logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Benang Kusut

"Dia tunanganku, Maya."
Tunangan? Napas Kirara refleks tertahan. Beruntung dia bisa tetap mempertahankan senyumnya. "Alea nggak ngasih tahu ini!" sungutnya dalam hati.
"Maya," ucap Maya mengulurkan tangan.
"Rara. Oh, kenalkan juga--" Kirara mundur selangkah, membuka jalur untuk memperlihatkan dua orangnya. "Dia Davin dan ini, Cherry. Putriku."
Di bawah terik matahari dan dikelilingi raung keceriaan pengunjung Dufan, mereka pun saling berkenalan. Takdir mempertemukan dua orang yang telah berpisah lama, bertemu dengan saling membawa orang-orang baru.
Menyapa hangat sambil saling melempar senyum dan tanya. Bahkan, Maya juga sedikit menggoda Cherry yang memiliki tubuh tambun juga pipi chubby yang menggemaskan. Sayangnya, Cherry tidak begitu antusias menyambut Maya dan Alvino, entah apa yang menyebabkan mood anaknya jadi seperti itu, Kirara penasaran.
"Aku nggak menyangka, kamu sudah menikah, Ra. Kenapa nggak mengundangku, hm? Apa Alea tahu tentang ini?" Alvino tertawa kecut. "Ah ... kalau dia tahu, tentu dia pasti sudah memberitahukannya padaku."
"Setidaknya kamu beritahu sahabatmu. Dia pasti akan sangat kecewa, kalau tiba-tiba melihatmu sudah seperti ini," sambung Alvino.
Davin mengeryit samar, bibirnya tetap merapat diam meski ingin sekali masuk ke dalam obrolan mereka. Jika sahabat Kirara, dia tahu itu siapa. Sungguh mengejutkan, kalau ternyata Alvino juga mengenal Kalea.
Kirara mendesah samar. Benar-benar belum berubah. Sifat Alvino yang akan terus bertanya sampai rasa penasarannya terjawab dan, terima kasih pada Kalea yang menjaga janji untuk membantu dirinya bersembunyi dari Alvino.
Dari Kalea, sahabatnya. Kirara juga tahu, Alvino begitu frustasi dalam mencari keberadaannya. Kirara tidak mengerti, kenapa pria itu sampai begitu ... padahal, hari itu mereka sepakat untuk melupakan segalanya.
"Yah, semua terjadi begitu cepat, nanti aku akan memberitahu Alea, tenang saja." Kirara menoleh pada Davin, kemudian menggambil Cherry. Rasanya tidak enak jika Davin terus menggendong anaknya yang berat. Terlebih, Cherry terlihat sudah mulai mengantuk.
Davin yang sudah melepas Cherry pun segera merentangkan satu tangannya untuk merengkuh bahu Kirara. Entah ini hanya perasaannya saja atau Kirara memang ingin menyembunyikan statusnya. Namun, lebih dari itu. Dia merasa kalau pembicaraan ini sebaiknya tidak diteruskan lagi.
"Maaf menyela. Aku tahu kalian sudah lama nggak bertemu, tapi sepertinya reuni ini tidak bisa dilanjutkan di sini. Kasihan Cherry kepanasan," interupsi Davin, sebuah alasan yang membuat Kirara melepas lega.
"Ah, benar. Kalau begitu--"
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita lanjutkan di lain waktu? Maaf kalau terdengar nggak sopan, tapi kami juga masih ada urusan lain," potong Davin menyela ucapan Alvino. Tidak lupa mengurai senyum agar dirinya tidak terlalu meninggalkan kesan buruk seperti ucapannya.
Maya melirik canggung pada Alvino dan Davin. Entah kenapa rasanya mereka berdua seperti sudah mengganggu liburan keluarga itu.
"Vin?" panggil pelan Maya. Dia bingung mengapa Alvino hanya diam memandang tajam Davin.
Alvino menarik satu sudut bibirnya dan mengeluarkan ponsel dari saku celana. "Yah, semua memang nggak bisa diprediksi. Kalau begitu-Ra-boleh aku minta nomor barumu?"
Kirara sedikit membesarkan mata lalu menoleh pada Davin. Rasanya enggan memberikan nomor ponselnya. Akan tetapi, malah akan menjadi aneh jika sudah bertemu seperti ini, dirinya malah menolak memberitahukan nomor barunya.
"Em, Vin. Bisa tolong ambilkan kartu namaku di tas?" pintanya, mengendong Cherry membuat dia sulit untuk mengambilnya sendiri. Ingin menurunkan si kecil pun tidak mungkin, sebab Cherry sudah melepas semua berat badannya kepangkuannya. Cherry terlelap.
"Nggak perlu." Davin mulai menggerakkan tangannya. Namun, tidak untuk merogoh tas Kirara melainkan merogoh saku belakang celananya, kemudian membuka dompet hitam persegi lalu memberikan kartu nama dirinya pada Alvino.
Melihat itu, Kirara sampai mengerutkan dahi. Dia berpikir, apakah Davin sungkan membuka tas selempangnya hingga memilih untuk memberikan kartu nama pribadinya sendiri?
"Sorry, aku rasa tadi dengan jelas aku meminta nomor pribadi Rara, tapi ini--"
"Sama saja, bukan? Jangan cemas, kalau kamu mengirimkan pesan. Aku pastikan akan menyampaikannya pada Rara." Lagi, Davin memotong ucapan Alvino.
Alvino diam sambil memandang rentetan huruf yang merangkai nama Davin Damael sebagai pemimpin redaksi Keast di sana.
"Kami pergi, Vin," ujar Kirara bersuara sebelum Alvino kembali melempar kata yang akan memancing kecemburuan Davin dan berakhir membuat suasana semakin canggung.
***
Satu hari pun berlalu cepat, ditemani berbagai rasa cemas untuk Kirara....
"God! Ini mimpi buruk, Le! Bagaimana bisa kami bertemu di sana! Terlebih ada Davin dan Cherry! Bukannya kamu bilang dia tinggal di Bandung?!" seru frustasi Kirara. Dia sedang merengek pada Kalea, sahabatnya.
Ini sudah sepuluh kali pergantian musik di kafe, lebih rincinya ... sudah berlangsung selama empat puluh lima menit sepuluh detik, mereka membicarakan Alvino Deanove.
Kirara mengusap kasar dan menyembunyikan wajah di balik dua telapak tangannya. Kepalanya mau pecah! Kali ini, Kirara sudah tidak bisa lagi bersembunyi. Cherry sudah besar dan sudah bersekolah, tidak mungkin dia bawa anaknya untuk terus berpindah tempat menghindari Alvino.
Kemarin, setelah kembali ke rumah dan berpisah dengan Davin, Kirara langsung menghubungi Kalea, dia menceritakan sedikit tentang pertemuannya dengan Alvino di Dufan. Lalu, mereka pun membuat janji temu untuk membahas keseluruhan dari kejadian horor kemarin.
Melihat kemarahan sahabatnya yang belum juga kunjung surut, Kalea pun merengut dan langsung memeluk Kirara dari samping.
Bersandar nyaman di bahu Kirara. Kurang lebih, Kalea mengerti sebesar apa rasa frustasi sahabatnya itu sekarang. Salahnya ... ini semua karena kesalahannya.
"Sorry Ra ... aku nggak nyangka bakal kecolongan begini. Dua bulan lalu pas Vino pamit dan bilang akan menetap di sana, seharusnya aku tetap mengawasinya." Kalea mengerutkan dahi. "Tapi, Ra. Sebulan lalu jelas-jelas Bobby bilang kalau Vino masih di sana," sambungnya, wanita bersurai sebahu itu pun menghela napas.
Kenapa Alvino tiba-tiba kembali ke Jakarta? Kalea terus memikirkan itu semalaman. Dia juga sudah meminta bantuan pada suaminya untuk mencari tahu, apa alasan Alvino datang kembali ke Jakarta. Namun sayang, sampai sekarang belum menemukan jawaban.
Kirara diam, wajahnya masih tenggelam di balik dua telapak tangan. Ingin menyalahkan Kalea pun rasanya tidak benar. Justru dia harus berterima kasih dan meminta maaf karena terus menerus merepotkan dan mengandalkan sahabatnya.
"Davin bagaimana? Dia nggak nanya soal Vino?" tanya Kalea penasaran, dia sampai menegakkan kembali batang lehernya.
"Davin ...." Kirara membuka jendela tangannya, memperlihatkan wajah cemas, isi kepalanya berubah. Sosok Alvino tergantikan oleh Davin. "Aku cuma bilang kalau Vino itu rekan kerjaku dulu. Setelah itu, dia nggak menanyakan lagi sampai sekarang. Aku jadi cemas, karena dia biasanya nggak seperti ini. Diamnya Davin menurutku itu sangat menyeramkan, Le."
Kirara masih ingat betul, saat tidak sengaja bertemu dengan salah satu pria yang pernah memakai jasa wedding organizernya. Davin yang melihat dirinya dan pria itu berbicara, langsung bawel mempertanyakan ini dan itu. Namun sekarang, kekasihnya hanya diam, membuat Kirara takut dan cemas kalau Davin berpikir macam-macam tentangnya dan Alvino.
Hentakan napas keras Kirara lakukan. Dada kian sesak. Dia pun membenturkan pelan dahinya ke meja. Dari dulu, semua hal yang berhubungan dengan Alvino membuatnya lelah.
"Ah ... kemarin itu benar-benar! Kenapa juga aku bereaksi seperti itu?! Aku harus bagaimana, Le? Akan lebih baik kalau Davin bawel dan memarahiku."
Kalea terkekeh pelan, dia tidak tahu kenapa bisa dibilang seram. "Tenanglah, mungkin diamnya Davin itu karena dia percaya sama kamu. Seperti katamu, Davin itu sangaaat penyabar dan pengertian. Jadi sepertinya dia memilih untuk menunggu sampai kamu sendiri yang menceritakannya," ujarnya sembari mengusap punggung Kirara.
Bukan maksud ingin membela atau memberikan poin baik untuk kekasih sahabat sekaligus anak buah suaminya itu. Kalea hanya mengingatkan pada Kirara, selain memiliki sifat cemburu, Davin juga memiliki sifat penyabar. Sabar agar tidak terus menerus meluapkan rasa cemburunya.
Cengiran kecil yang ditampilkan Kirara membuat Kalea mengerutkan dahinya samar. Tadi sedih, sekarang senyum-senyum?
Kalea pun menyambar dan menekan keras pipi Kirara. Reaksi aneh sahabatnya membuat dia takut.
"Hei, kenapa senyum-senyum, hah? Jangan buat aku takut deh, Ra. Aku nggak mau masalah Alvino bikin kamu sampai gila begini!"
Dua tangan yang menghimpit pipi Kirara segera di tepis. Wanita itu merinding mendengar kalimat sederhana yang membuatnya ingin mengutuk.
Sampai gila? Kirara sendiri pun tidak akan mau seperti itu.
Apa dirinya selemah itu, sampai harus jadi gila? Dulu bahkan lebih parah dan lebih stres dari ini! Lagi pula, dia bahkan tidak sedang memikirkan Alvino!
"Kamu yang gila, Le. Aku bahkan nggak sedang memikirkan dia!" akui Kirara, membuat Kalea menyekap mulutnya sendiri. Kalea bisa langsung paham maksud dari temannya itu.
Kirara mengulum manis senyumnya, karena dia sedang mengingat obrolannya via telepon dengan Davin pagi tadi. Di mana Davin hanya memberitahukan inti pembicaraan mereka, lalu mengakhiri dengan helaan napas yang lebih terdengar dengusan kesal di telinganya. Menggemaskan, bukan?
"Kamu tahu, semalam Vino mengirim pesan. Dia meminta nomorku, tetapi Davin beralasan kalau ponselku sedang rusak dan bilang klo aku nggak akan pegang ponsel selamanya," lanjut Kirara bercerita, padahal ponselnya baik-baik saja.
"Ukh! Ya Tuhan ... aku masih belum percaya, kalau Davin punya sisi lucu seperti itu. Yah ... walau suamiku masih lebih lucu dan menggemaskan dari pacarmu, sih."
"Cih!" Kirara mendelik sinis, lalu mendengus geli. Bulu romanya kembali meremang. Pesona Bobby benar-benar sudah mendaging di hati dan otak Kalea!
"Hei, tapi ... apa benar kalau sedang di kantor Davin itu cuek?" Kirara mengingat perbincangan bulan lalu, di mana Kalea menceritakan bagaimana sikap Davin ketika bekerja. Cuek, tegas dan suka marah-marah?
"Rasanya mau lihat saat dia sedang memarahi bawahannya," lanjut Kirara, binar matanya sudah menerawang membayangkan sosok Davin yang belum pernah dia lihat itu. Padahal mereka sudah bersama selama satu tahun lebih.
"Mau merencanakan itu denganku?" tawar Kalea jahil.
Kirara menggeleng. "No, thanks. Walaupun penasaran, tapi aku nggak bisa muncul begitu saja dan membuat dia malu."
"Malu? Ya ampun, berani bertaruh denganku? Aku bertaruh kalau Davin akan senang dengan kemunculanmu di kantor!" antusias Kalea.
Jika saja Bobby tidak melarang, ingin sekali Kalea mengatakan kalau selama ini di kantor, Davin selalu ramai digosipkan. Mereka bilang, pria berwajah datar dan berdarah dingin itu tidak akan pernah bisa memiliki istri apalagi kekasih.
Namun, siapa sangka? Ternyata di luar, bahkan tanpa sepengetahuan Kalea dan suaminya, Davin telah berteman dan sekarang menjalin hubungan serius dengan sahabatnya. Takdir yang sungguh tidak terduga.
"Biar aku pikirkan lagi ini nanti. Bagaimanapun, aku harus tahu semua sifat Davin. Aku mau cari ayah yang terbaik buat Cherry," tutur Kirara.
Hanya buat Cherry? Kalea mengeryit diam dan tiba-tiba teringat ... dulu, di hari Kirara mengabarkan telah menerima Davin sebagai kekasih. Waktu itu Kalea cukup kaget mendengar berita tersebut.
Kalea tahu tentang keinginan Kirara yang hanya ingin menjadi ibu tunggal. Menilik dari sifat sahabatnya, jika sudah bertekad, Kirara pasti akan mewujudkannya. Jadi, Kalea dengan serius bertanya tentang bagaimana perasaan Kirara pada Davin.

Bình Luận Sách (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    2d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    29d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất