-benar
kosong. Aku sedikit membasuh wajahku agar terlihat lebih segar.
"Apa benar nomor tadi milik Esteve?" tanyaku pada bayangan di cermin.
"Sepertinya tidak. Hah, dia menelponku adalah kemustahilan" balasku
lagi
"Tetapi kenapa suaranya benar-benar seperti suara miliknya?" tanyaku
gila.
"Ah aku benar-benar gila dengan berbicara sendiri" aku mendengus
dengan menyiramkan air keran kembali ke wajahku lalu membasuhnya
dengan tisu. Setelah kembali bercermin dan merapikan bajuku, aku
melangkah keluar dari toilet.
"Apa sesulit itu menekan tombol answer pada telfonmu?" suara itu sukses menghentikan langkahku.
Blank!
Itu yang aku rasakan. Aku berdiri mematung dengan kaki yang terpatri
di lantai. Bibirku pun menjadi kelu. Aku hanya bisa menatap tidak
percaya pada sosoknya yang bersedekap sambil menyandarkan diri
pada dinding pembatas toilet wanita. Matanya memberi tatapan intens
padaku.
Tanpa aba-aba dia menarik tanganku dan ragaku kembali dapat
kukuasai setelahnya.
"Hah, kau akan membawaku kemana?" tanyaku panik.
Tetapi seperti tidak mengenal Tuan Dingin ini saja. Baginya setiap kata
yang ia keluarkan tentu berbayar.
"Hei, kau ingin membawaku kemana? Bagaimana dengan temanku?"
Tiba-tiba ia berhenti dan membuatku terbentur punggung kekarnya.
akh!.

"Ish sia--"cepat-cepat aku menutup mulutku ketika ia memberikan
smirk evilkebanggaannya.
Sialan! Kalau saja aku tidak ingat akan peringatannya kemarin.
Kemudian dia menyodorkan tangannya padaku.
apa?
"ponsel?"
"Milikku? Untuk apa? Kau memiliki punyamu sendiri)’ balasku.
Dia terlihat menggeram, lalu mengambil tasku dan mencari sesuatu
yang diinginkannya. Ponselku?
Dia terlihat mengetik sesuatu dan mengembalikannya lagi padaku.
Belum sempat aku memeriksa apa yang telah dilakukannya, dia sudah
kembali menarik tanganku. Lelaki ini menyeretku mendekati mobil
yang terparkir di luar museum.
"Masuk"dia membuka pintu mobil untukku.
"Kau akan membawaku kemana? Bagaimana dengan te--"sebelum
aku sempat menyelesaikan kalimatku, dia sudah lebih dahulu
mendorongku kasar agar masuk ke mobil. Lalu dia berjalan menuju
kursi supir.
Ugh, ada apa dengannya? Setelah mengingkari janjinya kemarin,
sekarang dia bisa datang tanpa rasa bersalah. Aku benar-benar ingin
menampar wajah datarnya.
“Esteve" aku memanggilnya dengan nada menuntut penjelasan. Kali
ini dia melihatku. Aku tetap berusaha pada pendirianku untuk balik
menatapnya dengan tajam, berusaha untuk tidak terintimidasi dengan
tatapannya.
eugh!!
Tidak.
Aku tidak bisa. Sialan! Pipiku justru berkedut tidak wajar hanya karena
sebuah tatapan intensnya.
Aish! Pipi sialan!
Dia mendekatkan tubuhnya padaku.
Cobaan apa lagi ini ya Tuhan? Seharusnya aku sedang marah
dengannya saat ini!
Dia semakin mempersempit jarak di antara kami.
"Kau mau apa?" Aku berusaha menjauhkan tubuhku darinya dan
menjaga nada suaraku agar tetap tenang. Tetapi yang terdengar justru
seperti tikus yang terjepit pemangsanya. Damn it!
"Esteve" peringatku lagi. Tetapi dia kembali tidak terpengaruh.
Sial!
Aku sudah dapat merasakan hembusan napasnya di sekitaran
wajahku. Pipiku kembali berkedut.
Apa dia akan menciumku?
Aku menutup mata.
Bibir lembutnya ingin menciumku?
Lalu suara tarikan seatbelt dan bunyi 'klik' tertangkap telingaku. Lantas
aku membuka mata dan melihat leher jenjangnya terpampang di
depanku.
Brengsek!
Dia hanya memasang sabuk pengaman.
"Aku senang kau menyebut namaku" bisiknya persis di telingaku
dengan lembut. Dan setelahnya kecupan singkat itu terasa di pelipis
wajahku.
Damn it! Aku memerah!
~~~
Aku kesal. Benar-benar kesal. Tetapi dia yang berada di depanku
justru hanya menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi. Lalu untuk apa
kami melakukan ini semua?
"Michel, pasang cincinnya pada jari Esteve" ujar seseorang.
Yah, engagement!
Fucking engagement!
Setelah dia menarikku dari museum dan meninggalkan sahabatku
disana. Lelaki ini membawaku ke sebuah salon kecantikan,
mengatakan sesuatu pada seseorang disana kemudian pergi
meninggalkanku. Rambutku hanya ditata dengan natural, begitupun
dengan make-up yang digunakan. Tetapi seperti yang kita ketahui
tentang kekuatan magis dari make-up, aku benar-benar merasa
cermin tidak benar-benar menampilkan diriku. Kemudian aku diberikan
sebuah gaun pesta indah yang berwarna merah darah yang harus
kukenakan. Keempat pria tampan lainnya kembali menjemputku.
Mereka juga mengenakan setelan jas mahal. Hampir saja mereka
bertiga memelukkuy, jika Alaric tidak mengingatkan sesuatu kepada
mereka
"Jangan membuat dia marah karena aroma tubuh kalian yang melekat
di tubuh Michel"' begitu kira-kira yang Alaric katakan.
Aku tidak mengerti. Aku pikir akan ada suatu pesta yang harus kami
hadiri. Tetapi tidak terbesit di pikiranku bahwa pesta itu adalah
pertunanganku sendiri.
Aku muak! Aku benar-benar tidak mengerti kenapa ia tetap
menginginkan pertunangan ini berjalan jika tampang yang ia berikan
saat ini sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Dan aku masih
tidak memaafkan tentang janji yang ia ingkari terakhir kali.
Bagaimana aku bisa mengharapkan hal positif dari hubungan ini?
Satu-satunya hal yang ingin kulakukan saat ini adalah menangis dan
memukulinya. Lalu berteriak mengatakan betapa aku membencinya.
Tetapi aku tidak ingin membuat Papa dan Mama-nya malu.
Deru tepuk tangan terdengar ketika cincin itu terpasang di jarinya.
Cincin yang sama yang juga sudah terpasang di jariku. Acara utamanya
telah selesai. Semuanya mulai berbaur, begitupun aku dan lelaki ini.
Tidak banyak tamu yang diundang, sepertinya hanya 20 keluarga
saja. Benar-benar sedikit untuk orang sekaya Mr. Walcott. Tetapi
yang sedikit aneh adalah tatapan mata para tamu yang terus mencuri
pandang ke arahku. Aku bingung. Aku tahu party ini tentang aku. Tetapi
jenis pandangan yang mereka lemparkan cukup misterius dan sedikit
menyesakkanku sebenarnya. Aku tidak nyaman.
Belum lagi tangan Esteve yang melingkari pinggangku meski aku sudah
menunjukkan penolakan. Aku menyukainya tetapi untuk saat ini aku
ingin dia tahu bahwa aku memiliki harga diri dan aku tidak lemah. Lagi
pula, aku tidak ingin dia melakukan semua ini hanya untuk sebatas
sandiwara.
Sepasang suami istri menyapa kami, "Hai Michaela." Sang suami
mengulurkan tangannya padaku.
Aku membalasnya. "Michel saja, Mr?"
"Brian Walker. Panggil saja Brian tanpa kata Tuan," balasnya dengan
senyum yang tulus.
Aku juga menjabat tangan istrinya. "Nyonya Walker;' ujarku.
"Tante Bella. Itu terdengar lebih akrab Michel,' jawabnya.
"Kami orangtua dari Gerald, kau kenal bukan?" tanya Tante Bella
bersemangat.
"Ha, ketua yang menyebalkan itu. Dimana dia?" tanyaku.
"Ketua yang menyebalkan?" seru Tante Bella tidak percaya yang
membuat pasangan itu tertawa dan aku meringis malu. "Dia sedang
bersama dengan teman-temannya;' balas Tante Bella.
"Selamat untuk pertunangan kalian. Semoga kalian menjadi pasangan
yang manis;' pesan Paman Brian sebelum dia melangkah pergi.
Manis? Sepertinya hal itu akan jauh dari hubungan kami.
"Tersenyumlah Chel;’ bisiknya begitu intim di telingaku.
"Hei pasangan muda!" sapa seseorang.
"Ugh tidak sabaran sekali;' ejek lelaki itu pada Esteve, mungkin?
"Hai Michel,' wanita itu mencium pipi kanan dan kiriku bergantian.
Lalu lelaki di sampingnya mencium telapak tanganku dengan lembut.
aku malu.
Dan aku bisa merasakan seseorang mencengkram pinggangku dengan
begitu erat.
"Aish! Azka jangan begitu. Kau sudah tua dan masih saja senang
menggoda,’ kata wanita tadi kepada suaminya.
"Maafkan aku Esteve. Itu hanya bentuk naluriku melihat wanita cantik.
Tetapi aku tetap hanya tertarik pada wanita di sampingku;' ujarnya lalu
mengecup dahi istrinya. Wanita itu tersenyum.
how sweet!!
"Jadi jangan pasang wajah seakan ingin membunuhku" aku lekas
melihat ke arahnya tetapi ia segera membuang pandangannya.
"Ah sudahlah. Selamat atas pertunangan kalian,' wanita itu segera
menarik suaminya untuk pergi.
"Esteve lepas;' aku berusaha menyingkirkan tangannya dari pinggangku
tetapi ia semakin mempereratnya. "Kau menyuruhku tersenyum tetapi
lihatlah wajahmu yang selalu kaku,' bisikku di telinganya. Terimakasih
untuk high heels yang kugunakan sehingga tinggiku dapat sejajar
dengan telinganya.
Dia sama sekali tidak meresponku. Dengan geram aku mengigit daun
telinganya.
"Wohoo, apa itu Michel?" Sial! The most wanted, mereka sekarang
mengelilingku dan lelaki ini. Semuanya! Damn it!
"Oh adik ipar kau tidak boleh terlalu agresif. Esteve tidak suka itu;' ejek
Ireneo.
michel bodoh!!
"Tidak apa-apa jika Esteve tidak suka. Kami bisa bertukar posisi, aku
suka wanita agresif; balas Rafael.
Aku bisa merasakan aura kemarahan dari laki-laki di sampingku.
"Diamlah;’ ujarnya dingin.
Tetapi mereka justru tertawa. Poor you, Esteve.
"Berhenti menggoda Esteve,' putus Alaric. Hah, hanya dia yang cukup
berwibawa di antara makhluk-makhluk ini.
"By the way Michel kau cantik sekali hari ini;' seru Kelvin. Aku merona
malu
Jangankan Kelvin. Aku saja tidak menyangka bahwa saat ini, aku
adalah aku? Apalagi dress indah yang sedang kugunakan, aku
benar-benar menyukainya. Dress ini mengekspos leher dan tulang
selangka-ku dengan baik.
"Well, aku tidak salah memilih dress. Kalian harus berterima kasih
padaku; balas Urien.
Tiba-tiba aku dapat mendengar geraman pelan dari sosok di
sampingku. Ada apa dengannya? Bisakah dia berhenti menampilkan
tampang seakan ingin membunuh orang lain?
"Bagaimana jika berdansa? Aku bisa memutar satu lagu yang tepat;'
cetus Rai.
Kemudian Rafael menggenggam tanganku dan menciumnya.
"Bagaimana jika berdansa denganku?"
"Enyahlah!"
Jelas itu bukan jawabanku. Tetapi jawaban lelaki di sampingku.
Dengan refleks aku memukul lengannya. "Mengapa kau terus
memasang wajah seperti itu?" gerutuku.
Dia membalasku dengan tatapan tajam. Wajahnya benar-benar
menunjukkan kekesalan.
Salahku apa?
Tiba-tiba Mama Lucy menarik kami dan sepertinya cukup membuat
para most wanted kecewa. Kami diajak menemui sepasang suami istri
lainnya. Aku sedikit heran, bagaimana bisa tamu-tamu ini mengenalku
dengan baik. Padahal aku belum pernah melihat mereka sebelumnya.
"Ini orang tua Rai, Michel. Kau mengenal Rai kan?" tanya Mama Lucy
dan aku mengangguk.
Entahlah.
Tiba-tiba aku merasakan aura yang aneh sekali. Wanita itu menatapku
sambil tersenyum, senyum yang menyiratkan sesuatu. Bukan. Bukan
sesuatu yang jahat, hanya saja cukup misterius. Ada sisi dalam diriku
yang terusik melihatnya, seperti aku menemukan sesuatu yang telah
hilang.
"Hai Michel;' dia menyapaku dengan mata yang berkaca-kaca. Kenapa
ia seperti akan menangis?
Tangannya terulur kepadaku. Meskipun sedikit ragu, tetapi aku tetap
meyakinkan diriku bahwa tidak akan ada sesuatu yang buruk yang akan
terjadi. Ketika tangan kami bersentuhan, aku tidak bisa mengalihkan
pandanganku dari mata abu-abunya yang menatapku penuh harap.
Yang kurakan selanjutnya adalah jiwaku yang seolah tertarik dari
ragaku. Proses ini menyakitkan. Lalu mimpi buruk itu terulang dan
terpampang seolah nyata di hadapanku.
Cahaya obor.
Vampir.
Werewolf.
Penyihir.
Darah.
Teriakan seorang anak.
Teriakanku yang memohon untuk berhenti.
Mayat-mayat itu.
Lalu ketika mata berpigmen abu-abu itu berkedip, semuanya hilang.
Aku kembali ke ragaku disertai ketakutan.
Jangan mimpi itu lagi, kumohon.
Aku benci darah.
Berhenti membunuh mereka.
Mataku mulai berembun. Tubuhku lemas dan hampir luruh jika
tangannya tidak menopangku.
"Chel,’ suaranya terdengar. Aku bisa merasakan punggungku berinteraksi langsung dengan dadanya.
Bawa aku pergi.
Aku ingin meneriakkan itu padanya. Tetapi aku benar-benar kelu.
"Ada apa Michel?" suara Mama Lucy juga terdengar dengan tatapan
khawatir.
Aku kembali tidak bisa merespon.
"She's okay Mom. Hanya butuh sedikit istirahat. Aku akan
membawanya" suara Esteve.
Untuk kali ini, aku bersyukur dia ada di sampingku.
Dia mendekapku menaiki tangga dan menjauh dari pesta itu.
Langkahnya menuju kamar tidurku. Tetapi aku tidak ingin. Aku tidak
ingin menyendiri atau bahkan tertidur, karena aku yakin mimpi itu pasti
akan menghantuiku.

"Jangan kamar. Aku mohon"' pintaku padanya.
Dia bersikeras, "tetapi kau harus--"
Aku memegang jasnya dengan erat, menatapnya dengan pandangan
yang menyiratkan betapa takutnya aku. Berharap ia benar-benar
mengerti.
"Kumohon Esteve. Jangan tinggalkan aku sendiri
"Calm down Chel. No one can hurt you." Aku bernapas lega ketika ia
mengucapkan kalimat itu.
~~~
Gelapnya malam begitu indah ditemani bintang yang bertabur. Hawa
dingin angin malam yang bertiup terasa menusuk kulitku. Aku berusaha
terlihat kuat, walaupun aku gagal menyembunyikan getaran tubuhku.
Tetapi aku senang, karena setiap sakit yang kurasa mengingatkanku
bahwa saat ini aku sedang tidak bermimpi.
Tanpa aba-aba sebuah jas terlampir di bahuku disertai tangannya yang
menarikku mendekat ke arahnya.
Aku mendengarnya bergumam tidak jelas seperti berkata, "aku benci
gaun itu?"
Entahlah.
Kami berdiam dalam keheningan dengan dia yang memelukku.
Rasanya ini seperti mimpi. Jantungku seperti akan meledak. Help me
God.
Aku menyandarkan kepalaku pada dadanya yang bidang. Jariku
bermain-main pada lipatan kemejanya dan membuat pola-pola tidak
menentu.
"Kenapa kau melakukan pertunangan ini?" tanyaku memecah
keheningan.
Dia hanya bergumam tidak jelas sambil memainkan ujung rambutku.
Aku mencebik kesal. "Kau sungguh menyebalkan! Kau sudah berjanji
akan datang malam itu. Tetapi kau sama sekali tidak menepati janjimu.
Untuk memberiku kabar saja, tidak. Padahal aku sudah benar-benar
menunggumu hingga kehujanan. Aku menanyakanmu pada Kak Al dan
dia berkata kau bahkan masih berada di kota ini. Aku tahu jika semua
ini hanya formalitas untukmu. Tetapi bukankah itu bagus? Agar kita
lebih saling mengenal? Jika memang kau tidak serius dengan semua
ini, kau bisa memutuskannya. Bukan justru melaksanakan pertunangan
ini, bahkan tanpa senyum sama sekali,' ucapanku terputus.

"Sudah?" tanya Esteve enteng.
aku memukul dadanya dan melepaskan pelukannya. Dia memang
selalu menyebalkan.
Dia kembali menarikku untuk mendekat padanya lalu memelukku.
"Jangan bergerak" Kemudian dia menjatuhkan kepalanya di bahuku
sambil mengendus leherku.
Kesedihan menyerangku begitu cepat. Rasanya seperti sesaat aku
dibutuhkan dan di menit selanjutnya kembali dicampakkan. Dia
benar-benar memiliki efek besar terhadap suasana hatiku.
Air mataku terjatuh. Lekas aku menyembunyikan wajahku di dadanya.
Aku tidak ingin dia mengetahui aku sedang menangis. Aku tidak mau
terlihat lemah. Lagipula dia tidak akan tersentuh sekalipun melihat air
mataku. Dia benar-benar Si Dingin yang brengsek.
"Dont cry. Kau lebih dari sekedar berharga untukku." Lelaki ini mencium
lembut rambutku.
"Biar kita tata ulang hubungan ini dengan lebih baik;' aku bisa
merasakan dia tersenyum ketika mengucapkan hal itu.
Aku melonggarkan pelukan ini, dia terlihat keberatan. Tetapi aku tetap
memaksa. "Jangan hanya kata-kata, kau tahu? Aku butuh tindakanmu.
Bicarakan denganku jika kau tidak suka sesuatu. Perlihatkan jika kau
suka sesuatu. Ekspresikan jika kau kesal. Agar aku lebih mengerti
dirimu,’ cerocosku sambil mengusap rahangnya yang kokoh. Dia
menutup matanya menikmati apa yang kulakukan.
Jangan memerabh, pipi sialan!
"Aku tidak suka;,' tiba-tiba dia membuka matanya dan menatap tepat di
manik mataku.
Aku terkejut.
"Jika kau menciptakan jarak di antara kita;' lalu dia memelukku
kembali.
~~~
Malam ini, aku sepertinya benar-benar tidak membutuhkan
blush-on. Pipiku sudah memerah alami karena perlakuan anehnya.
Dia memintaku untuk segera makan dan kebetulan sekali, perutku
memang sudah meminta untuk segera diisi. Seorang maid akhirnya
datang membawakan makanan kepada kami.


"Kau sakit? Pipimu memerah;' dia menyentuh pipiku dengan lembut.
Sial! Pipiku akan semakin merah.
"Tidak. Aku baik-baik saja,' ucapku dengan gugup. "Esteve,'
panggilku. "Wanita yang dibawah tadi;' aku menggantung kalimatku
karena sebenarnya aku juga bingung untuk merangkai kalimat yang
tepat untuk menyuarakan kebingunganku. Wanita itu dan matanya
benar-benar mengusikku.
"Dia apa?" Esteve hanya mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku.
Lalu tangannya mengambil sendok yang penuh makanan dan
mengarahkannya padaku.
Apa?
"buka"
"A--p;" dia sudah menyuapkan makanan ini ke mulutku.
Aish! Laki-laki ini benar-benar menyebalkan.
Dia terus menerus menyuapi aku dengan makanan tersebut hingga
kandas. Setelah itu, tangannya bergerak membersihkan bibirku dengan
tisu.
Bisakah terus begini?
Aish, aku terlalu banyak meminta.
Kami masih setia duduk pada sebuah sofa yang ada di rooftop. Aku
duduk dan menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya. Tangannya
tidak berhenti memainkan rambutku dan dapat kurasakan sesekali
bibirnya hinggap disana.
"Tutup matamu dan tidurlah;' seperti mantra aku segera melakukan
perintahnya.
Sesuatu mengusikku, dengan mata tertutup aku berbicara
memecahkan keheningan padanya, "kenapa kau tidak datang kemarin?"
Hening. la diam.
"Apa yang kulakukan ketika aku tidak ada?" la membalasku dengan
pertanyaan.
Aku diam.
Aku menggumam ragu, "aku hanya bermain dan sedikit berjalan-jalan."
Kenapa aku harus takut mengatakannya?
"Dengan?"
"Kak Eldric;’ cicitku.
"Kau ingin tahu apalagi yang tidak aku suka?" tanya Esteve dengan
suara dalam yang membuatku kesulitan menelan saliva.
Aku mengangguk.
"Melihatmu bersama lelaki lain"
"Tidurlah;' dia menunjuk pintu kamarku dengan dagunya.
Aku menatapnya ragu.
"Apa jika hari ini berakhir, semua sikap manismu juga akan berakhir?
Apa kau akan kembali ketus dan kasar padaku?" tanyaku padanya.
Dia menatapku dalam lagi.
Aish! Aku selalu lemah dengan tatapannya.
"Tidur,' dia menunjuk kamarku lagi.
Aku merengut.
"Promise me. Jika besok aku bangun kau akan tetap seperti ini. Tidak
berubah menjadi cuek dan ketus padaku;' aku mengacungkan jari
kelingkingku.
Dia mendengus.
"Tidur!" kali ini benar-benar dengan nada memerintah.
"Promise; rengekku padanya.
Dia memegang pergelangan tanganku dan menurunkannya ke sisi
tubuhku.
Mataku terasa berkaca-kaca. Sial! Kenapa dia takut untuk sekedar
berjanji. Apa dia tidak serius dengan ini semua?
cup
aku mengedipkan mataku dengan bingung ketika bibir tipis itu menyentuh bibirku .
"sekarang tidur" dan sialnya aku langsung berbalik masuk kedalam kamarku.
~~~
Aku bergerak gelisah sambil menarik salah satu kursi di meja makan
dengan sedikit menunduk. Aku akan membayar apapun jika bisa lari
dari situasi ini sekarang. Sebaik mungkin aku berusaha agar tidak
terlalu gugup dan menarik perhatian mereka. Hah bagaimana mungkin,
aku yakin mereka sudah terus memperhatikanku sejak aku turun dari
lantai atas.
Urien berdehem.
Ok, here we go!
"Aura yang sedang berbahagia memang berbeda”"
Mereka semua tertawa. Aku mengumpat di dalam hati, mencoba tidak
peduli dan tetap fokus pada sarapanku.
"Pakai jasku agar kau tidak kedinginan,' seru Urien tiba—-tiba sambil
bergaya seolah-olah sedang memakaikan sebuah jas kepada Obelix.
Damn! Itu artinya mereka melihat yang terjadi kemarin malam.
"Aku butuh pelukan,’ Obelix merentangkan tangan seperti ingin
memeluk
Ah benar-benar!
Aku menatap penuh harap pada Papa Edmund yang berpura—pura tidak
mendengar dengan mengalibikan dirinya sedang membaca koran.
Padahal dengan jelas aku melihatnya melirikku sedari tadi.
"Oh Papa tidak bisa membantumu sayang. Mereka semua melihat yang
kalian lakukan", jawab Papa Edmund yang membuatku mencebik kesal.
"Lihat gadis kecil ini sedang mencari bala bantuan,’ Alaric bahkan ikut
menggodaku.
sial!
Aku menatap ke arah Mama Lucy yang sibuk mengambil makanan.
"Sudahlah Michel. Wajar jika berpelukan untuk sepasang tunangan.
Asal jangan sampai melakukan hal itu sebelum menikah, oke?" terang
Mama Lucy.

Apa lagi ini? Kenapa hingga membahas masalah seperti itu?
Astaga seseorang tolong keluarkan aku dari situasi ini!
“Jangan ganggu dia!” suaranya teraengar dingin. Hah, bukan
pertolongan yang kuharapkan.
"Ah, pangerannya sudah datang."
Aku merasakan dia berada di sebelahku.
"Bergeserlah Obelix. Esteve ingin duduk di samping tunangannya,' Irene
memerintah dengan suara yang agak ditegaskan.
"Oh oke-oke. Aku akan melakukannya."
Awalnya aku pikir dia tidak mungkin ingin duduk di sampingku. Lagipula
dia tidak butuh untuk sarapan. Baru saja aku ingin melarang Obelix
untuk pindah.
"Kau tida--," kata-kataku terpotong ketika aku melihat ia menempati
kursi di sebelahku. What?
"Makan Chel;' dia mulai mengeluarkan sikap bossy-nya.
Aku lekas mengalihkan pandanganku dari dirinya. Setiap melihatnya,
sesuatu di pipiku berkedut.
Damn! Kenapa setiap melihat wajahnya mengingatkanku akan sikap
manisnya semalam?
Senyum di bibirku sulit untuk ditutupi. Aku mengambil secangkir susu
untuk mengalihkannya. Namun yang terjadi aku justru tersedak. Sial!
"Uhuk! Uhuk!"
Aku bisa merasakan seseorang dengan cepat menepuk lembut
punggungku dan membersihkan mulutku dengan tisu.
"Tidak bisakah kau melakukannya dengan baik." Dia memarahiku.
Aku meringis malu.
"Ugh manisnya,' seru Urien.
Bagian mana yang manis jika dia justru memarahiku.
Menyebalkan.
"Ehmm Pa;’ aku kembali memecah keheningan.
"Ya dear?"
“Apa orang tuaku tidak datang semalam?”
Mendadak semuanya berhenti beraktivitas, ketegangan menguar dan
mendominasi dengan cepat. Ada apa?
Papa Edmund terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu. "Emmm, mereka
memang tidak datang. Tetapi mereka menelponku dan mengatakan
selamat atas pertunangannya;' dia tersenyum mencoba memberi
pengertian padaku.
Aku kembali menelan kekecewaan. Bahkan ini sudah lama sekali
sejak aku tinggal di rumah ini. Tetapi untuk mengabariku sejak hari
itu saja, mereka tidak pernah. Aku pernah kembali mencoba untuk
menghubungi mereka, tetapi nomor mereka tidak pernah aktif.
"Tetapi kenapa mereka tidak menghubungiku saja?" tanyaku sedih.
"Mereka sibuk Michel. Sepertinya pekerjaan mereka cukup banyak."
Kemarahan menguasai dengan begitu cepat. Aku membanting sendok
yang kugunakan pada kaca meja makan. "Sampai untuk mengabariku
saja tidak sempat? Bahkan tidak hadir di acara pentingku?" tanyaku
tidak percaya dan menaikkan satu oktaf nada suaraku. "Apa aku
setidak penting itu?" geramku.
Semua yang berada di meja makan menjadi bungkam. Sial!
Nafasku memburu dengan begitu cepat. Tanpa bisa kucegah
kemarahan yang melingkupi hati dan pikiranku terus meningkat.
Layaknya ada awan abu-abu yang menyelimuti mataku hingga rasanya
aku ingin melemparkan semua barang di hadapanku.
"Tenanglah sweetheart. Aku disini. Selalu bersamamu. Kuasai dirimu
sweethert
Suara itu terdengar. Meski aku tidak tahu siapa pemiliknya, namun
selalu berhasil menenangkan emosiku.
Aku mengambil napas dalam. Awan abu-abu di mataku mulai
menghilang dan aku kembali dapat melihat dengan jelas. Bahkan udara
yang begitu sesak kudapatkan tadi kini dapat kembali normal. Mereka
yang ada di ruangan ini menatapku dengan tegang dan khawatir.
Astaga! Apa yang telah kulakukan? Marah-marah di rumah orang
tua tunanganmu? Bahkan tingkahku sungguh memalukan. Mengatur
emosiku saja, aku tidak mampu.
Poor you, Michel!
"Maaf;' ucapku pelan. Lalu aku mengambil ranselku dan beranjak
pergi. "Aku akan berangkat dengan Mr. Robert." Aku segera pergi
meninggalkan ruang makan. Aku tidak ingin teledor dan menumpahkan
emosiku pada mereka lagi.
Author POV
Semuanya kembali bernapas lega. Ireneo yang pertama kali bersuara.
"Ugh. Tadi benar-benar menyeramkan."
"Yah. Tapi itu bahkan belum seperempat daari kekuatannya,' balas
Urien sedikit bergidik ngeri.
"Dia tidak menyadari telah mengeluarkan kekuatannya. Mengangkat
semua benda di meja ini dan mengambil oksigen di udara hingga kita
semua kesulitan bernapas;' balas Alaric.
"Tetapi bagaimana bisa ia tetap mengeluarkan aura mempesona
saat marah begitu?" perkataan Obelix dihadiahi tatapan tajam setiap
makhluk disana, tetapi tidak setajam makhluk di sampingnya. Obelix
hanya menampilkan senyum meminta maaf pada semua orang.
"Tidak salah. Perkataan Obelix benar. Dia sangat memukau bahkan
saat marah sekali pun;' Ireneo kembali menimpali.
"Kau harus bisa menjaganya dari laki-laki lain, adik kecil." Urien
mengatakannya sambil menatap Esteve. Namun lelaki itu justru
membuang pandangannya. "Mungkin kami tidak akan menikung
saudara kami sendiri. Tetapi dengan Eldric misalnya?" Urien kembali
menggoda Esteve.
Esteve membalas dengan tatapan tidak suka. "Diamlah."
Keempat saudaranya menertawakan laki-laki itu.
"I got you!" jawab Urien.
"Kejar dia Esteve. Dia sedang butuh dirimu sekarang" nasihat Edmund.
"Ya kejar dia. Dia membutuhkanmu;,' timpal Lucy.
Esteve segera beranjak. Dia sudah akan beranjak sedari tadi jika
celotehan saudara-saudaranya itu tidak mengusiknya.
"Ah kita harus membeli meja makan baru Edmund;' itu suara ibunya. Hal
terakhir yang ia dengar sebelum benar-benar meninggalkan ruangan
itu
Michaela POV
Syukur saja Mr. Robert sudah siap tepat di depan pintu rumah Mr.
Walcott dengan mobil di sampingnya sehingga aku tidak perlu
bersusah payah mencarinya lagi.
"Tolong antarkan aku ke sekolah Mr. Robert,' pintaku lalu segera berlari
ke kursi penumpang.
"Tapi Nona,' dia hendak protes.
"Kumohon Mr. Robert," aku memaksanya.
Aku segera duduk di kursi penumpang. Namun setelah menunggu
cukup lama Mr. Robert tidak lekas menempati kursi kemudi. Aku sudah
akan keluar dari mobil. Tetapi pintu di sebelahku sudah lebih dahulu
terbuka dan sosok itu yang menjadi tersangkanya.
Tangan dinginnya menarik tanganku. Aku memberontak. Tetapi dia
tetap menarikku, kali ini tidak dengan kasar. Namun tetap mampu
membuatku beranjak dari mobil itu.
"Esteve,' panggilku padanya yang menampilkan raut wajah datar.
"Esteve, aku ingin berangkat ke sekolah,' tetapi dia justru semakin
menarikku pada salah satu mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Itu
mobilnya.
Aku bergidik ngeri. Aku ingat kenangan terakhir saat aku berangkat
bersama dengannya. Dia meninggalkanku di pinggiran hutan yang
menyeramkan.
Aku takut.
Esteve dan segala kemisteriusannya belum benar-benar kuketahui.
Dia masih Esteve yang sulit terbaca untukku.
Aku didorong masuk ke dalam mobil, lalu dia mengambil posisi di kursi
kemudi. Setelahnya ia mencampakkan tasnya ke kursi belakang.
"Aku ingin berangkat dengan Mr. Robert saja;' tukasku dengan
cemberut padanya.
"Kenapa tidak denganku?"
"Aku tidak ingin kau tinggalkan di hutan lagi,' ujarku kesal padanya. Dia
menoleh padaku dengan sangat tidak percaya.
"biarkan aku berangkat dengan mr. robert" kekeh ku
"aku sudah menunggumu sedari tadi, kau tidak kasihan?" tanya nya serius dan aku merona karnanya.
"aku tetap ingin berangkat dengan mr. robert" kataku dengan keras kepala
"mr. robert akan mengantar daddy"
"papa tidak akan marah jika aku meminjam supirnya sebentar" jelasku cemberut
"mungkin, kalau sebelumnya kau tidak merusak meja makan dan suasana sarapan"

Bình Luận Sách (66)

  • avatar
    Sinta Queena Reborn

    aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..

    04/07/2022

      2
  • avatar
    Rada Dan Yasir

    kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .

    21/06/2022

      0
  • avatar
    Rey Mar

    so nice

    4d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất