logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 50 Misteri Kecelakaan Brandon

“Iya, Mas. Sebentar lagi saya naik ke atas,” pungkas Nadzifa sebelum mematikan sambungan telepon.
Keduanya saling berbagi pandang dalam hening. Suasana mendadak canggung ketika tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara mereka berdua. Hanya sorot mata yang mengutarakan betapa dalam rindu yang mereka rasakan.
Andai saja ini bukan lobi rumah sakit, Farzan sudah memeluk Nadzifa dengan erat. Mencurahkan semua kerinduan yang terasa satu bulan belakangan. Dia berjanji tidak akan melepaskan gadis itu lagi.
Netra hitam Nadzifa tampak berkaca-kaca, sebelum bulir bening menetes di pipi tirusnya. Setelah memasukkan ponsel ke dalam sling bag, ia menyeka air itu dengan telapak tangan.
“Kamu ke mana aja, Zi?” desis Farzan tercekat.
Akhirnya ia bisa berjumpa lagi dengan gadis yang mampu membuat perhatian seorang Farzan Harun teralihkan. Sosok yang menghiasi pikirannya tiga bulan terakhir.
Nadzifa menundukkan kepala, kemudian menggeleng. “Aku nggak ke mana-mana kok,” sahutnya kembali menegakkan pandangan dengan seulas senyum getir.
Gadis itu menunjuk ke lantai atas. “Aku mau temui Mas Brandon dulu,” ujarnya berlalu dari hadapan Farzan.
Pria itu langsung mengekor di belakang Nadzifa yang sudah menaiki tangga. Dia tak menyangka penampilan gadis itu bisa berubah dalam waktu singkat. Bahkan dari caranya berbicara juga tampak berbeda. Tak lagi sama dengan ketika mereka terakhir berjumpa.
“Habis itu bisa kita bicara?” tanya Farzan setelah mereka berada di ujung tangga bagian atas.
Langkah Nadzifa berhenti. Tubuh semampai itu berbalik melihat ke arah Farzan.
“Mau bicara apa? Bukannya kita udah nggak ada urusan apa-apa lagi?” balas Nadzifa menahan sesak di dada. Dia berpikir hubungan yang dijalin dengan Farzan, tidak ada artinya bagi pria itu.
“We need to talk, Zi.” Farzan memohon dengan sungguh-sungguh.
Nadzifa melihatnya sebentar, kemudian menarik napas singkat. Kepala gadis itu bergerak ke atas dan bawah. Dia mengayunkan kaki menuju ruang tempat Brandon dirawat.
Farzan kembali mengikuti Nadzifa dengan tenang di belakang. Pandangannya beralih kepada Bramasta yang ternganga melihat kehadiran gadis itu di sana.
“Tuh ‘kan bener. Gue nggak salah lihat. Beneran Mbak Nadzifa ‘kan tuh,” serunya girang.
“Akhirnya Mbak. Ke mana aja sih? Ada yang sampai senewen tuh cariin Mbak,” cerocosnya mengerling kepada Farzan yang sudah berdiri di dekatnya.
Nadzifa tersenyum lembut seraya melirik Farzan. “Gue lagi semedi di puncak gunung,” candanya.
“Pantesan sekarang penampilannya berubah drastis,” komentar Bramasta berdecak mematut Nadzifa dari puncak kepala yang ditutupi kerudung hingga kaki yang terbungkus sepatu kets.
“Bisa aja lo. Gue masih sama kok, nggak ada yang berubah,” balas gadis itu geleng-geleng kepala.
Farzan hanya diam tanpa menyela obrolan kedua orang tersebut. Dia hanya memperhatikan wajah cantik Nadzifa yang kini dihiasi kerudung. Gadis itu semakin menarik di matanya. Aura yang terpancar juga berbeda dari sebelumnya.
“Kayaknya ada yang terkesima nih lihat Mbak,” ledek Bram kembali mengerling usil kepada Farzan.
“Gue ke dalam dulu ya, Bram. Mau jenguk Mas Brandon,” tutur Nadzifa tanpa mengindahkan gurauan pria berkacamata itu.
Farzan berdiri di samping Bramasta dalam hening seraya melihat Nadzifa yang menghilang di balik pintu. Tepukan keras di pundak, menyentakkannya dari lamunan.
“Bengong aja lo.” Bramasta geleng-geleng kepala. “Tuh akhirnya ketemu lagi ‘kan sama Mbak Nadzifa. Buruan jelasin semua sampai ke akar-akarnya. Jangan dilepas lagi. Kalau nggak mau nyesel.”
Pria itu tersenyum samar sembari menganggukkan kepala. “Gue nggak mau lepasin Zizi lagi, Bram. Dia hidup gue.”
“Good. Awas aja kalau lo nggak berhasil yakinkan Mbak Nadzifa nanti.” Bramasta mengangkat tangan kiri sebelum melanjutkan perkataannya. “Gue pulang dulu ya. Salam buat Mas Brandon.”
“Lho nggak mau masuk dulu?” tawar Farzan menunjuk ke ruangan.
Bramasta celingukan ke sela pintu. Kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. “Lagi rame. Besok aja deh. Jangan lupa pesan gue tadi,” cetusnya menepuk lagi pundak Farzan.
“Iya, bawel. Doakan ya, gue dan Zizi bisa balik lagi kayak dulu.”
Pria berkacamata tersebut mengacungkan ibu jari ke atas. “Gue pulang dulu, Zan. See you tomorrow.”
Farzan menganggukkan kepala sebelum sahabatnya berlalu. Dia melihat Bramasta semakin menjauh. Setelahnya bergerak menuju kamar perawatan Brandon. Tilikan netra elangnya melihat Arini tersenyum lebar kepada Nadzifa.
“Makasih ya udah bantuin Brandon, Nadzifa. Kakak nggak nyangka kamu yang temukan Bran,” ucap Arini seraya memeluk Nadzifa.
“Sama-sama, Kak. Aku kebetulan aja ada di dekat sana, makanya bisa tahu Mas Brandon yang ternyata disekap di rumah itu,” sahut Nadzifa tersenyum lembut.
Farzan melihat interaksi Nadzifa dan Arini. Rasanya lega menyaksikan senyum tulus yang tergambar di paras gadis itu. Tidak ada raut cemburu yang terpancar di sana. Apakah itu berarti Nadzifa tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya lagi?
“Kebetulan yang aneh,” celetuk El seraya mengetuk dagu sendiri.
Brandon dan Nadzifa saling berpandangan. Pria itu menggelengkan kepala, agar Nadzifa tidak mengatakan apa-apa.
“Sekarang cerita sama aku, kenapa kamu ke Sukabumi?” Arini menaikkan sebelah alis menatap curiga kepada suaminya.
“Aku … mau ketemu orang, In,” jawab Brandon gugup.
Arini menatap penuh selidik. “Ketemu orang? Siapa? Kamu nggak se—”
“Nggak, Sayang. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh deh. Aku nggak mungkin selingkuh,” sela Brandon cepat.
“Iya, Kak. Nggak mungkin Mas Brandon selingkuh, orang cinta banget sama Kak Arini,” bela Nadzifa tanpa sadar.
Mata Arini berkedip pelan ketika kepalanya mendekat ke arah gadis itu. Dia melipat kedua tangan di depan dada. Tilikan netra cokelat miliknya beralih kepada Brandon.
“Kalian nggak lagi sembunyikan sesuatu dari aku, ‘kan?” selidiknya semakin curiga.
Nadzifa dan Brandon sama-sama menggelengkan kepala.
“Mencurigakan,” desis Arini.
Brandon yang sejak tadi mengamati kondisi Arini angkat bicara. “In. Kamu kayaknya beda deh sekarang.”
“Beda apanya?” Arini mendelik nyalang.
Cara Arini melebarkan mata ini tampak seperti sebelum Alzheimer merenggut kinerja otaknya. Ekspresi yang tidak pernah lagi dilihat oleh Brandon selama tiga tahun belakangan.
Brandon meraih jemari lentik Arini, kemudian memegangnya lembut. “Beda aja. Kamu sekarang kurusan,” cicitnya menatap sendu.
“Mami nggak mau makan, Pi. Baru mau makan setelah dibujuk sama Bang Farzan tadi,” komentar Elfarehza berdecak pelan.
Nadzifa melirik ke arah Farzan dengan wajah mengerucut setelah mendengar kalimat yang dilontarkan El barusan.
“Gimana mau makan? Orang belum ada kabar dari Papi kamu,” sungut Arini menunjukkan wajah sedih.
“Hei, Sayang. Kamu udah janji sama aku buat jaga kesehatan. Jangan gitu. Kalau kamu kurus kayak gini, aku yang sedih.”
Suami istri itu berdebat manja sekarang. Beruntung kondisi Brandon semakin membaik. Meski fisik masih lemah, tapi tidak menyurutkan dirinya untuk mengomel kepada Arini. Pria itu masih belum menyadari kondisi sang Istri yang mulai kembali seperti sedia kala.
Sementara sepasang sejoli yang telah berpisah selama satu bulan hanya bisa curi-curi pandang di tengah percakapan yang didominasi oleh Arini, Brandon dan Elfarehza. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, sebelum ….
“Aku pamit dulu ya, Mas, Kak. Udah malam,” sela Nadzifa kemudian.
Brandon dan Arini mengangguk serentak.
“Dua hari lagi aku ke kantor polisi kasih keterangan lengkap tentang ini. Semoga bisa ketemu Mas lagi di sana, biar informasinya cocok,” sambungnya lagi kemudian.
“Doakan Mas cepat sembuh,” tanggap Brandon tersenyum singkat. “Sekali lagi makasih udah tolongin Mas.”
“Sama-sama, Mas. Aku pulang dulu,” pamit gadis itu bersiap meninggalkan ruangan.
“Aku antar Zizi pulang dulu, Kak, Mas.” Farzan ikut berpamitan kepada Arini dan Brandon.
“Harus dong. Udah malam.” Brandon melihat Farzan dan Nadzifa bergantian. “Maaf pernikahan kalian ditunda karena kecelakaan ini.”
Nadzifa tersenyum kecut. “Mungkin pernikahan itu memang seharusnya nggak ada, Mas,” lirihnya super pelan dan hanya terdengar oleh Farzan.
Gadis itu kembali melanjutkan langkah ke luar ruangan rawat inap. Dia melangkah cepat, agar bisa menghindar dari Farzan.
“Zi, tunggu!” henti Farzan berlari cepat mengejarnya.
Nadzifa tidak mengindahkan panggilan Farzan. Kakinya terus diayunkan menuruni tangga.
Hap!
Farzan berhasil menangkap pergelangan tangannya, sebelum gadis itu tiba di lobi. Nadzifa membalikkan tubuh dan menatap datar ke arahnya.
“Aku mau ngomong, Zi. Please kasih kesempatan buat aku jelasin ini semua.”
“Nggak ada lagi yang harus dibicarakan, Zan. Anggap aja semuanya udah impas.”
Kening Farzan berkerut bingung. Dia menggelengkan kepala. “Aku anterin kamu pulang dulu, kita bisa ngobrol baik-baik di sana. Please, Zi,” pinta pria itu memohon dengan tatapan mengiba.
Bersambung....

Bình Luận Sách (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất