logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 11 Ancaman

"Susah sekali bertemu denganmu, Ra," ujar Alvino. Kalimat yang justru terdengar seperti sindiran bagi Kirara.
Seperti pertemuan awal mereka di wisata hiburan, Kirara termangu mendapati Alvino yang berdiri memandang dengan senyum khasnya.
Senyum pria itu seperti racun bagi Kirara.
Ini yang ketiga kalinya, Alvino berhasil membuat Kirara terkejut setiap mereka bertemu. Pertemuan pertama di Dufan, pertemuan kedua di hotel dan sekarang di kantornya sendiri. Baik dulu maupun sekarang, pria itu penuh dengan kejutan yang berbahaya.
"Melihat ekspresimu, sepertinya kamu ingat dengan jaket ini?" pancing Alvino.
Pria itu sedikit memalingkan wajah untuk menyembunyikan serigaian puasnya. Alvino tidak mendekat, melainkan memilih duduk di sofa single yang tidak jauh dari pintu.
Kirara mendengus sinis. "Aku nggak paham maksudmu. Apa ada yang spesial dari jaket itu sampai aku harus mengingatnya?" kilahnya.
Dia benar, jaket itu alasan Kirara terpaku. Jaket merah berhoodie yang begitu sederhana, adalah kado penghiburan dari Kirara, saat Alvino basah kuyup karena patah hati. Bekerja dengan pakaian lembab, tentu membuat Kirara cemas sekaligus mengiba. Hanya itu saja, tidak ada perasaan lain.
Alvino tertawa renyah. "Ini jaket yang kamu belikan dulu, saat aku datang ke kantor dalam keadaan basah kuyup karena hujan ...." Alvino menjeda, memperhatikan Kirara yang beranjak dari kursi kerjanya, kemudian berjalan ke arah tempat dia berada.
"Benarkah? Maaf aku nggak mengingatnya," jawab acuh Kirara. Dia duduk di kursi single yang berada tepat di depan Alvino. Meja bulat di tengah, memberi jarak nyata untuk mereka.
“Daripada membicarakan benda itu, bukankah sudah saatnya membicarakan maksud kedatanganmu ke sini?” sambung Kirara.
Duduk senyaman mungkin agar bisa menyembunyikan rasa debar di hati. Efek jaket itu benar-benar kuat. Kirara sungguh tidak menyangka kalau Alvino masih menyimpannya, terlebih dari warna merah yang terlihat sedikit pudar itu membuktikan, kalau Alvino terus memakai barang pemberiannya.
Nggak boleh begini! Lolongan tegas dari dalam hati, Kirara pun bersedekap dada sambil menyembunyikan kepalan tangannya.
Alvino tetap diam, memperhatikan wanita yang sudah sangat lama dia rindukan. Menatap wanita yang telah membuat dirinya memikul beban dosa yang setiap hari semakin mencekik leher. Kirara memang memiliki pesona yang dapat membuat pria kehilangan akal.
Dua kelopak mata Kirara sedikit menyipit, menunggu Alvino tidak kunjung bersuara, bahkan memandangnya seperti itu sungguh membuatnya semakin tidak nyaman. “Kalau memang nggak ada hal penting yang mau kamu bicarakan, sebaiknya kamu kembali saja. Maaf jika terdengar mengusir, tapi hari ini aku sedang banyak pekerjaan.”
“Ra, berhenti berpura-pura. Kamu tahu ‘kan maksud kedatanganku ke sini,” ujar Alvino, memasang wajah serius. Dua siku tangan yang berada di atas paha pun menambah statement keseriusan dirinya.
“Apa maksudmu?” tegas Kirara dengan suara rendah penuh penekanan. “Haah ... serius, aku sungguh nggak tahu apa tujuanmu datang ke sini dan aku benar-benar lagi banyak pekerjaan. Jadi, berhenti bercanda.”
Alvino mendebas, lalu tertawa kecil sambil menundukkan kepala. Kesepuluh jemari tangan yang berada di antara dua kaki itu kian mengerat. “Sampai kapan kamu mau melarikan diri?” ungkapnya, atensinya kembali pada wanita di depan.
“Melarikan diri?” Kirara menegakkan punggung. Pembicaraan ini membuatnya jengkel. “Sekali lagi aku katakan--”
“Di mana kamu bersembunyi selama ini? Apa alasan kamu melakukan itu?” sela Alvino seraya menatap tajam Kirara. Pertanyaan yang akan terus dia tanyakan sampai mendapatkan jawabannya.
Jika bisa, Alvino ingin sekali mengurung Kirara sampai wanita ini mau mengakui semuanya.
“Ini terakhir kalinya aku berbicara baik-baik, Ra. Kalau kamu masih berpura-pura bodoh dan mengelak, aku akan mencari suamimu lalu bertanya kapan dan di mana kalian bertemu, juga aku akan menceritakan bagaimana hubungan kita di masa lalu,” sambung Alvino menantang. Ini memang memalukan, tetapi tidak ada cara lain lagi yang bisa membuka mulut Kirara.
Dia sudah gila. Apa dia benar-benar akan melakukan itu? Pikir Kirara, rasanya ragu, tetapi juga cemas. Alvino orang yang nekat. Kirara jadi ingat saat pria itu beberapa kali mencoba bunuh diri, dulu Alvino bilang lebih baik mati daripada melihat Kalea bersanding dengan pria lain. Tujuh tahun Kalea dan Alvino menjalin kasih dan dalam sehari hubungan mereka berakhir hanya karena sebuah perjodohan.
Wajar kalau Alvino menggila seperti itu, karena mereka adalah sepasang kekasih, sedangkan dia? Sama sekali tidak ada hubungan yang lebih dari kata teman, tetapi kenapa Alvino terus menerus penasaran tentang apa yang sudah dia pilih dulu? Harusnya pria itu bersyukur karena dia meninggalkannya!
“Vin, biar aku luruskan. Baik dulu atau sekarang, tidak ada kewajiban untukku memberitahumu tentang apa dan ke mana saja aku akan pergi dan lakukan! Ini hidupku. Dulu maupun sekarang, aku yang memutuskan.”
Kirara berdiri dan berjalan ke arah pintu. “Juga, apa maksudmu dengan-bagaimana hubungan kita di masa lalu? Memang dulu hubungan kita itu seperti apa? Kita hanya seorang rekan kerja yang kebetulan kamu adalah kekasih Alea.”
“Kamu benar-benar mau melupakan itu, ya? Ra, semakin kamu bersikap seperti ini, semakin kuat kecurigaanku.”
“Keluar sekarang atau kamu nggak akan pernah melihatku lagi!” ancam Kirara tangannya sudah membuka lebar daun pintu di sana.
“Oke, aku pergi.” Alvino berdiri dan mendekati meja kerja Kirara. Dari awal kedatangannya, Alvino sudah menargetkan sebuah kotak kecil di tepi meja itu. “Aku ambil ini. Kalau memang mau melihatku menemui suamimu, abaikan saja panggilan teleponku,” lanjutnya. Pergi sambil membawa kartu nama Kirara.
****
Kantor Keast.
“Permisi, Pak. Barusan ada note dari agensi Staryone. Manajer mbak Alenna mau ulang wawancara yang kemarin,” tutur santi setelah masuk ke dalam ruang kerja Davin.
Davin menaruh kasar pena birunya. Sedikit kesal mendengar kabar itu. “Ulang lagi? Bukankah kemarin sudah sepakat kalau kali ini benar-benar bisa kita publish?”
Berkas-berkas yang sedang Davin periksa, terpaksa dihentikan. Dua manik aswadnya menatap gerah pada sekretarisnya. Ini sudah yang kedelapan kalinya, figuran muda itu meminta ulang wawancara yang mereka ajukan.
“Apa lagi alasannya kali ini?” sambung Davin, telunjuknya mengetuk pelan berkas laporan yang berada di bawah lengannya.
“Seperti yang sudah-sudah, Pak. Alasannya, karena mbak Alenna masih muda dan perlu hati-hati. Kemarin ada kesalahan saat menjawab.”
Lagi-lagi alasan klasik! “Kalau begitu, bilang pada mereka. Bagian mana yang salah dan tegaskan kalau kita tidak akan memakai itu.”
“Em, saya sudah mengatakan itu, tapi mereka tetap menginginkan wawancara ulang,” timpal Santi, mulai merasa takut kena amukan Davin.
Jujur saja, dia juga bingung dan penasaran. Mengapa artis muda itu selalu meminta take ulang. Sampai jadwal terbit tentang Alenna yang seharusnya sudah launched awal bulan ini jadi terus di undur. Bukan hanya ini saja, saat mereka sudah menentukan jadwal wawancara pun pihak Alenna berulang meng-cancel dengan alasan, sibuk.
Davin mengeram kesal sekaligus mengusap kasar wajahnya. “Batalkan saja wawancara dengan dia. Cari yang lain. Lagi pula, dia itu bukan satu-satunya artis di kota ini, masih banyak artis lain yang juga memiliki banyak prestasi.”
Dear God, sebenarnya Santi sudah bisa menebak ini. Siapa pun akan merasa dipermainkan jika caranya seperti ini. Siapa yang tidak akan marah? Dia saja yang hanya mengatur jadwal rasanya sangat geram.
Meski begitu ....
“Tapi, Pak. Ini kesempatan langka. Mbak Alenna jarang mau di wawancara. Tidak ada yang tahu persis tentang dirinya, selain dia yang seorang anak perdana mentri, bahkan kita baru tahu kalau dia juga seorang dokter muda, lulusan harvard,” oceh Santi, kembali meyakinkan Davin kalau berita tentang Alenna adalah topik yang akan menguntungkan perusahaan mereka.
Alenna itu, artis baru misterius yang kemunculannya langsung bisa menyusul artis-artis senior Indonesia hanya dalam kurun waktu satu tahun. Selain bertalenta, Alenna juga memiliki banyak pendukung di belakangnya.
Davin menyeringai remeh. “Buat apa semua itu, kalau dia saja tidak tahu bagaimana caranya bekerja sama? Perusahaan kita sudah sepakat dengannya berulang kali, tapi dia tetap tidak bisa bertindak profesional.”
Santi menarik napas dalam-dalam, dia ingin mendebat kembali atasannya. “Benar, secara pribadi saya setuju dengan Pak Davin, tapi bukankah akan jadi sia-sia dan sangat disayangkan? Hasil dari usaha tim wawancara dan fotografi? Mereka tetap mengedit ulang meski diperlakukan seperti itu. Saya pikir, mereka juga berpikiran sama seperti saya. Topik Alenna akan menguntungkan Keast.”
Davin merenung dengan dua tangan yang dia tegakkan, jari-jemari yang saling tertaut itu turut menyembunyikan bingkai mulutnya. Apa yang dikatakan Santi memang benar, dia juga memikirkan itu sejak perintah wawancara ulang yang kelima. Namun, jika Keast terus menuruti, rasanya seperti mendewikan Alenna. Davin tidak menyukai itu.
“Kita ulang sekali ini saja, bagaimana Pak?” seru Santi, memberikan penawaran lebih cepat. Dia yakin kalau atasannya itu pasti akan tetap teguh pada keputusan awalnya. Davin memang pria seperti itu.
Pemimpin Redaksi itu menghela napas dan bersandar. “Baiklah. Hanya sekali ini saja dan tekankan pada mereka, setelah ini tidak akan ada wawancara ulang. Jika mereka masih begitu, kita batalkan.”
“Noted, Pak,” balas cepat Santi diakhiri dengan senyuman tiga jari.
“Pergilah dan bawa ini.” Davin memberikan dua buah ordner pada Santi. “Berikan itu pada tim pelaksana, bilang padanya besok sore antarkan kembali padaku."
“Noted, Pak.” Santi kembali menyahut. Namun tubuhnya tetap bergeming di sana.
Davin yang sudah memegang pena kembali melirik Sekretarisnya. “Ada apa? Kenapa belum pergi?”
“Em, begini Pak. Sebenarnya ada satu yang belum saya sampaikan.”
" ... cepat katakan,” perintah Davin. Tidak biasanya Santi seperti ini.
“Em, itu ... Mbak Alenna, selain meminta wawancara ulang. Beliau juga bilang, ada sesuatu yang ingin dibicarakan secara pribadi dengan Pak Davin. Jadi, beliau harap Bapak benar-benar datang menemuinya.”
Davin menaikkan satu alisnya. Secara pribadi? Apa yang mau dibicarakan?
“Tolak permintaan itu," tegas Davin.
Tolak? Tentu saja Santi sudah mencobanya. Namun sayangnya dia kalah. Melihat padamnya wajah Davin, Santi pun segera membungkuk dalam, seolah ingin meminta pengampunan sebelum diceramahi oleh atasannya itu.

Bình Luận Sách (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    1d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    28d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất