logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 9 Papah Cherry

Masih berada di galeri. Sepertinya hanya mereka saja yang bermesraan di sana.
Kirara pun berdeham seraya menggiring menggerakkan tangan seolah ingin menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, kemudian memundurkan tubuh untuk membuat jarak aman di antara mereka. Ini canggung!
“Em, kita, harus keluar dari sini, Vin,” alih Kirara.
Sebenarnya dia juga sadar dengan tatapan orang-orang di sana. Ditambah pandangan serta ungkapan hangat Davin, membuatnya speechless.
“Kamu malu?”
“Bukannya itu sudah pasti?”
“Manis sekali ... baiklah, kita keluar.” Davin mengulurkan tangan kanannya untuk disambut Kirara. “Bagaimana kalau kita makan malam bareng?”
Wanita dengan surai tergelung anggun itu mengangguk. “Berbicara soal makan, aku jadi ingat waktu kita makan di kantin Keast, kamu juga pasti sadar dengan orang-orang yang menatap kita seperti itu, ‘kan? Maksudku, pandangan mereka itu seperti sedang melihat makhluk gaib” celoteh Kirara sambil memandang ke arah pintu keluar.
Makhluk gaib? Davin tertawa renyah.
“Kenapa kamu harus ingat hal itu, sih?”
“Kenapa? Apa itu nggak boleh, diingat?”
“Enggak, bukan begitu. Aku cuma kaget kamu ingat hal seperti itu, pantas saat itu kamu makan cepat sekali,” kekeh Davin. “Yaah mungkin, mereka hanya terkejut dan penasaran.”
“Terkejut dan penasaran?” Kirara sedikit memiringkan kepala.
Untuk beberapa detik Davin tersenyum diam, menimbang dengan cepat, haruskah dia menceritakan soal doa-doa karyawan Keast yang tidak suka padanya?
“Yah, hanya seperti itu saja, terkejut dan penasaran. Daripada itu, aku masih penasaran tentang Bu Alea dan kamu yang membicarakanku. Jangan bilang, kalau kalian berdua itu sering membicarakanku,” alih Davin, memilih untuk merahasiakan gosip-gosip buruk tentangnya. Dia hanya ingin Kirara melihat hal baik dari dirinya.
“Nggak terlalu sering, hanya beberapa kali saja. Tenang saja, kami nggak membicarakan hal buruk tentangmu,” tutur jujur Kirara.
"Syukurlah, aku harap ke depannya kalian akan terus membicarakanku."
"Kenapa? Apa telingamu nggak akan berisik kalau kami sering membicarakanmu?" timpal canda Kirara.
Membicarakan mitos yang katanya, akan membuat telinga kita berdengung jika ada seseorang yang sedang membicarakan diri kita.
Iris mata Davin memandang teduh kekasih yang sedang tertawa di depannya itu. "Apa pun itu, aku akan dengan senang hati menerimanya. Karena dengan membicarakanku, kamu akan terus teringat denganku, Ra ...," ucapnya dalam hati.
"Mau menjemput Cherry? Ini sudah waktunya kita menjemput Cherry 'kan? Setelah itu, kita makan malam bersama, oke?" usul Davin.
****
Davin memarkirkan mobil sedan accord-nya di halaman luas milik dari bangunan berpapan nama DayCare Hoiken.
Tidak lama, Kirara pun keluar dari sana. Wanita itu refleks sedikit menyipitkan mata sambil mengedarkan pandang ke arah pintu masuk DayCare. Di sana, ada beberapa anak yang sudah dijemput oleh orang tua mereka.
Sepulang sekolah, Kirara meminta tolong pada Kalea untuk membawa anaknya ke tempat ini.
Biasanya, Cherry akan selalu ikut pulang bersama si kembar, Aidan dan Ariella. Namun, karena Kalea ada sedikit urusan jadi Kirara menitipkan Cherry ke DayCare.
Tidak sering, hanya ketika Kirara ada jadwal tambahan seperti hari ini, atau juga ketika Kirara ada pekerjaan yang mengharuskan dirinya lembur. Namun, tidak pernah dia menitipkan Cherry sampai langit berubah gelap.
Pukul lima, itu adalah batas terlama dirinya diperbolehkan bekerja di luar oleh sang anak.
"Ra, kamu lupa ini," seru Davin yang sudah turun sambil menutup pintu mobilnya.
"Eh? Itu 'kan punya kamu, Vin?" sahut Kirara bingung.
Dia memperhatikan kotak kue berwarna putih di tangan Davin. Macaron pelangi itu, kekasihnya yang beli, kenapa malah disodorkan padanya? Seolah itu adalah miliknya?
"Aku beli ini, supaya bisa kamu berikan ke Cherry." Baik Davin dan Kirara, mulai saling berjalan mendekat. "Aku merasa bersalah, karena nggak mengajak Cherry bersama kita. Jadi aku pikir, lebih baik kita membelikan cemilan kesukaan Cherry, sebagai permintaan maaf karena sudah meninggalkan dia."
Kirara mengulum senyum sambil menggelengkan pelan kepalanya. "Kamu ini, bukannya aku sudah bilang? Kalau Cherry nggak akan suka datang ke galeri? Dia yang menolaknya sendiri, kok." Kirara menyambar jemari Davin yang menganggur. "Lagi pula, sebaiknya kamu yang berikan ini."
"Kenapa?" tanya Davin. Menyamakan langkahnya dengan sang kekasih.
Mereka berjalan berdampingan dan masuk ke dalam area DayCare. Tempat penitipan anak ini cukup luas, bahkan juga cukup terkenal karena sejak dulu selalu bisa dipercaya untuk menitipkan anak-anak, dari usia tiga sampai sepuluh tahun.
Tempat parkir yang luas dan model bangunan yang membentuk persegi, bangunan tradisional jepang yang berdiri kokoh mengelilingi halaman hijau, tempat untuk bermain anak-anak.
"Karena kamu yang beli?"
"Karena aku yang beli, jadi kamu yang harus berikan ini ke Cherry, oke?"
Satu jari telunjuk serta kepala Kirara menggeleng tegas, menolak. "No, no. Kamu yang harus berikan sendiri ke Cherry."
Davin nampak berpikir. "Hm ... aku mengerti, ini supaya aku dapat nilai plus dari anak kita, bukan?"
Anak kita? Kirara sontak menyemburkan tawanya.
"Hei, dia anakku, Vin," ucap Kirara di tengah kekehannya. Tidak ada maksud apa-apa mengatakan itu, dia hanya ingin mengisengi Davin.
"Anak kita, Ra ... bukannya kamu sendiri yang bilang, mau melanjutkan hubungan kita ke tahap yang lebih serius?"
"Davin."
"Ya, sayang ...."
Kirara mengecilkan kelopak matanya. Memanggil sayang dengan nada selembut itu membangunkan seluruh bulu roma tubuhnya. Terkadang Davin memang memanggilnya sayang. Namun tidak sampai menggunakan nada serendah itu ... dan sialnya, Kirara langsung teringat pada pembicaraan di galeri yang membahas tentang hubungan mereka, entah kenapa hal itu membuat hati Kirara tiba-tiba memberat.
Kirara menghela napas. "Aku bilang, aku sedang memikirkannya."
Davin cemberut. Wajahnya sedikit terlihat masam. "Bicara denganmu nggak akan dapat pengakuan. Lebih baik aku tanyakan langsung sama--" Kalimatnya terputus saat mendengar ocehan nyaring di depan ruang penitipan Cherry.
"Tapi, aku nggak pelnah liat papah kamu jemput ke sini! Kamu cuma punya mamah! Jadi nggak boleh gambal papah!"
Davin dan Kirara sama-sama membeku diam mendengar penuturan cadel itu. Mereka berada dalam jarak delapan langkah dari dua anak gadis di sana. Anak-anak yang sedang mengelar buku gambar dan menghampar crayon di atas meja kecil.
"Celly punya papah! Chelly juga punya mamah! Papah Chelly sibuk, jadi nggak bisa jemput Celly!"
"Celly, kata bu gulu aku, bohong itu nggak baik! Pokoknya kamu nggak boleh gambal sama kayak aku!"
Dibanding kesal melihat anaknya dipojokkan seperti itu, Kirara lebih merasa sedih dan menyalahkan diri sendiri. Apa sih yang sedang dia lakukan selama ini? Sampai tidak memikirkan perasaan buah hatinya? Ini bukan sekali dua kali Cherry diremehkan dan diejek karena tidak memiliki ayah seperti yang lain.
Baru ingin menghampiri sang anak, Davin langsung menahan Kirara.
"Biar aku saja, Ra. Aku ini 'kan papahnya, oke?" tutur Davin, dia mengelus singkat puncak kepala Kirara dan menghampiri calon anaknya.
Ini mungkin sedikit kekanakkan dan tidak baik, tetapi dia harus melakukannya. Dua orang wanitanya memasang wajah sendu seperti itu, membuat hatinya tidak nyaman.
"Chelly, nggak bohong. Chelly punya papah," lirih Cherry, menunduk dengan air mata yang mulai meluruh. Hatinya sakit. Dia sduah lelah meributkan soal ayah.
"Sayang papah, kenapa menangis, hm?"
Terkejut. Mata berair Cherry membulat. Kepala kecil itu segera menoleh ke arah halaman. Pria yang sosoknya sangat dia kenal, berdiri dan tersenyum hangat. Tidak jauh dari sana, iris mata cokelat gelapnya membesar, melihat sang ibu memandang dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan. Kehadiran mereka membuat Cherry semakin menangis.
"Loh? Kok tambah nangis? Sini, peluk papah," ujar Davin, dengan cepat menaruh kotak kue ke atas lantai kayu, kemudian merentangkan kedua tangannya.
Cherry pun segera berdiri dan berlari ke tepi.
Tinggi dari lantai panggung bangunan tradisional jepang itu, melebihi sedikit lutut Davin. Jadi, Cherry cukup bisa memeluk Davin dengan nyaman tanpa harus digendong.
Davin menoleh pada Kirara yang memandang datar mereka, kemudian menggerakkan kepala membuat isyarat agar Kirara mendekat.
"Sudah, jangan menangis lagi, sayang. Maaf ya, papah telat jemput Cherry," kata Davin sudah kembali memperhatikan Cherry yang memeluknya erat.
Anak kecil itu menggeleng tegas di depan perutnya. Wajah yang membenam itu masih menyuarakan isak tangis. Biasanya teman dari ibunya ini hanya akan menunggu di dalam mobil, tetapi kenapa sekarang ada di sini. Membuat dia malu sekaligus senang.
Benar, pemandangan kedua orang tuanya yang datang menjemput sudah sangat dia inginkan sejak dulu.
Gemas dengan pelukan Cherry yang semakin erat. Davin pun menggendong gadis kecil itu.
"Halo adik manis," sapa Davin pada teman Cherry.
Anak berkuncir kuda itu sontak berdiri dan memberi hormat. "Halo, paman papah Chelly?” tanya si anak to the point. Dia cukup kaget melihat papah Cherry. Berarti temannya itu tidak bohong.
"Cherry, bisa kamu jawab? Siapa aku, pada temanmu-au!" Davin terpekik pelan dan segera menoleh pada orang yang telah memberikan cubitan kecil di pinggangnya.
"Jangan iseng, Vin," tegur Kirara setengah berbisik.
Rasanya ini tidak benar. Maksud Davin itu baik, tetapi tetap saja Kirara tidak bisa menerima kebohongan ini. Jika ada kejadian seperti ini terulang lagi, Kirara tidak mau Cherry menyelesaikannya dengan kebohongan seperti ini lagi.
Lagi pula, bertanya seperti itu pada Cherry, tentu anaknya akan bingung. Kirara juga yakin, kalau sekarang Cherry sudah kebingungan karena Davin menyebut dirinya sendiri papa.
"Ini ... papah Chelly," lirih Cherry tanpa memandang temannya. Ini salah, tetapi mulutnya tetap ingin mengatakan kalimat itu.
Oh? Baik Davin dan Kirara sama-sama menyekat napasnya.
Dua tangan kecil Cherry langsung memeluk leher Davin, anak itu menyembunyikan wajah sendunya di bahu bidang Davin. "Chelly mau pulang, pah."
Davin tersenyum samar seraya mengusap sayang kepala belakang Cherry. "Oke, kita pulang, ya ... Ra, kamu pamit sama pengasuhnya, aku dan anakku akan tunggu di mobil."
Kirara mengangguk ragu. Dia tidak tahu harus berkata apa dengan situasi yang menyedihkan sekaligus terasa lucu ini.

Bình Luận Sách (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    1d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    28d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất