logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Ada Dua Cinta

Kirara mengepalkan seluruh jemari tangannya, berusaha menahan pilu hati yang belum bisa dia redakan sampai sekarang. Memaku pandang pada mobil-mobil yang terjajar rapi di sana.
Kenapa? Kenapa Alvino yang tersiksa? Dirinya-lah yang bertahan dari siksaan itu selama ini. Lagi pula, Alvino sudah bertunangan, bukankah itu artinya pria ini sudah berhasil membuka lembaran baru?
Berbeda dengan dirinya yang bahkan sudah memiliki kekasih pun tetap sulit untuk memulai kembali. Benar-benar sulit untuk memberikan tempat bagi pria lain untuk masuk ke dunianya. Meski begitu, Kirara harus berusaha untuk berubah demi putrinya.
Demi putrinya?
Kirara menelan perih salivanya. Monolog panjang yang berakhir menusuk hatinya, ralat ... menampar dirinya.
Sebenarnya, apa yang sedang dia lakukan? Pikiran itu tiba-tiba melesak masuk begitu saja. Kirara bahkan langsung mengerti pada apa yang Kalea minta darinya.
Apa arti Davin bagi hidupnya? Tanpa sadar, kedatangan Alvino membuat kehadiran Davin dengan mudah tersingkir dari kepalanya.
Meski biasanya Davin memang jarang dia pikirkan. Jika saja kekasihnya itu tidak menyapa dirinya lebih dulu, Kirara yakin dia tidak akan pernah bicara dengan Davin.
“Davin ...,” celos Kirara, membuat dua mata Alvino membulat dan menegakkan kembali kepala yang bersandar di bahu.
Kirara merasa sedang benar-benar menjadi wanita jahat.
“Ra? Kamu, nangis?” tanya Alvino. Memandang kaget Kirara yang meluruhkan air mata. Apa sesulit itu permintaannya? Sampai wanita ini menangis?
“Davin.” Sebut Kirara seraya mengadukan pandangannya pada dua netra Alvino. “Jangan seperti ini, aku sudah milik dia.”
Tidak bisa berbicara apa-apa. Lidah dan mulut Alvino seketika memberat. Ekspresi ini ... Alvino tidak menyukainya. Walau dia cukup sadar tidak boleh seperti ini pada wanita yang sudah memiliki suami.
Namun, Alvino tidak bisa menghentikannya ... karena Kirara, benar-benar telah menguasai hatinya.
“Kamu cuma mau tahu kenapa aku meninggalkan kamu ‘kan?” Dua manik cokelat gelap itu bergetar samar. Memberanikan diri untuk membicarakan masa lalu yang sungguh tidak ingin dia bahas seumur hidupnya.
“Coba tanyakan pada hatimu. Dulu ... dengan beraninya kamu mengajakku menikah yang bahkan dalam mimpi pun kamu masih memanggil nama sahabatku! Aku kecewa, aku marah! Perlu kamu tahu, Vin. Aku nggak perlu dikasihani hanya karena kesalahan kita waktu itu!” sambung tegas Kirara. Kedua tangannya mendorong Alvino yang begitu dekat dengannya.
Mata Alvino membulat tajam, tangannya mencengkeram dua bahu Kirara. Baru ingin mengeluarkan suara, Kirara sudah lebih dulu menyela.
“Diam dan berhenti menyentuhku.” Tegas Kirara, dia menghempaskan dua tangan Alvino. “Sudah cukup alasanku ini, bukan? Mulai sekarang, jangan lagi mengganggu dengan membahas masa lalu. Jika ke depannya kita saling bertemu, tolong bersikaplah layaknya teman dan jangan seenaknya menyentuhku seperti ini. Ingat, Vin ... ada dua hati yang harus kita jaga. Permisi.”
Alvino bergeming, bahkan tidak menoleh saat Kirara menjauh meninggalkan dirinya. Kalimat ‘ada dua hati yang harus mereka jaga’ cukup menampar dirinya. Maya, dia melupakan kenyataan kalau dirinya sudah memiliki tunangan. Meskipun ....
Alvino menendang keras dan meraung kesal pada udara. “Hargh! Ini benar-benar membuatku gila!” runtuknya seraya memijat dahi, kemudian membalikkan tubuh saat mendengar suara decitan mobil Kirara. Detik berikutnya, Alvino pun menaiki mobil.
Dia berniat untuk mengikuti Kirara. Penjelasan yang wanita itu berikan masih kurang memuaskan rasa hatinya. Bagaimana bisa meninggalkan dirinya hanya karena alasan seperti itu? Pikirnya tidak terima.
***
Beberapa menit kemudian, Alvino menghentikan mobilnya di bahu jalan. Membuntuti mobil Kirara sampai dua puluh lima menit lamanya.
Masih berada di dalam mobilnya, pria itu melirik pada gedung yang sangat familiar untuknya.
KEAST, begitu Alvino membaca deretan huruf besar di sana. Ini salah satu kantor redaksi milik suami Kalea, Bobby. Bahkan dia dan Kirara dulu pernah bekerja di sana, meski hanya sebagai perbantuan.
Kenapa Kirara ke sini? Pikirnya penasaran.
“Apa yang dia lakukan?” bisik Alvino pada udara.
Tubuh depannya dia sandarkan ke kemudi. Matanya menyorot jelas pada Kirara yang turun dari mobil dan berjalan mendekati pintu masuk Keast sambil menempelkan ponsel ke telinga. Entah siapa yang wanita itu hubungi, jujur saja dirinya kian penasaran.
Kening Alvino kian mengerut ketika melihat Kirara yang berhenti tidak jauh dari pintu masuk. Gerak gerik yang terlihat gelisah, bahkan setelah wanita di sana menyudahi panggilan teleponnya.
“Apa dia punya janji dengan Bobby? Nggak mungkin. Kalau seperti itu, dia pasti sudah masuk ke sana, lagi pula Bobby jarang ada di cabang ini.”
Alvino berpikir, apakah Kirara sering ke sini? Jika benar, lantas mengapa Kalea tidak pernah memberitahukan padanya soal ini?
Tidak lama, pria itu pun terkekeh. Sepertinya dia menemukan celah mencurigakan yang membuatnya mengutuk dirinya sendiri. Bodoh!
“Bagaimana bisa aku percaya pada apa yang dikatakan Alea? Mereka sahabat dekat, bahkan lem pun akan kalah rekat dengan kedekatan mereka.”
Dan bodohnya lagi, dia langsung percaya setiap kali Kalea mengatakan tidak tahu tentang keberadaan Kirara. Mungkin karena dia pernah menjalin hubungan dengan Kalea, mantan yang dia tahu tidak pernah membohongi dirinya.
“Sepertinya aku harus membuat perhitungan denganmu, Lea.”
“Huh, Davin?” celos Alvino, cukup terkejut melihat Davin keluar dari gedung Keast.
Apa suaminya bekerja di sana? Sungguh kebetulan yang semakin membuatnya kian berpikir ini semua mencurigakan.
Detik berikutnya, tubuh Alvino membeku, punggungnya perlahan menegak. Rahangnya pun turut mengeras melihat Kirara yang langsung berlari memeluk suaminya di sana. Membuat dirinya ingin keluar dan memisahkan mereka.
Sekali lagi, ini perasaan yang sangat salah, tetapi dia sendiri sulit untuk menghentikannya.
‘Aku nggak perlu dikasihani hanya karena kesalahan kita waktu itu.’
Entah kenapa ucapan Kirara di basement hotel kembali teringat.
“Apa saat itu aku terlihat seperti sedang mengasihanimu?” lirih Alvino, pandangannya tetap menatap lekat pada Kirara dan Davin yang masih berpelukan.
“Seberapa terlukanya kamu sampai memutuskan mengindariku dengan cara seperti itu? Lalu muncul kembali ketika sudah memiliki pasangan? Apa kamu mau menunjukkan bahwa hubungan singkat kita itu nggak berarti apa-apa? Benar-benar cuma aku yang menggila mencari dirimu, Ra.”
‘Jika ke depannya kita berpapasan, tolong berlakulah layaknya teman dan jangan menyentuhku seenaknya. Karena ada dua hati yang harus kita jaga, bukan?’
Lagi, Alvino teringat ucapan Kirara.
“Bukankah ini artinya, kamu masih belum bisa melupakan hubungan singkat kita?” bibir tebal itu menyeringai.
“Setelah bertemu denganku, menangis di depanku. Kamu langsung pergi menemui suamimu bahkan sampai berpelukan erat seperti itu ... haha, Rara ... kamu merasa bersalah pada suamimu. Kamulah yang nggak menganggapku sebagai teman. Kamu mengira telah menyelingkuhi suamimu jika bertemu denganku, iya ‘kan?” tuduh Alvino. Mencari asumsi yang membuat hatinya senang.
Alvino menyerah. Dia pun membuang pandangannya dari sepasang suami istri yang sedang mempertontonkan kemesraan di sana. Menyalakan mobil dan menginjak pedal gas. Alvino memilih pergi dari sana.
Obsesi pada wanita milik orang lain kian menguasai dirinya.
Sungguh egois.
“Suami dan istri bisa bercerai kalau salah satu hati dari mereka sudah berpaling, bukan?” bisik jahat Alvino, meninggalkan Keast dengan pribadi baru.
Bertahun-tahun mencari Kirara, lalu bertemu seperti ini sungguh membuat dia sulit menerimanya.
Di sisi lain, Kirara kian mengeratkan pelukannya. Membenamkan wajah ke dalam dekapan kekasihnya. Menghirup aroma maskulin yang baru dia sadari, apakah Davin selalu wangi seperti ini?
Bukankah ini lucu? Baru beberapa jam tadi dirinya mengatakan pada Kalea, kalau dia ragu untuk muncul di kantor Davin. Terima kasih pada Alvino, berkat pria itu dirinya jadi nekat seperti ini.
Entah ini perasaan bersalah atau karena Kirara baru menyadari kejahatan dirinya yang memperlakukan Davin tidak adil ... entahlah, saat ini dia hanya ingin menenangkan hati dan mencari perlindungan untuk mengenyahkan kalimat-kalimat Alvino yang masih berputar di benaknya.
“Sayang ....”
Kirara tidak menggubris panggilan Davin.
“Rara, hei, ada apa, hm?” lanjut Davin memanggil sekaligus bertanya. Ini juga sudah yang ke lima kalinya dia bertanya.
Bukannya tidak senang Kirara tiba-tiba datang ke tempatnya bekerja, bahkan juga tiba-tiba memeluknya seperti ini. Namun, sikap aneh kekasihnya ini justru membuatnya gelisah.
Satu tahun lebih, bahkan saat mereka masih berstatus teman. Kirara tidak pernah mengunjungi Davin, baik itu ke rumah atau ke kantor. Pun jika memeluk, pasti Davin-lah yang akan mengambil inisiatif itu.
“Aku tidak masalah kalau kamu memelukku seharian seperti ini, tapi coba lihat dulu, Ra ... banyak mata yang memandangi kita,” ujar Davin, tangannya mengelus lembut punggung kekasihnya.
Kirara menyembulkan kepalanya, memperlihatkan wajahnya yang sembab, kemudian menoleh ke dalam gedung Keast. Pintu kaca dua arah itu membuat matanya bisa dengan jelas melihat tatapan-tatapan penasaran para pekerja di sana.
“Apa kamu malu? Maaf kalau aku tiba-tiba seperti ini,” kata Kirara, masih enggan melepas pelukannya, dia kembali memandang Davin.
Pria itu hanya tersenyum lalu mengecup kening Kirara. “Daripada memikirkan perasaanku.” Davin menangkup wajah Kirara. “Lebih baik katakan padaku, apa yang membuat wajahmu seperti ini? Kamu menangis ‘kan?”
Kirara segera melonggarkan dua tangannya. “Aku nggak apa-apa. Oh ya, kamu sudah makan siang belum?”
Davin tidak langsung menjawab. Tatapannya melekat tajam seolah ingin menembus kepala dan membaca pikiran kekasihnya itu.
Lagi-lagi seperti ini. Kirara tidak pernah mau bercerita dan dirinya hanya bisa membiarkan rasa penasarannya ini. Hanya tentang Cherry wanita ini baru akan mau bercerita panjang lebar.
“Belum. Mau makan denganku di kantin kantor?” tawar Davin setelah menghembuskan napas mengalah.
Kirara mengangguk. “Kekasihmu yang lain nggak akan mencari gara-gara dengan--au!”
Davin mencubit hidung Kirara. “Hati-hati bicara. Kekasihku itu hanya Kirara Freysia, mengerti?!”
Kirara tersenyum sampai menunjukkan deretan giginya. “Lusa, bagaimana kalau pergi ke galeri tempat pertama kali kita bertemu?” ajaknya, sambil berjalan masuk ke dalam gedung Keast.
“Besok masih hari sekolah, jangan mengajarkan anak untuk membolos, Ra.”
Kirara mendengus. “Cherry juga nggak akan mau diajak ke tempat seperti itu, Vin.”
“Jadi, maksud kamu, hanya kita berdua?” tanya Davin tidak percaya.

Bình Luận Sách (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    2d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    29d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất