logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Mbak Mulyani

BPS (Bidan Praktek Swasta) Indri
Part 4
***
Kami makan di dapur, menemani Bu Isah yang sedang duduk sambil minum segelas air kopi. Dia masih merebus singkong untuk camilan karyawan yang piket malam.
Dapur di rumah Bu Indri tempatnya terbuka, menyatu dengan tempat untuk menjemur cucian. Alat untuk memasak yang digunakan pun bukan kompor apalagi kompor gas. Bu Isah memasak dengan menggunakan tungku. Lebih cepat matang dan masakan pun terasa lebih enak, begitu menurutnya, ketika kutanya kenapa tak menggunakan kompor atau kompor gas saja.
Saat sedang makan, tiba-tiba aku merinding, entah kenapa. Tak sengaja aku melihat ke arah pintu keluar yang ada di tembok bata. Seperti ada sepasang mata yang sedang memperhatikan kami. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Mbak Nita, ada telepon dari Ibu," kata Clara, anak bungsu Bu Indri.
"Oh … iya. Sebentar."
Aku segera beranjak dari duduk dan mengikuti Clara ke ruang tengah, lalu mengambil gagang telepon yang diletakkan Clara di atas meja bufet.
Dalam percakapan di telepon, Bu Indri memberitahu kalau beliau tak bisa pulang, karena ada hal penting yang sedang dibicarakan dengan keluarga besar beliau.
"Kalau ada pasien inpartu (akan melahirkan), kamu tolong saja, Nit. Tapi kalau kamu ragu, kamu bisa susul Bu Santi. Minta antar Mulyani ke sana," titah Bu Indri di seberang telepon.
"Iya, Bu," jawabku, meski aku tak tahu siapa itu Bu Santi yang dimaksud oleh Bu Indri.
Aku kemudian kembali ke dapur, setelah selesai menerima telepon dari Bu Indri.
"Bu Indri nggak bisa pulang malam ini," kataku sambil meneruskan makan.
"Mungkin masih belum selesai ngurusi Mas Radit," kata Bu Isah sambil membetulkan kayu bakar di tungku.
Aku tak ingin bertanya lebih lanjut tentang siapa Mas Radit yang dimaksud oleh Bu Isah. Malas saja. Melihat wajah Bu Isah yang tak pernah terlihat tersenyum, aku berpikir pasti orangnya tak begitu bersahabat.
"Nah … singkong rebusnya sudah matang, nanti dibawa ke depan, Mbak Nita. Biar untuk dimakan bareng Mulyani," kata Bu Isah sembari memberikan sepiring singkong rebus yang asapnya masih mengepul.
"Iya, Bu. Terima kasih."
Aku kemudian membawa singkong rebus itu ke depan setelah selesai makan dan mencuci peralatan makan yang kupakai.
"Biasanya yang piket malam datang jam berapa, Bu?" tanyaku pada Bu Paini saat kami berjalan ke ruang depan.
"Jam delapan."
Aku melihat jam di tangan, sudah jam setengah delapan. Berarti kurang setengah jam lagi Mbak Mulyani datang. Aku masih penasaran, seperti apa wajahnya, apakah benar perempuan yang kulihat sedang mengepel lantai saat pertama datang ke BPS Indri.
"Apa nanti Ibu mau langsung pulang kalau Mbak Mulyani sudah datang?" tanyaku.
"Iya, Mbak. Biar nggak kemalaman. Rumah saya agak jauh dari jalan, jadi kalau sudah lewat jam tujuh malam sudah sepi."
"Kok nggak minta dijemput suaminya, Bu?"
"Suami saya kerja di luar kota, Mbak. Pulangnya sebulan sekali. Sekarang belum waktunya dia pulang, masih seminggu lagi."
Aku manggut-manggut mendengarkan cerita Bu Paini. Ketika kami sampai di pintu ruang depan, tampak seorang perempuan memakai baju seragam seperti yang dipakai Bu Paini. Dia sedang menyapu, badannya membelakangi kami. Tak terlihat wajahnya.
"Mbak, itu Mulyani sudah datang, saya langsung pulang ya," kata Bu Paini.
"Loh nggak ngobrol dulu sama Mbak Mulyani? Lagian ini kan belum jam delapan."
"Enggak, Mbak. Yang penting Mulyani sudah datang. Jadi Mbak Nita ada temannya," kata Bu Paini sambil berjalan ke arah pintu samping.
Aku mengikutinya. Bu Paini kemudian mengambil sepeda yang disandarkan di bawah pohon asam.
"Saya pulang dulu, Mbak," kata Bu Paini sambil mulai mengayuh sepedanya meninggalkan BPS.
Di luar sangat sepi. Aku melihat ke arah pohon asam, tiba-tiba saja merinding, bulu kudukku meremang. Cepat-cepat aku masuk, mencari Mbak Mulyani di ruang perawatan.
Namun, tak kulihat dia di sana. Mungkin sedang ke dapur, nanti saja kutemui setelah salat isya, pikirku.
Aku lalu masuk ke kamar, mengambil air wudu dan mendirikan salat isya.
Ketika sedang berdoa setelah selesai salat, aku mendengar suara sepeda motor berhenti di luar. Lalu, terdengar suara langkah kaki menuju ke pintu samping sambil mengucapkan salam. Langkah itu kemudian menuju ke ruang depan.
Aku melepas mukena dan melipatnya, begitu selesai berdoa. Lalu, keluar kamar dan berjalan ke arah depan.
[Siapa ya yang barusan datang? Kenapa dia masuk ke ruang depan? Bukankah Mbak Mulyani sedang ke dapur?]
Di ruang administrasi tampak seorang perempuan sedang duduk sembari sibuk menyisir rambutnya, mungkin kusut karena baru turun dari motor.
"Maaf, Mbak siapa, ya?" tanyaku.
Terlihat perempuan itu agak terkejut dan melihat ke arahku. Dia tersenyum dan buru-buru mengikat rambutnya. Sesaat aku tertegun, dia bukan perempuan yang sedang mengepel lantai kemarin malam. Dia sepertinya berumur sekitar 20 tahun, hanya beda beberapa tahun denganku.
"Aku, Mulyani," jawabnya sambil mengulurkan tangan kanan ke arahku.
[Mbak Mulyani? Bukankah dia tadi ke belakang?]
"Oh … iya, Mbak. Aku, Nita," kusambut uluran tangannya dengan perasaan yang masih bingung.
"Ngobrolnya nanti ya, Mbak. Waktunya masih panjang kan, kita ngobrol sampai pagi sambil nungguin pasien datang. Sekarang aku mau nyapu dulu," katanya sambil beranjak dari duduk dan menuju ke ruang belakang, barangkali akan mengambil sapu, karena semua peralatan untuk bersih-bersih tersimpan di sana.
Aku melongo. Jadi yang tadi kulihat dengan Bu Paini sedang menyapu itu siapa? Bukankah Bu Paini bilang itu Mbak Mulyani? Aku bergidik dan segera menyusul Mbak Mulyani ke belakang.
Mbak Mulyani kemudian menyapu ruang depan. Aku duduk di ruang administrasi sambil mengamati ruangan yang bisa terlihat oleh mataku.
Tiba-tiba kupingku terasa dingin, seperti ada yang meniup. Kuusap dengan tangan kiri, tapi tiupan itu seperti semakin kuat. Aku menoleh ke arah kiri dan kanan, tentu saja tak ada siapa pun. Aku bergidik, lalu beranjak dari duduk dan bergegas menghampiri Mbak Mulyani.
"Mbak udah lama kerja di sini?" tanyaku.
"Kerja yang digaji ya baru tiga tahun," jawab Mbak Mulyani, dia sedang mengelap meja kecil di samping ranjang pasien.
"Maksudnya, Mbak?" tanyaku tak paham dengan apa yang baru saja dia katakan.
Sejak SD aku disekolahkan Bu Indri. Sampai SMEA aku tinggal di sini dan membantu pekerjaan Bu Isah di dapur."
"Oh … berarti sudah lama ya tinggal di sini. Sudah paham semua yang ada di rumah ini."
"Iya, Mbak. Baru tiga tahun aku tinggal di rumah, karena Ibuku tinggal sendirian, sejak Bapak meninggal."
"Oh … begitu. Eh … iya, Mbak. Tadi Bu Indri telepon, katanya kalau ada pasien yang mau partus tapi aku nggak bisa nolong, suruh panggil Bu Santi. Dia itu siapa, Mbak?"
"Bu Santi itu teman Bu Indri di puskes. Dia asisten bidan, tinggalnya di perumahan pustu, nggak jauh dari sini."
"Jadi selama ini kalau Bu Indri nggak di rumah, Bu Santi yang nolong partus?"
"Enggak juga sih, kan ada Mbak Siwi, perawat yang kerja di sini sebelum Mbak Nita. Cuma kalau ada panggilan partus di luar dan Bu Indri nggak bisa datang, ya Bu Santi yang berangkat."
"Kalau Mbak Mulyani pernah nggak nolong partus di luar?" tanyaku.
Karena menurut cerita ketiga ibu yang bekerja di BPS Indri, mereka kadang dipanggil untuk menolong persalinan. Mereka adalah dukun bayi terlatih yang sudah mengikuti beberapa kali pelatihan.
"Sudah beberapa kali. Itu juga terpaksa, karena si ibu sudah nggak tahan mau mengejan, sedangkan untuk manggil bidan atau dibawa ke sini jaraknya jauh."
"Waahh … sudah berpengalaman dong ya?"
"Tadinya sih aku cuma sekadar nolongin tetangga, eh … lama-lama banyak yang minta tolong. Akhirnya Bu Indri nyuruh aku untuk ikut pelatihan dukun bayi di puskesmas."
Setelah selesai menyapu, Mbak Mulyani duduk di sebelahku. Kami kemudian mengobrol, saling berkenalan sambil makan singkong rebus yang sudah dingin.
"Aku mengunci pintu samping dulu ya, kayaknya nggak akan ada pasien berobat yang datang," kata Mbak Mulyani, jam di dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Aku ikut, Mbak," kataku sambil buru-buru menyusulnya.
"Mbak Nita tidur di kamar saja, biar aku yang jaga. Nanti kalau ada pasien aku bangunin."
"Mbak tidur di mana?"
"Di ruang administrasi. Atau di kamar depan." (Kamar perawatan)
Aku memandang Mbak Mulyani. Ragu. Tak tega rasanya harus membiarkan dia tidur sendirian di ruang administrasi. Namun, untuk menyuruhnya tidur di kamarku juga tak mungkin, karena ranjang di kamarku takkan muat untuk tidur kami berdua.
"Kita tidur bareng saja di kamar perawatan, Mbak," usulku.
Akhirnya kami berdua tidur di kamar perawatan.
***
Tok … tok … tok …
Samar-samar terdengar suara ketukan di pintu. Perlahan aku membuka mata, lalu melihat jam di dinding, sudah pukul dua malam. Kutajamkan pendengaran, suara ketukan itu berasal dari pintu depan.
Aku melihat ke ranjang sebelah, Mbak Mulyani tak ada di sana. Barangkali dia sedang di kamar mandi. Lama menunggu, tak ada yang keluar dari sana.
Aku bangun, berjalan ke arah kamar mandi dan mengetuk pintunya. Lalu, memanggil Mbak Mulyani. Tak ada suara yang menyahut. Perlahan kubuka, tak ada siapa pun di sana.
Tok … tok … tok …
Suara ketukan itu terdengar lagi. Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Jantungku berdetak tak karuan. Keringat dingin mulai menetes di kedua pelipisku.
Meskipun merasa takut, aku menghampiri pintu untuk membukanya, mungkin saja pasien yang datang.
Aku mengintip dari balik hordeng, siapa gerangan yang mengetuk pintu.
***
Bersambung

Bình Luận Sách (263)

  • avatar
    Sweetypie

    cerita nya bener² menarik, setiap bab nya selalu di buat penasaran terus gaya bahasa dan cara penulisan pun enak untuk di baca dan di pahami

    26/12/2021

      2
  • avatar
    Elviera

    Best banget cerita ini penuh dengan misteri dan teka teki... Tidak terlalu serem tapi kalau dibikin film mungkin serem sihhh hahha😂kalau kalian semua penasaran boleh start reading yaaa😍😍😍

    21/12/2021

      0
  • avatar
    Sri Sunarti

    bagus banget ceritanya

    2d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất