logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

part 17

Part 17
Tak terasa sudah hampir 3 tahun aq berada di tempat q menimba ilmu. Hampir lah pula aku lulus dari tempat yang sudah memberiku banyak pelajaran dan juga kenangan. Kenangan tentang banyaknya olimpiade yang ku ikuti dan membuahkan hasil gemilang hingga aku tak perlu lagi repot memikirkan masalah keuangan untuk ku sekolah.
Namun tetap saja. Pengakuan ibu yang ku kejar, tak juga ku dapatkan. Ayah lah yang selalu menyemangati ku untuk terus melakukan yang terbaik.
Hari ini adalah hari besar di mana kami telah menyelesaikan ujian akhir semester untuk kelas 3. Aku dan teman-teman ku pun merayakanya dengan berkumpul di kantin dan memesan beberapa makanan.
Jika yang lain merayakan dengan mencoret-coret seragam nya dan melakukan konvoi, maka tidak dengan kami anak yang tidak punya ini. Baju seragam kami ini teramat berharga untuk di warnai sedemikian rupa.
Kalau pemikiran ku, ini nantinya bisa di gunakan Sandi adik ku saat dia masuk sekolah menengah pertama nanti.
Kami bercanda ria di kantin hingga tanpa terasa bahwa waktu sudah menunjukan hampir pukul satu siang. Aku dan kawan-kawan pun segera membereskan semuanya untuk segera pulang ke rumah.
"Din. Kamu mau lanjut sekolah apa tidak?"tanya ku saat aku dan Dina sama-sama sudah berada di sepeda masing-masing.
"Aku belum tau, Tan. Mungkin saja iya karena bapak berharap banyak padaku. Bagaimana dengan mu?"tanya Dina.
"Entahlah, Din. Mungkin tidak"jawab ku lesu.
"Kenapa? Sayang sekali jika kepintaran mu itu tidak di lanjutkan kan, Tan." ucap Dina lagi.
"Yach, kamu tahu lah Din apa sebabnya. Apalagi sekarang Sandi pun akan masuk ke SMP. Aku kasihan pada ayah ku Din jika harus menambah beban nya. Aku ingin bekerja saja."jawab ku lesu.
"Memang kamu mau kerja apa Tan?"
"Entahlah. Asalkan halal saja"
Itulah percakapan terakhir kami. Karena setelahnya, Dina ikut bibi nya ke kota untuk melanjutkan pendidikan nya di sana. Sedangkan aku, masih menunggu kepulangan ayah agar dapat ku tanyakan perihal ini.
Sebenarnya sudah ku putuskan untuk bekerja saja. Namun jika mengingat perkataan ayah waktu itu, yang menginginkan aku menjadi sarjana,rasanya gamang sekali untuk tak melanjutkan pendidikan ku ini.
Di rumah, ibu sedang memasak ketika aku pulang. Dan seperti biasa, salam ku pun di abaikanya. Sandi sedang berada di kebun mencari daun pisang.
"Sana,masak buat makan malam! Ayah mu pulang malam ini"perintah ibu masih dengan nada ketusnya.
"Nggeh bu"ucap ku pelan dan langsung menuju dapur.
Kebiasaan ibu masih tetap sama. Tak pernah memberi ku kesempatan istirahat meskipun beliau tahu aku sangat lelah seharian ini. Namun kali ini aku mengerjakan dengan sangat senang. Karena yang ku tunggu saat ini hanyalah kepulangan ayah.
Sandi masuk ke dapur membawa pisang dari kebun yang baru di potong nya. Ku lihat pisang itu setengah tandan nya sudah masak.
"Dek. Daun pisangnya ada banyak ngga? Mbak lihat tadi ibu ada beli kelapa sama ikan di pasar. Mau mbak pepes saja kalau ada daun pisang,"ucap ku pada Sandi.
"Ada mbak. Mbak butuh berapa banyak?"tanya Sandi antusias.
"Bawakan 2 batang ya dek!"
"Ok mbak. Sebentar tak ambilkan sekalian tak sisirkan daun pisangnya,"
Aku pun menjawabnya dengan senyum dan anggukan kepala. Adik ku yang satu ini memang sangat menyayangi ku walaupun dia selalu dalam asuhan ibu. Beda dengan ku yang asuhan ayah.
Masakan ku pun telah matang sempurna dan telah ku taruh di meja dapur. Ibu melihat sejenak apa yang ku masak untuk ayah malam ini sebelum akhirnya beliau masuk ke kamar mandi.
Tak terasa sudah sore saja ternyata. Aku pun segera pergi membersihkan diri. Setelahnya, aku duduk di ruang tamu sambil menunggu kepulangan ayah. Tak sabar rasanya ingin berjumpa dengan beliau. Namun hingga malam, ayah tak kunjung tampak sosoknya. Aku mulai gelisah. Berkali-kali ku lihat jalanan yang lengang depan rumah ku.
Sandi pun akhirnya keluar dan menemani ku yang duduk di bale-bale menunggu kepulangan ayah. Dia duduk di samping ku.
"Kok ngga nyampek-nyampek ya mbak! Kira-kira ayah ke mana ya?"tanya nya padaku.
"Mbak juga bingung dek. Ndak biasanya ayah begini. Mbak was-was ini" jawab ku penuh kekhawatiran.
"Banyak berdo'a jangan ngelamun!"pinta adik ku itu.
Tak ku hiraukan perkataan adik ku itu. Aku sudah terlanjur cemas tak terkira. Tak biasanya ayah seperti ini. Ku lihat ibu di dalam kamar pun berusaha menghubungi ayah.
◇◇◇◇
Malam makin larut. Aku masih di teras menunggu dengan cemas. Ku lihat jam dinding menunjuk angka sebelas. Sandi duduk di depan tv sedangkan ibu kulihat sudah berbaring di atas peraduan nya tadi. Aku masih mondar mandir gelisah di teras rumah.
"Mbak. Ayo masuk! Sudah terlalu malam. Mungkin ayah ndak jadi pulang mbak"ucap Sandi mengajak aku masuk rumah.
Aku pun tertunduk lesu dan akhirnya menuruti ucapan adik ku itu.
'Duh ayah! Di mana ayah sekarang? Semoga ayah selalu sehat dan baik-baik saja!' batin ku berdoa.
Aku langsung masuk ke dalam kamar ku dan menahan rasa kecewa. Sandi kembali kepada kegiatan menonton tv nya. Di akhir pekan seperti ini, biasanya adik ku itu akan begadang menonton pertandingan apapun di benda bergambar itu. Saat aku sudah di dalam kamar, ku dengar pintu di ketuk berulang kali. Aku langsung keluar.
"Siapa bertamu malam-malam gini mbak?"tanya Sandi saat kami saling pandang heran.
Ibu pun langsung keluar dari kamar. Perlahan ibu menuju pintu dan membuka nya. Betapa terkejut nya kami melihat siapa yang berada di balik pintu itu.
"Ayah"ucap kami bertiga serempak.
Keadaan ayah sangat memperihatinkan. Badan nya penuh lumpur. Celana nya sobek di bagian lutut. Bahkan rambut ayah sampai berantakan tak terkira. Kami semua mendekati ayah. Membawa beliau masuk dan mendudukan nya di kursi usang ruang tamu kami.
"Duh Gusti. Kenopo sampean yah? Kenapa kondisi sampean kayak gini? Apa yang terjadi"tanya ibu penuh kepanikan.
Ayah tak mengeluarkan kata sepatah pun. Aku langsung mengambilkan air putih untuk ayah dan menyerahkan nya pada ibu. Ayah seperti orang linglung. Dan tiba-tiba, ayah pingsan.
"Ayah!"teriak ibu panik.
Akupun ikut panik dan menangis di buat nya. Sandi segera berlari keluar rumah entah kemana aku tak tahu. Ibu dan aku terus menangisi ayah yang pingsan.
Sandi datang bersama seorang tetangga kami. Rupanya adik ku itu dengan sigap pergi mencari bantuan untuk membawa ayah ke rumah sakit. Sungguh, hanya badan nya saja yang kecil, namun pemikiran nya sangat layak di sebut dewasa.
Para tetangga pun datang memenuhi rumah kami. Mereka mendengar tangis ku dan ibu. Bu Ramlah tetangga depan rumah kami, membubuhkan minyak kayu putih pada hidung ayah.
Ayah tak kunjung bangun. Hingga akhirnya tetangga kami menyaran kan membawa ayah ke rumah sakit. Bapak-bapak tetangga kami membopong tubuh ayah ke atas mobil tetangga kami.
Jangan di kira itu mobil yang bagus. Mobil itu adalah mobil bak terbuka milik pak Agus. Dialah yang paling dekat rumahnya dengan kami. Aku dan ibu duduk di bak belakang sedangkan Sandi di kursi samping kemudi. Banyak bapak-bapak yang ikut pula mengantar.
Sesampainya kami di rumah sakit, bapak-bapak itu turun dan meminta brankar untuk ayah. Ayah masuk ke ruang UGD untuk mendapatkan perawatan.
"Tolong yang di dalam hanya 2 orang ya! Yang lain mohon tunggu di luar!"ucap suster pada kami.
Akhirnya aku beserta bapak-bapak yang lain keluar ruangan. Sandi menemani ibu di dalam menjaga ayah. Sebenarnya, Sandi meminta ku untuk tetap berada di dalam. Namun ku lihat ibu menggenggam erat lengan Sandi. Aku paham apa artinya itu. Jadilah aku mengalah saja pada Sandi.
Kami menunggu beberapa saat sampai ayah selesai di periksa oleh dokter. Ibu dan Sandi terlihat memperhatikan penjelasan dokter baik-baik. Tak lama ku lihat ibu menunduk sambil menangis saat dokter tengah menjelas kan. Sedangkan adik ku Sandi masih fokus pada penjelasan dokter.
'Sebenarnya, apa yang terjadi?' batin ku mulai terusik.
Tak lama Sandi keluar setelah dokter dan suster pergi. Bapak-bapak yang tadi mengantar kami ke rumah sakit pun langsung mendekat. Aku begitu tak sabar ingin tahu kebenaran nya.
"Ayah kenapa dek?"tanya ku.
"Dokter bilang, ayah hanya shock mbak. Seperti nya hal buruk telah menimpa ayah. Dan tekanan darah ayah sangat rendah sehingga ia pingsan tak juga bangun. Ayah harus di rawat dulu hingga beliau benar-benar pulih dan mampu bercerita tentang apa yang terjadi" jelas Sandi.
"Memangnya apa yang terjadi sama ayah kalian?"tanya pak Agus.
"Ndak tahu pak. Tadi ayah pulang sudah kayak gitu kondisi nya. Di tanya pun ngga jawab. Diam aja. Bahkan ayah ndak pakek salam" jawab Sandi lesu.
Semua diam nampak berpikir mendengar perkataan Sandi. Kemudian,
"Ouw iya. Tadi bapak ndak liat motor ayah mu. Ayah mu pulang tadi naik apa?"tanya pak Agus lagi.
Aku dan Sandi saling pandang seolah teringat sesuatu.
'Ya. Aku tak mendengar suara motor ayah semalam. Apa mungkin' batin ku menerka.
"Apa jangan-jangan pak Kasno di rampok sewaktu perjalanan pulang tadi?" kata pak Eko menerka.
"Ya Allah, ayah!"gumam ku lirih menahan tangis.
"Sabar ya ndok. Yawes. Malam sudah larut. Kami pamit pulang. Kalo ada apa-apa, telfon bapak saja. Insya Allah bapak akan bantu sebisa nya"ucap pak Agus.
"Matur nuwun pak. Ngapunten merepotkan"ucap Sandi santun.
Aku tak mampu berucap. Aku terpikirkan apa yang sedang terjadi pada ayah tadi. Kenapa ayah sampai di rampok. Memangnya apa yang ayah bawa. Bukankah motor itu pun motor butut. Tak kan lah mungkin orang berpikir kami dari keluarga berada.
Aku duduk di samping ayah ketika suster sudah memindahkanya ke ruang perawatan. Ibu tertidur di kursi yang ada di samping bed ayah. Kami memilih kamar kelas 2 karena hanya itu kamar yang kosong. Sandi keluar mencarikan aku minuman hangat. Aku melihat ayah yang sedang tertidur pulas.
Wajah ayah yang sudah mulai keriput karena usia. Warna kulitnya yang semakin gelap. Membuat mata ini terus menerus basah mengingat perjuangan nya untuk ku. Perjuangan untuk kesuksesan ku.
Tanpa terasa, air mata ini begitu deras mengalir tak terkendali. Hingga tiba- tiba, belaian lembut sepasang tangan di bahu ku membuat ku kembali duduk tegak dan menoleh pada sosok di samping ku.
"Jangan sedih mbak! Ayah pasti baik-baik saja. Bukankah ayah sudah berjanji bahwa beliau akan selalu ada buat mbak?"kata Sandi yang sudah berdiri di samping ku.
"Mbak takut, dek. Mbak takut ayah kayak gini gara-gara mbak yang kemarin tanya kapan ayah pulang. Mbak takut ayah terlalu memaksa kan diri nya yang lelah untuk pulang karena mbak yang tanya"ucap ku sambil sesenggukan.
"Sudahlah mbak. Kalaupun ternyata ayah seperti ini, itu karena takdir. Kalaupun bukan karena mbak yang tanya ayah kapan pulang sampek beliau seperti ini, ayah akan seperti ini karena alasan lain. Sudah. Yang penting sekarang kita fokus aja ya sama kesehatan ayah. Berdo'a semoga ayah cepat sembuh" ucap Sandi menenangkan ku.
Aku hanya mengangguk pasrah. Sandi menyodorkan gelas teh hangat yang di belinya tadi padaku. Dia meminta ku untuk meminum nya agar terasa lebih baik. Setelahnya, dia duduk di kursi tak jauh dari ibu berbaring.
♤♤♤♤♤♤♤

Bình Luận Sách (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    15d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất