logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 28 Nadzifa VS Ayu

Nadzifa berdiri di depan pintu flat Farzan selama sepuluh menit. Tangannya bergerak ragu menekan tombol bel. Sejak tadi ia berpikir apakah tindakan yang diambil ini benar? Sebentar lagi ia akan berinteraksi dengan salah satu wanita yang mungkin masih memiliki dendam dengan keluarga Harun, seperti dirinya.
Gadis itu menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan Ayu, karena bagaimanapun wanita itu akan menjadi calon ibu mertuanya. Kepala Nadzifa mengangguk mantap.
Setelah meremas tangan sebentar, akhirnya jari telunjuk Nadzifa menekan tombol berukuran kecil yang ada di samping kosen pintu.
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul di sela pintu dengan raut wajah bingung.
“Siapa ya?” tanya Ayu lupa dengan wanita yang keluar dari flat putranya kemarin siang.
Nadzifa tersenyum anggun seraya menunjuk flat miliknya dengan ibu jari. “Aku Nadzifa tetangga depan, Tante. Pacarnya Farzan.”
Sebelah alis yang menghiasi bagian atas mata hitam itu terangkat. Ayu menatapnya penuh selidik.
“Tadi aku dapat amanah dari Farzan. Katanya suruh temenin Tante cari apartemen. Kebetulan hari ini Farzan ada kerjaan,” terang Nadzifa setengah mengarang cerita. Tentu saja ia yang menawarkan diri untuk menemani Ayu mencari apartemen untuk tinggal sementara.
Ayu mendesah pelan sebelum mengangguk singkat. “Masuk,” suruhnya mengerling ke dalam flat.
“Anak itu keterlaluan, pakai suruh orang temani segala. Kenapa nggak dia aja yang antar cari apartemen,” gerutu Ayu pelan tapi masih terdengar oleh Nadzifa.
Gadis itu hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar kalimat bernada gerutuan itu. Dalam hati dia memaklumi tindakan Farzan yang tidak suka dengan sang Ibu.
Pantas aja Farzan malas ketemu sama Nyokap kandungnya. Orang klibernya kayak gini. Huh! batinnya.
Tanpa disuruh Nadzifa sudah duduk di sofa, tepat di samping Ayu. Dia mengamati wanita paruh baya itu dengan saksama. Meski sekarang sudah tua, gadis itu bisa menerka dulunya Ayu seorang wanita yang cantik. Namun semua berubah seiring berjalannya waktu.
Kalau nggak salah usianya sama kayak si Brandon dan Kak Arini. Tapi kok jauh banget perbandingan mereka? Apa karena Kak Arini memang awet muda? ujarnya lagi dalam hati.
Nadzifa memang mengagumi kecantikan Arini yang tidak lekang oleh waktu. Wanita yang memasuki pertengahan empat puluhan, masih terlihat seperti usia awal tiga puluhan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Bramasta, Arini mungkin keturunan Vampire. Ah, ada-ada saja.
“Sudah lama pacaran sama Farzan?” selidik Ayu membuka percakapan, “kok dia nggak pernah cerita sedang dekat sama perempuan?”
Emangnya si Farzan mau cerita panjang sama Tante? gumam Nadzifa dalam hati.
“Kenalnya udah lama, Tan. Pacaran baru tiga hari,” jawab Nadzifa mengatakan yang sebenarnya.
Bibir tipis Ayu membulat. “Oh gitu. Masih baru berarti.”
Emang kalau masih baru kenapa? Masalah? Lagi-lagi kalimat itu hanya bisa diucapkan di dalam hati.
“Iya, Tan. Baru banget. Tapi karena kita udah lama kenal, jadi nggak mau lama-lama pacaran juga,” terang Nadzifa berusaha tetap ramah dan terlihat baik di depan calon mertua.
“Maksudnya kalian ada rencana mau nikah?” Ayu masih mengajukan pertanyaan bernada interogasi.
“Iya, Tan.”
“Tapi usia Farzan masih muda. Nggak bisa! Masih banyak yang harus diraih sebelum menikah,” lontar Ayu keberatan.
Kening Nadzifa berkerut sekarang, tapi selang satu detik kemudian kembali normal. Dia tidak boleh terpancing dengan sikap Ayu yang gampang ditebak.
“Maaf, Tan. Yang pengin cepat-cepat nikah itu Farzan. Malahan kalau bisa bulan depan,” kata Nadzifa tersenyum miring.
Mata hitam Ayu melebar seketika. Kepalanya menggeleng tegas. “Saya nggak izinkan. Paling nggak tunggu sampai Farzan duduk di kursi direktur perusahaan Papanya dulu.”
Nadzifa benar-benar berusaha keras untuk mengontrol emosinya. Berbicara lima belas menit saja dengan Ayu sudah membuat darahnya mendidih. Lagi-lagi dia mendukung sikap yang diambil Farzan. Ternyata ibu dari pria yang akan dinikahinya benar-benar jauh dari kata baik.
“Kalau begitu silakan Tante ngomong sama Farzan. Dibujuk aja buat tunda dulu juga nggak apa-apa.” Nadzifa kembali tersenyum manis.
Gadis itu yakin sekali kalau Farzan tidak akan pernah menunda pernikahan.
“Orang tua kamu pemilik perusahaan apa?” Pertanyaan lain kembali dilontarkan Ayu.
Helaan napas pendek terdengar dari hidung Nadzifa. Dia tahu ke mana arah pembicaraan wanita itu sekarang.
“Papa saya udah meninggal, Tan. Kalau almarhumah Mama punya usaha di bidang konveksi. Rumahan sih,” aku Nadzifa apa adanya. Dia ingin melihat reaksi Ayu, karena calon menantunya tidak seperti yang diharapkan.
“Sebaiknya kamu putus aja dengan Farzan. Dia bisa dapat calon istri dari keluarga terpandang, bukan yatim piatu seperti kamu,” ketus Ayu dengan wajah dingin.
Cukup! Sampai di situ kesabaran Nadzifa menghadapi wanita ini. Keinginan untuk membantu Ayu mencarikan apartemen, harus kandas karena perkataan yang didengarkan barusan. Jika bukan calon ibu mertua, dia pasti sudah memakinya.
***
Farzan melangkah gontai memasuki lift yang akan mengantarkan dirinya ke lantai lima. Dia sudah mendapatkan kabar dari Nadzifa, tentang dibatalkannya rencana menemani Ayu mencari apartemen. Gadis itu belum memberitahu alasan yang sebenarnya kepada Farzan.
Zizi: Nanti gue kasih tahu alasannya kalau lo udah pulang.
Hanya itu yang dikatakan Nadzifa tadi siang.
Begitu tiba di lantai lima, Farzan langsung menekan bel flat yang dihuni Nadzifa. Dia masih enggan bertemu dengan Ayu hingga detik ini. Tadi pagi saja, dia hanya mengambil pakaian untuk dikenakan ke kantor.
“Assalamualaikum,” ucap Farzan begitu melihat Nadzifa muncul di sela pintu.
“Waalaikumsalam,” sahut Nadzifa menatap iba pria itu.
“Masuk dulu,” suruhnya mengerling ke dalam flat.
Mereka berjalan beriringan ke dalam, lalu duduk di sofa bersisian. Keduanya hening sebentar, larut dengan pikiran masing-masing.
“Gue minta maaf, karena nggak jadi temenin Nyokap lo cari apartemen,” bisik Nadzifa merasa bersalah.
“Nggak apa-apa, Mbak. Biar aku aja yang cari besok,” tanggap Farzan.
Nadzifa duduk menghadap Farzan, sehingga bisa memandang paras yang tampak menyedihkan itu.
“Lo nggak tanya alasan gue tiba-tiba batalin rencana?” tanya gadis itu masih melihat Farzan.
Farzan menoleh ke arah Nadzifa dengan seulas senyum. “Pasti Mommy bikin Mbak kesel ya?” tebaknya.
Gadis itu tertawa singkat dengan kepala menengadah ke atas. “Gue minta maaf lagi, karena udah sok nasehatin lo kemarin.”
Kepala yang dihiasi rambut model layered itu bergerak ke atas dan bawah. Farzan menyandarkan tubuh di punggung sofa, kemudian menarik napas berat. Hari ini banyak pekerjaan yang harus dilakukan di pabrik. Pulang ke apartemen, dia malam mendapatkan kabar yang tidak enak.
“Kalau gitu, aku boleh nginap lagi di sini nanti malam?” Farzan tersenyum samar.
“Boleh kok. Boleh banget,” kata gadis itu tanpa ragu.
“Makasih, Mbak.”
Nadzifa berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Dari kemarin gue pengin protes karena lo panggil ‘Mbak’ lagi, tapi nggak jadi-jadi. Panggil Zizi aja kenapa sih? Lucu aja panggil calon istri dengan sebutan ‘Mbak’,” celotehnya.
Farzan tertawa mendengar perkataan gadis itu. Dia masih belum terbiasa memanggil Nadzifa dengan panggilan nama kecil.
“Emang Mommy tadi ngomong apa sampai kesel kayak gitu?” Tampak raut penasaran di wajah Farzan.
Gadis itu meniup napas keras sebelum berbicara. “Gue tadi bilang kalau kita pacaran dan mau nikah dalam waktu dekat.”
“Oya? Trus?”
“Lo belum ngomong ke Nyokap lo ya?”
Farzan menggelengkan kepala. “Aku jarang komunikasi dengan Mommy.”
Nadzifa manggut-manggut paham. “Nyokap lo keberatan kita nikah. Katanya nggak bakal izinkan sampai lo duduk di kursi direktur.”
Dia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi secara lengkap kepada Farzan. Tidak ada bumbu yang ditambahkan di dalamnya, karena tidak ingin menambah beban pikiran pria itu.
“Mommy ngomong kayak gitu?” respons Farzan saat Nadzifa mengatakan kalimat terakhir yang dilontarkan Ayu tadi pagi.
Nadzifa mengangguk membenarkan dengan kepala tertunduk. “Nyokap lo malu kali punya mantu yatim piatu kayak gue,” ujarnya tersenyum kecut.
Pandangan gadis itu terangkat ke atas, sehingga bisa melihat Farzan lagi. “Lo malu nggak nikah sama orang kayak gue? Yatim piatu yang hanya mengandalkan usaha orang tua aja, bukan gadis yang mewarisi kekayaan miliaran.”
Farzan meraih tangan Nadzifa yang ada di atas cushion. Dia menggenggamnya lembut. “Aku juga bukan pewaris harta kekayaan The Harun’s Group. Aku hanya anak haram yang seharusnya nggak lahir dalam keluarga itu. Apa kamu malu punya calon suami kayak aku?”
Mata hitam Nadzifa menghangat mendengar perkataan Farzan barusan. Kisah hidupnya dan pemuda itu sama-sama menyedihkan dengan porsi masing-masing. Namun di balik itu semua, keduanya hanya bisa pasrah dengan permainan takdir yang entah bagaimana membawa mereka ke masa depan nantinya.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan review dan follow akun ini sebelum melanjutkan. Tolong pastikan sudah menyalakan kelima bintang sebelum submit review ya, karena rating akan berkurang jika bintangnya juga berkurang. Hiks.
Follow IG @Leena_gie juga yaa ^^

Bình Luận Sách (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất