logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

5. Pertemuan di Tempat Lain

Brian mengusap wajahnya kasar. Bayangan masa lalu tentangnya, sang mama, dan Hari sang paman, berkelebat dalam pikirannya.
Sebuah ingatan yang tak akan ia bisa lupakan. Bahkan setelah dua puluh tahun berlalu. Pikiran Brian terus berputar-putar di tempat.
"Bri ... boleh mama masuk, Nak?" tanya mama Brian sambil mengetuk pintu.
"Masuk aja, Ma. Gak dikunci, kok," jawab Brian.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Dari balik pintu, muncul mama Brian dengan senyum teduhnya.
Melihat wajah anaknya yang kusut, mama Brian paham sang anak sedang banyak pikiran.
"Ada apa?" tanya mama Brian.
Brian diam. Hatinya masih marah. Selalu seperti ini. Setiap kenangan tentang dua puluh tahun silam berkelebat, hati Brian menjadi panas. Tanpa ia sadari telapak tangannya mengepal.
Mama Brian yang melihat hal tersebut mengusap lengan Brian. Lengan yang dahulu menopangnya saat tak sadarkan diri karena overdosis obat penenang.
Mama Brian sedih, akibat perbuatannya Brian tak kunjung bisa memaafkan kesalahan sang ayah.
Brian terlalu sakit pada kejadian masa lalu. Ia trauma melihat mamanya sekarat. Brian sangat takut jika sang mama sampai berhenti bernapas pada saat itu.
Mama Brian terus mengusap lengan yang sekarang sangat bisa melindunginya. Menepuk pundak anak semata wayangnya. Berharap hati anaknya menjadi tenang. Dan mau bercerita apa yang terjadi di makam tadi.
Itupun jika Brian mau cerita. Lisa tak mau memaksa anaknya. Sudah cukup rasa sakit yang ia dan ayahnya torehkan para sang anak. Beruntung Brian dapat hidup normal dan sukses seperti saat ini. Banyak anak korban broken home yang hidupnya menjadi rusak karena kehilangan arah. Mama Brian sangat bersyukur anaknya tidak sampai seperti itu.
"Tadi di makam Brian ke makam orang itu," ucap Brian. Ia tak mau memanggil lelaki yang menjadi orang tua kandungnya dengan sebutan ayah.
Mama Brian paham akan hal tersebut. Ia diam saat menyebut sang ayah sebagai orang itu. Lisa tetap menatap sang anak menunggu kelanjutan cerita.
"Awalnya Brian mau bersihkan makam itu jika terlihat kotor atau tak terawat sama sekali. Tapi, ternyata sudah ada yang mengurus," lanjut Brian.
"Kuncen?" tanya Lisa.
Brian menggeleng. Ia yakin bukan kuncen makam itu yang mengurus makam ayahnya. Dapat dilihat di sekitar makam sang ayah, makam yang lain tidak terlalu terawat seperti makam ayahnya.
"Lalu?" tanya mama Brian lagi.
"Ya, siapa lagi, Ma," jawab Brian.
"Oh, barangkali Om Hari, Bri," ucap mamanya.
Sebenarnya Lisa tahu ke mana arah pembicaraan Brian. Namun, ia berusaha mengajak Brian untuk berpikir positif.
"Gak mungkin, Mah. Mamah tau sendiri Om Hari dah berapa tahun gak ke kota ini." Brian menjelaskan panjang lebar.
"Ya udah, syukur kalau rapih, sih. Kan kita gak usah bersih-bersih lagi," ujar mama Brian.
"Oke, mulai sekarang mama gak usah maksa Brian untuk ke sana lagi. Toh ke sana ataupun gak. Gak ada pengaruhnya sama sekali," ucap Brian ketus.
Lisa menghela napas. Ia harus mengalah saat ini. Kondisi hati Brian memang sedang buruk. Ia tak mau menambah buruk perasaan anaknya.
"Ya ... oke, gak apa-apa. Mama, sih, terserah kamu aja," ucap Lisa.
***
Hari berlalu tak terasa sudah seminggu sejak terkahir kali ia pergi ke makam sang ayah.
"Kenapa dulu gak minta nomer ponselnya," ucap Brian. Saat ini ia tengah berada di kantor.
Selama seminggu ini, bayangan wajah Icha yang tersenyum memenuhi kepalanya. Ia menyesal karena lupa meminta nomer ponsel. Tapi ragu juga, alasan apa yang akan ia gunakan agar Icha mau memberikan nomernya.
"Masa harus balik lagi ke makam," gumam Brian.
Karena terlalu larut dalam lamunan, Brian tak sadar kalau ada yang masuk ke dalam ruangannya.
Seorang wanita dengan paras cantik dengan polesan make up yang natural.
Ia Liana, sekertaris yang mengatur jadwalnya dengan klien.
"Liana? Kenapa tak ketuk pintu dahulu?" tanya Brian.
"Maaf, Pak. Tadi saya sudah ketuk pintu. Tapi sepertinya Bapak tidak dengar," jawab Liana.
"Oh, begitu. Oke, ada apa?" tanya Brian.
"Begini, Pak. Saya ingin mengingatkan jadwal Bapak dengan klien kita pukul dua siang nanti," jelas Liana.
"Oke, ada lagi?" tanya Brian.
"Untuk sementara itu saja, Pak," jawab Liana.
"Baiklah, kamu boleh pergi sekarang," ucap Brian.
"Baik, Pak. Permisi." Liana pergi dari ruangan Brian seraya menutup pintunya kembali.
Brian adalah seorang pengacara. Ia membuat firma hukumnya sendiri dan menerima berbagai kasus dari beberapa klien.
Banyak perjuangan yang Brian lakukan agar bisa sampai di titik ini. Cucuran keringat dan air mata dari mamanya senantiasa mengiringi langkah Brian. Oleh karenanya Brian tak ingin sekalipun menyakiti hati mamanya.
Hidup sebagai orang tua tunggal membuat mama Brian harus membanting tulang untuk menghidupi mereka.
Kemewahan yang Brian rasakan saat ini, tidak dapat mereka rasakan bertahun-tahun yang lalu. Pada saat itu, saat Brian masih kecil bahkan untuk meminta sepatu baru saja Brian harus menahan diri.
Ia tahu kondisi keuangan sang mama sangat buruk. Brian tak mau membebani pikiran sang mama dengan permintaannya yang bisa ditunda.
Namun, semuanya sudah terlewati sekarang. Brian berhasil menjadi orang yang sukses. Bahkan, mereka berdua sempat pergi berhaji bersama. Rumah dan kendaraan mewah, semuanya telah Brian miliki.
***
Waktu saat ini menunjukkan pukul 13.30 WIB. Brian bersiap untuk bertemu kliennya. Ia menghubungi Liana agar bersiap untuk berangkat.
Setelah semuanya siap. Mereka berdua berangkat menuju lokasi pertemuan.
Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai di lokasi yang dituju. Hanya sekitar lima belas menit.
Sebuah restoran, tidak mewah dan juga tidak biasa. Namun, Brian merekomendasikan restoran ini karena rasa masakannya yang enak. Selain itu, ia terbiasa mengadakan rapat dan jamuan di sini.
Karena sudah sering kemari, Brian langsung menuju meja yang biasa ia gunakan untuk rapat dengan klien.
Sebuah meja yang agak jauh dari meja lainnya. Berada di balkon di lantai dua. Dari sini hamparan sawah menjadi pemandangan yang menyejukkan mata dan menenangkan hati.
"Permisi, Bu, Pak." Seorang pramusaji membawa makanan dan minuman yang telah Liana pesan sebelumnya via telepon.
"Silahkan, Mbak," ucap Liana sambil tersenyum ramah.
Brian masih memandangi hamparan sawah di depan matanya tanpa menoleh ke arah pramusaji dan Liana.
"Mbak, kopinya mana?" tanya Liana.
"Oh, maaf Bu saya lupa," jawab pelayan itu.
"Lho, gimana, sih!" protes Liana.
"Iya, Bu. Sebentar saya ambilkan," ucap pelayan itu.
"Nama kamu siapa, biar saya adukan ke manajer kamu," ketus Liana.
Liana sebenarnya tidak galak. Namun, ia hanya tidak suka karyawan yang tidak disiplin. Seperti saat ini.
Brian yang mendengar ribut-ribut di mejanya menghampiri mereka berdua.
"Kenapa Liana?" tanya Brian.
"Ini, Pak. Kopi yang biasa Bapak pesan lupa dibawakan," jawab Liana.
"Maaf, Pak. Nanti saya ambilkan, ini kesalahan saya," ucap pramusaji itu sambil menunduk takut. Ia tak berani menatap wajah Brian.
Brian menatap pramusaji itu dan terkejut. Ia memastikan membaca name tag yang tertempel di baju pramusaji itu. Annisa.
"Icha? Kamu Icha, bukan?" tanya Brian antusias.

Bình Luận Sách (46)

  • avatar
    GonjangAnton

    ok makasihh

    30/06

      0
  • avatar
    SanjayaKelvin

    bagus

    14/06

      0
  • avatar
    ATIKAH llvuidt ihjkugjv Bg ti ii OKNURUL

    best

    11/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất