logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab Empat

Terasa getar ponsel di saku gamisku, Kak Deli mengirimkan pesan. Aku membacanya seraya menepuk dahi ku, bergegas menuju rumah sampai lupa berpamitan pada Amel.
°°°KhaRa_Asha°°°
[Dimana kamu Dena? Ada tamu, bukannya dilayani malah kamunya keluyuran nggak ada di rumah! Suaraku sampai serak memanggil kamu berkali-kali dari dalam kamar Nisa! Kenapa kamu nggak siapin makan siang buat aku? Apa harus bilang lapar dulu baru kamu mau kasih makan, begitu! Bawakan sekalian sama minuman dingin ke kamar, aku tunggu sekarang! Nggak pake lama!]
Pesan dari Kak Deli yang membuatku semakin merasa aneh dan penasaran, apa sebenarnya tujuan dan maksud kedatangannya kali ini ke rumahku? Dari awal dia datang tadi terkesan menganggap dirinya sebagai tamu yang harus ku perlakukan dengan sangat istimewa.
Tadi sebelum ke rumah Amel, harusnya aku meminta Nisa menyiapkan makanan untuk Kak Deli di meja makan. Semoga saja teriakan Kak Deli tak membuat Zio dan Bang Hasyim terganggu tidurnya. Belum sehari di sini, Kak Deli sudah membuat Nisa sangat kesal begitupun juga aku.
Kuhela nafas panjang dan mempercepat langkah, memilih memasuki dapur dari pintu samping rumah. Di meja makan sudah tidak ada tudung saji, sepertinya Nisa membereskan semuanya seperti yang biasa sehari-hari kulakukan. Lauk yang tersisa akan disimpan di lemari tempat menyimpan makanan matang. Sebenarnya aku sudah memisahkan lauk dan sayur untuk Kak Deli, tinggal menyajikan saja.
Sepiring Nasi, lauk dan sayur di wadah terpisah sudah tersaji di nampan. Ku ambil minuman dingin kesukaan Kak Deli dari dalam kulkas, membuka tutup botol dan menuangkan ke dalam gelas. Setelah siap gegas ku bawa menuju kamar Nisa. Pintu kamar ku ketuk pelan sebelum memutar gagang pintu dan membukanya.
Tak terlihat Kak Deli di dalam kamar. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi yang terletak di bagian ujung dalam kamar Nisa. Acara Rima akan segera dimulai, tak mungkin menunggu Kak Deli sampai dia selesai mandi untuk memberitahu kalau makan siangnya sudah ku antarkan. Akhirnya ku letakkan saja nampan di atas nakas, menutup pintu dan beranjak menuju kamar tidurku.
Di dalam kamarku, Bang Hasyim terlihat tertidur sangat pulas. Aku tersenyum melihatnya, kemudian mengambil dompet kecil dari dalam rak meja rias dan mengisinya dengan cukup banyak lembar uang merah dan biru. Pasti nantinya ku butuhkan untuk membayar pesananku pada Rima juga Amel.
Sebelum pergi, ku sempatkan sejenak mematut diri di cermin meja rias. Merapikan jilbab dan gamis yang ku pakai. Ku ambil ponsel dari saku gamis, karena teringat harus mengetik pesan untuk Kak Deli.
[Maaf, Kak Deli tadi sedang di kamar mandi waktu Dena antarkan makan siang. Makanan dan minuman sudah siap ada di atas nakas, Dena buru-buru ada acara di rumah tetangga. Tadi pas pergi ke tetangga sebenarnya mau kasih tahu tapi Kak Deli ternyata sedang tidur, karena sibuk malah Dena lupa mau kirim pesan. Dena lagi bantu siapin acaranya. Semoga Kakak suka masakan Dena.]
Tanda centang dua terlihat di aplikasi hijauku, Kak Deli belum membacanya mungkin dia masih berada di kamar mandi. Ku tekan tombol di layar memanggil nomor ponsel Amel, pasti dia bingung kenapa aku tiba-tiba saja menghilang dari rumahnya.
Aku sudah berada di teras, menutup pintu pagar dengan ponsel masih di telingaku mendengarkan nada panggilan yang tak kunjung dijawab hingga terhenti dengan sendirinya. Ku lihat kembali aplikasi hijau, pesanku sudah dibaca Kak Deli tapi dia tak membalasnya.
Kebetulan Mbak Ulfa tetangga seberang rumahku juga baru keluar dari rumahnya. Dia tersenyum ramah tatkala menyapaku. Setelah menutup pintu pagarnya, Mbak Ulfa berjalan menghampiriku yang masih fokus melihat ke layar ponsel. Kami tetangga di sini biasa memanggilnya dengan panggilan Mbak sesuai permintaannya, karena dia berasal dari pulau Jawa. Sedikit banyak aku mengerti bahasa jawa dari Mbak Ulfa.
"Baru mau ke rumah Amel, Dena? Untung saja tadi saya baca pesan grup kalau tempat acaranya pindah. Kalau begitu, kita barengan ke sana. Ini saya bawa daster-daster adem baru datang dari Jawa. Nggak apa-apa, kan, saya sekalian tawarin juga nanti." Pertanyaan Mbak Ulfa ku jawab dengan senyum dan anggukan kepala, dan menyimpan kembali ponsel ke saku gamis.
Mbak Ulfa berjalan agak lambat karena kantong plastik besar yang dia bawa sepertinya sangat berat, saat aku ingin membantu Mbak Ulfa malah menolak dengan halus uluran tanganku.
Sampai di depan rumah Amel, ternyata sudah banyak tetangga yang datang. Aku mempersilahkan Mbak Ulfa masuk terlebih dahulu dari pintu depan, sedangkan aku sendiri memilih masuk dari garasi Amel yang terhubung langsung ke ruangan dapurnya.
Aku tersenyum kecut melihat Amel berkacak pinggang dengan raut wajah seolah-olah sedang marah, tapi jadi terlihat lucu karena Amel sekarang menggoyang-goyangkan pinggangnya dan bertingkah sangat konyol dihadapanku. Tawa kami pun pecah seketika, wajah putih Amel sampai memerah karena tertawa terlalu berlebihan.
"Nggak usah merasa bersalah begitu, senyum manisnya mana? Temani Rima di dalam, kasian dia kewalahan meladeni cerewetnya Bik Sari. Kamu tahu sendiri, kan, gimana Bik Sari kalau sudah penasaran sama sesuatu," terang Amel.
Ku berikan senyum termanis untuk Amel, kemudian langsung beranjak menuju ruang keluarga. Nanti akan ku jelaskan pada Amel tentang masalah yang sedang kuhadapi setelah acara selesai, sekarang aku harus membantu Rima.
Di ruang keluarga Amel semua tetangga yang ku undang sudah hadir, hanya para Ibu beserta anaknya saja tentunya. Mereka memperhatikan penjelasan Rima sambil menikmati hidangan yang aku dan Amel sediakan. Rima sangat bersemangat dan tak merasa keberatan meladeni Bik Sari yang terkenal sangat bawel dan cerewet. Jumlah porsi rujak yang ku pesan pada Amel cukup banyak, sengaja ku lakukan karena biasanya ada saja tetangga yang ingin meminta makanan yang tersedia untuk dibawa pulang ke rumahnya.
Ku perhatikan satu per satu tetangga yang hadir di acaraku ini, mereka duduk seperti membentuk kelompok masing-masing. Sedangkan anak-anak mereka asyik makan sambil bermain, sesekali berlarian kesana kemari dengan riangnya.
"Ini Nastar buatan Amel atau buatan kamu Dena," tanya Bu Desi sembari menatapku yang sedang berdiri di dekatnya. Mulut Bu Desi terlihat penuh karena sedang mengunyah kue nastar, ku lihat satu tangannya memegang toples nastar yang isinya sudah tersisa setengahnya.
"Buatan saya sendiri, Bu Desi. Kemarin Amel lagi banyak pesanan nasi kotak, jadi Dena harus bikin sendiri dibantu sama Nisa tentunya. Maaf, loh, kalau rasanya nggak seenak buatan Amel." Sebenarnya ingin tertawa, tapi takut nanti Bu Desi tersinggung. Beberapa tetangga yang lain terlihat menahan tawa sepertiku, karena mereka juga melihat Bu Desi yang kesusahan berbicara karena mulutnya yang penuh makanan.
"Oh, ya. Pantesan rasanya beda dari yang ku beli sama Amel lebaran haji kemarin, nanti Ibu boleh minta sedikit buat kasih Hesti? Dia nggak bisa ikut, lagi pergi sama adiknya. Mau beli buku ke tokonya Mbak Ulfa." Bu Desi masih sibuk mengunyah, sesekali matanya memperhatikan Rima yang sedang menjelaskan tentang manfaat dan cara penggunaan produk perawatan wajah.
"Sebentar Dena ambilkan kantong plastik ke dapur, Ibu-Ibu yang lain mau saya ambilkan juga nggak?" Aku sedikit mengeraskan suara, agar semuanya bisa mendengar.
Mbak Ulfa, Dek Julia, Kak laura dan Kak Dinar menyahut ku hampir bersamaan, perhatian semuanya pun jadi teralih padaku. Aku menangkupkan tangan memohon maaf, ternyata tanpa sengaja, aku sudah mengganggu Rima yang sedang memberi contoh mengaplikasikan produk ke wajah Bu Wilda.
Sekilas ku dengar tadi Bu Wilda memang sudah lama memakai produk yang sama dengan yang dijual Rima, bahkan dia menawarkan diri untuk menjadi contoh pengaplikasian produk itu. Hal ini tentunya bisa sangat menguntungkan bagi Rima, testimoni dari Bu Wilda akan menambah keyakinan pada yang lainnya untuk ikut membeli produk yang dijual Rima.
Aku kembali dari dapur Amel setelah mengambil satu pak kantong plastik berukuran sedang. Kuberikan beberapa buah pada Bu Desi, Mbak Ulfa, Dek Julia, Kak Laura dan Kak Dinar. Sisanya ku letakkan di atas meja, mungkin nanti yang lain juga perlu kantong plastik lagi.
Tak terasa satu jam lebih sudah berlalu. Rima terlihat sudah selesai menjelaskan semua tentang produk jualannya, dia mulai terlihat sibuk melayani beberapa orang yang ingin membeli.
Aku sangat bersyukur, acara rujakan berjalan lancar. Rima pun senang karena barangnya lumayan banyak laku terjual. Aku mendekati Mbak Ulfa yang sedang mengeluarkan semua daster bawaannya tadi, ternyata lumayan murah harganya, lima puluh ribuan saja per satuannya.
Aku mulai tertarik, ikut mengambil dua buah daster motif bunga berwarna biru dan merah. Dari saku gamis, ku ambil satu lembar uang merah dan memberikannya pada Mbak Ulfa untuk membayar.
"Terimakasih Dek Dena, penglaris ini. Sini, biar saya masukin kantong plastik dulu. Nggak sekalian beli buat Nisa, ini ada loh yang buat remaja," tawar Mbak Ulfa padaku. Tangannya cekatan memilah-milah pakaian yang dimaksud, kemudian memberikannya padaku.
Model yang dimaksudnya memang cocok untuk Nisa, satu set bawahan celana panjang dan atasan lengan panjang dengan motif kartun yang menarik. Ku pilih dua warna kesukaan Nisa, merah muda dan hijau.
"Harga yang ini sama, ya, Mbak Ulfa? Aku mau dua yang ini, jadikan satu saja kantong plastiknya sama punya saya yang ini." Aku memberikan daster itu kembali ke Mbak Ulfa seraya memperhatikan ibu-ibu lain yang sedang memilih-milih daster.
"Oh, kalau yang ini tujuh puluh ribu satu setnya. Jadi kalau dua buah, seratus empat puluh ribu," terang Mbak Ulfa.
Ku serahkan satu lembar uang merah dan satu lembar uang biru, Mbak Ulfa menerimanya dan menyerahkan kembalian beserta kantong plastik berisi empat pakaian yang sudah kubayar tadi. Mbak Ulfa tersenyum senang, dasternya juga laku banyak dibeli tetangga yang lain.
"Dena, kok dadakan acaranya jadi pindah ke rumah Amel?" Tiba-tiba saja Kak Vita berucap seperti itu dengan tatapan mata menyelidik, Aku bingung harus menjawab seperti apa, tak mungkin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada semua tetanggaku ini. Sama saja dengan membuka aibku sendiri.
Sebenarnya aku sudah menduga pasti akan ada yang bertanya seperti ini, tapi belum sempat memikirkan jawaban yang tepat untuk hal itu.

Bình Luận Sách (27)

  • avatar
    sri lestarinuning

    menarik...

    28/05/2022

      0
  • avatar
    adam albasoryFuzi

    bagus

    23/02/2022

      0
  • avatar
    NBella Puspita

    Semoga Bermanfaat jangan lupa baca buku ku juga ya nanti lagi otw

    03/02/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất