logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 10 Membuka Hati

Dengan kedua tangan berada di stir kemudi dan mata yang memandang jalan ramai lancar di sana, Davin berusaha menelan berat salivanya. Suasana di dalam mobilnya ini sungguh terasa tidak nyaman, membuat kerongkongannya mengering dua kali lipat.
“Em, sampai kapan kalian mau seperti ini, hm?” ujar Davin, dua matanya bergantian menatap cemas pada Kirara yang berada di sampingnya dan Cherry yang duduk di kursi belakang.
Ini sudah hampir lima belas menit anak dan ibu di sana saling mendiami dan Davin pun tahu apa yang membuat mereka menjadi seperti itu.
“Ra, apa aku terlalu ikut campur?”
Kirara menoleh. “Maksudmu?”
Ini adalah suara pertama yang dikeluarkan Kirara sepanjang perjalanan mereka ini. Padahal sejak mereka masuk ke dalam mobil, Davin terus bertanya. Namun sayangnya, selalu diabaikan Kirara.
“Soal diriku yang memperkenalkan diri sebagai papah Cherry."
Kirara mendebas keras sambil menggiring cepat rambut depannya ke belakang, kemudian bersedekap dada. “Nggak apa, toh bukan kamu yang memulainya.”
Davin diam seraya melirik Cherry melalui kaca kecil mobil yang bertengger di atas. Anak itu memang masih kecil, tetapi Davin yakin Cherry mampu menangkap maksud dari ucapan ibunya tadi.
“Celly yang bohong. Maaf Ma,” sambar Cherry. Diamnya sang ibu membuat dia merasa semakin bersalah, sejak tadi ingin meminta maaf. Namun, hatinya terlalu takut.
Bagaimanapun, dia malu karena menangis bahkan berbohong hanya karena masalah seperti tadi. Harusnya dia diam saja seperti biasa atau, pergi menjauh dari teman yang selalu menanyakan ataupun bercerita tentang ayah.
"Cherry, nggak apa sayang, kamu itu cuma membela diri," ujar Davin, semakin tidak tega melihat wajah Cherry yang menyendu sendirian di belakang sana.
Lagi, Kirara membuang napasnya, sedikit kecewa tentang pemikiran Davin yang menyebut tindakan Cherry itu sebagai pembelaan diri. Bukan tidak paham, justru Kirara sangat mengerti betapa sedih dan malunya Cherry setiap temannya berkata seperti itu, tetapi ....
"Vin, jangan memanjakan Cherry. Apa pun alasannya, berbohong itu nggak baik." Kirara menoleh ke belakang. "Dan kamu, Cherry. Biasanya kamu pergi atau mengabaikan teman-temanmu yang bicara seperti itu, lalu kenapa tadi kamu malah bicara begitu? Kamu tahu--"
"Ra, Cherry masih kecil, maklumi saja," sela Davin.
"Justru karena dia masih kecil, dia harus belajar membedakan mana yang baik dan benar!"
Cherry tersentak kaget mendengar suara tinggi Kirara yang menggema di mobil. Air matanya semakin memenuhi pelupuk, bibir kecilnya pun sudah semakin menurun.
"Ma-maaf, Celly, Celly salah, huaaa!!"
"Ya Tuhan ...." Davin menghembuskan napas, dirinya sungguh bingung. Ini pertama kalinya dia menghadapi situasi seperti ini. Cherry menangis dan Kirara tetap mengabaikan anaknya.
"Aku paham, mengajarkan anak seperti itu memang penting, tapi apa kamu nggak bisa memaafkan kesalahannya kali ini saja? Lagi pula, kalau Cherry punya ayah, tentu dia nggak-ck-sial," runtuk Davin langsung mengecilkan suara saat mengumpat.
Dia salah bicara.
Kirara tidak menjawab, dia hanya memperhatikan Davin yang sedang menepikan mobil. Ucapan kekasihnya itu benar-benar seperti air cuka yang menyiram luka. Perih dan menusuk, tetapi sialnya itu pernyataan yang benar.
Usai menepikan mobil, Davin segera memposisikan tubuhnya untuk menghadap sempurna pada Kirara. "Em, maaf jika perkataanku tadi kelewatan." Davin menoleh ke Cherry yang semakin menangis kencang. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Nggak apa. Kamu benar, kalau saja sejak dulu aku nggak keras kepala dan memilih menikah, mungkin Cherry nggak akan bicara seperti itu." Kirara menghela pelan, kemudian mengulurkan dua tangan kepada putrinya. "Ini salahku. Cherry, sini, sayang."
Kelopak mata Davin menyipit, dia kurang suka mendengar itu. "Nggak, keputusan kamu sudah benar, Ra. Kalau kamu memutuskan menikah sejak dulu, lalu aku harus gimana?"
Lagi, Kirara tidak menjawab. Wanita itu hanya berdesis sebal. Bisa-bisanya Davin bertanya seperti itu di tengah kekacauan hatinya.
****
Lima hari telah berlalu.
Seperti biasa, Kirara disibukan dengan segala macam pekerjaan di studio kecilnya, Freya Wedding Organizer. Studio impian yang dia bangun berkat bantuan dari sahabatnya, Kalea.
Keputusan resign demi menjauh dari Alvino, membuat Kirara mengalami masa sulit untuk menghidupi diri dan anak yang kala itu masih berada di dalam kandungan.
Pekerjaan lepas sebagai fotografer yang berkeliling jauh, membuat Kalea cemas dan langsung menawarkan modal untuk membuka usaha wedding organizer, tidak sampai di situ saja. Kalea juga memperkenalkan Kirara pada beberapa mitra yang berhubungan dengan wedding organizer.
Kebaikan yang tidak bisa Kirara balas sampai mati.
Tok, tok.
Ketukan pintu mengalihkan keseriusannya Kirara dari layar laptop.
“Masuk,” titah singkat Kirara. Tangannya masih menari di atas tuts hitam.
Pintu pun langsung terbuka lebar. Lina masuk dengan membawa sebuah map di tangan. “Bu, ini laporan negosiasi kita dan Hotel Erald,” tutur Lina seraya menghampiri meja pemilik Freya.
“Bagaimana hasilnya? Apa mereka mau dengan budget yang kita tawarkan?”
Lina menaruh map kuning ke meja kerja Kirara. “Mereka setuju setelah saya tambahkan sekitar lima persen dari harga penawaran.”
“It’s okay.” Kirara menghentikan pekerjaannya. “Lalu, bagaimana dengan mengajak mereka menjadi partner Freya WO?”
Senyum kecil langsung terbit di wajah Lina. “Mereka setuju dengan beberapa syarat dan semua syaratnya sudah saya uraikan di laporan.”
Segera, Kirara menyambar laporan yang dibawa Lina dan membacanya dengan teliti. Lina diam menunggu sambil memandang penuh arti pada wanita di depannya itu. Penuh rahasia-kata yang muncul begiut saja di benak Lina. Bosnya ini memang penuh misteri. Terutama kehidupan pribadi.
“Kerja bagus, tapi ada beberapa yang tidak bisa aku setujui. Nanti akan aku beritahu padamu, sekarang kamu boleh kembali bekerja. Oh, tolong sampaikan pada semua kalau satu jam lagi kita akan meeting mengenai ini,” ujar Kirara, menaruh kembali berkas itu di meja.
Lina mengangguk, mengerti. “Baik, Bu.”
Jawaban singkat yang tentu memiliki makna bahwa pembicaraan di antara mereka telah selesai. Namun, Kirara yang ingin melanjutkan pekerjaannya jadi kembali urung karena terganggu dengan Lina yang bergeming di depan meja kerja.
Risih. Kirara pun melipat dua tangannya di meja, lalu memandang Lina bingung. Wanita itu tidak pergi dan tidak juga bicara. Lina malah menampilkan raut gelisah.
“Ada apa? Apa masih ada laporan lain yang mau disampaikan?” tanya Kirara menebak sebab apa yang membuat wanita tersebut tidak kunjung bergerak dari tempatnya.
Lina langsung menggelengkan kepala, membuat Kirara jadi menaikkan satu alis. Tebakannya salah?
“Lalu?” lanjut Kirara semakin merasa penasaran. Hatinya jadi tidak sabar.
“Em, itu, Pak Alvino datang lagi dan sekarang sedang menunggu Ibu di ruang tunggu.”
Dua bola mata Kirara langsung membulat tidak percaya. “Lagi? Ya Tuhan, apa sih mau dia?” dumalnya.
Ini sudah keempat kalinya Alvino datang ke sini.
"Kali ini apa alasannya?" sambung Kirara.
"Sama seperti kemarin, Pak Alvino bilang ada yang mau dia sampaikan secara pribadi. Hanya itu saja." Lina sedikit menggigit bibir dalamnya. “Apa Ibu, nggak mau menemuinya lagi?” tanyanya hati-hati.
Dari awal Kirara memang selalu menolak untuk menemui pria itu dan diserahkan padanya. Lina jadi semakin bingung pada hubungan mereka. Katanya teman, tetapi di matanya pria itu justru terlihat seperti musuh yang harus dihindari oleh bosnya.
Kirara mendebas kesal dan menyandarkan punggung ke kursi putarnya. “Apa dia sendiri lagi?”
“Ya, dia sendiri. Sama seperti kemarin, Bu.”
“Haah, bilang saja lagi kalau aku sedang pergi.”
Jika bersama Maya mungkin akan Kirara pertimbangkan. Setidaknya dengan kehadiran Maya, Alvino tidak akan membahas masa lalu, pikir Kirara.
Lina diam, terlihat ragu untuk melaksanakan perintah itu. Cara itu memang berhasil mengusir tamu bosnya, tetapi besok pasti akan datang lagi.
“Em, begini Bu. Maaf kalau ini terdengar nggak sopan. Pak Alvino mungkin akan pergi setelah saya menyampaikan itu, tapi besok dia pasti akan datang lagi dan yang lain sepertinya mulai menaruh perhatian pada Pak Alvino."
Kirara nampak berpikir. Menyusahkan sekali pria keras kepala itu. Sudah menghubungi Davin terus menerus, sekarang berani datang ke sini.
“Haah! Dia itu dari dulu emang keras kepala.” Kirara menegakkan punggung dan mengancingkan blezer biru gelapnya. "Suruh dia ke sini dan jangan ada yang mengganggu meski hanya untuk mengantarkan minum."
Itu artinya, tamu tidak usah dikasih minum? "Baik, Bu," balas sopan Lina, dia mengerti dan segera pergi untuk menjalankan titah Kirara. Mungkin setelah ini, akan ada banyak yang bertanya padanya tentang siapa pria yang selalu datang mencari bos mereka, tetapi selalu ditolak.
Di tinggal sendiri, Kirara pun mulai merenung. Kurang lebih dia sudah tahu apa yang akan dibicarakan Alvino dan Kirara harus segera mencari alasan lain untuk berjaga-jaga kalau mantan rekan kerjanya itu menanyakan masa lalu yang tabu.
Apa Maya tidak curiga dengan tingkah Alvino yang seperti ini?
Davin saja terlihat kesal, meski kekasihnya itu selalu bersikap seolah pesan-pesan yang dikirimkan Alvino untuknya itu, bukanlah apa-apa. Davin memang pria yang sangat penyabar.
Berbeda dengan Davin. Sejak dulu Alvino selalu impulsif. Melakukan hal yang diinginkan tanpa mau tahu ataupun bertanya perasaan orang lain.
Kirara menggeleng seraya menyentak napasnya. Berhenti memikirkan dia dan masa lalu! Sekarang, sudah saatnya dia harus berani menghadapi Alvino.
Pikir dipikir, tidak mungkin juga jika dia harus kembali bersembunyi seperti dulu, sedangkan Alvino sudah tahu di mana tempatnya bekerja. Jadi, mau tidak mau ke depannya mereka akan terus bertemu.
Tetapi, sampai kapan hatinya akan sanggup menatap wajah pria yang dengan cepat berhasil mencuri hatinya dulu?
Tok, tok.
"Masuk." Kirara yakin itu adalah Alvino.
Oke, jangan pikirkan yang lain! Pikirkan Davin, kekasihmu! Monolog Kirara dalam hati. Ada sedikit rasa janggal yang tidak enak dengan pertemuan ini. Sebaiknya, nanti dia memberitahukan hal ini pada Davin.
Setelah memutuskan akan sungguh-sungguh memikirkan hubungannya dengan Davin, Kirara jadi serba mempertimbangkan apa yang harus dan apa yang ingin dia lakukan.
Apakah Davin menyukainya atau akan terluka? Meski jujur ... melakukan ini rasanya sedikit lelah.
Apakah kali ini dia juga salah bersikap? Entahlah, sebaiknya dia coba dulu meski melelahkan. Davin sudah sangat baik pada dirinya dan putrinya.

Bình Luận Sách (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    1d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    28d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất