logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

part 22

Aku mengerjap kan mata. Entah berapa lama aku tertidur hingga aku dengar suara ibu menggema memanggil Sandi. Aku diam tak menjawab. Hingga tak berapa lama, terdengar suara Sandi menjawab sambil berlari.
"Ada apa buk?" tanya nya sambil mengatur nafas.
"Darimana saja kamu? Ibuk panggil dari tadi kok baru nongol?"tanya ibuk lembut, beda sekali jika denganku.
"Sandi dari sampung rumah buk. Ngliatin motor ayah yang tadi di antar pak Agus. Emangnya ada apa?"tanya nya lagi.
"Ngga. Itu tadi ibu nya Doni bilang kalian mau ada acara sampek malem. Emang mau ada acara apa? Kok kamu ngga bilang sama ibuk?"tanya ibuk lagi lembut.
"Gimana mau bilang. Lha wong ibuk aja ngga pulang-pulang. Sandi tadinya mau langsung berangkat. Pamit sama ibuk. Lha ibuk ngga pulang-pulang. Mbak di rumah kan ngga ada temen buk,"ucapnya.
Mendengar aku di sebut-sebut, entah kenapa aku penasaran melihat reaksi ibuk. Ku intip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Mereka duduk di kursi ruang tamu. Ku lihat ibuk hanya diam dan membelai rambut Sandi dengan sayang.
Tak terasa air mata ini mengalir kembali saking inginya di perlakukan sama. Aku tak tahan dan kembali duduk di bibir ranjang ku.
"Yaudah buk. Aku siap-siap dulu. Bentar lagi mo berangkat,"ucap Sandi.
Aku mendengar derap langkah Sandi. Kemudian ku intip lagi melalui celah itu. Ingin tau apa yang ibuk lakukan sepeninggal Sandi ke kamar mandi.
Ku lihat ibuk duduk bersandar sambil memejam kan matanya. Terlihat sekali garis kesedihan dan kekecewaan yang menyatu.
'Sabarlah buk! Sebentar lagi, masalah mu akan berkurang satu'batin ku.
Aku kembali duduk. Mencari buku dan pensil untuk menulis pesan barang sepucuk untuk ayah, Sandi dan ibuk. Sesekali, ku seka air mata yang tak mau berkompromi untuk berhenti mengalir.
Ku hentikam sejenak aktifitas ku ketika ku dengar pintu kamar ku di ketuk pelan. Ternyata Sandi yang sudah berpakaian rapi dan akan berangkat.
"Mbak. Sandi berangkat dulu ya. Ibuk ada di dapur. Tadi aku udah pamit juga sama ibuk. Mbak jangan lupa makan! Kalo ngga mau keluar, ambil makan aja terus makan di kamar. Jangan sampek mbak ngga makan ya!"ucap Sandi padaku.
"Iya dek. Kamu ini. Kayak mau kemana aja pakek segala cara jadwalin mbak."ucap ku dengan senyum.
"Entahlah mbak. Aku ngerasa bakalan ngga bisa ketemu mbak dalam waktu yang lama. Udah ach! Berangkat dulu. Assalamu'alaikum mbak,"
"Wa'alaikum salam."
Ku tutup pintu kembali. Ku remas ujung sprei ku karena tercubit dengan ucapan Sandi barusan.
◇◇◇◇
Ini sudah hampir maghrib. Mendung mulai menyapa. Aku mengintip dari balik pintu kamar. Mencari tau keberadaan ibuk. Sepertinya, beliau ada di ruang shalat. Aku mengendap-endal bagai pencuri menuju dapur. Saat melewati ruang shalat, ku lihat ibuk sedang berdzikir di atas sajadahnya.
Aku mengendap ke dapur dan segera mengambil makanan lalu membawa nya ke dalam kamar kembali.
Mendung itu kini telah berganti dengan turunya hujan rintik-rintik. Sesekali, kilat menyambar dan mengeluarkan bunyi yang yang menggelegar.
'Sepertinya, malam ini akan ada badai,' batin ku.
Aku melanjutkan makan. Kumandang adzan maghrib berkumandang ketika aku selesai dengan makan malam ku. Ku sudahi makan dan bergegas ke dapur untuk mencuci bekas makan ku dan mengambil wudhu.
Ibuk masih di ruang shalat. Ku putuskan untuk melaksanakan shalat di dalam kamar saja. Aku terpekur dalam dzikir ku. Hingga tanpa sadar, hari makin gelap dan hujan semakin deras.
Air seakan tercurah dari langit tanpa bisa di bendung. Bahkan bunyi petir seakan ingin ikut menjadi saksi kemarahan alam malam ini. Aku sudah tak tau lagi dimana ibuk berada. Sandi pun sepertinya tertahan hujan.
Aku ke dapur untuk mengambil air wudhu karena waktu isya' sudah lewat beberapa jam yang lalu. Saking asyiknya aku dengan dzikir ku, hingga tanpa sadar ku tunda isya' ku sangat lama.
Aku berjalan menuju dapur. Saat telah melewati ruang tengah, kaki ku seakan kaku dan tak dapat ku gerak kan.
Ibuk sedang duduk tenang menikmati makan malam nya di meja dapur. Ku lihat beliau melirik ku dengan ekor mata nya. Aku kembali berjalan pelan dan semakin menunduk kan kepala.
"Udah pinter ngambil hati orang kamu ya. Sampai- sampai anak ku lebih dengar ucapan mu dari pada ucapan ku, ibu nya,"hardik ibuk yang seketika membuat kaki ku berhenti melangkah tepat di belakang beliau.
"Maksud ibuk?"tanya ku pelan.
"Halah. Ngga usah sok lugu kamu. Aku tau itu cuman akal-akalan mu saja,"ucap ibu sambil berdiri dan menuju tempat mencuci piring.
"Tania beneran ngga ngerti buk,"ucap ku takut.
"Kamu kan, yang nyuruh Sandi buat ngelawan kata-kata ku. Sampek dia berani bilang bakal ninggalin rumah ini kalo aku sampek nyakitin kamu,"ucap ibuk sambil menunjuk-nunjuk wajah ku.
"Ngga buk. Tania ngga nglakuin itu,"ucapku gemetar.
"Halah. Kamu itu ya. Udah pinter bohong kamu ya. Manis di mulutmu saja. Lihat semua kesialan keluarga ku. Sampai-sampai suami ku lebih mentingin kamu daripada aku istrinya. Dia sampek ngga peduli lagi sakit cuman buat nyari biaya sekolah mu. Dasar anak ngga guna," hardik ibuk lagi.
Aku tak mampu mengucapkan sepetah katapun. Hanya air mata yang mampu keluar. Ibuk mendorong ku hingga hampir terjengkang.
"Nangis! Nangis aja yang kamu bisa! Dasar anak pembawa sial! Nyesel aku lahirin kamu ke dunia ini,"ucap ibuk lagi dengan penuh penekanan.
"Cukup buk! Aku ini anak ibuk. Aku bukan pembawa sial,"ucap ku pada ibuk sambil menangis.
"Udah berani ngelawan kamu ya."ucap ibuk sambil hendak meraih badan ku, namun aku segera menjauh.
Aku berlari masuk ke kamar dan segera mengunci nya. Ku dengar ibuk melangkah terburu-buru menuju arah kamar ku. Aku hanya bisa duduk sambil menangis di bibir ranjang. Ku dekap tas pemberian dari bu Joko berisi baju. Ku raih foto kami sekeluarga di atas meja belajar ku. Ku peluk erat untuk mengurangi rasa takut ku.
Ibuk mengggedor pintu kamar ku dengan kuat. Saking kuatnya, mungkin akan menjebol pintu kamar ku yang usang itu.
"Ayah. Tania kangen! Tania takut yah!"isak ku pelan sambil ku dekap foto itu.
"Tania. Buka pintu nya! Aku hitung sampai 3. Kalo dalam hitungan ke 3 kamu ngga buka pintu nya, aku dobrak pintu ini,"ancam ibuk lagi.
Ibuk mulai menghitung. Aku makin takut dan bingung. Ku masukan foto itu ke dalam tas ku. Dengan pelan ku buka pintu itu pada hitungan ke 2. Nampaklah padaku wajah marah ibuk. Ibuk menyeret ku keluar, aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman ibuk.
"Ampun buk! Ampun! Mau di bawa ke mana Tania buk?"iba ku sambil menangis.
"Kamu harus hilang dari hidup ku. Apapun yang terjadi kamu harus pergi,"kata ibuk sambil terus menyeret ku.
"Jangan buk! Ampun. Tania harus ke mana malam-malam begini buk. Tolong jangan buk!"iba ku lagi.
Terjadilah saling tarik di antara kami. Aku berhasil berpegangan pada kusen pintu kamar ibuk. Hujan dan kilat makin menggila malam ini. Hingga keributan kami pun tertutup tanpa ada seorang pun yang tau maupun dengar. Pegangan ku pada kusen akhirnya terlepas setelah ibuk memukul tengan ku dengan tangan nya. Aku masih terus menangis menghiba pada ibuk.
"Kamu harus pergi dari sini,"ucap ibuk sambil mendorong ku keluar rumah hingga aku tersungkur di halaman rumah.
"Ampun buk! Ampuni Tania!"ucap ku lagi memelas.
Ibuk langsung berbalik dan menutup pintu dengan kasar. Aku tergugu di tanah yang basah di bawah guyuran air hujan malam itu. Tak lama, pintu kembali terbuka dan munculah ibuk. Ku pikir beliau mengampuniku. Namun ternyata aku salah. Ibuk melempar tas dari bu Joko yang ada di atas ranjangku tadi.
"Ini. Bawa sekalian baju mu. Aku tau kamu sudah berniat untuk pergi. Aku juga tau kamu akan membuat kegaduhan dulu sebelum pergi. Jangan pernah kamu kembali lagi,"ucap ibuk mengancam ku.
"Tania harus kemana buk malam-malam begini? Tolong beri Tania waktu buk,"ucap ku menghiba sambil menangis.
"Masa bodo. Pergi!"bentak ibuk lagi dan langsung masuk ke dalam rumah.
Aku tergugu dalam guyuran hujan. Sejenak ku lihat sekitar. Semua pintu nampak tertutup. Aku berdiri perlahan masih dengan tangis. Kemudian, ku ambil tas yang ibuk lemparkan dan memakai nya di punggung.
Aku berjalan tertatih menjauh dari rumah ku. Sejenak ku putar tubuh ku berharap ibuk akan membuka pintu dan menyuruh ku masuk kembali ke dalam. Namun ternyata itu hanyalah mimpi.
◇◇◇◇◇
Aku berjalan pelan. Semua pintu telah tertutup. Bahkan beberapa sudah mematikan lampu rumah mereka. Sepertinya efek hujan badai membuat semua orang malas untuk berlama-lama di luar rumah. Membuat kampung ini begitu sepi tanpa lalu lalang kendaraan.
Aku berjalan pelan penuh air mata. Bingung kemana tujuan ku. Akhirnya ku putuskan untuk menuju terminal saja. Ku langkahkan kaki ku menuju tempat biasa aku menunggu angkot siang tadi.
Dingin menusuk tulang. Hujan tak kunjung reda juga. Aku duduk di pangkalan ojek yang sepi tanpa seorang pun. Memeluk badan ini berharap dingin ini sedikit sirna. Aku ingat akan jaket yang ada dalam tas ku. Ku keluarkan jaket itu yang masih kering karena tas anti air dari bu Joko ini.
Namun karena memang aku yang telah basah kuyup, jaket itupun seakan tak mampu menhalangi dingin nya malam.
Aku menghalangi muka ku karena silau dari lampu kendaraan yang sedang menuju kemari. Ku kira itu adalah tukang ojek yang biasa mangkal di tempat ini. Namun ternyata bukan.
Kendaraan itu semakin mendekat. Hingga jarak semakin dekat dengan ku. Turun lah seorang laki-laki berjaket dan bertopi hitam menuju ke arah ku.
"Mbak. Ngapain mbak di sini malam-malam?"tanya nya.
"Sandi,"ucap ku kaget.
Aku yang sadar bahwa itu adik ku, segera menyambutnya dengan pelukan penuh air mata.
"Mbak kenapa? Kenapa bawa tas segala?"tanya nya lagi.
"Mbaj di usir ibuk, dek,"ucap ku dengan tangis yang tak mampu ku tahan.
"Apa mbak? Kenapa? Apa yang terjadi?"ucap nya.
Ku ceritakan semua sambil menangis. Sandi duduk diam mencermati setiap kalimat ku. Sesekali, dia menghela nafasnya. Aku melihat kilat kemarahan pada matanya.
"Jangan marah sama ibuk ya, dek! Mbak mohon!"ucap ku kemudian di akhir cerita.
"Gimana bisa Sandi ngga marah mbak! Ibuk udah keterlaluan,"ucapnya penuh emosi.
"Demi mbak, dek. Tolong jangan buat ibuk makin benci sama mbak!"ucap ku lagi.
"Huhh. Aku ikut mbak,"ucap adik ku tegas.
"Jangan dek! Kalo kamu ikut mbak, siapa yang ngurus ibuk? Siapa yang nemenin ayah?"kata ku.
"Terus aku harus gimana mbak? Aku ngga bisa diem aja mbak di gini'in ibuk. Mbak ini keluarga ku satu-satunya."ucap Sandi.
"Mbak mohon, dek! Kalo kamu ikut mbak, ibuk akan makin berpikir kalo yang dipikir beliau selama ini adalah benar. Mbak janji, mbak akan baik-baik aja!"ucap ku meyakinkan nya
Aku terus meyakin kan Sandi. Tak putus ku yakin kan dia bahwa aku akan baik-baik saja setelah ini. Hingga dia pun akhirnya menyerah dan mau menuruti ku. Ku peluk erat dia dengan tangis bahagia.
"Terus sekarang mbak mau ke mana?"tanya nya lagi sambil menghapus air mata ku.
"Mbak mau ke terminal dek. Mbak akan ikut bu Joko."ucap ku.
"Gimana ke terminal nya mbak. Jam segini ngga ada angkot."ucapnya lagi.
"Mbak akan nunggu sampek pagi di sini malam ini. Biar dapet angkot paling pagi,"
"Ngga mbak. Lebih baik mbak ikut aku. Kita ke rumah temen ku. Besok pagi, aku antar mbak kesini lagi,"ucapnya.
"Jangan dek! Mbak ngga mau tetangga pada tau kalo mbak di usir ibuk. Mbak ngga pa pa,"ucap ku meyakin kan.
"Yawes kalo mbak maksa. Kalo gitu aku juga maksa nemenin mbak ndek sini sampek mbak dapet angkot,"ucapnya lagi.
"Jangan dek! Nanti kamu sakit. Ujan makin deres."
Belum sempat Sandi menjawab, terdengar bunyi motor berjalan ke arah kami. Kami menutup wajah menghindari silaunya lampu kendaraan itu. Kendaraan itu berhentu tepat di depan kami.
"Sandi. Tania. Kalian ngapain malam-malam di sini?"ucap bik Marti'ah terkejut.
"Kami nunggu angkot buk,"ucap Sandi menahan amarah.
"Mana ada angkot jam segini nak. Ini sudah malam. Ngga mungkin ada angkot lewat. Ini lagi. Ngapain Tania bawa tas segala?"ucap bik Marti'ah lagi.
"Mbak Tania di usir ibuk,"ucap Sandi datar.
"Apa?"ucap bik Marti'ah dan mbak Ambar kompak.
Mbak Ambar segera mematikan mesin motornya. Mereka duduk di samping kami. Aku tak mampu menjawab setiap pertanyaan yang mereka lontarkan padaku. Entah kenapa lidah ku kelu tak mampu berucap.
Akhir kata, mbak Ambar akan mengantar ku ke terminal malam ini juga. Sedangkan Sandi akan mengantar bik Marti'ah pulang. Kami berpisah dari pangkalan ojek itu. Bik Marti'ah masih mengenakan pakaian hujan sama seperti mbak Ambar.
Mereka jalan terlebih dahulu. Mbak Ambar dan aku sudah bersiap akan berangkat.
"Mbak. Tolong jangan beritahu kejadian ini pada siapapun ya! Anggap aja mbak sama bik Marti'ah tidak pernah mengalami malam ini dengan ku. Aku ngga mau nama ibuk jadi jelek dan ibuk makin membenci ku."ucap ku.
Mbak Ambar menghela nafas berat. Ada gurat ketidak sukaan yang tergambar jelas di matanya. Namun akhirnya dia dia menganggukan kepala nya tanda setuju.
Mbak Ambar menstarter motornya. Aku naik ke jok penumpang ketika ada mobil merah berhenti tepat di depan motor kami. Mobil merah berstiker bunga mawar di kaca belakang mobilnya.
"Bu Joko,"ucap ku.
Aku yang telah naik di jok penumpang, kemudian turun kembali. Bu Joko turun tergopoh mendekat ke arah kami.
"Kalian mau kemana malam-malam begini?"tanya beliau kemudian.
"Ibu,"ucap ku sambil menghambur dalam pelukan beliau.
Bu Joko tak lagi bertanya. Air mata ku tumpah. Betapa aku merindukan dekapan wanita satu ini. Beliau menenangkan aku yang masih tergugu dalam pelukannya. Mbak Ambar menjelaskan kemana tujuan kami dan apa tujuan kami malam ini.
Beliau terkejut dengan penjelasan mbak Ambar. Hingga air mata beliau ikut menyertai dekapan beliau yang makin erat padaku. Bu Joko tak menyangka bahwa ibuk ku mampu setega itu pada anak kandungnya sendiri.
"Kamu ikut ibu ya, ndok!"ucap bu Joko dengan mantap sambil membelai rambut ku.
Ku jawab dengan anggukan kepala karena mulut ku masih tersedu dalam tangisan. Bu Joko menyuruh sopirnya untuk keluar dari dalam mobil.
"Ganti bajumu di dalam mobil ndok. Ibu tunggu di sini,"titah beliau.
Ku usap air mata ku dan melaksanakan ucapan beliau. Sambil mengganti pakaian, ku lihat beliau mengobrol dengan mbak Ambar dan memberikan mbak Ambar sesuatu. Ada adegan menarik ulur benda pemberian bu Joko yang berakhir pada kepasrahan mbak Ambar dalam menerimanya.
Setelah selesai berganti pakaian, aku buka pintu mobil. Sopir bu Joko yang memegang payung pun dengan sigap memayungi ku.
"Sudah ndok?"tanya bu Joko yang ku jawab dengan anggukan kepala.
"Yaudah. Ambar. Ibu pergi dulu. Titip salam buat ibu mu, ya!"ucap bu Joko pada mbak Ambar.
"Nggeh bu,"ucap mbak Ambar.
"Ayo ndok!"ajak bu Joko padaku .
"Mbak. Makasih ya. Salam buat bik Marti'ah. Jangan lupa apa yang tadi kita bahas ya, mbak!"ucap ku.
"Iya dek. Kamu tenang aja! Rahasia kamu aman sama mbak."ucap nya meyakinkan ku.
Kami pun segera masuk ke dalam mobil karena hujan makin lebat saja. Setelah berpamitan, mobil pun melaju meninggalkan pangkalan ojek itu.
♤♤♤♤

Bình Luận Sách (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    15d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất