logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Tanyakan Perasaanmu

"Biar aku pikirkan lagi ini nanti. Bagaimanapun, aku harus tahu semua sifat Davin. Aku mau cari ayah yang terbaik buat Cherry," tutur Kirara.
Hanya buat Cherry? Kalea mengeryit diam dan tiba-tiba teringat ... dulu, di hari Kirara mengabarkan telah menerima Davin sebagai kekasih. Waktu itu Kalea cukup kaget mendengar berita tersebut.
Kalea tahu tentang keinginan Kirara yang hanya ingin menjadi ibu tunggal. Menilik dari sifat sahabatnya, jika sudah bertekad, Kirara pasti akan mewujudkannya. Jadi, Kalea dengan serius bertanya tentang bagaimana perasaan Kirara pada Davin.
'Aku merasa nyaman dan merasa ada yang menjaga saat bersama dengan Davin.'
'Bukannya ini juga termasuk cinta?'
Hanya seperti itu jawaban Kirara. Memperhatikan ekspresi tenang Kirara, Kalea langsung menyetujui dan mendukung. Kalea pikir, cinta ... memang selalu terasa berbeda, seperti rasa jatuh cintanya dengan Alvino dan dengan Bobby, suaminya sekarang.
Dulu, Kalea pikir Kirara sama seperti dirinya. Namun sekarang, kenapa hatinya kian menggelisah setiap mendengar Kirara memprioritaskan kecocokan Davin dengan Cherry ketimbang diri Kirara sendiri.
Haruskah dia bertanya lagi?
"Ra, sorry nih, em ...." Kalea mengusap tengkuk lehernya. Dia agak sungkan.
"Apa? Kenapa? Jangan bilang kamu punya kabar baru soal Vino?" paranoid Kirara.
Gerak gerik Kalea yang sudah dia hafal. Setiap ragu seperti ini, Kalea pasti akan menyampaikan hal yang tidak baik dan hal yang tidak baik baginya hanyalah Alvino.
"Bukan, bukan Vino! Astaga!" Kalea mendebas. Kenapa dipikiran Kirara hanya ada mantannya, Alvino? Membuat hatinya jadi merasa semakin gelisah.
"Ya, terus apa? Jangan nakutin ah! Ekspresi muka kamu yang begini tuh, bikin aku cemas, tahu nggak?!."
"Ya sorry ... nggak ada niat buat kamu cemas juga, tapi ini soal Davin, Ra."
"Davin?" Kirara mengerutkan dahi. Apa terjadi sesuatu di kantor Davin?
Kalea menggambil tangan kiri Kirara, lalu menggenggam lembut. "Aku tahu ini nggak pantas aku tanyakan, tapi sebagai orang yang sayang, cinta dan rela menjual ginjalnya buat kamu ...."
"Ya Tuhan ... please, jangan buat aku merinding!" kesal Kirara. Sebenarnya hal serius apa yang ingin dibahas temannya ini. Dia semakin penasaran.
"Begini, em ... kamu, benar-benar cinta sama Davin 'kan?"
Benar-benar cinta? Kirara diam, matanya teralihkan sekilas pada sepasang pengunjung kafe yang baru masuk. Dia belum mengerti mengapa Kalea menanyakan itu.
"Apa maksudmu? Kalau aku nggak cinta, aku nggak akan mau menjalin hubungan serius dengannya," sahut Kirara.
"Bukan itu maksudku, tapi kamu sadar nggak? Kalau kamu itu lebih memprioritaskan kecocokan Davin dengan Cherry."
"Karena Cherry-lah sebab aku memutuskan untuk menikah. Demi dia juga, aku jadi mau menerima seorang pria untuk masuk ke dalam hidup kami."
Kalea tidak suka mendengar itu. "Lalu, bagaimana denganmu? Hatimu? Hanya karena Cherry butuh seorang ayah, kamu memutuskan untuk menikah dan mengabaikan perasaanmu sendiri? Kalau kalian sampai menikah, bagaimana dengan rumah tangga kalian nanti, Ra?! Yang mau berumah tangga itu kamu! Bukan Cherry!"
"Jangan emosi. Alea, kamu tahu aku. Perasaanku itu nggak penting. Seiring berjalannya waktu, tentu cinta akan datang juga, bukan? Dan seperti yang pernah aku bilang, buatku selama aku nyaman dengannya, itu sudah cukup. "
Kalea mendebas sembari menyugar rambut. Beruntung musik di kafe itu sedang memainkan melodi ritme cepat. Jadi, perdebatan emosinya tidak terlalu mengganggu pengunjung lain.
"Ra, tolong pikirkan lagi perasaanmu. Aku nggak mau kamu atau Davin terluka. Cherry pun pasti akan sama sepertiku, nggak mau kalian terluka."
Tatapan mereka kian mendalam. Kirara sampai bisa menemukan jelas kecemasan dari dua manik hitam di depannya itu.
Kirara bingung, mengapa Kalea tiba-tiba membicarakan ini? Bukannya dia tidak mengerti akan kekhawatiran sahabatnya itu. Namun, Kalea juga pasti tahu ... kalau sejak dulu, dirinya sulit membuka hati.
Mungkin ini terdengar bodoh, tetapi Kirara bisa menjamin ... bahwa dia bisa bertahan dengan pria yang tidak dia cintai. Selama buah hatinya mendapatkan cinta yang lengkap, selama itu dirinya akan merasa puas.
"Kamu, bicara seperti ini bukan karena aku dan Vino sudah bertemu 'kan?" terka Kirara. Entah kenapa tuduhan itu melintas di kepala. Membahas hal ini setelah pertemuan dirinya dengan Alvino.
"Kamu curiga lagi sama aku dan Vino? Aku 'kan sudah berkali-kali bilang, kalau nggak ada hubungan apa-apa di antara kami, baik dulu dan sekarang, kita itu cuma teman," sambung Kirara.
Kalea mendengus. "Aku nggak suka ucapanmu itu, Ra. Tapi, jujur ... aku memang sedikit curiga. Jadi, tolong beritahu aku yang sebenarnya. Kenapa selama ini kamu menghindari Alvino?" tanyanya serius.
Menurut Kalea, ini sudah waktunya Kirara memberitahu alasan yang sebenarnya, bukan hanya mengatakan ingin menjauh karena Alvino pernah melamar dan mengajak Kirara menikah.
Kirara membisu beberapa saat, lalu menghela napas sebelum menjawab. "Bukannya aku sudah berulang kali mengatakannya? Tiba-tiba dia melamar dan mengajakku menikah sedangkan dia belum lama putus denganmu. Kamu tahu 'kan, bagaimana kesalnya aku saat itu? Aku merasa dimanfaatkan untuk menjadi pengganti kamu. Karena itu, aku membencinya sampai sekarang."
"Nggak, ini nggak masuk akal. Dipikir bagaimanapun, dulu dan sekarang tetap nggak masuk akal!" monolog Kalea dalam hati. Dia kecewa, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain mempercayai alasan itu.
"Lea, tolong percaya, hm?"
Kalea diam, kemudian menyesap minuman dinginnya.
"Kalau mau aku percaya, tolong penuhi permintaanku yang tadi," ucap Kalea.
"Permintaan yang mana?"
Kalea menyentuh lengan Kirara. "Tentang perasaanmu ke Davin, Ra. Please, kalau kamu nggak bisa mencintai dia sepenuh hati. Jangan lanjutkan hubungan kalian. Tapi kalau kamu mau berusaha, aku akan dukung. Tolong pikirkan hubunganmu baik-baik. Kita lupakan tentang Vino dan jangan menilai hanya dari sisi Cherry, oke?"
"Oke, akan aku pikirkan kembali perasaanku, seperti kemauanmu!" ujar Kirara, jika ini membuat Kalea tenang, akan dia lakukan.
Tidak lama, dentingan ponsel Kirara terdengar. Si pemilik pun langsung mengecek gadgetnya, kemudian mengetikkan sesuatu entah pada siapa. Kalea hanya sedikit memperhatikan, lalu ikut asik dengan ponselnya.
"Ah, sepertinya aku harus pergi, Le."
Kalea yang sedang mengirim pesan pada suaminya langsung menoleh. "Kenapa? Kamu belum makan loh, Ra."
"Lina ngirim pesan. Dia bilang, dia ketinggalan katalog wedding rustic," sahut Kirara sambil menyambar tali tasnya.
"Rustic? Style yang baru launched bulan kemarin? Syukurlah sudah ada yang tertarik dengan itu. By the way, pasangan dari mana?"
Kirara mengangguk seraya beranjak berdiri. "Pasangan dari bandung." Dia memeluk Kalea yang masih duduk di kursi. "Aku pergi, Le. Titip Cherry ya, mungkin sore nanti aku jemput."
"Hm, tenang saja. Bekerja saja dengan tenang, sempatkan makan setelah urusanmu selesai. Oke?"
Kirara mengangguk, menepuk singkat bahu sahabatnya sebelum benar-benar melangkahkan kaki keluar dari kafe.
****
Kirara memasukkan ponsel ke dalam tas, kemudian manik cantiknya memindai ke sekeliling lobi hotel. Memcari asistennya yang beberapa saat lalu dia hubungi.
"Bu Rara!"
Si pemilik nama langsung menoleh ke arah wanita yang menyerukan namanya. Wanita berpakaian celana panjang dan rompi hitam itu masih melambaikan tangan padanya.
Saat ini, mereka sedang berada di Hotel Cassa.
Kirara pun mendekati Lina, asistennya di Freya Wedding Organizer. Di tangannya sudah mendekap katalog yang setengah jam lalu dia ambil di studio.
"Kamu bagaimana sih, sampai lupa hal begini? Kalau saya dan yang lainnya lagi sibuk, bagaimana?" omel Kirara setelah jarak mereka sudah dekat, lalu menghempaskan majalah tebal itu ke bahu Lina.
Lina mengambil katalog itu, kemudian segera mengapitnya di antara dua telapak tangannya. "Maaf Bu, selanjutnya saya nggak akan lupa lagi, janji!"
Kirara menghela pasrah. Lupakan saja. Berjanji tidak akan melakukan kesalahan adalah hal yang tidak mungkin bisa ditepati. Manusia memang tidak akan pernah luput kesalahan. Dia juga tidak benar-benar marah dengan asistennya ini, Kirara hanya sedang pusing karena Alvino dan permintaan mendadak Kalea.
"Sudahlah, sekarang kita harus cepat kembali menemui mereka," ujar Kirara.
"Lewat sini, Bu. Kamar mereka di lantai 10," balas Lina memimpin jalan, mengajak Kirara untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan langsung terbuka begitu tombol di sana Lina tekan.
"Sudah sampai mana perbincangan kalian?" selidik Kirara begitu mereka sudah masuk ke dalam lift.
"Mereka baru lihat-lihat dan berdiskusi, Mbak Maya--"
"Maya? Bukannya di list itu namanya Azalea?" sela Kirara bersamaan dengan satu alisnya yang terangkat. Seingatnya, nama Azalea yang membuat janji temu dengan Wedding Organizer mereka, kenapa jadi Maya?
"Oh, Azalea itu kakaknya Mbak Maya, Bu. Saya juga baru tahu pas kita bertemu tadi. Dia bilang, kakaknya yang merekomendasikan WO kita. Yah ... walaupun mereka lagi membandingkan WO, semoga saja Freya yang mereka pilih," jelas Lina diakhiri dengan kekehan.
Kirara diam sejenak, kemudian menggeleng samar. Apa sekarang nama Maya sedang populer? Kemarin dia baru bertemu dengan Maya tunangan Alvino, sekarang akan bertemu Maya si calon pengantin.
Apa pun itu, Kirara cukup tidak nyaman mendengarnya.
"Mbak Maya sebenarnya tertarik dengan WO indoor, tapi calon suaminya mau dengan tema outdoor. Jadi, saya sarankan untuk melihat semuanya baru memutuskan," lanjut Lina bercerita.
"Oke, kalau bisa, tolong kamu terus rekomendasikan Wedding Rustic. Kita harus punya review untuk outdoor baru itu."
Lina menggaruk pelan tengkuk lehernya. "Em ... mungkin kalau saya bisa membujuk Mbak Maya--"
"Oh iya, Lin ...."
Ting! Pintu Lift terbuka. Baik Lina dan Kirara sama-sama sedikit maju, bersiap untuk keluar.
"Saya ada janji temu juga lima belas menit lagi. Jadi, nanti saya hanya akan memperkenalkan diri dan meminta maaf atas ketidaksiapan kita," jelas Kirara melanjutkan kalimatnya, sambil keluar dari kotak besi bergerak di sana.
Bohong. Sebenarnya, janji temu Kirara masih satu jam lagi. Hanya saja, sekarang dia sedang merasa tidak nyaman untuk bertemu seseorang bernama Maya.
Sungguh kekanak-kanakan, tapi biarlah, Kirara ingin menenangkan pikirannya. Dia tidak ingin bertemu dengan nama atau siapa pun yang mengingatkan dirinya pada pria kemarin.
"Yah ... saya kira Bu Rara mau menemani sampai selesai," sungut Lina setengah bercanda. Dia pun berhenti di depan pintu kamar 1034.
"Jangan manja. Oh ya, kalau mereka minta diskon, kurangi 10 persen."
"Oke!" seru Lina mengangguk mengerti.
Lina melirik sekilas pada Kirara dan menduga-duga, kalau mood atasannya ini pasti sedang tidak baik. Dia pun mengetuk pintu kamar, sedangkan Kirara sedikit membereskan penampilannya.
Tidak lama, pintu kamar 1034 itu terbuka, menampilkan seorang wanita bersurai pendek sebahu dengan balutan pakaian kasual. Kirara pun menghela pelan, dia lega kalau ternyata wanita yang sejak tadi disebut Maya bukanlah Maya yang kemarin bertemu dengannya

Bình Luận Sách (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    2d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    29d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất