logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

part 19

Sore ini, rencana nya ayah sudah boleh pulang. Aku dan Sandi pulang lebih dulu untuk mempersiapkan tempat ayah dan ibuk beristirahat. Tak lupa makanan agar mereka tak perlu bingung memikirkan akan mengisi perut malam ini.
Aku sudah selesai membersihkan seluruh rumah. Sandi pergi ku minta untuk membeli beberapa bahan dapur yang habis. Aku sejenak termenung di kursi ruang tamu.
Bayangan akan keras nya usaha ayah untuk menyekolahkan ku, serta beratnya ayah harus pulang pergi hanya karena mengkhawatirkan aku yang hidup bersama ibu.
'Apakah aku akan sanggup mendengar dan merasakan cacian ibu jika aku meneruskan sekolah ku? Belum lagi tentang perilaku ibu yang tak pernah lembut padaku. Iya siech, ibu tak pernah menyakiti ku dengan tangan nya. Tapi ucapan ibu setiap waktunya itu. Ach, bingung nya!' batin ku bergejolak.
Di tengah aku sedang berargumen dengan suara hati ku sendiri, tibalah Sandi membawa pesanan ku. Ketika ku dengar suara langkahnya menaiki lantai teras, aku segera bangkit dan menyambut nya di pintu.
"Ada semua, dek?"tanya ku sambil ku bawa sayuran dari tangan nya.
"Ada mbak. Tapi ayam nya habis" ucap nya lagi.
"Terus gimana ini. Ibu kan tidak bisa makan hanya tahu tempe saja dek"ucap ku gusar.
"Tenang mbak! Tadi ketemu wanto di jalan. Pulang mancing dia ternyata. Nich ikanya malah di kasih aku"ucapnya sambil memperlihatkan ikan yang di berikan oleh teman nya barusan.
Aku tersenyum senang dan tak lupa ku ucap syukur. Setelahnya, kami segera ke dapur untuk mulai memasak semua nya. Aku harap, makanan ini bisa siap tepat waktu.
◇◇◇◇
Makanan sudah siap tepat saat adzan dhuhur berkumandang. Ucapan alhamdulillah dari mulut kami berdua terasa sangat melegakan. Sandi langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi dan menyegerakan kewajibanya. Sedangkan aku, masih berkutat di meja makan menata semuanya. Aku sedang berhalangan makanya tidak ikut sholat.
Selesai semua, aku ke dalam kamar merebahkan tubuh lelah ini di bale kamar ku. Melepaskan penat sebentar untuk aktifitas selanjutnya. Ku dengar Sandi keluar ke langgar dekat rumah kami saat mata ini terasa berat dan terpejam.
Entah sudah berapa lama aku tidur. Sandi membangun kan ku karena ibu mengabarkan sudah dalam perjalanan pulang. Aku segera ke kamar mandi untuk mandi. Aku mandi secepat yang aku bisa agar badan ini pun segar kembali.
Setelah nya, aku dan Sandi duduk di ruang tamu kami. Perjalanan ke rumah sakit memang memakan waktu cukup lama karena memang sedikit jauh.
"Mbak. Soal motor ayah. Apa mbak ngga merasa curiga?"tanya Sandi tiba-tiba.
"Curiga gimana maksud mu dek?"tanya ku heran.
"Gini dech mbak. Ayah pulang ke rumah kan sendirian ngga sama temen nya. Belum lagi motor ayah itu jelek mbak. Ngga mungkin kan kalo ngga ada yang di incer dari ayah. Apalagi ayah ngga luka sama sekali. Terus motor malah di tinggal pula. Terus,apa coba motif nya? Apa coba yang di incar kalo ngga ada yang di ambil"ucap Sandi berusaha meyakinkan ku.
Sejenak aku diam dan berpikir.
'Benar juga apa yang kamu bilang dek. Apalagi mengingat mereka juga tau kalo ayah bawa uang tabungan nya. Yang di ambil juga cuma uang tabungan nya aja. Jadi apa alasan mereka merampok ayah tapi setelahnya meninggalkan motor rampokan nnya di pinggir,' batin ku.
Aku diam tak bisa menjawab apapun ucapan Sandi. Hingga kami mendengar suara deru mesin kendaraan memasuki pekarangan. Bahasan tentang perampok itupun berhenti sampai di sini.
Aku dan Sandi berdiri bersama menuju pintu. Ternyata benar itu mobil yang membawa ayah dan ibuk pulang. Aku dan Sandi segera menyongsong kedatangan mereka.
Sandi membantu pak Eko memapah ayah masuk ke dalam rumah. Sementara aku membantu membawa barang yang di bawa oleh ibuk. Ayah di baringkan di kursi ruang tamu kami.
"Matur nuwun pak Eko. Maaf merepotkan!"ucap ayah pada pak Eko.
"Alah ndak pa pa kang. Tadi kebetulan pas sama Agus aku. Daripada sampean naik pickup"ucap pak Eko.
"Ini maaf pak Eko. Untuk bensin. Maaf jumlahnya ngga banyak"ucap ayah sambil menyalamkan amplop berisi uang pada pak Eko.
Namun pak Eko tak mau menerima pemberian ayah. Beliau bilang hanya ingin membantu saja. Tidak ada maksud pamrih apapun. Tapi ayah terus memaksa beliau hingga akhirnya beliau pun menyerah dan menerima nya. Namun tanpa di duga, saat akan pulang beliau menyisipkan amplop itu ke kantong Sandi.
"Buat kebutuhan sekolah ya le!"ucap pak Eko.
Kami terbengong hingga ibu mengucap terima kasih pada pak Eko, dan beliau melangkah keluar di iringi ucapan salam. Kami menjawab nya serempak.
"Emang pak Eko itu baik yah! Di ganti bensin sampek ngga mau,"ucap ibu duduk di samping ayah.
"Alhamdulillah buk. Dapat tetangga baik,"ucap ayah.
"Buk. Ini ibuk aja yang bawa. Sandi buat apa juga ini,"ucap Sandi sambil menyerahkan amplop itu tadi dan di terima ibu.
Aku langsung menuju dapur tanpa kata dan langsung membuatkan minuman untuk ayah dan ibuk. Tak lupa juga pisang goreng yang tadi ku siapkan.
"Monggo yah buk! Di minum dulu teh nya,"ucap ku sambil menyuguhkan 2 teh panas depan mereka.
"Makasih ya, ndok!"ucap ayah tulus
"Ayah mau makan sekarang? Aku masak kesukaan ayah hari ini,"ucap ku pada ayah.
"Nanti saja. Makan sama kalian di meja makan. Sekarang ayah mau istirahat dulu di kamar."ucap ayah.
Sandi dan aku membantu ayah berdiri dan mengantarnya ke dalam kamar. Setelahnya kami duduk di pinggir ranjang ayah dan memijit kedua kaki ayah. Sementara ibuk, sepertinya beliau langsung keluar rumah entah kemana.
Saat ayah mulai tertidur, dengan pelan aku dan Sandi beranjak keluar dan meninggalkan ayah. Saat sudah berada di luar kamar, aku menuju dapur sedang Sandi ke teras. Mungkin mencari ibuk.
"Le. Pak Agus tadi ke sini antar montor ngga?"tanya ibu pada Sandi dengan pelan, namun masih dapat ku dengar.
"Belum buk. Apa pak Agus bilang mau antar motor?"tanya Sandi.
"Iya. Yawes. Mungkin masih sibuk. Yawes ibuk tak istirahat dulu ya. Kamu sana buruan makan." ucap ibu sambil berlalu.
"Nggeh buk"ucap Sandi.
Aku yang mendengar pun tak ingin ikut menimpali percakapan ibu dan anak itu.
'Ach, buk! Seandainya ibu bisa seperti itu padaku juga. Pasti aku seneng buk,'batin ku berbicara sendiri.
◇◇◇◇
Kami makan siang bersama setelah sama-sama melaksanakan sholat dhuhur. Kami makan siang sambil berbincang ringan.
"Yah, emang kemaren mereka ngambil apa dari ayah? Masak ngrampok motor butut doang, di balikin lagi matornya"keluh Sandi tiba-tiba.
Aku hanya diam menyimak pembicaraan Sandi sambil tetap menundukan kepala. Entah kenapa, aku berharap ayah jujur tentang uang tabungan itu dan membicarakan nya berdua dengan ku setelahnya.
"Sebenarnya, ayah abis ambil uang, San. Pikir ayah, daripada ribet nanti harus cari atm buat kasih uang belanja ibuk."ucap ayah.
Degh!!
Aku terperanjat mengetahui bahwa ayah berkata jujur tentang uang itu. Tapi kenapa beliau bilang itu uang untuk ibuk. Sedang, ku lihat ibuk hanya diam mendengar percakapan mereka.
"Ayah ngambil uang nya di mana?"tanya Sandi lagi.
"Di deket ayah kerja siech,"jelas ayah sambil mengingat-ingat.
"Ada yang tau ngga ayah pas ngambil uang? Temen ayah mungkin!"ujar Sandi meminta penjelasan.
"Ayah ngambilnya barengan sama nyairin uang gajian temen-temen ayah. Kamu kenapa siech? Kok kayak ngintrogasi ayah gitu!"ucap ayah mulai sewot.
"Ngga yah. Heran aja. Ayah pakek motor butut pulang ke rumah. Tiba-tiba ayah di rampok. Yang di ambil uang sama motor. Tapi motor di tinggalin, cuman bawa uangnya doang. Kan aneh yah. Udah gitu, ketemu motor nya juga aneh lagi. Belom lagi mereka kayak tau-tau aja ayah bawa duit buat orang rumah, padahal biasanya ngga pernah"ujar Sandi lagi.
Ayah nampak tertegun. Mungkin beliau sedang menganalisa ucapan Sandi. Tapi jika ku pikir, ucapan adik ku itu banyak benarnya. Darimana mereka tau kalo ayah bawa uang untuk biaya pendaftaran ku. Sangat mencurigakan.
"Ach, sudahlah! Mungkin hanya kebetulan saja. Dan mungkin memang uang itu bukan rejeki kita"ucap ayah kemudian.
Ibu langsung berdiri dan beranjak pergi ke luar rumah sesaat setelah mendengar ucapan ayah. Menit berikutnya, ayah selesai makan dan pamit untuk beristirahat di kamar.
Aku pun bergegas membereskan meja tempat kami makan. Tak lama, ku lihat ayah keluar lagi sambil membawa sebatang rokok dan duduk di bale teras rumah.
Aku menyusul ayah ke teras sedangkan Sandi tadi berpamitan pergi ke rumah teman nya usai makan bersama kami. Aku duduk di samping ayah sambil ku suguhkan air putih dan goreng pisang yang tadi pagi ku goreng untuknya.
"Ayah mau Tania pijitin?"tanya ku.
"Ngga usah ndok. Duduk saja temani ayah. Ouw iya. Gimana sekolahmu? Kemarin kelulusan kan katanya kamu dapat nilai terbaik sekelas. Mau lanjut sekolah di mana?"tanya ayah.
"Ngga tau yah. Tania bingung. Kalau menurut ayah gimana?"tanya Tania.
"Sebenarnya, ayah pengen kamu masuk SMA unggulan di kota. Memang biaya pendaftaran nya agak mahal dari yang lain. Tapi lulusan sana selalu jadi yang terbaik. Hanya saja, uang ayah belum cukup,"ucap ayah sambil menerawang.
'Harusnya ayah jujur saja kalau uang itu di rampok yah!'batin ku berbisik.
"Bagaimana kalo kamu masuk ke SMA yang ada di dekat sekolah mu itu ndok? Itu SMA negeri juga kan?"ucap ayah bersemangat.
"Tapi biaya di sana mahal yah. Apa nanti kita sanggup bayarnya. Pilih sekolah biasa saja yah. Supaya tidak terlalu membebani ayah dalam biaya,"ucap ku lembut tak lupa senyum tipis.
"Ndok. Ayah pengen kamu sukses. Biar orang ngga mandang rendah kita lagi. Masalah biaya bukan beban buat ayah"ucap ayah sambil membelai pucuk kepala ku.
"Kita lihat nanti saja ya yah. Ijasahnya saja belum keluar kok"ucap ku menenang kan ayah.
Kami pun larut dalam suka cita kembali. Hingga ibu pulang dan terlihat jelas kemarahan di wajahnya. Aku dan ayah saling pandang saat ibu melewati kami tanpa senyum maupun salam. Hingga sebuah bantingan pintu membuat ku terlonjak.
"Sebentar ya ndok!"pamit ayah yang ku jawab dengan anggukan kepala.
Ayah masuk ke dalam kamar. Sedang aku masih duduk merenung di bale. Hingga ku dengar ayah dan ibuk berdebat. Beberapa menit kemudian bertengkar. Aku berjingkat pelan hendak menguping pembicaraan mereka.
Karena pintu tertutup rapat, aku tak mendengarnya dengan jelas. Yang bisa ku simpulkan, ibu marah karena ayah terlalu memikirkan ku. Ayah belum sehat namun harus sudah berangkat besok. Selebihnya, aku sudah tak dapat mendengarkan lagi karena ibuk terdengar melangkah hendak keluar. Membuat aku segera berlari pelan ke depan dan duduk di depan.
Ibu keluar rumah saat aku sudah kembali duduk di bale tempat ku semula. Sesaat beliau berhenti dan menoleh marah padaku.
"Ini semua gara kamu! Dasar pembawa sial!"ucapnya
"Bu!" bentak ayah yang ternyata sudah ada di ambang pintu rumah.
Ibu menghentak kan kaki nya dengan kesal lalu berlalu entah kemana.
"Jangan hiraukan ucapan ibuk mu ya ndok!"ucap ayah yang sedianya kembali duduk si samping ku.
"Ibuk kenapa marah yah?"tanya ku.
"Kamu kayak ngga kenal ibuk mu aja ndok. Dia kan memang suka marah-marah"ucap ayah sambik terkekeh.
Ayah mengambil pisang goreng dan mulai mengunyahnya. Tapi beliau tidak bisa membohongi ku. Nampak jelas di wajahnya bahwa ayah sedang terbebani pikiran berat. Hingga beliau membuku suara kembali sambil terus menatap jalan di depan.
"Besok ayah berangkat kerja ndok. Bareng ayahnya Dina. Selama montor ayah belum di perbaiki."ucap ayah.
"Lhoh. Kan ayah masih sakit. Kok cepet banget balik kerja nya. Ijin lah yah beberapa hari lagi"ucap ku.
"Ngga ndok. Kasian temen-temen ayah kerja nanti molor,"ucap ayah lagi sambil membelai rambut ku.
Aku hanya diam tak menjawab. Aku tak sanggup lagi melarang kehendak ayah jika sudah begini.
"Sudah mau ashar. Buruan mandi dan sholat. Ayah mau keluar dulu"ucap ayah.
"Iya yah"ucap ku.
Aku pun berlalu masuk ke dalam rumah untuk mempersiapkan diri akan mandi dan sholat.
◇◇◇◇◇
Hari ini, aku bangun lebih pagi. Sebelum subuh aku sudah bangun dan langsung mandi lalu menyiapkan makan pagi untuk kami serumah.
Kulihat Sandi tidur di depan tv. Kebiasaan yang susah hilang dari adik ku ini. Nonton tv sampai tertidur. Segera aku berkutat di dapur. Hingga adzan subuh berkumandang saat aku selesai menanak nasi.
Ku tinggal kan nasi yang selesai ku tanak di atas bale-bale. Ku tunaikan kewajiban sholat terlebih dahulu. Ku dengar ibu baru bangun ketika aku selesai berwudhu. Kemudian ku dengar langkah kedua yang ku yakini milik ayah.
Aku segera membaca niat dan larut dalam khusu' nya sholat subuh. Saat aku sudah selesai, ku lihat ayah sedang mengerjakan sholat di samping ku. Aku segera membereskan mukena ku dan berjalan ke dapur.
Ku lihat ibu sedang meracik bumbu. Entah akan masak apa karena tak ku lihat ibu memotong sayuran. Aku berinisiatif untuk bertanya pada beliau.
"Mau masak apa buk? Biar Tania bantu"ucap ku ragu.
"Ngga perlu. Urus saja hidup mu supaya tidak menjadi benalu bagi hidup ku"ucap ibu pelan namun penuh penekanan pada setiap katanya.
Aku beringsut mundur. Masuk ke dalam kamar mandi. Entah kenapa kali ini dada ini tak mampu menahan sesak. Hingga air mata tak lagi mampu ku tahan derasnya. Ku tutup pintu kamar mandi dan mandi untuk kedua kalinya.
Biarlah air dingin tak menyurut kan niat ku untuk mengayunkan gayung ke atas kepala. Aku baru menyudahi aktifitas ku di kamar mandi ketika ku dengar ayah ada di dapur sedang mencari ku.
"Lhoh. Kamu tadi bukanya sudah mandi ndok?"tanya ayah heran.
"Iya yah. Ternyata tadi belum bersih"ucap ku lagi sambil tersenyum.
Ayah hanya menggelengkan kepala dan segera berganti masuk ke dalam kamar mandi.
Sarapan pagi ini cukup sunyi. Semua makan dalam diam terutama ibuk.
"Ndok. Nanti kalo ijazah mu sudah keluar, langsung cari tempat yang bagus buat SMA nya ya ndok," ucap ayah memecah keheningan.
"Halah! Mau sebagus apapun kalo ngga mampu bayar ya percuma,"ucap ibuk sebelum aku sempat menjawab.
"Jangan begitu buk! Harusnya kita bisa nyemangatin anak sendiri kan"ucap ayah lagi.
Aku yang mendengar argumen ayah dan ibuk hanya mampu mengatupkan kembali mulut yang sempat terbuka hendak menjawab ucapan ayah. Ibu langsung berdiri begitu ayah selesai dengan ucapan nya. Ada tatapan kebencian di matanya.
"Jangan dengarkan ucapan ibuk mu ya, ndok!"ucap ayah membelai pucuk kepala ku.
"Nggeh"ucap ku lesu.
Sandi menyudahi acara sarapan pagi nya, dan tak lama ayah pun demikian. Aku yang memang hanya tinggal menunggu keluarnya ijazah, tak hendak pergi ke sekolah hari ini. Buat apa toh tidak ada pelajaran. Lebih baik aku di rumah dan mulai mencari sekolah baru.
Sandi pamit berangkat sekolah pada ayah dan ibuk yang duduk di ruang tamu. Ayah bersiap akan berangkat bekerja lagi. Tapi kulihat ada gurat ke kecewaan di wajah ibuk. Aku yang sedianya akan masuk ke dalam kamar pun seakan ragu. Namun ku langkah kan kaki juga menuju kamar.
Aku sedang membereskan semua perlengkapan sekolah ku ketika ayah memanggil ku untuk berpamitan.
"Baik-baik di rumah ya, ndok. Jangan ke mana-mana kalo ngga penting. Ayah selalu mengusahakan yang terbaik buatmu dan Sandi."pamit ayah di ambang pintu.
"Nggeh yah. Hati-hati di jalan! Jangan terlalu keras bekerja! Jaga kesehatan selama di sana"ucap ku sebelum ku cium punggunh tangan ayah.
"Iya ndok. Buk, ayah berangkat,"pamit ayah juga pada ibuk.
Ibuk pun hanya mengangguk sedikit dan segera mencium tangan ayah. Ayah keluar dan langsung naik ke atas motor ayah nya Dina. Kami baru masuk setelah ayah tak terlihat lagi dari pandangan.
Ibu langsung masuk ke kamar setelahnya. Dengan keras ibu menutup pintu hingga membuat ku terjingkat kaget. Ibuk benar-benar sedang marah.
♤♤♤♤♤

Bình Luận Sách (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    15d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất