logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

part 20

Ibu masuk kamar dan tak keluar hingga menjelang siang. Aku yang seharian di rumah di buat nya bingung. Apalagi ibuk sedang marah padaku saat ini.
Sandi pulang dan bertanya di mana ibuk. Ku jawab dengan pelan bahwa ibuk di dalam kamar sejak ayah berangkat tadi. Ku minta Sandi membujuk ibuk untuk makan siang. Aku tak ingin ibuk terlambat makan dan sakit. Sandi pun menuruti ku. Segera dia berganti pakaian di kamarnya.
"Assalamu'alaikum. Buk,"ucap Sandi di depan kamar ibuk.
Ibuk membuka pintu kamarnya, membuat ku bersyukur. Sandi masuk ke dalam untuk membujuk ibuk.
"Ayo makan siang buk! Aku lapar,"ucap Sandi di buat-buat.
"Iya le. Ayo!"ucap ibu lembut.
'Buk. Sekali saja ibuk begitu juga padaku buk,'batin ku nelangsa.
Ibuk dan Sandi berjalan menuju meja makan di dapur. Aku pun berinisiatif membuatkan ibuk teh hangat. Itu adalah favorit ibuk sejak dulu. Makan di temani teh manis hangat walaupun di siang hari yang panas.
Teh buatan ku pun siap. Ku antar pada ibuk yang sudah duduk dan makan bersama Sandi, adik ku.
"Monggo teh nya buk!"ucap ku lembut.
"Ngga usah sok baik kamu. Seneng kan kamu kalo ayah sama ibuk bertengkar terus gara-gara kamu. Seneng kan kamu liat ayah mu ketiban sial."ucap ibuk tiba-tiba memaki ku.
"Astaghfirullah buk! Mana ada anak yang seneng liat keluarga nya bersedih buk. Terutama orang tuanya,"jawab ku yang mulai tak tahan dengan cacian ibuk.
"Ada. Kamu itu orang nya. Kalo kamu ngga seneng liat orang tuamu sedih apalagi susah, harusnya kamu tau diri dan pergi jauh-jauh dari kami. Bukan malah bikin rumah kacau kayak gini. Kamu ngga tau kan kalo ayah mu kemarin kerampokan karna abis ambil uang tabungan nya buat biaya sekolah mu itu. Kamu itu pembawa sial. Apapun yang berhubungan dengan mu itu selalu saja bikin keluarga ku jadi sial," maki ibuk sambil menunjuk-nunjuk wajah ku.
Aku hanya mampu menangis. Air mata yang sebenarnya tak ingin ku perlihatkan, akhirnya luruh juga di depan ibu. Namun, bukan ibuk namanya kalau akan berhenti ketika melihat ku menangis.
"Nangis. Nangis aja bisa mu. Sekali-sekali itu mbok ya jadi anak yang berguna buat keluarga. Buat ibuk terutama kalo kamu pengen ibuk anggep kamu anak,"ucao ibuk tanpa perasaan.
"Maafkan Tania buk! Belum bisa jadi yang terbaik buat ibuk."ucap ku dengan air mata yang deras menganak sungai.
"Dengar ya! Ibuk ngga akan pernah mau maafin kamu. Denger itu! Kamu itu pembawa sial,"ucap ibuk makin marah padaku.
"Lalu Tania harus apa buk supaya ibuk maafkan Tania?"tanya ku sesenggukan.
"Jauhi keluarga ibuk! Jangan pernah dekati lagi keluarga ibuk! Kalo perlu, kamu minggat sana sekalian!"ucap ibuk lantang padaku.
"Maaf buk!"ucap ku.
Aku tak tahan lagi mendengar cacian ibuk. Akhirnya aku berlari keluar rumah setelah selesai mengatakan itu pada ibuk.
"Mbak!" teriak Sandi memanggil dan berusaha mengejar ku.
"Sandi. Sini kamu!"cegah ibuk pada Sandi.
Aku tak peduli lagi. Ku layangkan kaki ini menjauh dari rumah. Dengan deraian air mata yang tak sanggup lagi ku tahan aliran nya. Hanya satu yang bisa ku tuju saat aku seperti ini. Rumah Dina. Hanya dialah tempat ku berbagi kesedihan.
Banyak pasang mata yang memperhatikan ku berlari sambil menangis. Aku seolah tak peduli lagi dengan itu. Entah. Menguap kemana rasa maluku saat ini.
◇◇◇◇
Ketika hampir sampai, ku lihat Dina sedang duduk di teras sambil memainkam telpon genggam nya. Benda yang selalu ingin ku miliki juga.
"Assalamu'alikum,"aku mengucap salam masih sambil menangis.
"Wa'alaikum salam. Lhoh Tan. Kenapa kamu?"ucap Dina segera berdiri menghampiri ku dengan seribu tanya.
Aku tak mampu lagi membendung kesedihan. Ku peluk erat gadis di depan ku dengan tangis yang makin keras. Bahkan, aku tak malu lagi pada beberapa pasang mata yang lewat dan sempat memperhatikan adegan ini.
"Ayo duduk di dalam, Tan! Jangan disini!" ucap Dina mengajak ku masuk setelah ku lepas pelukan nya.
Ibu Dina yang sudah sembuh dari sakitnya, sedang menjahit di depan mesin jahitnya. Melihat ku yang masuk rumahnya dengan menangis, beliau langsung mendekatiku.
"Ono opo ndok? Nyapo ki kok nangis, Din?"tanya beliau khawatir.
"Mboten semerap buk. Datang-datang sudah begini,"jelas Dina.
Dina mengajak ku duduk di kursi ruang tamu nya. Sedangkan ibunya dengan sedikit berlari masuk ke dapur dan keluar dengan membawa segelas air.
"Di ombe disik cah ayu. Ben adem pikire,"ucapnya menenangkan ku.
Aku meminum air itu hingga tandas. Beliau kemudian duduk di samping ku sedangkan Dina duduk berjongkok di depan ku.
"Enek opo ndok? Sampean dari mana ini tadi?"tanya ibu Dina pelan sambil membelai rambut ku.
"Kulo saking griyo buk,"hanya itu yang mampu keluar dari mulut ku.
Ibu Dina menghela nafas berat seolah sedang tertimpa beban berat di pundaknya.
"Mesti iki mergo ibuk mu yo?"tanya beliau sambil menggayuhku ke dalam pelukan hangatnya.
"Ibuk marah-marah buk. Ibuk ndukani kulo," jawab ku masih dalam pelukan beliau.
"Iyo ndok. Ibuk paham piye karakter ibuk mu iku. Cerito o ndok! Ben rodok lego atimu." ucap beliau lagi.
Akhirnya ku ceritakan semuanya. Mulai dari apa yang menyebab kan ibuk marah padaku, hingga ucapan nya padaku tadi sebelun aku berlari dan menangis keluar dari rumah. Ku dengar ibu Dina dan Dina banyak mengucap astaghfirullah berulang kali. Setelah aku selesai bercerita, ibu Dina melepas pelukan nya.
"Wes. Seng sabar cah ayu. Karti memang begiti dari dulu. Ibu mu itu hanya melampiaskan kemarahan masa lalu nya saja padamu."ucap ibu Dina padaku.
"Memangnya, apa salah saya buk? Kenapa ibuk saya sebenci itu?"tanya ku masih dalam kondisi menangis.
"Bukan ibuk yang bisa menjelaskan ndok. Suatu saat kamu akan tau alasanya. Orang tua mu lah yang pantas menjawab pertanyaan mu itu. Bukan dalam keadaan marah tentu nya. Karena kalo di ceritakan dalam keadaan marah, akan lain rasa yang sampai padamu,"ucap ibu Dina lembut.
Aku diam tak mengerti. Memangnya ada apa dengan hidup ku di masa lalu. Kenapa tidak seorang pun yang mau menjelaskan padaku.
"Sudah nangisnya! Nanti ayu ne ilang lho. Kamu belum makan siang to? Din. Ajak Tania makan di dapur. Kalo ngga suka sayurnya, masak mi sama telur itu di kulkas."kata beliau lagi.
"Injih bu. Ayo Tan!" ajak Dina menarik tangan ku yang sedari tadi di genggam nya.
Aku menurut dengan lesu. Sempat ku lihat ibu Dina menyeka ujung matanya. Dina mengajak ku ke dapur.
"Kamu mau pakek sayur apa kita masak mie sama-sama? Hari ini ibu ku masak opor tahu sama ikan asin soalnya. Aku siech ngga terlalu suka," ucap Dina cengengesan berharap aku melupakan kesedihan ku.
"Yaudah. Kita masak mie bareng-bareng aja Din."ucap ku kemudian sambil tersenyum tipis.
"Nach, gitu dong! Senyum."ucap Dina padaku lagi.
"Makasih ya, Din. Mau jadi sahabat ku,"ucap ku.
"Iya Tan. Aku juga makasih kamu mau temenan sama aku,"ucapnya padaku.
Setelahnya, kami pun masak bersama di dapur dan makan bersama pula. Sejenak hati ku terhibur dengan kehadiran Dina. Dina banyak membuat lelucon agar aku tertawa bersama nya.
◇◇◇◇
Adzan ashar berkumandang. Ibu Dina menyuruh ku untuk mandi dan segera menunaikan kewajiban. Entah kenapa, kemarahan ibuk kali ini membuat ku enggan pulang ke rumah.
Ada rasa bersalah yang bersarang dalam dada ini tatkala mengingat apa yang ayah lakukan untuk ku dan membuat ayah dan ibuk bertengkar.
Kami berjama'ah di kamar sholat. Setelah selesai, aku dan Dina kembali bercengkerama sedangkan ibu nya kembali pada kegiatan nya menjahit pakaian pelanggan. Aku dan Dina ngobrol di dalam kamar sambil cekikikan. Hingga kami serempak saling pandang sesaat setelah mendengar suara ucapan salam dari arah luar.
"Assalamu'alaikum,"
Aku dan Dina langsung keluar saat ibu nya sudah mempersilahkan tamu itu untuk masuk ke dalam rumah.
"Enek opo le?"tanya ibunya Dina.
"Mau jemput mbak Tania bu,"ucap tamu itu yang ternyata Sandi adik ku.
"Ouw. Iyo. Ndok. Tania! Sini keluar ndok!"panggil beliau pada ku.
Aku segera keluar kamar dan menghampiri mereka di ruang tamu. Sandi terlihat sudah mandi dan rapi. Dia datang seorang diri.
"Sandi," ucap ku tatkala mata kami saling pandang.
"Mbak. Ayo pulang!"ucapnya padaku.
"Ibu bagaimana, dek?"tanya ku sambil menunduk.
"Ibuk di rumah mbak. Udah mbak ngga usah takut. Sandi akan selalu ada buat mbak apapun yang terjadi."ucap nya tegas.
"Sini ndok! Duduk dulu sini!"ucap ibu nya Dina.
Aku duduk di samping ibunya Dina sedangkan Dina sendiri duduk di kursi yang berlainan.
"Mbak mu sudah cerita semua sama ibuk, San. Ibuk cuma mau pesan sama kamu, ngger. Mbak mu ini perempuan. Kamu yang laki-laki harus bisa jaga mbak mu dengan baik yo, le. Kasihan mbak mu selalu di pojokan. Bisa depresi nanti mbak mu itu,"tutur ibunya Dina lembut.
"Injih bu. Matur nuwun sudah mau menerima mbak Tania dengan baik di rumah ini." ucap adik ku lagi.
"Ojo sungkan le! Anggap kami ini keluarga kalian juga. Buat kamu ndok. Banyak- banyak sabar. Jangan di ambil hati ucapan ibuk mu itu! Setiap kali perkataan ibuk mu membuat mu sakit hati, banyak istighfar. Biar hati juga tenang tak mudah emosi. Selain pahala yang kamu dapat, juga meninggalkan resiko dosa karena menyakiti dan melawan orang tua. Ya, ndok!" ucap beliau lagi sambil mengelus rambut ku.
"Tapi mbak takut, dek. Nanti ibuk marah-marah lagi,"ucap ku pada Sandi.
"Ngga mbak. Sampean seng tenang. Onok aku,"ucap Sandi.
Meskipun ragu, namun aku akhirnya menurut apa kata ibu nya Dina. Aku ikut Sandi untuk pulang ke rumah. Kami berjalan bersama setelah pamit pada Dina dan ibunya.
Sandi tak lepas menggandeng tangan ku. Jika sudah begini, aku akan terus teringat pada masa kecil kami waktu masih bekerja pada bu Joko.
Ach, betapa aku merindukan beliau saat ini. Meskipun dua minggu yang lalu beliau baru mengunjungi ku seperti biasa.
Kami masuk ke dalam rumah dan mengucap salam bertepatan dengan kumandang adzab maghrib. Rumah sangat sepi. Aku menelisik setiap sudut rumah. Tak ku lihat sosok ibuk. Sandi mengajak ku ke belakang untuk mengambil wudhu dan bersiap sholat.
Saat kaki ini melangakh melewati ruang sholat, ku lihat ibu tengah melaksanakan sholat wajib di sana. Aku segera berwudhu bersama adik ku Sandi. Setelahnya, kami sama-sama menuju ruang sholat. Aku takut-takut saat akan sholat di belakang ibuk.
"Ngga pa pa mbak. Sudah ayo!"kata Sandi.
Akupun menurut. Kami melaksanakan 3 roka'at bersama. Ibu yang sudah selesai lebih dulu, segera menuju dapur untuk makan. Ku tau itu karena tadi sempat ku dengar langkah kaki nya saat akan bertakhiyat awal.
Saat aku dan Sandi selesai melaksanakan sholat, kami menuju meja makan. Tak ku lihat ibuk di sana.
"Ibuk kemana dek?"tanya ku pada Sandi.
"Udah masuk kama mbak. Udah ayo! Mungkin ibuk butuh waktu berpikir,"ucap nya menenang kan ku.
Aku dan Sandi makan dalam diam. Besok hari libur. Ku yakin Sandi akan segera keluar untuk bermalam minggu bersama teman-teman nya.
Namun saat setelah selesai, ku lihat adik ku itu berjalan menuju tv dan menyalakan nya.
"Tumben ngga malmingan,dek?"ucap ku.
"Mendung mbak. Males keujanan,"jawabnya sambil tertawa kecil.
"Ujan juga belum dek. Kok udah takut keujanan,"ucap ku tertawa kecil.
Aku menuju dapur untuk membuatkan camilan untuk menemani kami menonton televisi nantinya. Saat akan selesai, tiba-tiba ibuk muncul di samping ku.
"Ibuk mau pisang goreng?"tanya ku menawari beliau dengan ragu.
Ibuk tak menjawab. Jangan kan menjawab pertanyaan ku, menoleh sekilas pun tidak. Aku langsung beristighfar dalam hati sebanyak mungkin. Ku lihat ibuk mengambil minum dan mengahbiskan minuman yang ada di gelas nya itu. Setelahnya, beliau masuk ke kamar mandi.
Aku yang sebenarnya sudah selesai, hanya mampu diam mematung di tempat tak berani bergerak. Saat ibuk keluar dari kamar mandi, pandangan kami tak sengaja saling beradu.
"Kenapa kamu? Seneng ya liat ngga ada yang ndukung aku?"ucap ibuk lirih oenub dengki namun masih bisa ku dengar.
"Ngga buk,"ucap ku seraya menggeleng takut.
"Halah. Ngga usah sombong kamu. Gara-gara kamu, anak ku jadi berani nglawan apa mau ku. Pinter ya kamu! Udah bikin aku di benci suamiku, sekarang kamu bikin anak ku benci sama aku. Kenapa siech ngga minggat aja kamu itu,"ucap ibu ku seraya berlalu dari hadapan ku.
Ku raba dadaku yang sesak karena menahan sakit nya ucapan ibuk. Air mata meluncur bebas tanpa bisa ku cegah. Ku hapus kasar air mataku kala ku dengar suara langkah kaki adik ku berjalan menuju dapur.
"Ibuk nyakitin mbak lagi?" tanya Sandi saat sudah sampai di sebelah ku.
"Ngga."ucap ku sambil terus menata pisang goreng di piring supaya tidak beradu pandang dengan Sandi.
"Mbak ngga lagi bohong kan?"tanya Sandi menyelidik.
"Ngga dek. Udah ach. Ni bawa pisangnya ke depan! Buat temen begadang sambil nonton tv di depan. Mbak mau bikin teh hangat sekalian,"ucao ku.
Sandi tersenyum senang dan membawa camilan kamu ke depan tv. Meninggal kan aku sendiri di dapur yang sedang menyeduh teh sembari menata hati yang sekali lagi terantuk keras nya ucapan ibuk. Setelah ku rasa siap, aku pun menuju tempat adik ku berbaring dan ikut menemani nya makan pisang goreng.
♤♤♤♤♤

Bình Luận Sách (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    15d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất