logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 46 Beli Keperawanan

"Anda memilih pergi dengan tujuan dunia yang sama atau pergi ke neraka?" tanya Angga memberikan tawaran pada Andreas dan Jonathan.
"Mohon maaf, Pak. Kalau kita sudah lancang di sini. Kalau begitu kita berdua pergi," pamit Andreas yang membungkukkan tubuhnya sekilas yang juga diikuti oleh Jonathan.
"Tuan, apa mereka juga termasuk anak buahnya Kumbang Hitam?" tanya Jonathan berbisik pelan pada Andreas.
"Bisa jadi seperti itu," jawab Andreas pelan.
Angga yang masih belum puas dengan jawaban dari dua orang asing itu, lantas menyuruh anak buahnya untuk mencari identitas orang asing itu.
***
Sebuah mobil Bentley State Limousine yang paling tersohor di dunia melintas di kawasan Jakarta kota. Semua mata pengendara jalan raya besar tertuju pada kemewahan mobil tersebut. Kaca hitam yang melindungi objek dari dalam mobil membuat pengendara lain merasa kecewa, karena rasa penasaran mereka belum terpuaskan.
"Jacob, apa Angga sudah menghubungi kamu?" tanya Raden menatap sang supir.
Jacob yang sedang menyetir, hanya bisa melirik Raden melalui kaca spion tengah mobil. "Maaf, Bos besar. Tuan Angga belum menghubungi saya setelah memberikan kabar jika ada dua orang asing yang datang di cafe kita, Bos besar," jelas Jacob dengan lugas.
"Apa Angga sudah melakukan pencarian identitas dua orang asing itu?" tanya Raden selanjutnya.
Jacob menganggukkan kepalanya pelan. "Untuk soal itu Tuan Angga sangat sigap menyelidiki dua orang asing itu, Bos besar."pelan
Raden menganggukkan kepalanya pelan. Lalu, memperhatikan pakaian yang dikenakannya hari ini. Sungguh sangat memuaskan hati Raden.
"Jacob, kira-kira saya berikan hadiah apa untuk kandidat calon istri saya, ya?" tanya Raden sambil berpikir dengan jari telunjuk mengetuk dagu lancipnya.
Jacob tidak menjawab, karena ia yakin kalau Raden hanya bertanya pada dirinya sendiri bukan dengan dirinya.
"Villa saya yang ada di Bali boleh saja 'sih kasih kandidat calon istri saya," gumam Raden sambil menganggukkan kepalanya pelan.
"Tapi, Bos besar. Emangnya enggak keterlaluan sampai memberikan villa? Kalau nanti calonnya enggak cocok sama Bos besar yang ada nanti rugi besar dong." Jacob melirik sebentar ke arah Raden.
"Enggak apa-apa lah. Kan, saya orang kaya dan dermawan. Anggap saja saya sedang sedekah," ucap Raden sombong dengan ciri khas gaya angkuhnya.
Jacob menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan sistem kerja otaknya Raden. "Iya 'sih sedekah, tapi enggak villa juga yang disedekahkan. Yang ada namanya ria, entar malah pansos lagi," cibir Jacob pelan hampir seperti berbisik.
Akhirnya mobil Bentley State Limousine yang ditumpangi oleh Raden terbebas dari suara ocehan manusia tua bangka seperti Raden itu.
***
"Mas, bilangin ke Ayah dong! Masa sudah tua bau tanah masih mau kawin saja!" omel Mona pada suaminya yang sedang membaca koran.
Andre menghela napasnya pelan. Koran yang belum selesai dibacanya langsung ia lipat dengan asal-asalan.
"Mona, sudah berapa kali saya bilang ke kamu kalau saya enggak bisa mengendalikan Ayah saya sendiri, hah! Sudah lah, jangan terlalu ambisi dengan harta kekayaan dari Ayah saya," ucap Andre tegas, yang juga merasa kesal terus menerus meladeni sikap Mona itu.
"Mas Andre bagaimana 'sih jadi anaknya! Di harta kekayaan Ayah juga ada hak dari Mas, bukan hanya para anak-anaknya si Mahesa!" seru Mona juga gregetan karena sikap cuek dari suaminya itu.
"Oh, berarti kamu sudah menunggu-nunggu kematian ayah saya , gitu? Ya sudah, mending kamu bunuh saja langsung ayah saya," balas Andre dengan entengnya dan sangat lumayan menyeleneh.
Mata Mona terbelalak terkejut mendapatkan balasan dari suaminya, Andre. "Brengsek banget kamu, Mas!" teriak Mona murka meluapkan semua emosinya.
"Ayah, Mamah. Kalian kenapa 'sih suka ribut terus, hah! Kalau emang sudah enggak cocok, ya sudah sana pergi ke pengadilan. Gugat cerai emang apa susahnya, sih?" tanya seorang lelaki yang turun dari lantai dua.
"Morgan! Kamu ini jadi anak kayak enggak belajar sopan santunnya sama
sekali dengan orangg tua!" cecar Mona menggeram marah pada anak satu-satunya itu.
"Loh, sejak kapan kalian ngajarin gue sopan santun? Bukannya dari dulu kalian mementingkan duit, ya?" tanya Morgan menatap remeh pada Mona.
"Ini, lagi. Pangkat doang jadi seorang Ayah, tapi cuma jadi figuran di rumah. Kerjanya ongkang-ongkang kaki doang!" semprot Morgan pada Andre dengan berani.
"Morgan, citra saya lebih baik dari pada ibu kamu itu. Bisanya cuma menghambur-hamburkan duit buat jajanin pacar berondongnya itu," sahut Andre yang tidak tanggung-tanggung mengumbar aib istrinya sendiri.
Pasti kalian berpikir kalau keluarga ini sangat toxic. Ya, memang keluarga ini sudah tidak sehat bila disebut sebuah keluarga yang sebenarnya. Karena, isinya hanya ada orang-orang egois yang mementingkan dirinya sendiri. Bukan seperti sebuah kapal yang dikendarai oleh nahkoda dengan para awak kapal yang saling membantu gotong royong.
"Bangsat banget 'sih hidup gue! Punya orang tua semuanya pada gila. Sial, banget gue terlahir di keluarga toxic kayak gini!" umpat Morgan kesal, mengacak rambutnya mengerang frustasi.
Andre hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan melihat kelakuan anaknya itu. Kemudian, ia pun pergi meninggalkan ruang tamu tanpa mengindahkan teriakan penuh peringatan dari istrinya, Mona.
"Mas! Mau ke mana kamu, hah! Aku belum selesai ngomong!" teriak Mona menggelegar hingga bergema di dalam ruangan itu.
Morgan berdecak kesal sambil menutup kedua telinganya menggunakan tangannya. "Berisik banget, dasar Mak lampir!" maki Morgan, menatap sinis pada Mona.
Mona hanya mendengus kesal, ia tidak bisa melawan anaknya. Karena salah satu sumber penghasil uang ada di tangan Morgan.
***
Angga membungkukkan badannya sembilan puluh derajat, ketika Raden keluar dari mobilnya.
"Selamat datang, Bos besar," sambut Angga penuh dengan kehormatan.
Raden menganggukkan kepalanya pelan. Matanya menatap kesekitar guna menilai pekerjaan yang dilakukan oleh semua anak buahnya.
"Semuanya sudah aman terkendali, kan?" tanya Raden pada Angga, sambil menyerahkan pisau lipat yang terbuat dari emas.
"Siap, sudah aman semuanya Bos besar," jawab Angga dengan sigap.
"Acaranya dimulai jam berapa, Angga?"
"Jika, Bos besar sudah siap kita akan memulai acaranya juga," jelas Angga singkat, jelas, dan padat.
"Oke, kalau begitu kasih waktu sepuluh menit untuk saya duduk santai di dalam," ucap Raden, yang mulai memasuki sebuah cafe yang sudah booking oleh Angga.
"Baik, Bos besar. Kita juga sudah menyediakan minuman kesukaan anda di atas meja nanti," terang Angga memberi tahukan pada Raden.
Raden menganggukkan kepalanya pelan. "Oke, kerja bagus untuk kamu dan tim andalan kamu, Angga." Raden menepuk pelan bahu Angga, seolah mengatakan bahwa ia bangga pada Angga.
"Terima kasih, Bos besar. Kalau begitu saya tinggal sebentar," pamit Anggi undur diri.
Selepas kepergian Angga, Raden langsung duduk di sebuah kursi khusus untuk dirinya. Di atas meja pun sudah tersaji sebuah minuman alkohol yang sangat antik menjadi favorit Raden.
"Ah ... Akhirnya kita bisa bertemu kembali, sayang," ucap Raden lembut, setelah itu mengecup penuh kehati-hatian pada botol minuman alkohol.
"Permisi, Tuan. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang waiters wanita yang berdiri di samping kursi Raden.
Seketika Raden menaruh botol minuman alkohol itu kencang di atas meja. Matanya menatap tajam pada pekerja wanita itu.
"Siapa yang suruh kamu datang ke sini, hah!" bentak Raden marah.
"Maaf, Tuan. Saya hanya disuruh oleh Tuan Angga untuk melayani Tuan," ucap wanita itu penuh rasa salah.
"Saya enggak butuh tenaga kamu! Sana, pergi dari hadapan saya!" usir Raden kasar pada pelayan wanita itu.
Wanita itu pun pergi dengan langkah kaki yang saling bergetar akibat ketakutan. Teman wanita itu langsung menyambutnya dengan pelukan penenang.
"Gila, jantung gue kerasa mau copot berdiri di samping dia. Untung saja dia orang kaya, kalau enggak pasti sudah gue getok pakai nampan ini," gerutu pelayan wanita tadi kesal berbisik pada temannya itu.
"Sssttt ...! Kamu enggak boleh begitu, nanti kalau dianya dengar, nyawa kita yang akan jadi taruhannya. Lagian dia juga bayar kita dengan harga yang lebih. Jadi, manfaatkan keuntungannya, jangan ambil hati omongan pedasnya," balas teman pelayan wanita itu juga dengan berbisik.
Hingga suara Raden kembali bergema mengisi kekosongan cafe tersebut.
"Pelayan!" terima Raden menggelegar.
Dua wanita yang menjadi pelayan saling dorong satu sama lain. Pelayan yang sudah menawari Raden malah mendorong temannya itu.
"Please, Mei. Lo saja yang melayani aki-aki tua bangka itu. Gue sudah kapok, cukup sekali saja dapat semprotan pedas dari dia," mohon pelayan wanita pertama.
Meidina, selaku teman dari pelayan wanita itu hanya bisa pasrah. "Tapi, Kak. Aku 'kan di sini cuma kerja part time saja. Jadi, aku enggak ada berhak buat melayani tamu viv kita," bisik Meidina masih memohon pada kakak tingkatnya itu.
"Sudah lah, berurusan sana. Yang ada nanti kita berdua yang kena semprot." Pelayan wanita pertama mendorong bahu Meidina kasar hingga tubuh Meidina terpelanting ke depan.
Mau tidak mau akhirnya Meidina berjalan mendekat ke arah Raden. Masih dengan kepala menunduk, Meidina menyerahkan buku daftar menu di atas meja Raden.
"Silakan dipilih dulu, Tuan," ucap Meidina dengan suara pelan.
"Heh, kurang ajar sekali kamu menatap ke arah lantai!" sentak Angga yang ternyata sudah berdiri di samping Raden.
"Maaf, Tuan," ucap Meidina melirih.
"Sekarang, angkat kepala kamu!" titah Angga tegas.
Meidina pun mengangkat kepalanya ragu-ragu. Hingga mata Meidina bertabrakan dengan netra hitam milik Raden.
"Tuan-tuan mau pesan apa?" tanya Meidina takut.
Raden berdeham pelan, lalu menegakkan tubuhnya. "Kamu ini sudah bersuami atau belum?" tanya Raden random.
Meidina mengerjapkan matanya pelan. Ia menunjuk pada dirinya sendiri. "Tuan sedang bertanya pada saya?" tanya Meidina hati-hati.
"Memangnya siapa lagi orang yang ada di hadapan saya selain kamu, hah!" balas Raden ketus.
"Enghhh ... Kalau soal itu, saya belum menikah, Tuan."
"Oh, berarti kamu masih perawan, ya." Raden menganggukkan kepalanya pelan sambil tersenyum miring.
"Angga, belikan saya keperawanan gadis ini sekarang juga," suruh Raden tiba-tiba yang sangat mengejutkan Angga bersama Meidina.
"APA!" teriak Meidina histeris.
***
Halo para pembaca Permen Kaki CEO. Terima kasih sudah membaca bab terbaru dari Permen Kaki CEO. Jangan lupa untuk memberikan review, star vote, dan hadiah untuk penulis.
Bisakah Raden menemukan calon istrinya yang sesungguhnya? Dan apakah Raden akan benar-benar membeli keperawanan dari Meidina?
Yuk dijawab di kolom review dengan sebanyak-banyaknya, ya.
See you next bab guys ...

Bình Luận Sách (54)

  • avatar
    Pred

    lanjutkah

    7d

      0
  • avatar
    QaisaraNik

    bagusss

    11/02/2023

      0
  • avatar
    Syifa Yuhanis Mazlan

    saya suka baca novel ini

    26/01/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất