logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 17

Argatha melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Argatha seolah tidak memikirkan keselamatannya. Ia juga tidak mempedulikan beberapa pengguna jalan yang mengomelinya karena naik motor seperti orang kesetanan.
Tin….!
Suara klakson truk pengangkut semen terdengar sangat nyaring, dan beberapa orang berteriak saat melihat Argatha yang menyalip dari sisi sebelah kanan truk, namun terjatuh.
“Astagfirullah!”
“Ya Allah itu anak jatuh!”
“Eh ada orang jatuh.”
Melihat Argatha yang terjatuh tepat di depan truknya, membuat sang supir langsung menghentikan kendaraannya. Ia segera turun untuk membantu Argatha.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya bapak itu.
“Nggak apa-apa pak, Cuma kaget aja,” jawab Argatha sembari berdiri di bantu bapak supir.
Tak berselang lama, beberapa orang pun mendekat dan membawa Argatha ke pinggir jalan.
“Lain kali hati-hati ya nak, alhamdulilah masih diberi keselamatan,” ucap bapak itu.
“Maaf ya pak, gara-gara saya bapak jadi berhenti,” ucap Argatha menyalami bapak itu.
“Iya nggak apa-apa,” bapak itu menepuk bahu Argatha lalu kembali ke truknya.
Argatha menarik napasnya panjang, ia sangat bersyukur hari ini, karena kalau bapak supir tadi tidak menghentikan truknya tepat waktu, mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Ya ampun dek, kalau naik motor itu pelan-pelan,” omel seorang ibu pada Argatha.
“Iya Bu.”
“Kamu masih muda, punya masa depan yang cerah. Walaupun hidup dan mati itu di tangan Tuhan, tapi yang kamu lakuin tadi itu suatu kesalahan yang bisa bikin kamu cepat menghadap Tuhan,” ucap ibu itu sembari memberi Argatha satu botol air mineral.
Argatha meminum air yang diberikan sambil mengatur napasnya.
“Ada banyak hal indah yang menunggu kamu di masa depan. Jadi jangan terlalu cepat untuk menghadap Tuhan.”
Sebenarnya ia terjatuh bukan karena keinginannya, melainkan bannya yang licin, membuatnya gagal menyalip truk itu, sehingga terjatuh.
Argatha masih memandangi jalan yang dalam kondisi ramai. Ia kembali mengingat kejadian beberapa menit lalu, entah kenapa saat ia terjatuh tadi, yang ada di dalam bayangannya adalah sosok Ayana.
°°°°°°
“Ay, kok diam aja?” tanya Arken.
“Ken, bisa berhenti dulu nggak?” pinta Ayana.
“Kenapa?”
“Mau telfon Argatha,” jawab Ayana.
Arken menurut, lalu menepikan motornya.
“Kenapa kok tiba-tiba pengin telfon Argatha? Lo nggak ingat sikap dia ke lo tadi kayak gimana? Lo nggak sakit hati?” tanya Arken.
Ayana terdiam sejenak. Ucapan Arken memang benar, harusnya ia sakit hati dengan perlakuan Argatha, namun ia juga tidak bisa bohong pada perasaannya sendiri.
Tanpa menjawab pertanyaan Arken, Ayana langsung mengambil ponselnya di dalam saku dan segera menghubungi Argatha.
Drrrrt!
Ponsel Argatha berdering. Pria itu langsung melihat ponselnya, tertera nama Ayana di layar. Sebelum mengangkat panggilan dari gadis itu, Argatha mengatur napasnya terlebih dahulu untuk menghilangkan shocknya.
“Argatha dimana? Udah di rumah?” tanya gadis itu setelah Argatha mengangkat panggilan.
“Kenapa?” tanya Argatha dengan suara yang sedikit serak.
“Argatha baik-baik aja kan? Nggak terjadi sesuatu?” tanya Ayana dengan suara yang terdengar sangat khawatir.
“Gue baik-baik aja.”
“Kenapa lo tiba-tiba telfon?” tanya Argatha penarasan.
“Tiba-tiba tadi perasaan Ayana nggak enak, kepikiran Argatha terus, takut terjadi sesuatu sama Argatha. Tapi setelah dengar Argatha baik-baik aja, Ayana udah lega,” jelas Ayana.
“Lo bisa nggak bersikap biasa aja ke gue? Nggak usah khawatirin gue. Kita itu cuma teman, nggak lebih.”
Ayana terdiam sejenak, enggan untuk membalas suara Argatha.
Melihat raut wajah Ayana yang berubah sedih, dengan cepat Arken mengambil handphone Ayana dan menekan speaker.
“Berhenti bersikap kayak gini ke gue, Ay!”
“Lo itu cuma teman gue, bukan pacar!”
“Apa sebagai teman nggak boleh khawatir?” tanya Ayana dari telfon dengan mata yang berkaca-kaca.
Arken mengepal tangannya kuat. Tanpa menunggu jawaban dari Argatha, ia langsung membuka suara.
“Iya lo benar, lo sama Ayana cuma teman, tapi apa salahnya kalau Ayana khawatir sama lo?” tanya Arken dengan suara sedikit meninggi.
“Harusnya lo bersyukur masih ada orang yang khawatir sama lo.”
“Dan satu lagi, gue baru tau kalau di bumi ada cowok kayak lo, yang tega ngomong gitu ke cewek.”
Arken langsung memutuskan sambungan telepon itu, dan mengembalikan handphone  Ayana.
Air mata Ayana perlahan jatuh membasahi pipi halusnya. Ia sudah tidak kuat lagi untuk menahan rasa sedihnya.
Lagi, lagi, dan lagi perasaan Ayana dibuat hancur dengan pria yang ia cintai.
Arken tersenyum simpul, tangannya membantu menghapus air mata yang membasahi wajah gadis itu.
“Jangan nangis. Air mata lo jatuh sia-sia Cuma karena cowok kayak Argatha,” ucap Argatha dengan lembut.
“Ayana bodoh udah jatuh cinta sama Argatha,” lirih Ayana.
“Lo berhak jatuh cinta sama siapapun, Ay,” ucap Arken sembari membelai pucuk rambut Ayana dengan lembut.
“Kenapa harus Argatha yang bikin Ayana jatuh cinta? Ayana salah udah jatuh cinta sama Argatha.”
“Perasaan itu nggak bisa diatur Ay, dan lo nggak salah jatuh cinta,” ucap Arken.
“Cuma, lo jatuh cinta ke orang yang salah.”
°°°°°
Argatha merebahkan tubuhnya ditempat tidur sembari ditemani dengan lagu ‘cinta keadaan’ yang ia putar secara terus-menerus.
“Woy lo nggak bosan dengarin lagu itu terus?” tanya Echa yang tiba-tiba masuk ke kamar Argatha tanpa permisi.
“Gue lagi pengin sendiri.”
“Kenapa lo murung gitu? Cewek lo diambil orang?” tanya Echa sembari duduk dipinggir tempat tidur adiknya.
“Bagus deh kalau cewek lo diambil orang, gue kasihan kalau dia harus ngadepin orang kayak lo setiap hari,” tambah Echa.
“Kak, kalau lo suka sama cowok, terus cowok itu ngejauh, lo bakal ngelakuin apa?” tanya Argatha dengan raut wajah serius.
“Bulan pintu,” jawab Echa.
“Maksudnya?”
“Moon door.”
“Langsung mundur gitu aja?” tanya Argatha lagi.
“Ya iyalah, masa harus ngejar terus. Capek!” ucap Echa.
“Sekeras apapun berjuang buat milikin hatinya, kalau pemiliknya nggak ngizinin, buat apa?” tanya Echa balik.
Argatha merasa tertampar, terguling, dan terjungkal saat mendengar ucapan Echa. Mungkin yang ada dipikiran Ayana saat ini sama seperti pemikiran kakaknya.
Echa mendekat dirinya dengan adiknya itu, membuat Argatha mengerutkan keningnya. “Ngapain lo dekat-dekat?”
“Gue lihat motor lo lecet, lo abis jatuh?” tanya Echa dengan gaya seperti detektif yang sedang mengintrogasi tersangka.

Bình Luận Sách (252)

  • avatar
    Cunda Damayanti

    keren bgt sumpa

    10d

      0
  • avatar
    EN CHo Ng

    hi thank u

    16d

      0
  • avatar
    NgegameAlfat

    ini saya yang mau bicara ya tolong cerita ini sangat menyentuh hati dan prasaan hampir sama seperti yang kisah ku

    22/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất