logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 37

BAB 37
MENGOBROL DENGAN ROSA
ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)
"Nayla ... maafkan aku," ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.
"Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!" Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.
"Iya!" Hendra kembali fokus menyetir.
Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.
"Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!" ujar Rosa dengan mata berbinar.
Hendra terlihat bingung, aku hanya tersenyum mengangguk melihat kedekatan mereka. Dari sini aku bisa cukup jelas mendengar percakapan mereka. Hanya saja aku berpura-pura bermain ponsel untuk mengalihkan perhatian, tapi telingaku masih bekerja dengan sempurna.
"Janji? Janji apa?" tanya Hendra masih dengan raut wajah yang bingung.
"Sudahlah, nggak usah dibahas. Yang penting aku senang, kamu datang ke sini untuk menjengukku. Kamu makin tampan, ya, Mas? Ganteng!" seru Rosa seperti balita yang baru saja diberi permen.
"Makasih, aku ke sini mau ngomong beberapa hal penting sama kamu. Mengingat waktu kita pun terbatas, jadi aku nggak mau lama-lama. Begini ...," ujar Hendra seraya menarik nafas dalam.
"Kenapa?" Rosa terlihat penasaran.
"Aku ingin membahas tentang Vani," ujar Hendra pelan. Hal itu membuat raut wajah Rosa berubah. Dari yang awalnya bahagia dan berbinar menjadi cemas dan seperti orang ketakutan.
"Tenang aja, aku nggak akan menghakimi mu, aku sadar betul itu bukan hanya kesalahan kamu. Aku cuma pengen memastikan, semuanya dari penjelasan kamu. Tolong jelaskan padaku, kenapa kamu melakukan itu, Rosa?" tanya Hendra dengan lembut. Sepertinya dia paham betul cara ampuh menarik perhatian wanita.
"Maaf ... maafkan aku, saat itu aku tak ingin mengingatmu lagi, hingga aku terpaksa melakukan itu," ujar Rosa dengan wajah memerah.
"Apa alasan terkuatmu? Bukankah kamu mencintaiku? Kenapa kamu melewati ini semua sendirian? Kenapa?" tanya Hendra tampak khawatir. Mata Rosa mengembun, dia tak percaya lelaki di depannya tiba-tiba saja perhatian kepadanya.
"Aku tak sanggup lagi, aku rasa tak perlu lagi mengingat dan mengenang dirimu. Jadi, aku sengaja membuang semuanya yang berhubungan denganmu. Sungguh aku menyesal, saat itu perasaanku kacau. Aku tak bisa berpikir dengan jernih. Apa kamu marah padaku, Mas?" tanya Rosa seolah ketakutan.
"Aku nggak marah, hanya saja aku kecewa. Kamu selalu menutup akses jika aku ingin bertemu denganmu. Tapi, aku tak menyangka kamu bakalan setega itu, sama darah dagingmu sendiri. Seperti apa wajahnya, Ros? Apa dia cantik sepertimu? Atau dia lebih mirip denganku?" tanya Hendra yang kudengar pilu. Bagaimana pun kehilangan seorang anak itu rasanya. nggak pernah enak. Hanya orang yang pernah mengalaminya lah yang paham bagaimana rasanya.
"Dia cantik, mirip denganmu. Matanya tajam seperti elang. Itulah yang membuatku selalu terbayang tentangmu hingga terpaksa aku melakukan itu, aku hanya berniat menghapus bayanganmu dari hidupku. Itu saja, tapi rasanya aku tak bisa. Ambisiku untuk hidup denganmu terlalu kuat, bahkan hingga sampai detik ini aku tak sanggup melupakanmu. Aku masih menunggu kesempatan datang lagi, untuk memperbaiki semuanya. Aku masih setia menunggumu datang kepadaku, menjalin kembali rumah tangga seperti dulu. Dan Nayla berjanji akan mengabulkan hal itu." Rosa menatap Hendra penuh cinta. Aku jadi tak tega, mungkin rasa sayang Rosa kepada Hendra jauh lebih besar dibanding perasaanku untuk Hendra yang mungkin saja ... hanya sementara.
"Aku tak menyangka kamu tega melakukan perbuatan seperti itu. Jika kamu memang mencintaiku, kenapa kamu malah menikah dengan pria lain? Bukannya mencari keberadaanku, kamu malah senang menggoda pria lain? Apa benar kamu cinta padaku atau hanya sekedar untuk memenuhi rasa ambisimu?" tanya Hendra dengan pandangan menyelidik. Rosa seakan terpojok, dia bingung harus menjawab apa.
"Bukan begitu, percayalah padaku. Semua yang aku lakukan ini murni hanya untuk berharap kau bisa kembali dalam pelukanku. Hanya itu, aku ingin keluarga kita bahagia. Aku juga ingin merawat Vano bersama denganmu, membesarkannya denganmu, kita bisa hidup bahagia seperti keluarga impian. Kamu mau kan? Bukankah tujuanmu datang ke sini untuk membebaskan ku? Lalu menikahiku dan menjadikanku ratu di istanamu? Benarkah begitu?" Dari yang kulihat, sepertinya Rosa memang benar-benar depresi tingkat tinggi. Terbukti dari kata-katanya yang tak jelas, moodnya yang naik turun dan tiba-tiba berubah serta tingkah lakunya yang jauh dikatakan normal.
"Aku nggak tahu, saat ini pikiranku gamang. Di satu sisi aku ingin menikahi wanita pilihanku, tapi ... di sisi lain, aku juga memikirkan masa depan Vano. Harusnya aku tak boleh egois, bukankah kebahagiaan Vano harus di atas kebahagiaanku sendiri?" Hendra seakan memberikan harapan yang besar kepada Rosa, membuat hatiku kembali sakit.
"Kamu benar, Mas. Mari kita pikirkan kembali akan masa depan Vano. Kita bisa memulainya dari awal lagi, Mas. Vano pasti senang melihat Ayah dan Ibunya bersatu kembali. Aku yakin itu!" kata Rosa girang. Aku yang mendengar hal itu rasanya ingin tertawa. Bagaimana bisa dia mempunyai rasa percaya diri yang tinggi? Vano saja bahkan tak tahu siapa Ibunya. Rosa meninggalkan Vano saat masih bayi, mana mungkin balita itu mengingatnya bahkan wajah ibu kandungnya seperti apa saja aku yakin Vano tak akan tahu apalagi mengenalinya.
"Tidak segampang itu, Ros. Apalagi dengan kondisimu begini. Bukankah kamu juga masih terikat pernikahan dengan lelaki lain? Apa kata orang nanti? Aku tak mau orang menyebutku sebagai perebut istri orang. Itu mengerikan!" kata Hendra sambil bergidik.
"Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi, aku berjanji akan segera menyelesaikan statusku dengan Mas Frengky. Dengan begitu, kita bisa menikah dan hidup bahagia!" seru Rosa dengan mata berapi-api. Wanita itu terlalu bersemangat dan tampak enerjik.
Hendra hanya tersenyum, dia menoleh ke arahku dan mengedikkan bahu. Entahlah, aku tak paham apa yang ada di pikirannya. Yang pasti, aku sudah tak terlalu berharap lagi padanya.
"Ya, Mas? Kapan kamu akan membebaskan ku? Aku bosen di sini terus, Mas. Pengen shopping. Kamu mau kan ngajak aku shopping?" tanya Rosa seraya mengerucutkan bibirnya.
Hendra hanya mengangguk mengiyakan, membuat Rosa kembali menemukan secercah harapan baru. Aku tak mengerti dengan Hendra. Kenapa dia senang sekali membuat para wanita berharap lebih akan dirinya?
"Oke, deh. Aku lega sekarang. Sebentar lagi penantianku akan berakhir, aku akan hidup berkeluarga layaknya orang lain. Kapan kita akan menikah, Mas? Secepatnya kan? Aku mau pilih deh nanti tentang dekorasi dan konsep seperti yang aku impikan. Aku jadi nggak sabar, deh!" kata Rosa seraya tertawa, memamerkan sederet giginya yang putih. Aku ikut tertawa, melihat tingkah konyolnya. Mungkin Rosa stres karena terlalu lama berada di dalam sel, tak ada kawan berbagi dan juga berkeluh kesah. Jadilah dia seperti ini. Padahal beberapa waktu lalu dia masih normal berbicara padaku, atau karena rasa bahagianya yang tinggi sehingga membuatnya terlihat seperti orang yang nggak waras. Ya sudahlah, aku tak mau terlibat lagi dengan mereka. Biarkan mereka bernostalgia mengenang kisah masa lalu yang belum selesai.
"Waktu kurang 5 menit lagi!" ujar seorang petugas perempuan yang mendampingi Rosa.
"Ya sudah, aku balik dulu, ya! Besok atau lusa aku ke sini lagi. Masih banyak hal yang aku selesaikan dulu sebelum menemuimu lagi nanti," kata Hendra sembari beranjak berdiri.
"Iya, jangan lama-lama menjemputku," ujar Rosa terdengar merajuk.
"Baiklah. Oh, ya ... aku ingin kita pergi honeymoon ke Laboan Bajo, ya! Awas aja kalau enggak!" kata Rosa dengan suara manjanya.
Lama-lama aku muak mendengarnya dengan suara dibuat-buat seperti itu. Tapi, biar sajalah. Mungkin dengan begini caraku membalas kebaikan Hendra selama ini. Dia lelaki yang siap pasang badan saat melihatku terpuruk, masak hanya menemaninya saja aku keberatan.
"Sudah, ya. Aku pergi dulu, Assalamualaikum," pamit Hendra mengacak sedikit rambut Rosa. Hal itu membuat Rosa menjerit dan berujung mereka tertawa bersama. Ah ... rasanya hatiku seperti dicubit, mencelos begitu saja. Ternyata pepatah yang sering berucap bahwa melihat orang yang disayangi bahagia bersama orang lain juga membuat kita bahagia, itu adalah bullshit semata. Dan aku merasakan hal itu sekarang.
Setelah mereka berpamitan, aku mengekor di belakang Hendra. Rosa memanggilku dari arah belakang.
"Nayla ... terima kasih banyak!" ujarnya seraya mengacungkan jempolnya ke arahku. Aku hanya membalas dengan senyum yang mengembang. Tak rela rasanya melihat Rosa bahagia, setelah apa yang dia perbuat kepada keluargaku, terutama Cahaya.
"Sorry, ya, Nay!" ujar Hendra saat aku masuk ke dalam mobil dan memasang seat belt. Dahiku mengernyit, tak paham dengan apa yang dia katakan.
"Sorry? Untuk apa?" tanyaku dengan wajah datar.
"Sorry, kalau aku buat kamu sakit hati, soal tadi ... selama di ruangan. Aku nggak ada niatan untuk menyakitimu. Jangan berpikir kalau aku memainkan perasaanmu. Kelak kamu akan mengerti kenapa aku melakukan hal itu!" kata Hendra serius. Wajahnya sedikit tegang, dengan bibir yang bergetar.
"It's okay. Sudah aku bilang aku nggak papa. Slow aja kali!" Aku menanggapinya dengan kekehan. Ah ... wanita memang jagonya menyembunyikan perasaannya. Benar begitu?
Aku pun berusaha memejamkan mataku, bersandar pada kursi dengan ditemani alunan lagu mellow yang terdengar dari tape mobil. Ingin mengistirahatkan pikiran dan jiwa yang lelah. Aku berjanji, hingga masalah ini usai dan Mas Frengky mendapatkan hukuman yang pantas. Aku tak akan lagi menggebu mencari cinta. Biarlah semua berjalan sesuai takdir, layaknya air yang mengalir. Bukan apa-apa, hanya saja aku sudah terlalu lelah dalam buaian cinta. Aku sudah capek terjebak dalam permainan bernama cinta. Aku akan fokus pada karirku terlebih dahulu, memberikan manfaat yang banyak untuk orang sekitar serta memantapkan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Itu tekad terbesarku setelah ini. Soal lainnya, urusan belakangan. Aku ingin hidup tenang dan membahagiakan diriku sendiri terlebih dahulu. Belajar mencintai diriku sendiri sebelum mencoba mencintai orang lain.
Sayup, aku mendengar Hendra berbisik di telingaku. Rasanya seperti ada tangan kekar yang membelai pipiku. Hanya saja aku terlalu lelah dan malas untuk membuka mata.
"Aku mencintaimu, dulu, hari ini dan esok. Akan tetap begitu, bahagia lah selalu, penyemangat hidupku!" Suara lirih dari bibir Hendra terdengar jelas di telingaku. Mungkin dia tak tahu bahwa aku masih bisa mendengarnya.
Entahlah, menilai Hendra membuatku bingung. Dia seperti warna, abu-abu. Tidak hitam, bukan putih. Warna yang indah, kelam dan penuh dengan misteri. Apa sebenarnya yang Hendra maksud? Apa rencana yang dia susun untukku? Aku tak paham. Saat ini aku hanya ingin beristirahat sejenak, tanpa gangguan dari siapa pun.
Ada yang bisa tebak, nggak, Hendra kenapa, sih? Apa yang direncanakannya?
*****
Temukan next, di bab selanjutnya, ya, Kak.
Mamak maraton nih! Love, mwah!
InsyaAllah Minggu udah tamat ini, udah siap siapa kira-kira yang beruntung dapat give awaynya? Sepuluh orang yang beruntung akan mendapatkan pulsa masing-masing sebesar 20.000.
Mau? 😁😁😁😁😁😁

Bình Luận Sách (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất