logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bagian 05.

Aku dan Alvira masing-masing mendorong troli, mencari bumbu dapur yang diperlukan. Mulai dari minyak, gula, sayur, daging dan lainnya. Semua masuk ke dalam troli yang kudorong. Kami selalu belanja setiap minggu, itu adalah tugasku dan Alvira.
“Kinan, sudah selesai? Ayo kita bayar lalu pulang. Karena sebentar lagi magrib,” kata Alvira, aku mengangguk dan langsung mengikutinya ke arah meja kasir.
Setelah membayar, kami langsung keluar dari pusat perbelanjaan menuju sebuah bajaj yang sudah menunggu. Setelah itu kami langsung pulang ke rumah. 
Kami tiba saat malam telah datang, kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 18.30. Bergegas kami menuju dapur dan membereskan belanjaan.
“Kinan, tadi Asih sudah setrika. Kamu rapikan ke lemari sana, sekalian kalian mandi,” perintah Minah.
“Tapi, Bu, ini belum selesai,” kataku sambil terus mencuci sayur di wastafel.
“Sudah, biar saya saja. Sana kerjakan, ini sudah malam. Sebentar lagi Tuan pulang,” kata Minah. Aku dan Alvira hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar. Sikap Minah menjadi semakin lembut padaku. Karena aku selalu menuruti perintahnya.
***
Selang beberapa menit akhirnya aku selesai mandi. Setelah berpakain aku langsung keluar kamar dan merapikan pakaian yang disetrika Asih. Saat sedang memasukkan baju Also di kamarnya, aku melihat beberapa pasang baju Fhatir.
Ini baju kerja Fhatir, kenapa gabung dengan baju Also? batinku heran. Aku langsung menutup pintu lemari dan berjalan menuju kamarnya.
“Mudah-mudahan saja dia belum pulang,” kataku sambil membuka pintu kamarnya, Ya kosong. Dia belum pulang, aku masuk tanpa menutup pintu. Berjalan menuju lemari untuk menyimpan pakaiannya.
Saat sedang meletakkan pakaiannya di dalam lemari. Kudengar pintu tertutup keras, pandanganku langsung beralih dan melihat Fhatir dalam keadaan kusut dan berjalan sempoyongan ke arahku.
“Tuan,” ucapku saat dia bertambah dekat.
“Kebetulan ada kau di sini, Sayang,” katanya sambil meraih dan memeluk pinggangku erat. Dapat kurasakan napasnya berbau alkohol, dia mabuk.
“Tuan, apa yang akan Tuan lakukan?” aku bertanya saat dia menciumiku lalu  menarikku ke ranjang.
“Berikan aku hak sebagai suamimu,” racaunya sambil mulai menindihku. Aku memberontak dan berusaha lepas, tapi dia mencekal lenganku lalu memulai aksinya.
“Tuan, lepaskan saya,” pintaku sambil menangis, tapi dia tak peduli dan tetap memaksaku. Aku menangis, walaupun dia suamiku, tapi aku belum siap melakukannya. Bagaimana nasibku nanti?
***
Kulirik jam di sebelah nakas, pukul 01.00 dini hari. Segera aku bangkit dan menyibak selimut tebal yang menutupi tubuhku. Aku bangkit menahan sakit di  seluruh tubuh, meraih pakaianku yang berserakan di lantai dan memakainya.
Air mataku tak dapat kubendung mengingat kejadian beberapa jam lalu. Sungguh sangat menyakitkan, kehormatanku yang telah kujaga bertahun-tahun, direnggut paksa oleh seseorang yang tak tahu harus kusebut apa. Sekarang hanya menangis dan meratap yang dapat kulakukan. Setelah selesai memakai pakaian, aku langsung keluar dari kamarnya. Meninggalkan Fhatir yang tidur dengan wajah puas dan damai. Saat aku menutup pintu, kulihat Also tengah duduk di ruang tengah dekat kamar. Melihatku keluar dari kamar Fhatir, dia bangkit dan menghampiriku.
“Kinan ... kau tidak disiksa olehnya, ‘kan?” tanya Also khawatir sambil berjalan ke arahku. Mendengar pertanyaannya, air mataku kembali mengalir.
“Ada apa Kinan?” tanya Also lagi.
“Dia melakukannya, Also. Dia telah melakukannya padaku,” ujarku membuatnya terdiam.
“Melakukan apa? Katakan dengan jelas, Kinan,” pintanya sambil memegang bahuku.
“Di-dia telah merenggut kesucianku, sekarang aku harus bagaimana? Aku hancur, Also. Hancur,” kataku dengan memukuli dada Also, padahal dia tidak bersalah. Dia hanya diam memandangiku yang tengah memukuli dadanya. Lalu dia langsung menarikku dan membawaku pada pelukan.
“Fhatir mabuk, hingga dia melakukannya tanpa sadar padaku,” ujarku lagi.
“Sabar, Kinan. Jangan merasa bersalah atau takut. Aku ada di sini melindungimu, lagi pula dia adalah suamimu, ‘kan? Tidak perlu merasa bersalah,” ucapnya sambil mengelus kepalaku yang tertutup khimar yang entah bagaimana bentuknya.
Salah, ini salah! Seharusnya Fhatirlah yang memeluk dan menenangkanku. Bukan Also yang hanya sepupu iparku. Aku merenggang melepaskan pelukannya, lalu kembali menangis. Also hanya diam dan menghapus air mataku.
“Aku ingin bertanya padamu, Kinan, tapi tidak sekarang. Aku akan menunggu saat kau merasa lebih baik, sekarang masuklah ke kamarmu. Jangan sampai pelayan lain mengetahui hal ini,” kata Also dan aku hanya diam dan berjalan perlahan. Rasanya, berjalan saja aku ingin jatuh hingga aku berjalan dengan bertumpukan dinding.
Sampai di kamar aku langsung masuk, berlari kecil menuju kamar mandi dan langsung menyiram tubuhku dengan air. Aku merasa kotor, aku benci pada tubuhku sendiri. Kenapa aku tidak bisa melawan? Kenapa harus berakhir begini? Kenapa ?
“Mama ada di mana? Tolong Kinan, Ma. Kinan sakit di sini,” lirihku sambil menangis dan kembali menyiramkan air ke tubuh. Berkali-kali kulakukan hingga aku terkadang merasa kehabisan napas, hingga setelah selesai. Aku keluar dan langsung memakai pakaian, lalu duduk di atas ranjang dengan memandang foto mama.
“Ma ... Mama di mana? Tolong Kinan untuk keluar dari rumah ini. Kinan rindu mama,” ucapku sambil memeluk foto itu.
“Kinan sudah besar, Ma, tapi Kinan sudah tidak seperti anak mama yang dulu. Maafkan kinan .”
***
Di sisi lain, seorang wanita juga tengah merenung dengan foto balita di hadapnnya. Wajahnya yang sedikit menua itu tak lekang dari air mata.
“Kamu ada di mana, Kinan? Mama pengen bertemu, mama rindu sama kamu,” ujar Dona. Mereka saling memandang foto satu sama lain, sambil membisikkan kata rindu lewat semilir angin malam. 
***
Keesokan harinya ...
“Bro sudah pagi, bangun lo!” seru Also sambil memukul meja di dekat ranjang. Dia terlihat kesal akan saudaranya itu.
“Apaan sih lo? Berisik banget, gue lagi tidur!” tukas Fhatir sambil membalikkan badan.
“Bangun, gue mau tanya sesuatu sama lo,” ujar Also sambil menarik tangan Fhatir hingga terduduk.
“Apaan? Gak ada waktu lain apa? Gue capek mau tidur,” dengus Fhatir masih dalam keadaan separuh sadar.
“Lo gila! Tadi malam lo mabuk, ‘kan?” tanya Also membuat Fhatir menatapnya lalu mengangguk tak berdosa.
“Lo sadar apa yang sudah lo lakukan sama Kinan? Gue lihat dia keluar dari kamar ini sambil menangis,” kata Also membuat Fhatir mengerutkan kening.
“Gue gak apa-apakan dia, gitu gue sampai kamar gue langsung tidur,” balas Fhatir sambil menyandarkan kepala di headboard.
“Oh ya? Lalu kenapa baju lo berserakan di lantai? Apa pernah lo tidur gak pakai baju. Gila lo, gue kecewa sama lo. Kalau lo cuma siksa dia, itu gue gak masalah. tapi ini menyangkut masa depan seorang wanita! Lo ngerti nggak?!” Fhatir hanya diam dan tersadar akan perbuatannya. Walaupun dia tak tahu secara jelas, tapi dia tahu apa yang sudah dia lakukan.
“Serius? Gue melakukan itu sama dia? I’m sorry, gue gak sadar,” ujar Fhatir masih merasa shock.
“Banyak bacot lo. Gue tahu dia istri lo, tapi lo gak pantes disebut suaminya,” ucap Also lagi membuat sudut hati Fhatir tertampar keras karenanya.
“Maksud lo apa? Gak usah sok ngerti, deh. Lagi pula ini rumah tangga gue,” balas Fhatir tak terima.
“Oh ... lo gak ngerti maksud gue? Lo itu gak lebih dari bajingan, suami macam apa yang tega menjadikan istrinya pelayan selama tiga tahun belakangan ini?  Hampir setiap hari lo bikin Kinan menangis. Gak terhitung berapa ribu malaikat yang sudah melaknat lo!” kata Also membuat Fhatir diam dalam duduknya, meresapi perkataan Also yang benar menurut hatinya, tapi tidak dengan egonya. 
“Ja-di gue ha-rus apa?” tanya Fhatir dengan terbata. Dia sadar yang dilakukannya adalah salah. Fhatir adalah manusia, dia pasti punya sisi baik dan buruk dalam dirinya. Dan sekarang, sisi baik itu terbuka dan meronta ingin keluar.
“Lo masih nanya harus apa? Cih ... katanya laki-laki, tapi untuk memuliakan wanita saja lo gak tahu!” kata Also sambil berjalan keluar kamar dan menendang bola basket milik Fhatir yang tergeletak di lantai, meluapkan amarahnya.
“Apa gue harus minta maaf sama dia? Dan apa dia bakal maafin gue?” tanya Fhatir membuat Also menoleh.
“Berdoa saja lo, supaya dimaafkan oleh Kinan, karena rida Allah pada suami tergantung pada rida istri. Dan itu yang gak pernah lo pikirkan selama ini,” ucap Also yang sepertinya menjelma menjadi seorang ustaz sambil menutup pintu kamar kuat.
Apa benar ya? Gue udah keterlaluan sama dia? bathin Fhatir sambil beranjak ke kamar mandi. Pikirannya kini dipenuhi oleh perasaan bersalah dan juga dosa, tapi gengsi juga selalu mengikutinya.

Bình Luận Sách (176)

  • avatar
    Rusmawati Ketty

    sedih.tpi terharu karna romantis

    5d

      0
  • avatar
    Sann Gaurifa

    sangat menarik alur cerita nya

    17d

      0
  • avatar
    susiloDavit

    bagus

    24d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất