logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

10.Menghilang

10. Menghilang
Kalian tahu rasanya ketika ada petir saat matahari bersinar dengan teriknya. Terkejut, ya, seperti itulah perasaanku saat ini.
Mendapati orang yang selama ini selalu kukagumi karena ketulusannya dalam merawatku hingga ia rela menolak semua pinangan pria yang memujanya. Bertahun menjalani hidup dalam kesendirian demi fokus membesarkan aku. Nyatanya zonk, harapan tak sesuai kenyataan.
Apa aku yang terlalu berpikir terlalu tinggi? Namun, bukankah sejak dahulu bertemu dengannya selalu dibawa terbang. Dan sekarang, setelah aku merasa di atas awan dengan teganya ia menghempaskanku.
***
Dari pohon bunga kertas tempatku berdiri, aku dapat melihat dengan jelas bagaimana kedua manusia itu saling melepas rindu.
Entah apa yang terjadi pada mereka. Namun, otak memberiku sinyal bahwa aku harus waspada terlebih pada orang yang selama ini begitu kupercaya, Bik Marni.
Terlalu lama memikirkan hal yang tak masuk akal ini, aku tak sadar kedua orang yang sedang kuintip tak ada lagi di tempat. Bergegas aku mencari keberadaan mereka dengan hati-hati.
Perlahan aku berjingkat masuk ke ruang tamu rumah Bik Marni yang tak terkunci.
Terlalu dimabuk kepayang rupanya sampai mereka lupa mengunci pintu.
Aku tersenyum sinis. Membayangkan kejadian di luar saja aku sudah jijik. Tak sanggup rasanya apabila membayangkan apa yang terjadi di dalam.
Perlahan aku menyusuri ruang demi ruang. Tak ada tanda keberadaan kedua orang itu di dalam rumah ini.
Kembali ke ruang tamu, aku melongok ke luar jendela. Mobil Mas Suryo masih terparkir di tempat semula.
"Ck, kemana mereka," ucapku lirih.
Penasaran, aku masuk kembali ke dalam ke ruang keluarga. Namun, kosong.
Setiap ruangan aku jelajahi. Tak nampak sekalipun tanda-tanda orang di dalam rumah ini.
Rumah Bik Marni yang luas ini, terdiri dari tiga kamar. Salah satunya adalah kamar yang dahulu biasa kupakai. Sekarangpun apabila aku menginap di sini aku masih memakai kamar itu.
Rumah yang seperti tempat aku pulang ini, sangat nyaman sejak dahulu. Begitupun sekarang. Lelah berdiri mengintip Mas Suryo dan Bik Marni aku terduduk di ruang keluarga.
"Masa iya di kamar ...." Tiba-tiba saja aku memikirkan hal yang sejak tadi gak ingin memikirkannya. Kucoba membuang jauh-jauh pikiran itu.
Aku yakin Bik Marni masih sayang padaku dan tak akan melakukan hal laknat bersama Mas Suryo.
Namun, suara-suara dalam kamar yang menggangguku seperti mengejek otak yang mencoba berpikir baik pada ibu asuhku itu.
Mendengarnya aku dapat memastikan apa yang mereka lakukan di dalam. Seketika kepercayaanku pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu runtuh.
Segala kasih sayang yang ia berikan, seperti gak membekas sama sekali.
Hatiku sakit, sangat sakit. Bahkan lebih sakit daripada luka disayat pedang.
***
Aku masuk ke kamar yang biasa kutempati. Letaknya yang bersebelahan dengan kamar Bik Marni, membuat suara-suara itu makin jelas terdengar.
Ingin rasanya kudobrak pintu di sebelah kamar ini. Namun, masih aku tahan.
Aku tarik napas dalam-dalam agar hatiku menjadi tenang. Mencoba berpikir jernih apa yang akan aku lakukan setelah ini.
Masih dengan posisi yang sama, mendengarkan suara di kamar sebelah, walau hati nyeri tak terkira. Kepercayaanku dikhianati begitu saja oleh orang yang kusayang.
Brak!Bruk!Brak!
Terdengar suara gaduh dari kamar sebelah. Suara desahan penuh gairah kini berganti dengan suara gaduh diiringi makian dan tangisan.
Aku kenal suara itu. Suara Bik Marni.
"Huh, sebenarnya apa maunya, tadi begitu menikmati. Sekarang bagai orang kesetanan," gumamku.
Tak lama kemudian terdengar pintu dibuka. Selanjutnya suara mob yang menjauh. Dapat kutebak kucing garong itu pasti sudah pergi.
Perlahan aku membuka pintu kamar. Melangkah dengan pelan. Tak butuh banyak langkah untuk sampai di tempat mereka telah memadu kasih.
Aku berdiri di depan pintu kamar Bik Marni. Cukup lama berdiri di tengahnya.
Dapat kulihat wanita itu duduk memegangi lututnya sambi menangis.
Menyesal, kah?
Atau? Ah, aku tak bisa menebak apa yang di dalam kepalanya.
Kejadian hari ini sangat cukup membuatku hilang kepercayaan padanya.
Lama aku memandangnya. Tak ada rasa iba ataupun simpati padanya. Tubuh yang hanya berbalut selimut itu duduk memeluk lutut. Tingkahnya bagai korban pemerkosaan. Namun, siapa sangka detik sebelumnya ia sangat menikmati. Jijik sekali aku melihatnya begitu.
Masih terpekur meratapi apa yang terjadi padanya. Guru tariku itu, tak juga sadar ada aku yang sedang tersenyum sinis memandangnya.
Ktepakh!
Sengaja aku memukulkan kaki yang bersepatu dengan lantai.
Bik Marni mengangkat kepala. Sedetik kemudian matanya membulat bagai ingin ke luar dari dalam.
Sengaja aku diam saja. Tak sepatah katapun ke luar dari mulutku.
Aku yakin Bik Marni sangat terkejut dengan kedatanganku. Ia tak bisa mengelak lagi. Aku sudah mengetahui apa yang terjadi di rumah ini. Termasuk hubungan istimewanya dengan Mas Suryo.
Puas mengintimidasinya, aku melenggang pergi. Tak akan kudengar sedikitpun panggilan dan pembelaannya. Hatiku terlanjur sakit.
Tentu saja, bagaimana rasanya jika kamu dibawa melayang terbang ke atas langit selama bertahun-tahun, kemudian setelah nyaman berada di atas sana dihempaskan begitu saja ke bumi. Bukan hanya raga yang hancur. Namun, perasaan bahagia pun akan hancur seketika bersama harapan-harapan yang belum terwujud.
Seperti itulah perasaanku saat ini. Bik Marni sukses membuatku seperti bola kaca yang dilempar dari atas gedung. Remuk.
***
Aku merebahkan diri di atas kasur. Memikirkan apa yang telah terjadi belakangan ini.
Amarahku mendadak naik ketika mengingat kejadian sore tadi. Menyesal? Tidak. Aku justru bersyukur bisa melihatnya. Aku jadi tahu siapa yang benar-benar lawan dan siapa kawan.
Mengungkap siapa dalang pembunuh ibuku bagai mencari jarum di atas tumpukan jerami. Terlebih, orang yang selama ini kupercaya ternyata bagai menusuk dari belakang. Munafik.
***
Menjalani hari seperti biasa. Aku memutuskan untuk pindah kontrakan. Kontrakan ini sudah terlalu banyak diketahui oleh musuh-musuhku. Terlebih Bik Marni.
Panggilan telepon yang berulangkali sengaja tak kujawab membuatnya nekat datang ke kontrakan. Ia menggedor pintu kamar bagai orang gila.
"Bibik, bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" teriak Bik Marni pada suatu hari di depan pintu kamarku.
Aku tetap diam tak perduli dengannya. Namun, makin hari kedatangannya makin mengganggu. Aku sampai ditegur oleh pemilik kontrakan karena membuat penghuni yang lain merasa terganggu.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pindah tanpa seorangpun mengetahui. Sengaja aku tak membawa banyak barang. Barang-barang yang tetinggal akan aku bawa sedikit demi sedikit ke tempat yang baru.
Biarkan orang-orang berpikir Nadia telah menghilang dari muka bumi ini. Termasuk Arfan.
Aku memutuskan tidak memberitahunya perihal kepindahanku. Aku takut tersakiti kembali. Terlebih, Arfan adalah anak kandung Mas Suryo.
Menghilang sementara waktu mungkin pilihan yang terbaik. Sambil memikirkan rencana apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Biarlah akan aku balaskan dendamku seorang diri.

Bình Luận Sách (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất