logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Sebuah Alasan

Tangan kananku menepuk pahanya bentar, buat yakinin Kharisma.
Memang sulit, kalau membuat keyakinan pada orang yang hampir bulat keputusannya. Tetapi ini juga demi masa depan Kharisma juga.
Kehidupan di pesantren memang begitu padat, namun dengan pesantren. Waktu yang berlalu sudah jelas lebih banyak yang bermanfaat dari pada tidaknya.
"Bagaimana ya, Mbak ... aku harus fikir-fikir ini."
Sekali lagi Kharisma mengeluh dan membuat wajah melas dengan alis tebalnya yang mengerut.
Dari awal memang Kharisma dulu juga suka maju mundur kalau hubungannya dengan pesantren. Tetapi balik lagi dengan niat. Kalau aku dari dulu sudah niat mondok di pesantren.
Jadi kalau memang ada alasan yang membuat aku ingin pergi dari pesantren, tidak akan juga mampu membuat aku pergi.
Semuanya memang tergantung pada niat diri sendiri.
"Sudahlah, mondok. Sebelum sameannya sendiri menyesal di kehidupan yang akan datang."
Aku menghembus nafas, setelah aku menahannya beberapa saat hingga membisungkan ke dua pipiku.
"Mbak, di pesantren itu banyak masalah ini dan itu."
Aku menatapnya kembali, setelah beberapa detik ada keheningan berpadu di antara kami.
"Ada masalah, ya diselesaikan. Aku malah bolak-balik terkena masalah, tapi aku coba selesaiin masalah itu dengan baik-baik. Tapi kalau samean, masalah seperti apa memang?"
"Ya pokoknya masalah dari Mbak-mbak kamar. Ada saja yang diributkan. Entah itu siang, atau malam. Berisik tahu, Mbak ...."
Kharisma mulai cemberut.
"Kalau berisik, coba tidak usah sameannya respons Kharisma ... hal seperti itu, tidak usah difikir dalam. Bikin santai saja. Tidak perlu dibuat sulit, Kharisma."
"Ya allah, Mbak. Sudah, ok. Hanya karena Mbak ... aku akan jadi harus mondok di pesantren lagi."
"Niatin mencari ilmu ya ... jangan karena aku! Serahkan pada Allah jangan apa-apa saja, samean buat mengeluh. Kalau sameannya mengeluh, malah yang samean itu jalani bakalan terasa berat. Karena yang tahu dirimu, itu juga dirimu sendiri!"
"Hmmm. Iya, Mbak."
"Adik, kamu tahu laptopku itu ada di mana? Di kamar tidak ada soalnya. Apa tadi sameannya pakai?"
Lekas dari dapur, aku menuju ke sisi ruang tamu yang sudah terlihat bersih tidak seperti kapal pecah lagi.
Aku masih ingat benar, kalau aku menaruh laptopku berada tepat di atas meja kamar. Soalnya tadi, sebelum aku tinggal tidur.
Aku sempat nengahin laptopku yang posisinya begitu menepi. Bahkan kalau tersenggol sedikit saja, laptopku sudah jatuh.
Beberapa hari ini, aku disibukkan diri untuk mengerjakan novel yang sudah aku tarjetkan untuk tahun ini harus ending. Tetapi sampai sekarang, aku masih belum saja menemukan ending cerita yang tepat.
Aku juga masih belum mengedit kesalahan kata yang ada di bab novelku sebelumnya.
Aku saja lupa menandai mana yang belum aku edit dan mana sajakah yang sudah aku edit.
"Tidak itu, Neng. Papi mungkin yang menyimpan. Memangnya laptopnya mau buat apa e, Neng?"
Adikku Ajeng itu, langsung menghentikan makanan yang hampir saja masuk ke dalam mulutnya.
"Nyelesaiin tugas pribadi, Adik. Ya ... yang seperti biasanya itu."
Aku menjawab dengan dengusan kesal. Bagaimana tidak?
Istighfar beribu rasanya.
Terkadang begitu sering hal ini itu harus terjadi, barang yang aku butuhkan selalu saja sembunyi entah ke mana.
Mungkin aku lupa menaruhnya itu di mana. Tapi aku juga sadar, masa lupa kok terus. Lalu di mana aku menaruhnya?
"Mengerjakan novel lagi apa, Neng?"
Adikku Ajeng ini, masih sempatnya tanya yang sudah biasa jadi jawaban.
Seharusnya dulu tidak pernah aku biarkan tahu tentang apa saja yang aku lakukan mengenai laptop.
Tetapi kalau semisal tidak aku bilangin, bisanya suka salah faham.
Bisa-bisa nanti bakalan dituduh lihat film atau apa gitu, padahal aku paling alergi lihat film.
"Ya sudah kalau tidak tahu, Papi lagi di mana?"
Aku menatapnya kembali, selekas laptop coba aku cari di laci milik Papi di kamar namun ternyata tidak ada.
Bahkan di atas meja kerjanya Papi yang ada cuman lembaran kertas kerja yang isinya desain baju-baju rancangan papi.
"Papi lagi ke pabrik ... tadi sempat bilang, katanya sedang ada urusan mendadak. Katanya ada pesanan baju banyak, semacam seragam gitu. Terus bilang apa gitu ... lupa ah, Neng."
Adikku Ajeng melanjutkan makan kembali, sementara aku menemui Mami yang sedang sibuk di dapur.
"Mami, tahu laptop Kulo?"
Telapak tanganku menyatu ke dinding dapur yang bercat putih.
Bau masakan yang di masak Mami, masih belum terasa.
Aku lihat soalnya baru mulai membersihkan beras dengan mengganti air berulang kali.
"Mami malah tidak tahu, Nduk. Mungkin lagi Papimu bawa ke pabrik." jawab Mami singkat sambil fokus melihat beras yang dibasuhin air.
"Hmm, ya sudah Mami. Kulo ke kamar dulu. Mau menelpon Papi."
Spontan aku berlari dan mengambil ponsel di ranjang tidurku.
Selambu kamar aku buka, lalu kulihat kembali barang-barang kamar yang berantakan yang berserak tidak beratur.
Mulai dari baju yang belum disetrika dan masih banyak berkas karangan-karangan cerpenku yang terkapar di mana-mana.
Ini semua akibat aku yang memang belakangan hari ini, sering mengurungkan niat untuk membersihkan karangan cerpenku itu. Niatnya malam usai maghrib, karena aku tinggal mengerjakan apa begitu, sudah lupa. Dan pada akhirnyapun tidak jadi melaksanakan niat yang sempat terencana.
"Assalamu'alaikum, Papi."
Dering telpon yang agak begitu lama itu akhirnya terjawab juga. Lamgsung saja aku buka dengan salam.
Mungkin papi sibuk dengan urusan pabrik yang padat sekali tadi, hingga telpon dariku lama diabaikan.
Syukurnya ini diangkat, biasanya telponku selalu diabaikan oleh Papi. Padahal jelas-jelas tertulis online di layar ponselku.
"Wa'alaikumsalam. Apa nduk? Lenda?"
Aku mendengar suara Papi yang keluar dari telpon. Aku lega.
"Papi, laptop kulo sedang panjenengan bawa?"
"Ya, Papi bawa ini ... laptop Papi lagi eror tidak tahu kenapa, jadi langsung aku bawa laptopmu, Nduk."
"Oh ... nggih, Papi. Tadi kulo cuman nyari mawon, tapi mboten ketemu-ketemu. Katanya Mami, mungkin dibawa panjenengannya."
"Mau samean pakai, Nduk?"
"Papi saja yang makai, nanti saja kulo memakainya pas Papi sudah pulang. Nggih
Sampun, Papi. Kulo matiin telponnya!"
"Iya, Nduk."
"Wassalamu'alaikum."
"Wa'alikumsalam."
Ponsel aku taruh di bawah bantal.
Sejatinya aku memang bingung harus melakukan apa ini, kalau aku tulis di buku rasanya itu malas gerak kalau menyalin lagi diketikan.
Tetapi kalau aku tidak menulis, itu malah bisa-bisa ide ceritaku malah hilang.
Tapi bagaimana lagi? Tidak bisa ngapa-ngapain begini.
"Nduk, Lenda. Ini sudah diracik bumbunya. Tinggal dimasak, Nduk. Mami mau beli gula dulu, Papimu datang kalau nanti tidak ada teh hangat bisa-bisa marah."
Mami memanggilku dari arah dapur.
Mungkin aku biarkan saja ide cerita itu menggantung di pikiran, mungkin kalau hilang juga tidak akan semuanya.
Ada yang bisa diingat, bahkan bisa dikembangkan lagi. Sekarang yang harus aku lakukan membantu mami dulu.
***
Gus Iqbal
"Acaranya ini bagaimana? Jadi ke rumah aku atau tidak?"
Semalaman ponsel memang sengaja untuk aku taruh di atas meja yang dekat dengan salon tv.
Aku tidak tahu timku mengirim pesan apa saja, seingatku waktu Kyai Abkhan ceramah. Ponselku tiap kali berdenting, bahkan tidak sampai semenit rasanya denting ponselku berbunyi lebih dari tujuh kali.
Entah membahas apa saja aku tidak tahu.
Terus terang, aku muak dengan semua kegiatan.
Belum lagi aku harus mengurus para santriku yang begitu banyak.
Sebagian besar tanggung jawab pesantren, akulah yang mengambil alih setelah Mas Zafky dan Mbak Risah itu pergi berkeluarga dan memutuskan membeli rumah sendiri dibanding memutuskan untuk tinggal di pesantren milik Abah dan Umi ini.
Pekerjaanku yang belum selesai, terkadang harus tertunda karena jadwal baru yang mendadak.
Sehingga, jadwal satu dengan yang lain bagai bertabrakan. Sampai akhirnya aku bingung harus memilih jadwal mana yang harus aku kerjakan terlebih dahulu.

Bình Luận Sách (115)

  • avatar
    AzahraWiwin

    ceritanya sangat inspiratif, bagus dan memotivasi kita semua. thanks

    24/07/2022

      0
  • avatar
    Dwi CahyaFardana Difka

    Cerita Ini Sangat Menarik Dan Alurnya Juga Indah

    21/07/2022

      0
  • avatar
    Selvia Putri

    seru banget novelnya

    7d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất