logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

9. Kejadian di Jalan Raya

Ada rasa senang dan nyaman ketika Icha mengobrol dengan Brian. Namun, ia masih takut menyimpulkan jika Brian tertarik padanya. Icha takut kecewa. Ia pun sadar diri.
Icha sadar seorang Brian pasti diidamkan oleh banyak perempuan. Termasuk dirinya. Namun, untuk berharap agar perasaannya terbalas Icha tak berani. Ia takut sakit.
Ketika berbalas pesan tadi, sebenarnya Icha ingin bertanya lebih jauh tentang Brian. Tentang sikapnya hari ini. Namun, ia takut kecewa dengan jawaban Brian.
Icha juga terus memegang nasehat ibunya. Agar tidak menjadi perempuan yang gampangan. Gampang terbujuk rayu, gampang menyerahkan hati, apalagi menyerahkan mahkotanya.
Oleh karena itu, ia hanya menjawab pesan Brian dengan singkat. Ia mencoba menahan diri agar tak terlalu larut. Gadis itu mengakui, ia telah terjatuh pada pesona Brian sejak mengantarnya tadi. Ia tahu Brian sengaja menunggunya selesai bekerja untuk pulang bersamanya.
Tapi logikanya masih menolak. Seorang Brian tak mungkin suka pada gadis sepertinya. Icha pun merasa tak pantas jika harus bersanding dengan Brian. Ia yakin, Brian hanya menjadikannya sebagai pengusir sepi dikala suntuk.
***
Brian mengusap kedua matanya. Ketukan dan suara mamanya membuatnya kembali dari penjelajahan mimpi.
Dilihat jam bulat berwarna hitam dengan angka berwarna perak yang menggantung di dinding kamarnya. Jarum jam itu menunjuk pada angka lima dan dua belas. Subuh telah lewat satu jam yang lalu. Brian bergegas bangun kemudian menyambar handuk yang tergantung di depan kanmar mandi kamarnya.
Di dalam kamar mandi, ia membersihkan seluruh tubuh. Tak lupa mengambil wudhu sebagai salah satu syarat sah sholat.
Tanpa membuang waktu, lelaki tegap itu menunaikan dua rakaat wajib di waktu subuh.
***
"Aduh!" Brian menepuk dahinya saat melihat ponsel.
Ia mengecek layar ponsel yang terbuka pada aplikasi berwarna hijau. Sisa chat semalam dengan Icha membuat dirinya menyesal telah tertidur malam tadi.
[Assalamualaikum, Cha. Maaf semalam ketiduran. Jangan lupa sarapan, ya]
Tanpa ragu ia mengirim pesan pada Icha.
Berdasarkan pengamatannya semalam saat berbalas pesan dengan Icha, ia menyimpulkan gadis itu seperti menjaga jarak dengannya.
Oleh sebab itu, ia yang harus berinisiatif agar gadis itu bisa terbuka dan merasa nyaman dengannya.
[Waalaikumussalam, gak apa-apa, Mas.]
[Oke. Mas juga, ya]
Brian tersenyum membaca balasan dari Icha. Ia tak berharap banyak pada pesan yang ditulis Icha. Cukup dengan dibalas pun Brian merasa sangat senang.
[Pasti 😉]
Balas Brian dengan menambahkan emoticon kedipan mata. Ia tersenyum geli saat mengetuknya. Dalam bayangannya, Icha pasti tersipu dengan wajah yang memerah.
***
"Bri ... kapan kamu mau ngenalin mama sama siapa itu namanya?" tanya Mama Brian.
Mereka sedang sarapan bersama di ruang makan. Suasana makan hanya berdua sudah mereka jalani selama bertahun-tahun.
Sebenarnya Brian dan mamanya rindu suasana ramai berkumpul dengan sanak saudara. Namun, sepertinya mereka kurang beruntung karena tak memiliki itu.
Angan Lisa dengan memiliki banyak anak bersama manta suaminya dahulu, harus pupus. Suaminya lebih memilih memiliki banyak anak dengan istri yang berbeda.
"Hmm. Brian baru pendekatan, Ma. Makanya Mama doakan Brian, ya. Semoga gadis itu mau sama Brian," jawab Brian.
"Oalah, mama kira kamu sudah serius, Nak. Jangan main-main sama anak gadis orang. Kalau bisa jangan diajak pacaran, langsung nikah saja. Pacaran lama gak jaminan jadi jodoh. Yah, meski ada yang akhirnya jodoh, sih seperti mama dan ...." Lisa tiba-tiba menghentikan wejangan yang panjang pada Brian
Ia tiba-tiba merenung. Napsu makannya mendadak lenyap.
Brian mengerti kegundahan sang mama. Ia menjulurkan tangannya mengusap tangan mamanya dengan lembut.
"Ma ...," ucap Brian.
Lisa menoleh pada putranya. Ada embun di mata tuanya. Meski begitu binar indah masih terpancar jelas pada wanita berusia lebih dari setengah abad itu.
Lisa tersenyum. Tangan lainnya menangkap tangan Brian yang mengusap telapak tangannya.
"Maaf, ya, Brian. Mama dan almarhum ayahmu tak bisa menjadi contoh yang baik untukmu," ucap mama Brian.
Brian menghela napas. Sesak rasanya jika sudah membicarakan sang ayah. Berulangkali selalu begini.
Meski begitu, ia tak sedikitpun merasa trauma pada pernikahan. Ia berjanji akan membahagiakan mama, istri, dan anaknya. Hal yang dialami Brian membuatnya bertekad untuk tidak menjadi seperti ayahnya. Brian selalu berjanji tak akan menyakiti hati orang-orang yang selalu menyayanginya, apapun yang terjadi.
Wajah Brian yang kentara sekali berubah. Membuat Lisa bersedih. Selalu seperti ini. Tak ada pembicaraan yang berakhir bagus jika membicarakan sang ayah.
"Brian berangkat dulu, Ma," ucap Brian tiba-tiba.
"Lho, oh ya sudah baiklah," ucap mama Brian sambil melihat jam.
Biasanya Brian berangkat lebih siang dari ini. Namun, melihat jam baru menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas membuat mama Brian paham. Sang anak masih malas membicarakan sang ayah.
***
Mobil melaju pelan membelah kota kelahiran Brian.
Brian berpikir, tak seharusnya Brian dan mamanya kembali ke sini. Hidup menetap di sini hanya mengorek luka lama.
"Sial! Pagi-pagi sudah bikin badmood,"
ucap Brian.
Brian mengemudikan mobil dengan tidak fokus. Hatinya yang sedang tidak baik-baik saja membuat Brian tanpa sadar melamun sambil mengendarai mobil. Namun, tiba-tiba saja ....
Ckiiiiit!
Brian menghentikan mobilnya tiba-tiba saat disadarinya seorang wanita tepat berada di depan mobilnya.
Beruntung, mobil hitamnya tak sempat mencium tubuh wanita paruh baya itu.
Begitu mobil berhenti, Brian terburu-buru ke luar untuk mengecek keadaan.
Brian lega, tak terjadi apa-apa pada wanita tersebut. Namun, ia sadar ia telah salah.
"Bu, maafkan saya," ucap Brian mendekati wanita yang berusia tak jauh dari mamanya. Mungkin tiga atau lima tahun lebih muda dari pada mamanya.
Wanita itu, tak menjawab. Ia hanya mengangguk menatap Brian.
Klakson kendaran lain mulai terdengar. Brian memang sedang berada di jalanan di mana ada pasar yang sangat ramai.
Dapat dilihat lutut wanita itu gemetaran. Brian berinisiatif untuk merangkul dan menuntun wanita itu masuk ke dalam mobil.
"Kita masuk dulu ya, Bu. Nanti kita bicarakan di dalam saja. Biar Ibu lebih tenang terlebih dahulu," ucap Brian.
Wanita dengan kerudung cokelat itu mengangguk.
Dengan lembut Brian meraih lengan wanita itu. Kemudian mengajaknya masuk ke dalam mobil.
Setelah memastikan penumpangnya nyaman di dalam mobil, Brian menjalankan mobil itu menepi ke warung makan yang tak jauh dari sana.
Brian mengajak wanita itu ke luar dan memasuki rumah makan itu.
Dilihatnya lutut wanita berkulit kuning langsat itu masih gemetaran. Brian paham, wanita itu sangat terkejut dengan kejadian barusan.
"Bu, diminum dulu teh hangatnya," ucap Brian sambil menyodorkan segelas teh hangat untuk wanita yang hampir ditabraknya itu.
"Terima kasih, Nak," jawab ibu itu singkat.
"Maafkan saya, ya, Bu. Karena saya Ibu sampai ketakutan begini. Saya mintalah maaf," ucap Brian.
Ibu itu hanya mengangguk diteguknya lagi teh hangat dengan rasa yang manis itu
Sambil meneguk pelan, ibu itu terus memperhatikan Brian. Wajah Brian yang tak asing membuatnya mengingat seseorang di masa lampau. Ia tak tahu bagaimana kabar orang itu sekarang.
Bersambung

Bình Luận Sách (46)

  • avatar
    GonjangAnton

    ok makasihh

    30/06

      0
  • avatar
    SanjayaKelvin

    bagus

    14/06

      0
  • avatar
    ATIKAH llvuidt ihjkugjv Bg ti ii OKNURUL

    best

    11/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất