logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 five

ng^_^°^_^
"Oh kau agresif sekali" ledeknya lagi.
"Berhenti menggodaku! Dan aku tidak mengajakmu berkencan. Tapi
terserahlah kau ingin menganggapnya apa" kataku sambil berusaha
menampilkan ekspresi kesal yang sepertinya gagal. "Aku hanya ingin
hubungan ini terlihat normal dan kupikir quality time bagus untuk
mendukung hubungan ini."
"Wajahmu memerah" jujurnya. "Padahal hanya kencan formalitas kan?"
Entah kenapa hatiku tidak senang mendengar kencan ini hanya
formalitas baginya.
"Wajahku memerah karena sedang sakit. Dan ya, mungkin ini hanya
kencan formalitas" aku tidak bisa menahan untuk tidak berujar sedih di
akhir kalimat. "Sebaiknya kau jawab saja ajakanku tadi."
"Okee"
Sebelum menutu pintu ruangannya dia kembali berujar padaku, "jangan
lupa meminum obatmu."
Dia peduli padaku?
"Suara bersinmu benar-benar mengganggu dan jangan sampai
virusmu menebar ke seisi rumah.
Shit! fucking shit!.
Hanya dia memang yang paling bisa melambungkanku lalu kembali
menjatuhkannya.

-*-*-*-
"Michel" suara seseorang memanggilku terdengar samar-samar.
"Michel" kali ini disertai tepukan ringan di bahuku.
Kumohon, jangan ganggu aku. Aku baru saja terlelap.
"Michel" nada suaranya terdengar jengkel.
Aku menggeliat pelan dengan malas. Lalu menyesuaikan cahaya
yang masuk ketika aku mencoba membuka mata. Samar-samar aku
melihat sosok yang membangunkanku.
Obelix
"Mengapa kau membangunkanku, Lix?" gerutuku kesal. Aku berusaha
untuk duduk tetapi kepalaku semakin berdenyut perih .
"Sepertinya flu-mu semakin parah Michel" dia menyentuh dahiku dan
membuatku mendesis merasakan kulitnya yang dingin.
You know, he is a half-vampire.
"Kau sudah meminum obat?" Obelix bertanya dan aku menggeleng.
"Sebaiknya kau tidur saja di kamarku. Aku akan mengambil obat
untukmu. Apakah kau sudah makan siang?" Aku kembali menggeleng
sembari memijat pelan kepalaku.
"Lewati saja semua jadwal makanmu.'
Obelix menggerutu kesal dan aku tidak menggubrisnya. Bahkan aku
hanya menutup mata ketika ia memapahku menuju entah kemana.
Rasanya jika aku membuka mata, pandanganku menjadi berputar.
"Aku akan membawanya ke kamarku" samar-samar aku mendengar
Obelix berujar entah untuk siapa. Aku terlalu malas untuk membuka
mata.
Kemudian Obelix merebahkanku pada kasurnya, sepertinya ini ruangan
miliknya di privat room. "Jangan tertidur hingga aku kembali" titahnya.
Obelix terlalu sibuk dengan telepon genggam di telinganya dan
beberapa makanan yang sedang ia pindahkan pada sebuah wadah.
Hingga ia tidak menyadari seseorang yang sudah memperhatikannya
sedari tadi.
"Oh oke baiklah" Obelix terlihat mengakhiri panggilan itu.
Langkah kaki seseorang menarik perhatian Obelix dan membuat dia
berhenti melakukan kegiatannya.
"Oh hai Esteve. Tumben sekali datang ke dapur?” tanyanya heran.
"Emm. Ya" balas Esteve dingin. "Untukmu?" Esteve melirik makanan
yang sedang dipindahkan Obelix.
"Oh bukan. Ini untuk Michel. Sepertinya flunya memburuk. Aku ingin
memberinya obat tetapi dia belum makan siang" jelas Obelix.
Esteve diam, sebisa mungkin hanya menampilkan wajah datar seolah
ia tidak terpengaruh akan hal apapun yang menyangkut Michaela.
"Aku duluan. Michaela harus segera makan" pamit Obelix.
Kenapa ketika mendengar kata—kata Obelix, ada bagian dari hati
Esteve yang mendengus tidak suka.
Siall.
Esteve memukul dinding dapur, beruntung hanya ada retakan kecil
disana. Dia menggeram marah. Emosinya terasa memuncak di
ubun-ubun kepalanya dan sesuatu sepertinya mengusik dirinya. Dia
tidak suka akan hal itu. Dia tidak suka ketika ada rasa yang aneh
muncul seperti ini.
Dia sudah kesal sejak melihat Obelix memapah Michel ke kamarnya.
Padahal saat itu, Esteve sudah ingin menghampiri Michel, karena suara
bersin Michel yang sepertinya semakin parah.
Tetapi dia terlambat. Obelix satu langkah lebih maju di depannya.
Bahkan dia hanya bisa berpura—pura tidak peduli ketika Obelix
mengatakan ingin membawa Michel ke kamarnya. Esteve hanya
menampilkan wajah datar, sedatar-datarnya. Tetapi tidak dengan
perasaannya.
Dia tidak boleh egois? Tidak. Michel membutuhkan seseorang yang
bisa merawatnya saat ini. Dan itu bukan Esteve, karena dia terlalu
Mementingkan egonya.
Michaela POV
Lima belas menit kemudian, Obelix kembali datang. Aku
mengetahuinya dari derit pintu yang terdengar membuka.
"Kau tidak tidur, bukan?" tanya Obelix. Mungkin karena aku menutup
mataku sehingga ia berpikir aku tertidur. Aku lekas membuka mata dan
mengangguk.
"Nah, makanlah makan siangmu. Dan setelahnya minum obatmu" Aku
sudah ingin protes ketika ia menggoyang-goyangkan telunjuknya di
depan wajahku. "No. No. No. Tidak ada bantahan!" Aku merengut. "Kau
bisa makan sendiri, bukan? Tidak perlu aku menyuapimu-kan?" Aku
berdecak kesal dan menghabiskan makanan yang diberikannya.
Obelix berjalan menuju meja kerja miliknya dan mengambil laptop
disana. Dia duduk di sofa tepat di depan tempat tidur ini.
"Kau tidak boleh sakit, mengerti?" Obelix membuka obrolan.
"Aku juga manusia dan pasti akan merasakan sakit, baik saat ini
maupun nanti. Apakah bangsa immortal sepertimu tidak pernah sakit?"
gerutuku.
"Bukan begitu maksudku" dia mengalihkan pandangannya padaku.
"Mom dan Dad tidak akan ada di rumah untuk beberapa hari ke depan.
Bahkan mungkin kami semuanya. Jadi aku takut tidak ada yang
merawatmu jika kau sakit."
"Maksudmu mansion akan kosong?" tanyaku terkejut.
"Mungkin saja" katanya ragu. "Jadi begini Dad dan Mom akan
melakukan perjalanan bisnis ke Amerika, hanya beberapa hari saja.
Besar kemungkinan kami akan ikut, semuanya atau beberapa saja."
Aku sangat mengerti kata 'kami' disini berarti dia dan keempat
saudaranya.
"Oh" aku mengangguk. Aku sangat berharap lelaki itu tidak ikut. "Kapan
kalian akan pergi?" tanyaku.
"Malam ini."
Jika tidak? Maka batal-lah semua kencan formalitas yang
kurencanakan.
Bukan! Bukan karena kau takut merindukannya. Bagaimana bisa
aku merindukannya bahkan ketika ia masih disini, di kota ini, belum
beranjak sama sekali?
Lagipula, aku tidak akan merindukannya!
Tidak akan.
Tapi aku berharap kau tidak pergi..
*-*-*-
Aku mematutkan diriku pada sebuah cermin di walk in closet kamarku
dan memandangi penampilanku disana. Penampilanku cukup kasual
hanya dengan jeans hitam potongan sebatas paha dengan atasan
putih yang ditutupi cardigan hitam panjang dan sneakers kesukaanku.
Berharap riasanku malam ini tidak terlalu berlebihan. Ini kencan
pertama untukku dan dia dan aku ingin ini memiliki kesan yang baik.
Aku bercermin sekaligus meyakinkan diriku dari setiap keragu-raguan
di pikiranku.

Mansion sudah kosong ketika aku pulang. Kata para maid di sini,
Nyonya dan Tuan mereka sudah pergi ketika hari masih siang. Obelix
bahkan meninggalkanku sendirian di privat room dan syukurnya ia
mengirimkan supir keluarga untuk menjemputku. Saat aku bertanya
kepada para maid, siapa saja yang ikut dalam perjalanan bisnis itu,
mereka berkata tidak tahu. Mereka hanya melihat Papa Edmund
dan Mama Lucy yang berangkat menuju bandara. Setidaknya itu
memberikanku sedikit harapan. Walaupun aku juga merasa bimbang,
karena ia sama sekali tidak mengabariku.
Oh tidak. Aku tidak akan menelponnya. Aku yang mengajaknya untuk
jalan bersama saja sudah menjatuhkan harga diriku. Apalagi dengan
menelponnya saat ini. Dia akan berpikir aku terlalu berharap pada
kencan ini. Oke, sebenarnya iya, aku mengharapkannya. Tetapi aku
tidak akan menunjukkannya, hanya itu satu-satunya harga diriku yang
tersisa.
Lagipula aku yakin dia tidak akan mengecewakanku. Setidaknya dia
sudah berjanji untuk membuka hati.
"Mrs. Collins ingin diantar kemana?" Mr. Robert bertanya padaku. Dia
adalah supir kepercayaan keluarga ini.
"Taman kota, please.
Taman ini didominasi oleh lampu kerlap-kerlip. Pohon-pohon di setiap
sisi jalan diselimuti oleh lampu bercahaya kuning keemasan. Pada
bangku taman yang tersedia, di sampingnya juga disediakan lampu
taman yang bercahaya menyala. Malam membuat tempat ini lebih
bersinar.
Tempat ini terlihat ramai bahkan ketika malam semakin larut.
Umumnya tempat idominasi anak muda yang berkumpul bersama
untuk sekedar memetik gitar dan bersenda gurau bersama temannya
atau pasangan yang sedang kasmaran. Ada pula anak-anak kecil
yang berlarian dengan lolipop atau gulali di tangan mereka. Oh begitu
juga dengan orangtua yang sibuk mengejar anak mereka yang tengah
berlarian ataupun hanya duduk di salah satu bangku yang kosong.

Yah sebenarnya itu suasana sekitar 3 jam yang lalu. Sekarang?
Memang tidak dapat dikatakan bahwa taman telah kosong walaupun
sudah tidak terlalu ramai dan hanya tinggal beberapa remaja
seumuranku yang masih setia dengan tawanya masing-masing.
Mungkin langit yang mendung menjadi penyebab kepulangan para
pengunjung lainnya. Tetapi tidak denganku.
3 jam yang kulalui disini, aku hanya menyusuri jalan setapak yang
berpola abstrak ini, entah untuk yang keberapa kalinya. Kemudian
mempererat cardigan yang kukenakan kala angin malam menerpa
kulitku. Lalu aku akan sampai pada sebuah gerbang yang mengarah
pada air mancur yang indah dengan patung-patung cupid yang
menghiasinya. Ini adalah centre dari taman. Setelahnya aku berjalan
kembali mengikuti alur jalan di taman ini dan akan kembali lagi pada air
mancur yang menjadi spot taman ini. Ketika aku lelah, aku akan duduk
pada salah satu bangku taman lalu kembali lagi berjalan.
Aku tahu, beberapa orang menatapku aneh karena melihatku
berkali-kali mengitari taman. Tetapi aku tidak peduli. Aku hanya
berharap menemukan sosok yang kucari dari antara para pengunjung
taman. Aku tetap berusaha menyangkal bahwa kenyataan tidak
seindah ekspetasiku.
Kencan ini hanya formalitas, aku tahu itu. Kami berdua hanya terikat
perjodohan, aku pun tahu itu. Dia tidak membiarkanku masuk ke
hidupnya, aku pun tahu itu. Well, i know about that. But why?! Kenapa
hatiku tetap sakit ketika malam ini tidak berjalan sesuai harapanku?
Hatiku tetap sakit ketika ia mengingkari janjinya atau bahkan ketika
ia sama sekali tidak memberiku kabar. Dan bodohnya aku tetap
berharap pada keajaiban bahwa ia akan hadir disini. Bahkan ketika aku
tahu pada satu jam pertama aku disini, bahwa dia tidak akan datang.
Rasanya sakit sekali. Sial!

Setidaknya aku ingin dia menghargaiku. Ralat! Aku ingin dia merasakan
ketertarikan yang sama padaku, seperti aku tertarik padanya.
-*-*-*-*
Duar...
Petir menyambar dan aku berdiri dengan gemetar bertepatan dengan
smartphone yang berdering di sakuku.
"halo"
"Halo Michel. Kau baik-baik saja? Dimana kau sekarang? Kata maid
kau tidak berada di rumah dan Mr. Robert tidak dapat menemukanmu"
nada khawatir terselip dari suara Alaric.
"Ah kau begitu cerewet" aku berusaha bercanda meskipun suaraku
begitu bergetar. "Aku baik-baik saja Kak. Mungkin aku akan menginap
di rumah temanku hari ini, boleh ya?"
"Rumah siapa? Siapa nama keluarganya?" selidik Alaric.
"Rumah sahabat dekatku. Namanya Helena Whistle ugh" aku mendesis
kedinginan.
Alaric belum menjawab.
"Kak?"
"Oh oke. Baiklah. Take care. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu"
pesannya. Dia begitu manis. Kanapa aku tidak dijodohkan dengannya
saja? Mengapa aku justru dijodohkan dengan makhluk yang mustahil
Kuraih?
Um, aku penasaran tentang suatu hal.
"Kak, apa kalian semua ikut pergi dengan Mama dan Papa?"
"lya, maafkan kami Michel. Bisnis kali ini memaksa kami semua untuk
ikut" jelasnya.
Oh. Lalu mengapa makhluk menjengkelkan itu tidak mengabariku?
"Apakah kalian berangkat bersama?" tanyaku ingin tahu lagi.
"Oh tidak. Obelix berangkat lebih dahulu. Lalu kami berangkat bersama
Mom dan Dad. Dan sisanya Esteve yang mengambil penerbangan
tengah malam ini dengan pesawat komersial. Aku tidak tahu apa yang
menahannya. Yang jelas aku benar-benar berharap dia dapat menahan
nafsunya yang meningkat ketika malam" Alaric tertawa. Tetapi tawa itu
tidak sampai padaku. Aku diam.

Aku mencerna segalanya. Dia belum meninggalkan kota ini sekarang.
Ini masih hampir tengah malam. Lalu kenapa sulit baginya untuk
sekedar datang atau mengabariku?
"Oh;" aku mencoba menahan suaraku yang bergetar antara ingin
menangis dan menahan hawa dingin yang kurasa.
"Kau tidak apa Michel? Suaramu tidak terdengar baik" aku
membuatnya khawatir.
"Aku baik-baik saja. Selamat malam. Bye" ujarku mengakhiri panggilan
tanpa menunggu balasannya.
Sial! Aku kembali kecewa.
Tokk
tok
tok
Aku mengetuk pintu rumah yang sedari tadi ada di hadapanku.
"lya sebentar" terdengar sahutan dari dalam rumah ini. "Michaela?"
perempuan itu terkejut melihatku.
"Hai Lena" sapaku menggigil.

"Bagaimana bisa kau berada di sini?" pekiknya. "Lalu mengapa kau
menembus hujan malam-malam begini. Masuklah" dia langsung
menarikku ke dalam.
"Siapa yang datang Lena?" Itu suara ibu-nya Helena. "Hai Ela. Mengapa
pakaianmu basah seperti itu? Kau menembus hujan?" Aku hanya
tersenyum mendengar nada tidak percaya itu.
"Halo Nyonya Whistle!"
"Lena, segera berikan baju ganti dan handuk untuk Ela. Mama akan
membuat coklat panas.
Ugh, aku benci menjadi beban yang merepotkan.
*-*-*-*
Aku tidak tahu ini apa. Atau bahkan juga tidak tahu aku sedang ada
dimana. Awalnya semua gelap. Kabur. Namun perlahan—-lahan siluet
orange itu mulai menusuk penglihatanku. Semakin jelas hingga aku
dapat melihat cahaya api dari obor tersebut. Masih dengan sedikit
samar aku melihat pemandangan ini.
Pertempuran.
vampire.
Beberapa ekor serigala.
Namun bukan. Bukan vampir dan serigala itu yang saling menyerang,
seperti dalam drama twilight. Namun kedua makhluk itu seperti
bekerja sama menyerang manusia-manusia yang memegang tongkat
sakti di tangannya.
"Mobiliarbus;” seorang manusia di sampingku mengarahkan tongkatnya
pada sebuah pohon lalu mengarahkannya lagi pada seekor serigala
yang sudah siap menerkamnya dengan cakar. Pohon itu menubruk
tepat pada tubuh serigala.
Hell! Mereka penyihir. Kilatan—kilatan cahaya yang keluar dari tongkat
di tangan mereka menandakannya ada mantra yang keluar.
Tetapi tidak ada yang melihatku. Bahkan ketika suatu kilatan mantra
yang tepat dilempar ke arahku dan kupikir akan mengenaiku. Justru
‘menembus tubuhku seperti hantu dan mengenai vampir di belakangku.
Ada apa sebenarnya? Bagaimana bisa aku berada di tempat
semengerikan ini.
Kerja sama yang dilakukan vampir dan serigala membuat
kekuatan mereka lebih besar. Para penyihir kalah dalam jumlah.
Bahkan beberapa mantra justru tidak berdampak apa-apa pada
makhluk-makhluk itu, seperti mereka sudah kebal akan mantra
tersebut. Hanya mantra-mantra khusus yang sepertinya ada pada
level tinggi yang dapat memberi efek pada mereka. Dan yang aku
lihat hanya sedikit penyihir yang mengusai mantra-mantra tersebut.
Lalu apa yang membuat makhluk berbeda kian itu rela bekerja sama
menyerang orang-orang bertongkat ini?
Harusnya para penyihir itu lari. lya, melarikan diri! Perhitungan dari
segi mana pun tidak ada kemungkinan mereka akan menang. Tidak
apa-apa dikatakan pengecut. Setelah itu mereka bisa mengumpulkan
kekuatan untuk membalas makhluk-makhluk ini. Setidaknya mereka
tidak mati bodoh begini.
Taring vampir itu mengoyak leher seorang penyihir. Darahnya terciprat
ke wajah vampir tersebut. Mengerikan! Namun vampir tersebut justru
menyeringai penuh kemenangan.
Oh kumohon berhenti!
"Berhenti!!" aku berteriak lantang berusaha menarik vampir itu. Tetapi
semua yang kusentuh hanya dapat kutembus tanpa benar-benar bisa
menjamah.
Aku benci darah.
Seekor serigala mengoyak tubuh penyihir yang berada di bawah
kukungannya dengan cakar tajamnya. Lalu tubuh itu terbelah-belah.
Mataku seperti adegan mutilasi secara langsung. Aku mual!
"Jangan lakukan itu, bodoh!" umpatku sambil menangis tetapi dia sama
sekali tidak mendengar.
"Berhenti. Kumohon,' aku terduduk di tanah sambil menangis. Bahkan
tanah di tempat ini tertutupi oleh darah dan bau amis menjadi aroma
disini
Sungguh, aku ingin pergi dari sini!
Ini mimpi buruk.

"Bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Seseorang tolong aku!"
Tidak ada suara tangis. Seolah-olah mereka semua sudah siap untuk
mati. Sebenarnya apa yang sedang mereka perjuangkan hingga rela
untuk mati.
Sebuah semak bergerak—gerak aneh. Jelas bukan karena ditiup angin.
Angin malam pun sepertinya enggan melewati tempat penuh darah
seperti ini. Aku berusaha mendekatinya. Aku tidak takut, karena aku
yakin makhluk apapun yang ada di baliknya tidak akan dapat melihatku.
"Diamlah G, Jika kau terus bergerak seperti inj, kita akan mati. Maka
sia-sialah pengorbanan orangtua kita dan para tetua,’ seru seorang
anak remaja yang memeluk anak laki-laki sambil menutup mulut anak
itu.
Anak laki-laki itu menangis menatap seorang wanita yang lehernya
siap dipatahkan oleh seorang vampir.
Anak itu tengah meronta berusaha melepaskan tangan remaja itu dari
mulutnya. Sampai akhirnya ketika leher wanita itu dipatahkan dan seorang serigala dengan sigap langsung mencabik—-cabiknya.
"Jangan!" Tidak terasa bibirku ikut bergerak dan berteriak lantang.
Tetapi tetap saja tidak ada yang mendengar. Air mataku menetes.
"IBUUU!" anak itu menjerit kala tangan anak remaja itu berhasil
dilepasnya meski tidak lama.
"Berhenti! Jangan lukai ibunya. Kumohon" aku kembali berteriak meski
tahu itu tidak akan menghasilkan apa-apa.
Aku hampir lelah dan kehabisan suara karena harus berteriak kata
"Jangan'dan ‘berhenti'.
Fuck! Wanita itu bahkan sudah mati, kenapa serigala bodoh itu harus
kembali mencabiknya.
Air mata menderai di pipi anak itu. Aku bahkan tidak bisa
membayangkan jika wanita itu adalah Mommy. Apa aku sanggup
melihatnya? Apa aku masih bisa sadar untuk sekedar memukuli
‘makhluk yang membinasakan ibuku?! Malangnya dia. Kenapa
makhluk-makhluk itu tega sekali.
"Kau harus kuat, G. Kita akan memberi balasan kepada mereka,' ujar
remaja itu.
Seseorang remaja laki~laki lainnya datang lagi, menepuk bahu
temannya dan berkata, "mari kita pergi. Disini sudah tidak aman. Kita
harus tetap selamat dan menjaga dia yang ditakdirkan"
Temannya itu mengangguk sambil menggendong anak kecil tadi yang
masih tidak rela untuk pergi.
AKU MOHON HENTIKAN MIMPI BURUK INI!
Tetapi semuanya sama sekali belum terakhir. Terlihat jelas di mataku
pemandangan darah yang memuncrat dari tubuh penyihir. Aku tahu
akhirnya bangsa penyihir-lah yang kalah. Tetapi mereka tetap
bertahan menyerang. Walau kuantitas pejuang untuk bangsa penyihir
sudah melemah.

Dan aku?! Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sekarang berada di tempat yang salah. Raunganku untuk memohon perhentian
perang ini juga tidak menghasilkan apapun.
Aku bersimpuh dengan beberapa mayat di sekelilingku, "berhenti!
Berhenti!" Hanya itu yang dapat kugumamkan. Lututku ditekuk dan aku
menyembunyikan wajahku disana sambil berusaha menutup mata.
Aku merasakan air mengenai wajahku beserta guncangan keras di
bahuku.
"Bangun Ela! Bangun!" teriakan itu menyentakku pada kenyataan. Aku
terlonjak kaget dan memeluk Lena yang berada tepat di hadapanku.
Pelukan itu kueratkan dan mulai menyadari bahwa sebenarnya aku
masih berada di kamar Lena, di rumah keluarga Whistle.
"Kau kenapa Ela?" suara Lena dan usapan lembutnya di punggungku
semakin memberiku ketenangan. "Aku terbangun ketika mendengar
suaramu yang ketakutan dalam tidurmu. Bahkan kau juga menangis.
Aku sudah membangunkanmu sedari tadi. Jika saja kau tidak segera
bangun, aku mungkin akan membangunkan Mommy dan Daddy.
Nightmare?" ocehnya padaku.
"Bukan sesuatu yang patut diceritakan" tandasku berusaha tidak
mengingat mimpi itu lagi.
"Baiklah Ela" dia melepaskan pelukan itu dan memberiku segelas air
putih. "Jika kau tidak ingin menceritakannya, aku mengerti. Segeralah
kembali tidur karena kita harus kembali bersekolah besok. Dan
percayalah apapun yang tadi kau mimpikan, itu hanya bunga tidur."
Lalu Lena kembali tertidur.
Tapi tidak!
mimpi itu seperti nyata
Satu yang pasti tentang pagi buta ini, aku tidak bisa kembali tertidur
dan hanya menunggu mentari terbit untuk persiapan berangkat ke
sekolah
*-*-*-*
Aku memainkan kakiku ketika duduk di bangku taman. Hariku terasa
lebih membosankan daripada biasanya. Dan kondisi kesehatanku
yang semakin memburuk setelah terkena hujan kemarin malam, tidak
membantuku sama sekali. Oh, jangan lupa mimpi burukku yang sampai
saat ini belum bisa kulupakan.
Otakku dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya. Mimpi itu. Vampir.
Penyihir. Serigala. Darah. Apa memang semua bangsa itu saling
menyerang? Lalu mengapa kesepuluh pria tampan itu dapat berteman
meski berbeda klan?
Tiba~~-tiba ingatanku memunculkan sosoknya. Esteve Graffielo Walcott.
Lelaki yang benar-benar mengecewakanku dalam setiap tindakannya.
Bahkan untuk sekedar mengabariku saja atau mungkin sekaligus
permintaan maaf, tidak juga dia lakukan. Sial! Bodohnya aku, masih
saja berharap pada keajaiban.
"Tidak menyangka akan bertemu dengan gadis cantik di siang terik ini"
aku refleks menoleh ketika mendengar suara itu.
Eldric berdiri disana dengan setelan baju basket kebanggaannya.
"Hatci!!" Well, aku benar-benar berhasil menjatuhkan image-ku di
hadapan Eldric. "Hai Kak" sapaku.
Dia terkekeh dengan cara yang tampan dan berkata, "boleh
bergabung?"
"Tentu. Siapa yang akan melarang pria tampan sepertimu" ujarku
menggoda. "Berdoa saja semoga kau tidak tertular virusku, Kak"
"Tidak akan. Aku werewolf dan kekebalan tubuhku kuat" ujarnya
sombong.
Ugh, aku teringat sesuatu tentang werewolf.
"Kak aku ingin bertanya tentang werewolf, boleh?"
"Kenapa? Kau mulai penasaran dengan bangsaku?"
"Emm. Apa sebelumnya Kakak pernah berganti wujud?" tanyaku.
"Maksudmu menjadi serigala?" tanyanya dan kubalas dengan
anggukkan.
"Tentu saja. Pertama kali aku melakukannya ketika umurku 17 tahun atau maksudku 170 tahun."
"Maksudnya?"
"Begini Michel, di dunia immortal umurku sekarang adalah 190 tahun
dan di dunia manusia umurku 19 tahun" jelasnya.
"Oh kau sungguh sangat tua Kak" ujarku terperangah.
"Tidak. Kita sama" ujarnya kesal.
"Tidak. Kita beda. Kau werewolf dan aku manusia” seruku. Eldric
memberikan tatapan yang aneh.
Lalu ketika aku bingung dengan raut wajahnya. la seperti terburu-buru
mengganti air muka—nya dengan raut kesal. "Aku juga manusia. Namun
setengah serigala. Dan kau tidak perlu mengatakannya dengan volume
suara yang kuat"
"Oh. Oke;" aku terkekeh.
"Kau sehabis bermain basket, Kak?" tanyaku.
"Hmm iya. Panas sekali bermain di bawah terik matahari. Aku ingin
bermain di dalam ruangan saja" ujarnya.
"Kau ingin bermain di aula?" tanyaku.
"Tidak. Aku punya tempat dimana aku biasa bermain basket. Kau mau
ikut Michel?" tanyanya.
"Ugh, tidak apa-apa jika aku bolos?"
"Tidak apa—apa. Aku yang akan membereskannya. Let's go!" Kami
berdua segera beranjak meninggalkan taman.
*-*-*-*
"Lelah?" tanya lelaki tampan di depanku. Aku menjawabnya dengan
gelengan sambil tersenyum.
"Ini menyenangkan" ujarku semangat. Setelahnya aku mengambil air
mineral yang sudah kusediakan.
"Ah. Ini tidak ada apa—-apanya. Aku memainkan basket hampir setiap
hari. Aku akan menunjukkan padamu kesenangan lainnya" ucapnya
padaku dengan yakin.
"Kau yakin Kak?"
"Tentu. Besok aku akan mengajakmu pergi. Kau tidak ada janji
kan?"

Aku menggeleng, "tidak. Aku free untukmu Kak" kataku semangat.
Dia mengacak pelan puncak kepalaku sambil tersenyum. Kemudian
mencubit kedua pipiku dengan gemas.
"Dasar Chubby!" ejeknya.
"kak el!!!" seruku kesal.
"Mau main lagi?" ajaknya. Dan aku mengangguk semangat.
Aku diberi kesempatan pertama untuk mendribel bola. Untung saja
aku sudah mengganti rokku dengan celan training yang selalu kubawa.
Sulit sebenarnya untuk melawan dia, yang jelas sekali bukan manusia
dan memiliki kekuatan yang beda dariku. Untungnya dia tidak bermain
dengan seluruh tenaganya ataupun bermain kasar.
Ketika aku berusaha menshoot bola, dia bukannya menghalangiku dari
depan. Namun dia justru memegang bahuku dan membuatku kesulitan
bergerak.
"Kak" rengekku padanya karena dia berhasil mengambil bola itu dan
menshootnya ke ring. "Kau curang!" sungutku.
"Kenapa? Aku tidak bermain kasar padamu" jelasnya sambil tersenyum
jahil.
Ketika aku berusaha kembali memegang bola dan menshoot lagi. Dia
justru mengangkat tubuhku seperti kapas lalu mengambil alih bola
orange itu.
"Pernah mencoba slam dunk?" tanyanya padaku dengan tetap pada
posisi menggendongku hingga membuat rasa aneh pada tubuhku.
Aku menggeleng. "Tidak. Menshoot dengan jarak sedekat mungkin
saja, aku sudah bersyukur jika masuk di ring. Lagipula tubuhku yang
pendek tidak bisa meloncat menggapai ring"jelasku sambil merengut
kesal.
"Mau mencoba?" tantangnya dan aku mengangguk antusias.
Dia mengangkatku yang sekarang memegang bola basket hingga
tanganku bisa mencapai ring. Aku sungguh senang. Ketika aku sudah
memasukkan bola dan bergelantungan di ring, peganganku melemah
hingga terlepas. Namun Eldric kembali menangkapku dan aku tertawa
seru.
"Seruu!!!" teriakku.
"Kau berisik sekali" dan aku tertawa lagi.
*-*-*-*-
"Istirahat yang cukup jika aku ingin pergi bersamaku esok. Dan
pastikan kesehatanmu membaik" pesan Eldric ketika mengantarku ke
rumah keluarga Whistle. Aku hanya mengangguk-angguk tidak jelas.
Mataku sudah terasa sangat berat.
Pipiku terasa dikumpulkan di tangannya dan didekatkan menuju
wajahnya. Mataku dengan refleks membelo terkejut.
"Jangan langsung tidur. Mandi dan jangan lewati makan malam serta
ingat untuk meminum obatmu."
Aku hanya bisa mengangguk bodoh.
Dia pergi dan aku masih menatap kosong kepergiannya. Aku terkejut
benar. Namun sebuah pemikiran terlintas di benakku.
Andai Esteve seperti Eldric?

Dan bahkan disaat seperti ini, hanya lelaki itu yang kupikirkan.

Ketika aku berbalik dan ingin membuka pagar rumah. Bayangan samar
Lena tergambar dari jendela tingkat dua. Ah! Dia pasti melihatnya dan
aku harus kembali merangkai kata untuk menjawab wawancara-nya
atau aku hanya harus menutup telingaku dengan earphone.
*-*-*-*-
Aku masih suka berandai-andai. Apalagi berandai-andai jika malam
kemarin dia tidak mengecewakanku. Apa sesulit itu untuk mengabariku
atau untuk sekedar datang meski hanya sebentar. Untuk apa memberi
harapan jika yang diharapkan hanya kepalsuan. Aku ingin sebentar
saja. Benar—benar sebentar. Untuk dia datang dan hadir pada malam
kemarin. Setidaknya aku tidak akan menjadi pesimis dengan hubungan
ini.
Handphone yang bergetar membuyarkan semua angan—-anganku.
Tidak ada id-calleryang tertera di layar.
"Halo?"
Hening.
Hanya deru napas yang terdengar. Artinya penelpon itu mendengarku
namun tidak memberi jawaban.
"Halo?" sapaku sekali lagi.
Hening lagi.
"Baiklah. Selamat malam." Aku mematikan sambungan.
*-*-*-*-
"Hai Michel" sapa Rafael ketika aku masuk di privat room.
Aku terperanjat kaget dan dia terkekeh geli. "Kau mengejutkanku saja
Kak!" seruku kesal.
"Ah kau yang berlebihan sekali. By the way, mengapa kau berada disini?
Bukankah Walcott bersaudara sedang tidak ada?" tanyanya.
Aku merengut. "Jadi jika mereka tidak ada, aku tidak boleh datang
kesini?"
"Tentu tidak My Queen. Tidak ada yang berani melarangmu" suara yang
lain ikut bergabung. Dia Rai.
Ada kesenangan aneh di hatiku mendengar panggilan My Queen.
"Ah Kak Rai memang baik sekali. By the way, apakah kalian mengetahui
keberadaan Kak Eldric?" tanyaku.
"Dia sedang ada urusan dengan club basketnya. Tetapi dia menitipkan
pesan untuk menyuruhmu menunggunya disini" jelas Rai.
"Lalu kenapa Kak Rafa tidak pergi?" tanyaku.
Rafa terlihat merengut kesal. "Kau benar-benar tidak ingin aku ada
disini ya?"
Aku merangkul lengannya dengan cepat. "Dasar suka merajuk."
"Tidak. Lelaki tampan sepertiku tidak mungkin suka merajuk;’ ujarnya
dengan tingkat percaya diri yang tinggi.
"Pergilah Raf" usir Kelvin jengah dengan ekspresi benar-benar jijik.
"Baiklah. Aku akan pergi. Jangan panggil aku jika kalian
memerlukanku" Lalu dia berlalu dengan gaya menyebalkan.
Dasar drama king.
"Kak Vin"panggilku.
Dia berdeham menjawab.
"Aku lapar" rengekku.
"Oh" dia tetap fokus pada laptopnya.
Aku mengatakan hal yang sama pada Rai. Tetapi responnya tidak
berjauh berbeda dengan Kelvin.
Menyebalkan!
Aku memutar salah satu lagu kesukaanku di handphone dengan
volume penuh. Lihat saja pembalasanku jika kalian mengacuhkanku
begini. Kemudian aku bernyanyi dengan tidak karuan dan suara
sumbang.
Melihat mereka belum terlalu terusik. Aku lanjut bergoyang-goyang
mengikuti irama lagu dengan brutal. Sesekali aku mengganggu ketikan
Kelvin pada laptopnya dan pura-pura tidak bersalah sama sekali. Hal
yang sama juga kulakukan dengan Rai.
Lalu tiba-tiba tubuhku terasa diangkat.
"Baiklah kita akan makan" ujar Kelvin. "Jadi berhentilah menjadi
penyanyi dan membuatku pusing" pesan Kelvin dan aku mengangguk
patuh. Dia menarikku ke ruang makan.
Sedangkan Rai sibuk memesan makanan delivery.
Oh boys, aku sayang kalian.
*-*-*-*-
"Kak, sebenarnya kita akan pergi kemana?" tanyaku bergidik ngeri.
Bagaimana tidak?! Aku pikir Eldric akan mengajakku ke taman atau
ke tempat lainnya yang mainstream dikunjungi untuk berjalan-jalan.
Namun dia justru membawaku mulai memasuki hutan.
Oh God!
Apalagi sinar matahari mulai ditelan kegelapan malam.
"Kak, kau buka ingin melemparku menjadi santapan hewan buas kan?"
Aku bergidik ngeri. Tetapi jawaban darinya hanya sebuah senyum tipis
yang terpantul dari kaca spion motor.
Mati aku!
Motor itu berhenti tepat di ujung jalan ketika sudah tidak ada lagi aspal
yang menutupi. Eldric turun dan memarkirkan motornya tetap disitu.
Aku tetap pada posisiku dan tidak ingin turun. Kesenangan apa yang
akan ku dapatkan dari balik hutan?.
"Ayo!" ajaknya.
Aku menggeleng, "tidak mau”
"Kau ingin disantap hewan buas disini?" tanyanya.
"Disana lebih banyak lagi hewan buas"tunjukku masuk pada hutan.
"Setidaknya disana aku bisa melindungimu. Aku juga termasuk hewan
buas" terangnya dengan senyum memikat berharap aku luluh.
"Promise me? Kakak tidak akan meninggalkanku" seruku sambil
menyodorkan jari kelingking.
"I promise. Sekarang turun” aku pun beranjak dari motornya.
"Kau yakin motormu tidak akan hilang Kak?" tanyaku.
"Tidak. Aku sudah biasa meletakkannya disini"
Kami mulai jalan menyusuri hutan. Sinar matahari mulai redup
sehingga cahaya terlihat lebih remang. Mungkin karena celahnya yang
tertutupi pohon—pohon besar.
"Hati~hati disini banyak hewan buas" katanya dan aku dengan refleks
mendekat padanya.
"Kau menyebalkan sekali" aku memukul lengannya dan dia tertawa.
Eldric berjalan santai sedangkan aku terus berwajah was-was.
"Kau sudah biasa kesini ya Kak?" tanyaku.
Dia mengangguk, "aku biasa berburu disini"
"Kau lelah?" tanya Eldric dan aku mengangguk. "Kedinginan?" Aku
mengangguk sekali lagi. Dia memberikan jaketnya padaku. "Aku lupa
untuk menyuruhmu membawa jaket semalam. Kemudian dia jongkok di hadapanku. "Naiklah ke punggungku. Jika kita berjalan lelet seperti
manusia, hari akan semakin larut dan berbahaya."
Mendengar kata bahaya, aku tidak banyak berkomentar dan langsung
naik ke punggungnya.
Lalu tiba-tiba, wush!
Angin kencang menerpa tubuhku. Sangat kencang, membuatku
hampir merasa terbang. Aku pun segera mengetatkan pelukanku pada
lehernya. Tlba-tiba dia memanjat pohon yang menjulang tinggi.
"Kak!" seruku panik.
"Jangan berisik Michel atau kita akan jatuh."
Aku diam. Walapun sebenarnya aku ketakutan sekali.
"Open you eyes, Michel. Ini tidak seburuk itu" pintanya padaku.
Dengan ragu aku melakukan permintaannya.
Awesome! Tempat ini tidak seburuk itu justru terasa sangat indah.
"Cool" seruku.
"Ya, tapi jangan longgarkan peganganmu" perintahnya padaku.
Lalu kami memanjat salah satu pohon dan berhenti tepat di sebuah
rumah pohon yang sangat-sangat tinggi. Rumah ini disokong oleh
dua pohon yang terlihat sangat kokoh. Ukurannya terbilang cukup
besar untuk ukuran rumah pohon namun tidak akan terlihat dari bawah
karena rimbunnya dahan-dahan yang menutupi..
"Tempat apa ini Kak?" tanyaku saat Eldric melepas gendongannya.
"Ini tempat kami beristirahat ketika selesai berburu” jelasnya.
Saat aku masuk, fasilitas tempat ini cukup lengkap. Televisi, video
game, lalu makanan, pada intinya persis seperti rumah.
"Apakah makanan ini masih bisa dimakan?" tanyaku sambil mengambil
sebuah snack dan susu kemasan di freezer.
Eldric mengangguk, "kami baru membelinya kemarin."
Eldric keluar dan aku mengikutinya, dia duduk pada pinggiran rumah
dan membiarkan kakinya menggantung bebas.
"Kemarilah" panggil Eldric.
Aku takut. Tetapi juga penasaran. Akhirnya aku memberanikan diri
untuk mendekat.
"Jangan takut”
Aku mulai duduk di sampingnya dengan mencoba membiarkan kakiku
bergelantungan seperti dirinya. Ini benar-benar menguji adrenalinku.
Udara segar dan dingin menerpa-nerpa tubuhku. Kaki juga seperti mati
rasa karena tidak menapak apapun.

"Funny! Wajahmu kaku sekali Michel. It's okay. Promise me. Tidak
akan terjadi apa—apa dan enjoy it" ujar Eldirc lalu menarik tubuhku
ke dekapannya. Awalnya terasa kaku, namun kurasa perlahan kau
menikmatinya.
Pemandangan disini benar-benar indah. Aku dapat melihat aliran
sungai dari hutan menuju kota. Lalu taman bunga yang terlihat penuh
warna. Langit yang menggelap membuat sinar kerlap—kerlip lampu dari
kota terlihat jelas.
"Cool" seruku takjub. "Astaga mungkin aku bisa melihat rumahku dari
sini" ocehku tidak jelas dan Eldric hanya tersenyum.
"Aku akan mengambil gambar" seruku lagi.
Lalu aku sibuk mengabadikan gambar dengan latar keren tempat ini.
"Awas jatuh Michel" peringat Eldric dan aku mengangguk patuh.
Kemudian aku kembali duduk di samping Eldric sambil mengunyah
snack dan meminum susu.
"Mari kita foto bersama Kak" ajakku padanya.
Lalu kami berfoto dengan berbagai pose. Mulai dari mencubit pipiku, duck face, peace, hingga pose tertidur di pundakku. Aku cukup terkejut
meski berusaha bersikap normal.
Drrt.
Dan semuanya berhenti kala panggilan video masuk ke ponselku.
Aku langsung mengangkat panggiian video tersebut.
"Hai Michel!" sapa mereka bersamaan sambil saling mendorong agar
wajahnya bisa tertangkap oleh kamera.
"Hai Kak" balasku kepada empat makhluk tampan itu.
"Aku rindu sekali padamu Michel" seru Urien sedih.
"Aku juga ingin sekali memelukmu," seru Ireneo bersemangat. Aku
tertawa mendengarnya. Begitupun Eldric di sebelahku. Aku yakin ia
pasti mengenali suara mereka.
Tetapi ketiga lelaki lainnya di layar tersebut justru memberi tatapan
peringatan kepada Ireneo.
"Bagaimana kabarmu Michel?" tanya Alaric.
"Apa flu-mu sudah sembuh?" tambah Obelix lagi.
"Better. Kapan kalian akan kembali?"
"Aku juga ingin segera pulang. Disini tidak seru tanpam" goda Obelix
membuat pipiku memerah.
Ireneo terlihat mencibir Obelix dengan kata-kata seperti dasar playboy.
Tetapi pipiku tidak bisa untuk tidak merona karena perkataan Obelix.
"Yang benar saja Michel. Pipimu merona!" seru Urien.
"Aku juga merindukan kalian"' aku mengalihkan pembicaraan.
"Siapa saja yang termasuk kata kalian itu?" tanya Ireneo padaku.
Aku menggeram kesal. Ireneo memancingku.
"Coba sebutkan satu-satu"' timpal Urien dan membuatku tidak
berkutik
"Off course kalian berempat, Mama, Papa, Mansion, eumh," ujarku
kesal.
"Mansion masih ada di kota yang sama denganmu. Kau tidak perlu
merindukannya" kata Obelix.
"Ya. Tapi suasananya berbeda tanpa kalian"' jelasku.
"Tapi sepertinya ada nama yang tidak disebut. Kenapa? Kau tidak merindukannya?" tanya urien lagi.
hell
aku tidak merindukannya. jadi untuk apa aku menyebutkan nya?!
aku beranjak dari samping eldrick, lalu menunjukan kemereka.

Bình Luận Sách (66)

  • avatar
    Sinta Queena Reborn

    aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..

    04/07/2022

      2
  • avatar
    Rada Dan Yasir

    kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .

    21/06/2022

      0
  • avatar
    Rey Mar

    so nice

    4d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất