logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 De Javu

Untung nametag kutuliskan nama lengkap ku. Jika saja yang kutuliskan OLAN, nama panggilanku. Tentu dia akan langsung mengenali.
Dan untung juga aku sudah memakai cadar. Tentu dia gak akan mengenali ku.
"HAURA MAULANA...!"
"Ii...iya..." kepalaku mendongak saat Kak Safar menyebut namaku.
"Emmm...sepertinya kita pernah ketemu."
"Kurang tau." kutundukan kepala menyembunyikan pandangan dari tatapannya.
"Baiklah semuanya. Sekarang kita akan menuju gedung kesenian. Disana kita akan mendapatkan pengarahan dan hiburan dari kakak-kakak senior lintas fakultas. Silahkan ajukan diri jika ada yang mau unjuk kebolehan. Saya harap, dari kelompok yang saya mentori ada yang bersedia maju ke panggung." Semua saling lirik, mungkin maksudnya saling tunjuk.
Jelas saja aku NO. Aku sama sekali gak ada bakat seni. Kecuali kalo mau bunuh diri mencoba nyanyi di depan orang dengan suara pas-pasan.
"Oke...aku mau tampil bareng Leo." Tukas Haddad.
"Siap, Bro." Leo pun menimpali. "Haddad yang gitarin, gue sama Olan duet aja." Lanjutnya diiringi pelototanku. Sial banget pake nyeret-nyeret orang segala.
"Sip. Aku nanti di panggung tugasnya nepokin aja ya." Jelasku sembari mencubit lengan Leo. Berani-beraninya dia manggil gue Olan, untung Kak Safar gak ngeuh.
"Iiih...sakit tau...biarpun suara kamu jelek, tapi kamu harus percaya diri dengan kejelekanmu." Leo menimpali sambil cengengesan. Hih, dasar koko-koko item.
Setelah bersikeras aku menolak, Kak Safar dan dua temannya menggiring kami menuju gedung kesenian universitas yang letaknya agak jauh dari lapangan.
Karena saking groginya. Kakiku tak sengaja menginjak ujung gamis saat akan berdiri. Alhasil tubuhku langsung terguling. Spontan tangan Kak Safar merangkulku.
"Jangaaannn." seketika ku tepis tangannya.
"Maaf, nanti kamu jatuh."
'Iya, aku memang ga mau jatuh untuk yang kedua kalinya.' batinku memekik.
***
Pukul empat sore acara pengenalan kampus telah selesai. Semua mahasiswa baru dan lama berhamburan menuju parkiran.
Sementara aku langsung berjalan menuju gerbang utama kampus. Kuhentikan langkah saat dari belakang terdengar suara klakson motor.
"Haura, kamu pulang sendirian?" cowo berhelm tertutup menghentikan motornya tepat di depanku. Langkahku tiba-tiba direm.
"Oh iya." Jawabku sembari menunduk.
"Saya antar."
"Ga usah, makasih. Saya duluan, assalamualaikum." langkah kaki ku percepat agar bisa segera nyampe ke gerbang kampus.
"Gapapa, ayo." lagi-lagi cowo itu terus mengikuti.
"Maaf. Saya tidak berboncengan dengan laki-laki." setengah berlari aku menuju angkot yang terlihat berhenti di depan gerbang kampus.
Akhirnya, aku terhindar dari cowo berhelm itu. Cowo yang tiga tahun lalu menjatuhkanku dari langit ke tujuh setelah membawaku terbang dengan sayapnya.
Dalam perjalanan, pikiranku terus melayang. Kejadian ini seperti pernah ku alami. Apakah ini jodoh. Eehh Gustiii..big no.
Jelas-jelas dulu aku dibodohi. Masa sekarang calon dokter dibodohi lagi. Kesalahan yang fatal tidak akan terulang kembali. Cukup dulu aku yang masih polos, belum mengenal seluk beluk kehidupan.
Sumpah ya, lebih baik aku berjodoh sama duren kaya, ganteng, lebay, daripada bujangan tapi tukang PHP-an.
Dalam angkot, aku sedikit termenung. Perjalanan pulang kali ini sungguh terasa lama tidak seperti biasanya. Padahal jarak dari kampus ke komplek perumahan cuman dua puluh menit kalo naek angkot yang leletnya kayak siput jalan di aspal, tengah hari lagi.
Ku luruskan pandangan ke depan. Astoge, ini jalan kemana. Perasaan rumahku bukan kesini arahnya. Gawat. Perasaan mulai tidak enak. Kutatap sekitar, penumpangnya empat orang cowo semua. Ada bapak-bapak ubanan pake topi, ada pria sekitar umur tiga puluhan berkemeja rapi kayak sales minyak angin, ada juga cowo bewokan tatoan rambutnya plontosan. Termasuk bapak supirnya cowo juga.
Melirik ke diri ini. Aku cewe sendirian di angkot ini. Ya Alloh, aku bidadari di sarang penyamun.
"Stoooooooooopppp! Aku mau diculik kemanaaaa? Toloooooong...tolooooooooong!" ku kerahkan semua volume suara. Agar ada yang mendengar suaraku dan si penculik ketakutan.
Angkot tiba-tiba di rem. Semua mata memandangku. Menatap kaku.
Kepala pa supir menengok ke belakang.
"Neng, ngimpi?"
"Abang penculik ya?" seketika peluh membasahi pipiku karena ketakutan.
"Nyebut, Neng...ayo nyebut..." si bapak yang duduk disampingku mendekat.
"Nyebut apa?" aku beringsut menjauh.
"Maneh saha? Kaluar siah tong ngaganggu si eneng eta." si bapa malah ngebentak-bentak.
(*kamu siapa? Keluar, jangan mengganggu si eneng ini.)
"Aku mohon jangan culik aku. Aku mau pulang ke rumah." aku menunduk menangis sesenggukan.
"Neng, rumahnya dimana?" supir angkot tiba-tiba ada di depanku.
"Komplek Katumbiri, Baaaang." dengan terbata ku dongakan kepala perlahan.
"Oooooooooohhh. Neng, salah naik angkot." tergelak seisi angkot menertawaiku.
Umiii..calon dokter diketawain.
Seketika aku menegakkan badan, mencoba mengumpulkan nyawa yang sudah ngambang.
"Eengh. Ini jurusan kemana?"
"Cempaka."
"Oh. Maaf, saya salah naik ternyata."
Menahan malu kaki beranjak turun dari angkot. Tapi, sopir menolak saat aku memberikan pecahan receh.
Untungnya memakai cadar. Mereka gak akan mengenal wajahku jika suatu saat bertemu lagi.
Aku tertawa. Menertawakan kebodohan sendiri. Bagaimana bisa seceroboh ini.
Ku edarkan pandang. Ternyata angkot itu malah membawaku jauh dari arah pulang. Ini adalah jalur menuju rumah Kak Sinta, istrinya Si Manusia Singa.
Seketika ide muncul di benak yang brilian ini. Ku raih hp yang terselip di dalam tas. Menekan nomor Si Manusia Singa.
'Mudah-mudahan bisa nganter pulang.'
Tuuuut!
Tuuuut!
"Assalamualaikum, Olaan." suara di sebrang sana terdengar berat dan serak.
"Lo sakit ya?" Tanyaku memastikan. Ya, khawatir juga sih. Khawatir gak bisa nganterin hehe.
"Jawab salam wajib, dol."
"Waalaikum salam."
"Ada apa? Tumben."
"Gue tersesat, Ojan."
"Nha lho. Kok bisa?"
"Gue salah naek angkot inih. Emmm ga bisa pulang..eemmm duitnya kaga cukup."
"Astaghfirulloh. Dimana lo sekarang?"
"Lampu merah yang mau ke rumah Kak Sinta."
"Kebangetan ya...Lo itu udah gede, udah bisa dikawinin, masa tersesat kayak bocah. Magrib-magrib lagi."
"Elo sebenernya mau nolong apa mau ceramah heh?"
"Ya mau nolong dong. Kan elo yang minta bantuan."
"Ya kalo gitu cepet sini. Ngomel mulu. Cepetan, gue laper."
"Iyah otewe nih gue."
"Lah palingan masih tiduran sambil garuk-garuk tuh rambut jagung."
"Elo mah tau aja. Dasar dukun."
"Cepet Ojan... Gue pengen pipis."
Sepuluh menit kemudian Si Manusia Singa datang dengan mengendarai motor. Memberikan satu helmnya untuk ku pakai.
"Jadi sekarang mau kemana dulu? Pipis dulu apa makan dulu?"
"Pipis, Ojan. Gue gak nahan udah di ujung tanduk inih."
"Yaudah cus.. Kita nyari tempat makan yang deket aja ya, biar langsung pipis."
"He eh..cepet kampret." ku goncang bahu kekar Si Manusia Singa supaya nambah tenaga buat nahan pipis.
Laju motor melambat. Dan berbelok masuk area sebelah kiri. Memasuki kawasan bangunan lima lantai yang tampak megah. Saat mata memicing kemudian membaca running text bertuliskan HOTEL KHATULISTIWA, seketika hati gundah gulana. Dasar manusia mesum.
"Ojaaan... elo mau ngapain gue?"
#
Othor kok ser-seran ya!
Lanjut bacanya yaaaa

Bình Luận Sách (50)

  • avatar
    AndreasJhon

    bagus

    16/08

      0
  • avatar
    Ramadhanzaki

    yabgus

    08/07

      0
  • avatar
    AurelEnjel

    wow

    27/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất