logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 46 Sebuah Keajaiban

Beberapa hari kemudian
Seluruh keluarga Harun sedang berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Suasana begitu hening, tidak banyak percakapan yang tercipta. Keluarga ini masih diselimuti duka yang mendalam.
“Mami makan dulu,” kata Alyssa menyodorkan satu sendok bubur ayam kepada ibunya.
Arini menggeleng lesu. “Mami nggak lapar.”
Anggota keluarga lainnya menatap prihatin kepada wanita itu. Farzan berdiri kemudian berjalan ke dekat Arini.
“Kakak makan ya. Kalau Mas Brandon tahu Kakak nggak mau makan, pasti bakalan sedih,” bujuknya mengambil alih sendok yang ada di tangan Alyssa.
“Brandon?”
Farzan mengangguk cepat. “Kita nggak tahu kapan Mas Brandon pulang ke rumah, jadi Kakak makan dulu. Biar Kakak kelihatan cantik kalau Mas Brandon pulang.”
Senyum merekah di paras cantik Arini, sehingga memperlihatkan lesung pipi di kedua belah pipi. “Brandon pulang?”
“Pasti, Kak. Aku yakin Mas Brandon pasti pulang,” sahut Farzan optimis.
Sampai detik ini ia masih yakin kalau kakaknya masih hidup. Hanya menunggu waktu saja agar pria itu kembali lagi ke pelukan keluarga Harun.
Lisa yang sejak tadi fokus dengan bubur ayam yang tersaji di hadapannya, menjadi menangis mendengar perkataan Farzan. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Abang bener, Mi. Kalau Papi lihat Mami kurus kayak sekarang, bisa-bisa kita diomelin. Nanti dibilang nggak ngurus Mami,” imbuh Elfarehza beranjak ke belakang sang Ibu. Dia memeluk Arini dari belakang seraya memberi kecupan di pipi tirusnya.
Alyssa juga melakukan hal yang sama, menyemangati Arini agar percaya kalau Brandon pasti kembali. “Nanti Papi bilang gini; Tuh ‘kan, In. Nggak salah aku kasih kamu julukan kutilangdara dulu,” katanya menirukan gaya Brandon tersenyum kecut.
“Makan, Kak.” Farzan kembali mendekatkan satu sendok bubur ayam ke bibir Arini.
“Si Kunyuk Dekil,” lirih Arini terdengar pilu.
Farzan mengangguk membenarkan. Dia membuka sedikit mulut, agar Arini mau menampung bubur ayam yang mulai dingin. Embusan napas lega meluncur dari sela bibir pemuda itu ketika Arini mau memakan bubur ayam tersebut. Dia melanjutkan suapan hingga habis.
“Susunya diminum dulu, Kak,” kata Farzan setelah bubur ayam tandas.
Dengan semangat wanita itu menghabiskan susu hangat yang tersedia di atas meja. Setelahnya ia berdiri dan beranjak ke luar ruang makan.
Alyssa bersiap menemani sang Ibu, tapi Farzan menggelengkan kepala. “Biar Abang aja yang jaga Mami mumpung libur. Gantian. Kamu istirahat aja. Jalan-jalan ke mana gitu sama Fatih.”
Pandangan Farzan beralih kepada Elfarehza. “Kamu juga El. Ajak Syifa keluar weekend,” sarannya.
Dia tidak ingin kedua anak itu terlalu larut dalam kesedihan dan sibuk mengurus Arini, sehingga tidak punya waktu untuk diri sendiri. Farzan hanya mau keluarga ini bisa kembali seperti sedia kala.
Alyssa dan Elfarehza mengangguk serentak.
“Mama dan Papa juga harus istirahat. Jangan banyak pikiran dan jaga kesehatan,” saran Farzan melihat kedua orang tuanya bergantian.
“Apalagi Papa, kemarin seharian di kantor persiapkan acara pelantikanku,” sambungnya lagi tersenyum lembut kepada sang Ayah.
Ya, Farzan akhirnya secara resmi dilantik sebagai Komisaris Utama The Harun’s Group yang baru. Namun tetap saja ada persyaratan yang diajukan sebelum menyetujuinya, ia akan menyerahkan jabatan itu ketika Brandon kembali lagi. Meski hal itu mustahil terjadi.
“Kamu juga, Zan. Kabar kamu dan Nadzifa bagaimana? Sudah sebulan lebih loh dia tidak ke sini. Ada masalah?” selidik Lisa curiga.
Farzan menggelengkan kepala. “Nggak ada kok, Ma. Zizi lagi sibuk aja. Dia juga minta maaf, karena belum bisa main ke rumah.”
Lisa hanya menganggukkan kepala mendengar jawaban Farzan. Sebagai seorang Ibu, ia tahu pasti ada masalah di antara putranya dengan Nadzifa.
“Ya udah, aku keluar dulu temani Kak Arini,” pamit Farzan.
Pria itu bergegas menyusul Arini ke depan rumah. Ternyata kakak iparnya tersebut sudah duduk di kursi yang ada di teras rumah. Baru kali ini wanita itu mau keluar rumah, pasca apa yang terjadi kepada Brandon.
“Cuaca bagus banget pagi ini ya, Kak,” tutur Farzan seraya duduk di kursi satu lagi.
Arini mengangguk menatap nanar langit yang tampak cerah, sehingga warna biru memenuhi bagian atas semesta ini.
“Dulu Kakak sering lihat langit dan birunya air laut sama Mas Brandon.” Wanita itu mengulas senyum getir.
“Kakak pasti kangen banget sama Mas ya?”
Kepala yang dibungkus kerudung itu bergerak ke atas dan bawah. “Rasanya lebih sakit daripada waktu tinggalin Brandon dulu.”
Ingatan Arini kembali ke saat dirinya kabur, beberapa hari sebelum pernikahan Brandon dengan wanita lain dilaksanakan. Dulu pria itu dijodohkan oleh Sandy dengan anak rekan kerjanya. Dia diancam oleh sang Ayah, jika tidak menikah dengan wanita pilihannya maka Sandy akan menceraikan Lisa.
Brandon terpaksa menuruti permintaan pria tersebut, agar ibunya tidak diceraikan. Dia tahu betapa besar cinta Lisa untuk Sandy, sehingga rela dimadu saat itu. Padahal Brandon jatuh cinta dengan Arini dan berniat untuk menikahinya.
Takdir berkata lain, sebelum pernikahan paksaan itu terlaksana, Brandon dan Arini telah menikah terlebih dahulu. Keduanya terpaksa menikah di bawah tangan, pasca terciduk berdua di dalam hotel oleh ayah Arini. Kisah yang berliku membuat cinta mereka semakin kuat. Bersyukur akhirnya Brandon tidak jadi menikah dengan wanita pilihan ayahnya.
Farzan meraih tangan Arini yang berada di lengan kursi, lalu menggenggamnya erat. “Yakin deh, Kak. Mas Brandon pasti kembali lagi. Kita hanya tunggu waktu yang tepat aja.”
Arini mengangguk setuju, kemudian melihat kertas lusuh yang ada di tangan kanannya. “Makanya Kakak tulis di sini, biar nggak lupa, Zan. Kakak nggak mau lupa kalau Mas pernah tinggalin Kakak.”
Wanita itu tertawa getir seraya membersit. “Dia jahat banget ya sampai tinggalin Kakak di saat sakit gini. Padahal dulu waktu Kakak tinggalin, Bran sehat-sehat aja.”
“Jangan nangis, Kak. Mas pasti nggak suka lihat Kakak begini,” kata Farzan menggeleng pelan. Dia mengusap air mata yang membasahi pipi wanita itu.
“Habis Kakak nggak tahu sampai kapan ingat kalau Mas pergi, Zan,” lirihnya tercekat.
Farzan menarik napas panjang seraya mengusap punggung tangan Arini dengan ibu jari. Dia menatap sendu paras cantik itu beberapa saat. Tampak kesedihan dan juga cinta yang sangat dalam di sana.
“Kita harus optimis, Kak. Mas pasti kembali!” tegas Farzan menyemangati Arini.
Pandangan wanita itu terangkat menatap pagar yang tinggi membatasi pekarangan rumah. Tak lama kemudian dia mengalihkan paras kepada Farzan.
“Kamu dengan Nadzifa gimana?” Ternyata Arini masih ingat dengan Nadzifa. Biasanya wanita itu sulit mengingat orang yang baru dikenalinya selama beberapa bulan. Dia juga sering salah dalam menyebut nama suami Alyssa.
“Kakak masih ingat sama Zizi?”
“Ingat dong. Dia ‘kan pacar pertama kamu. Masa Kakak lupa?”
Farzan mengamati Arini dengan saksama. Ada perubahan yang mencolok dari wanita itu sekarang. Caranya berbicara sekarang jauh berbeda dari sebelumnya. Terdengar lebih normal dan wajar.
“Kok dia nggak pernah ke sini lagi?”
Pria itu menatap tak percaya dengan apa yang dikatakan kakak iparnya. Arini tahu kalau Nadzifa tidak pernah lagi berkunjung ke rumah ini. Sepuluh menit berinteraksi dengan wanita itu, tidak ada gejala yang timbul akibat Alzheimer. Biasanya Arini akan lupa lagi dengan apa yang ingin dikatakan atau hal lainnya. Terutama tidak menganggap Farzan sebagai Brandon lagi.
“Ada sedikit masalah, Kak,” ungkap Farzan jujur. Dia memang tidak bisa menyimpan apapun dari wanita ini.
“Kakak minta maaf, karena kejadian ini udah bikin pernikahan kalian batal,” ucap Arini menatap sendu adik iparnya.
“Bukan karena ini, Kak. Ada kesalahpahaman aja antara aku dan Zizi,” balas Farzan tidak ingin Arini merasa bersalah.
“Selesaikan, Zan. Suruh Nadzifa ke sini. Kakak kangen,” desis Arini tersenyum samar.
Belum sempat merespons perkataan Arini, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Kening berukuran ideal itu berkerut sebentar memikirkan telepon dari siapa itu?
“Sebentar, Kak. Kayaknya ini telepon dari polisi,” cetus Farzan seraya menggeser tombol hijau.
“Halo,” sapa Farzan di telepon.
“Halo, Pak Farzan. Saya baru saja mendapat kabar kalau ada warga yang melihat keberadaan Pak Brandon di Sukabumi,” sahut suara berat dari seberang sana. Benar saja yang menghubunginya saat ini adalah salah satu petugas kepolisian.
“Ada yang lihat Mas Brandon di Sukabumi, Pak?” tanya Farzan meyakinkan lagi. Dia melihat ke arah Arini dengan secercah harapan.
Wajah cantik Arini langsung berbinar mendengar perkataan Farzan.
“Benar, Pak. Saya akan berikan alamat lengkap kepada Bapak.”
Farzan menganggukkan kepala sebelum panggilan berakhir. Matanya langsung menghangat melihat Arini menangis bahagia mendengar kabar yang baru saja diterima.
“Kita ke Sukabumi sekarang, Kak. Semoga saja itu benar Mas Brandon dan semoga aja ini salah satu keajaiban yang diberikan Allah,” tutur Farzan kemudian.
Bersambung....

Bình Luận Sách (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất