logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 9 Lelaki Berlogika

Suasana pagi ini terasa berbeda. Ethand dengan setelan jas hitamnya sedang memakai jam tangan bermerek Rolex edisi terbatas. Rambutnya terlihat lembab dengan wajahnya yang maskulin dan rahangnya yang tegas. Pakaian santai yang biasa dipakainya ketika berada di Amerika kini tergantikan dengan pakaian formal dan membuat dirinya terlihat berbeda. Ketika berada di Amerika ia menyembunyikan statusnya sebagai pewaris tunggal Alves Corp. Hal itu dilakukannya agar dapat menemukan lingkungan yang tulus tanpa memandang latar belakangnya.
Tok…tok
Ethand segera membalikkan badannya yang semula menghadap cermin dan berjalan menuju pintu. Ia segera membukanya. Terlihat Ella dengan raut wajah keibuannya.
“Ternyata kamu sudah siap?”
“Sudah, Ma.” Ethand dengan suara baritonnya. Ella menatap wajah putranya yang seakan tumbuh lebih cepat dan sudah sangat matang untuk menikah itu.
“Mama lupa kalau kamu sudah besar dan mandiri.” Suara Ella membuat Ethand melingkarkan tangan dibahu ibunya.
“Semua anak akan tumbuh dan mandiri, Ma. Siap dan tidak, life must go on. Dan aku harap, kasih sayang Mama tidak akan pernah luntur kepada putra Mama ini.” Ethand mengusap pundak ibunya lembut. Mendapat perlakuan demikian, Ella merebahkan kepala di dada bidang putranya.
“Kamu satu-satunya anak yang Mama miliki, sampai kapan pun kasih sayang itu tidak akan pernah luntur.”
“Sampai aku menikah?” tanya Ethand sengaja memancing ibunya.
“Sudah tentu, Sayang.” Ella dengan dahi dikerutkan.
“Sudah ku duga.” Ethand menahan tawanya.
“Kamu ngerjain Mama, yah?” Ella segera mencubit perut putranya. Ethand refleks melepaskan lingkaran tangan di bahu ibunya. Ella merasa puas ketika melihat wajah Ethand yang kaget itu. “Skor 1-1.” Ella langsung berbalik dan meninggalkan Ethand dengan mulut menahan tawa itu. “Jika sudah selesai, segeralah turun untuk sarapan.” Ella berucap dan sesekali menoleh ke arah putranya. Ethand hanya  menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Sudah pukul 07.30, Ethand sudah berada di dalam Buggati Chiron-nya. Ia segera memasang sabuk pengaman dan mengendarai mobilnya menuju Alves Corp. Hari ini akan diadakan rapat dengan para pemegang saham. Melihat ada begitu banyak dana perusahaan yang hilang, Ethand harus lebih tegas dan disiplin dari Giorgino, ayahnya.
Lima belas menit kemudian, Alves Corp terlihat megah karena cahaya mentari pagi yang mengenainya. Semegah-megahnya Alves Corp, manik hitam milik Ethand lebih tertuju pada pundak seorang gadis yang sempat menganggu pikirannya semalam.
“Masih sama.” Gumam Ethand seraya membunyikan klakson mobil. Ia sedikit menyesal karena telah membuat wanita itu kaget. Namun, Ethand tidak memedulikan itu dan terus melajukan mobilnya. Ia tersenyum ketus ketika melihat mulut wanita yang entah mengucapkan kalimat apa.
Mobil Ethand berhenti tepat di pintu masuk perusahaan. Matanya terus melihat ke arah wanita yang sedang berbicara dengan satpam itu. Ethand segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Ryan, pecat satpam bagian pintu masuk.” Ethand langsung mematikan sambungan telepon tersebut. Ia tidak menyukai jika ada lelaki hidung belang yang bekerja di perusahannya.
Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk setir mobil dan matanya masih tertuju ke arah wanita yang sudah masuk lewat pintu samping perusahaan tersebut. Setelah pundak wanita itu tidak terlihat, Ethand pun turun dari mobilnya. Penjaga di pintu masuk terkejut ketika melihat kehadiran Ethand. Dengan cepat ia menundukkan kepala dan memberi salam kepada petinggi Alves Corp itu. Ethand tidak menyahut dan terus melangkah  masuk. Terlihat beberapa lelaki berlari menuju ke arahnya. Mereka dengan napas terengah-engah memberi salam pada Ethand. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Ethand. Menurutnya, beberapa dari mereka adalah orang-orang yang mengambil uang milik perusahaan. Dan ekor matanya masih tertuju pada wanita ber-hodeed eyes di salah satu sudut ruangan. Sampai lift tertutup pun mata Ethand masih tertuju pada pundak wanita yang berjalan menuju salah satu ruangan tanpa nama.
Mata Ethand bergerak ke sana kemari. Dia baru meyadari jika dirinya sejak tadi terfokus kepada wanita itu lagi. Ia berdecak kesal. Beberapa pegawai yang mendengar decakannya sontak menundukkan kepala tidak berani menatap ke arahnya. Bahkan ada beberapa pegawai yang umurnya dua kali lipat dari umur Ethand. Mereka tidak berani bersuara dan lebih memilih diam. Lift itu pun menjadi seperti kuburan di tengah malam. Mereka tidak berani menekan tombol lantai yang dituju mereka karena Ethand berdiri tepat di sampingnya. Raut wajah Ethand dengan dahi berkerut membuat para penghuni lift seolah mati kutu. Untuk bernapas pun dikontrol agar tidak menimbulkan suara.
Mereka pun menghembuskan napas lega ketika Ethand keluar dari lift tersebut. Satu persatu dari mereka pun berebutan untuk menekan tombol berangka lantai mana mereka bekerja.
Lantai lima puluh Alves Corp yang merupakan lantai terakhir dari gedung itu, Ethand yang masih merasa aneh dengan dirinya duduk termenung di meja kerjanya. Sesekali ia mengecek jam di pergelangan tangannya. Sudah lima belas menit berlalu dan ia tidak melihat kehadiran Ryan. Ethand menyuruhnya untuk bertemu langsung dengan Emma untuk memastikan bahwa wanita itu bukanlah utusan dari rival Alves Corp.
Tiga puluh menit berlalu. Ethand merasa jenuh di dalam ruangannya. Ia bangkit berdiri dari kursi kebesarannya dan berjalan keluar dari ruangan itu. Ada taman di lantai empat puluh lima yang sengaja dibuat oleh Giorgino untuk semua pegawai dapat melepas lelah. Sudah lama Ethand tidak mengunjunginya. Sambil menggenggam ponsel, Ethand kembali memasuki lift dan menuju ke sana.
Aroma bunga harum semerbak ketika pintu lift terbuka. Masih pagi dan tidak ada pegawai di sana. Ethand dengan tangan di dalam saku kerjanya berjalan ke tengah taman. Ada beringin yang dililitkan pada sebuah batu karang. Entah sudah berapa umurnya, Ethand tidak dapat menduganya. Langkah kaki Ethand di percepat ketika melihat sesuatu pada daun beringin itu. Dengan tangan kanannya, ia mengambil serangga yang menempel pada daun beringin. Ethand membuang hewan itu ke lantai. Kaki panjangnya berniat menginjak serangga itu.
“Berhenti!” Suara seorang wanita dari balik sebuah pot bunga Kamboja. Mendengar teriakan seorang wanita, Ethand kembali meluruskan kakinya dan menoleh ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya ia ketika melihat siapa wanita itu. Emma berjalan kea rah Ethand dengan raut wajah kesal.
“Benci terhadap suatu maklhuk hidup boleh-boleh saja. Asalkan tetap berlaku adil.” Emma dengan suara tegas. Ia menundukan badannya dan kembali memungut serangga yang di buang oleh Ethand. Dahi Ethand berkerut dan menatap tajam wanita dihadapannya kini.
“Serangga ini tidak merugikan tanaman dan bunga-bunga disini. Dia hanya menumpang hidup dan tidak memakan bunga-bunga ini.” Suara Emma kembali menggema di taman itu. Ethand enggan menjawab dan terus menatap Emma.
Tidak mendengar suara pembelaan dari lelaki dihadapannya, Emma menoleh ke arahnya. “Ngapain kamu disini?” tanya Emma.
Ethand membuang tatapannya ke samping dan enggan menjawab Emma. Ia kembali memasukkan tangannya ke dalam saku celana kerjanya.
“Apakah dia bisu?” gumam Emma dan tidak menyadari jika Ethand dapat mendengar ucapannya. Sebelah sudut bibir Ethand berkedut samar. Ethand masih terdiam dan enggan merespon wanita yang berjalan menjauhinya. Ekor matanya terus mengamati pergerakan Emma. Matanya menangkap bahwa Emma dengan telaten membersihkan daun kering dari bunga-bunga yang daunnya tampak menguning. Kedua alisnya terangkat dan menghembuskan napas pelan.
“Apa jabatan kamu di perusahaan ini?” tanya Emma. Suaranya terdengar samar-samar karena posisi mereka yang berjauhan. Emma di pojok Barat dan Ethand di pojok Timur.
“Apakah dia benar-benar tidak tahu siapa aku?” Ethand bertanya dalam hati. Sebuah senyum ketus terukir di bibirnya.
“Saya hanyalah pegawai biasa.” Suara berat Ethand membuat Emma harus mengalihkan perhatian dari bunga dihadapannya. Hodeed eyes milik Emma beradu dengan manik hitam Ethand. Entah sejak kapan jarak mereka tersisa tiga meter.
“Bahkan freeman ‘pun selalu berpikir terlebih dahulu sebelum dia mengatakan sesuatu.” Emma kembali menunduk pada bunga yang sempat diabaikannya itu.
“Maksud kamu?” tanya Ethand dengan dahi yang semakin dikerutkan.
“Mana ada pegawai biasa bisa mengendarai mobil mewah.”
Ethand baru menyadari arti perkataan Emma.  “Bukan wanita biasa.” Batin Ethand.
“Apakah seorang pegawai biasa tidak dapat membeli mobil?”
Emma menoleh ke arah Ethand. “Bukan maksudku seperti itu.”
“Lalu?”
Emma terdiam. Lelaki ini sepertinya berbeda dengan lelaki yang biasa ditemuinya. Dari aura dan cara bicaranya jelas berbeda. Jika lelaki lain menggunakan kalimat manis untuk berbicara dengannya, maka lelaki ini menggunakan logika dari setiap kalimat yang diucapkannya. Untuk sesaat hanya netra mereka yang saling beradu dan tidak ada kalimat yang keuar dari mulut keduanya.

Bình Luận Sách (469)

  • avatar
    Liaaaa

    aaaa cinta banget sama cerita ini, setelah menunggu lama dan pemasaran akhirnya bab 150 adalah akhir dari cerita, thanks you thorr telah memberikan cerita terbaik, selalu semangat thorr❤️

    01/04/2022

      1
  • avatar
    Arif Karisma

    Cerita ny sungguh menarik dan menghibur saya suka sekali dengan alur ceritanya

    27/03/2022

      0
  • avatar
    Umayyachan

    suka suka suka, pdhl baru baca setengahnya tpi kuudah jth cinta dari bab 1❤ semangat updte sesering mungkin ya thor 💪

    29/12/2021

      1
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất