logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

THE PAIN

THE PAIN

Aisyah


Chương 1 PROLOG -- CARA YANG BERBEDA

Matahari sudah begitu terang saat gadis kecil melangkah mengelilingi rumah, tadi saat papa baru saja berangkat bekerja sebagai sekuriti di salah satu supermarket besar di daerahnya, ia memilih membersihkan diri.
Usianya baru saja menginjak enam tahun, tapi mulai hari ini hingga seterusnya ia akan mulai mandiri sembari diajarkan oleh ibunya. Itu karena mulai besok ia akan mulai bersekolah di salah satu Sekolah Dasar di dekat rumahnya.
Ah, soal ibu, sepertinya dia lagi-lagi melakukan ritual paginya, bergosip. Anya tidak mengerti, apa enaknya membicarakan orang lain?
Dia menghela napas, berusaha untuk tidak peduli urusan orang dewasa, ia bahkan baru tahu makna dari 'gosip' dari kakak sepupunya beberapa hari yang lalu.
Anya menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia tersenyum ceria, berlari kecil menuju sang mama.
"Mama, makan. Anya lapar." Tangan kecil itu menarik tangan besar milik mama menuju dapur. Sang mama nampak melamun, tersentak saat ditarik seperti itu.
Tapi, dia menuruti sang bungsu, ikut menuju dapur dan mempersiapkan sarapan untuk mereka berdua.
"Anya, nama panjang Anya siapa?" tanya mama sementara mereka menyuap nasi di mulut.
"Anya Shafira Ibrahim." Anya menyengir, sang mama beberapa hari belakangan memang sering mengujinya dengan pertanyaan ringan seperti itu, melatih kemampuan ingatannya agar tidak melakukan kesalahan saat di sekolah nanti.
"Pinter." Mengacak surai hitam legam anak, mama tersenyum sesaat sebelum kembali memasang wajah datar. "Anya tahu, Intan, kan?" Saat anak mengangguk, dia melanjutkan, "Kakaknya baru aja digosipin sama tetangga, katanya dia hamil."
Anya menatap lurus sang mama, tidak mengerti. Lalu kenapa jika dia hamil? Bukannya bagus ya? Katanya 'kan perempuan hamil itu lagi mau kasih bayi. Bayi 'kan lucu.
"Dia diperkosa sama ayahnya sendiri," imbuh mamanya lagi. Anya masih mendengarkan, walau tidak terlalu mengerti arah pembicaraan mereka. "Itu sebabnya, ibunya tuh meninggal, karena ini bikin dia sakit banget." Anya hanya terus menatap saat sang mama menunjuk dadanya sendiri.
Dari penglihatan Anya, mama nampak menghela napas. "Karena itu ... Anya nggak boleh terlalu dekat dengan papa, ya?"
Apa ini?
Apa salah Anya sehingga ia harus menjauh dari papanya?
"Mama nggak mau nasib kamu kayak kakak si Intan itu, mama juga nggak mau jatuh sakit saat dengar kabar soal itu." Mama tersenyum, "Makanya, menurut sama mama, ya?"
Anya mengangguk cepat, dia tak ingin sang mama jatuh sakit, apalagi itu karenanya, setidaknya jangan menginggalkannya dulu sebelum ia sudah bisa melakukan segalanya secara sendirian.
Senyuman mama semakin melebar, Anya ikut tersenyum juga.
***
Malam ini, seperti biasa pada setiap malam Minggu, papa akan berada di rumah.
Anya sedang mencuci piring kotor bekas makan malam mereka, mengingat kembali beberapa menit yang lalu sang adik begitu antusias menyambut kepulangan sang papa.
Papa sekarang tidak lagi bekerja sebagai satpam di supermarket atau satpam di salah satu pabrik seperti yang dulu. Mereka ... semakin berganti tahun justru semakin jatuh. Papanya harus menjadi supir becak motor yang ia sewa untuk mencari nafkah dengan syarat harus membayar setiap hari sekitar tigapuluh ribu.
Dan Anya bukan lagi anak bungsu semenjak kelahiran adik perempuannya sepuluh tahun yang lalu, dan jangan lupakan adik laki-laki yang semakin memperlengkap keluarga mereka saat ini.
Ah, Anya kembali mengingat, usia adik perempuannya sudah sepuluh tahun. Kenapa sikapnya terhadap sang papa begitu berbeda pada saat usia Anya sepuluh tahun?
Yang Anya ingat, semenjak perintah sang mama untuk menjauh dari papanya, ia tidak pernah lagi memeluk, bahkan menghindar saat di peluk, tidak pernah berada di ruangan yang sama jika mereka hanya berdua, dan berusaha keras tidak melihat atau dilihat oleh sang papa.
Intinya, ia tidak lagi merasakan kasih sayang berupa perhatian atau hal-hal lembut dari papanya.
Tapi, lihat adiknya, sang adik bahkan tidak tahu malu memeluk erat sang papa bahkan hanya dengan handuk melilit di badannya.
Kembali mengingat, sang mama sepertinya tidak memerintahkan hal yang sama kepada adiknya.
Anya yang perlahan mengerti alasan mamanya melakukan hal itu, membuatnya bergidik ngeri setiap membayangkan segala hal yang mama takutkan, bahkan ia juga menjadi takut, terjadi pada adiknya.
Apa mama lupa untuk memerintahkan hal itu pada sang adik? Atau mama memang sengaja melakukannya?
Setelah selesai dengan segala kegiatannya di dapur, Anya berjalan menuju kamarnya, ia melewati ruang tamu di mana sang adik duduk di pangkuan sang papa.
Anya berusaha sekuat tenaga menampik segala skenario terburuk di kepalanya. Ia memilih masuk dengan cepat ke arah kamar, menutup dan tidak lupa menguncinya.
Ia terengah. Sekuat tenaga dirinya mengatur napas kembali. Setelah tenang, Anya memainkan ponselnya, tidak tertarik dengan segala aplikasi chat miliknya, ia malah beralih memainkan aplikasi baca novel online yang selalu ia senangi.
Membaca memang hobinya. Tapi, mengingat keadaan keluarganya sekarang ia tidak akan pernah mau meminta ke pada sang mama untuk memenuhi hobinya itu.
Terima kasih pada teknologi.
Ia adalah Anya Shafira, anak kedua dari keluarga kecilnya, kakaknya adalah seorang laki-laki yang sangat tidak diharapkan Anya.
Segala perintah dan nasihat ibunya membuatnya menatap benci seluruh keluarganya yang laki-laki, bahkan kepada adiknya sendiri yang baru bisa belajar merangkak saat ini.
Dia ... takut.
Segala hal yang mamanya katakan, akan menjadi sebuah kenyataan yang menyakitkan.
Ia tidak takut pada laki-laki, ia tidak mengidap phobia seperti itu. Ia hanya takut pada seluruh cerita mama tentang kejamnya laki-laki. Tapi, dibanding dengan laki-laki lain yang ada di luar sana, ia justru lebih takut pada keluarganya sendiri. Usahanya menyembuhkan diri, tetap saja tak membuat ketakutan kepada keluarganya menghilang. Tapi, setidaknya ia sudah bisa berinteraksi dengan laki-laki di luar lingkungan keluarganya.
"Anya." Suara itu. Anya berhenti sejenak dengan segala kegiatannya. Ia merasa kakinya sedang gemetaran saat ini. Hanya dengan suara saja, reaksinya seperti ini.
"Iya!" Anya setengah berteriak, berharap sang papa tidak akan memperdulikannya karena merasa bersalah telah mengganggunya.
"Nggak nonton acara kesukaan kamu?" Suara itu kembali menggema, bukan hanya kakinya, tangannya kini juga gemetar, ponselnya bahkan terjatuh di samping tubuhnya.
Anya mengumpat pelan. Jelas, walau ia begitu membenci seluruh keluarga laki-lakinya, ia tetap masih waras untuk terus mempertahankan nilai kesopanan yang ia miliki, makanya ia tidak bersuara dengan keras.
"Nggak, Pa. Anya nggak mau nonton," jawabnya setelah beberapa detik berusaha menahan deru napasnya.
Papanya di ruang tamu menghela napas, mengusap pelan surai putri di hadapannya saat ini, ia tersenyum sedih, karena seingatnya, ia tidak pernah melakukan ini kepada putri pertamanya sejak anaknya itu bersekolah.
Entah apa salah dirinya. Ia sungguh tidak mengerti.
Anya kembali tenang, ia meluruskan kaki yang baru saja berhenti gemetar itu dan mulai kembali tenggelam dalam cerita yang ia baca, walau pikirannya terus saja mendengungkan kalimat-kalimat yang membuatnya semakin sakit.
Salahkan sang mama yang terus mendoktrinnya dengan segala sesuatu skenario terburuk antara keluarga laki-laki dan perempuan.
Salahkan sang mama yang terus menyuntiknya dengan segala perintah menjauhi seluruh keluarga laki-lakinya.
Salahkan sang mama yang hanya demi menjaganya justru membuatnya merasa semakin takut dikelilingi banyak laki-laki yang bahkan begitu menyayanginya.
Salahkan sang mama yang tidak sadar segala tindakannya justru menarik anaknya berada dalam kegelapan, sendirian dengan rasa takut yang semakiin hari semakin membelit seluruh tubuhnya.

Bình Luận Sách (64)

  • avatar
    Ananda putri hafidah04

    bagus

    02/02/2023

      0
  • avatar
    rryJe

    good books

    11/01/2023

      0
  • avatar
    Kinantialzahra

    sangat bgs:>

    20/09/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất