logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 9 Bersama Pak Guru

Saat hendak pulang, Rahma sedikit heran. Pasalnya, tas Dedi masih berada di dalam lacinya. Tidak seperti biasanya? Tidak seperti biasanya pula, Dedi membolos materi pelajaran yang terakhir.
Rahma membawa tas Dedi, ditentengnya. Di depan kelas, dia bertemu dengan Mega dan menanyakan padanya apakah tahu Dedi dimana. Mega hanya memberitahu bahwa terakhir bertemu, Dedi bersama Roni, Jaka dan teman-temannya.
”Setelah itu, aku tidak tahu dimana dia?”
Bahaya! Ada kepanikan di wajah Rahma. Hendak bertanya pada Deri atau Jaka, tapi telah pulang dan tak terlihat.
”Memangnya ada apa Rahma?”
”Dedi dalam bahaya, geng-nya selalu mengerjai siswa-siswa disini. Terutama, pada Dedi. Aku harus mencari Dedi.”
”Aku ikut.”
”Baiklah, ayo.”
Saat hendak melangkah, sebuah suara mengagetkan mereka.
”Mega!”
Kepala Sekolah Karya Mukti berdiri di koridor, ”Ayo pulang sama Papi, Mami sudah menunggu di rumah, katanya masak spesial buat kita.”
Mega merasa tak enak pada Rahma.
”Sudahlah tak apa-apa, pulanglah. Insyaallah, tidak akan terjadi apa-apa pada Dedi,” Rahma mengangguk dan meyakinkan. Mega mengangguk, dan segera menuju Papinya, lalu meninggalkan Rahma. Rahma segera bertolak, dan mencari di sepanjang koridor.
Setengah jam berlalu, tak menemukan apa-apa.
”Kamu mencari apa Rahma?” suara Darma, Ketua Bidang Keputrian OSIS mengagetkannya.
”Mencari temanku, si Dedi.”
”Si pendiam dan aneh itu?”
”Walau pendiam dan aneh, tapi sebenarnya dia itu baik Dar.”
”Iya-iya, maafkan aku sudah suudzon padanya.”
Mereka saling tersenyum.
”Aku mempunyai firasat buruk padanya, karena terakhir kali Dedi terlihat bersama geng-nya Roni. Menurut pendapatmu, kira-kira dimana Dedi sekarang Dar?” Rahma tahu, tentang kemampuan daya analisis teman satu organisasinya itu, walau lain kelas, tapi daya analisa Darma demikian tajam jika mengungkap kasus, atau strategi untuk kegiatan-kegiatan OSIS.
”Ikut aku,” Darma berjalan menelusuri koridor diikuti Rahma.
”Mau kemana Dar?”
”Menurut analisisku, tadi beberapa lelaki berbincang bahwa toilet pria sedang rusak. Ada kertas ditempel di pintunya, katanya toilet sedang diperbaiki.”
”Memangnya kenapa Dar? Tidak ada yang aneh kan?”
”Coba kamu pikir dulu Ma, bukankah seluruh toilet di sekolah baru direnovasi dua bulan yang lalu, semuanya,” Darma berbalik sambil tersenyum kecil.
Rahma mulai menggali pikirannya, benar juga. Kini, Rahma berjalan lebih cepat dan membalap Darma, tak peduli ada beban berat dua tas yang dibawanya. Tujuannya adalah toilet laki-laki.
Dan benar saja, di pintu toilet itu tertulis sedang diperbaiki. Rahma memaksa buka gagang pintu, naik-turun. Terkunci, dan kuncinya tak ada. Rahma menggedor pintu.
”Ada orang di dalam?”
Rahma berbalik melihat Darma di belakangnya, ”Minta kunci sama pak Minto ya Dar?”
”Siap Bu,” Darma berlalu, panggilan Bu selalu membuatnya sedikit geli, hanya karena menjadi ketua OSIS wanita pertama di Sekolah Karya Bakti. Tapi, senyumnya segera hilang saat melihat celah lubang kunci di pintu itu.
Ya. Seorang tengah terduduk selonjor, dengan mulut dan tangan terikat baju putih seragam, dan kedua kakinya terikat dengan celana biru. Ini keadaan terpaksa.
Bismillah. Jadilah Rahma mendobrak pintu itu sekuat tenaga. Pintu jebol, dan Rahma terperanjat, berusaha tenang dan mendekati Dedi yang matanya masih sayu menatap dirinya. Dedi hanya memakai kolor sepanjang lututnya dan kaos putih, dan bau urine demikian menyeruak.
Sebegitu kejamkah mereka?
Rahma tak bersuara sama sekali, dia tahu benar karakter Dedi. Tangannya lembut terulur, membuka ikatan tangan dan penyumpal mulut, yaitu baju seragam putih milik Dedi. Suasana demikian lengang. Mereka berdua terdiam dalam imajinasi masing-masing.
Ikatan itu terlepas, ”Kenapa kau menolongku?”
Kini, Rahma yang diam saja, tak menanggapi kata-kata Dedi. diambilnya baju putih itu, dan diserahkan kembali pada Dedi, lalu memberi isyarat dengan matanya agar memakainya kembali.
”Katakan padaku, kenapa kau tolong aku?” Dedi menatap wajah berjilbab di depannya itu, tapi mata jernih itu menatapnya sekilas lalu tertunduk kembali. Dedi tak menemukan jawaban apa-apa di mata jernih itu.
”Untuk menolong sesama manusia, apakah perlu sebuah alasan? Bukankah kita lahir ke dunia juga tak pernah bertanya alasannya?”
Dedi memakai baju putihnya, tanpa dikancingkan, ”Ternyata kau lebih aneh dariku Rahma!”
Rahma tersenyum kecil, tangannya tergerak hendak membuka ikatan di kaki Dedi. ikatan dengan celana biru itu, ”Kenapa kau tak mencoba berteriak dari sini? Mungkin ada yang lewat dan mendengar suaramu bukan?”
”Hentikan! Aku bisa sendiri,” Dedi membuka ikatan di kakinya sendiri, ”Aku hanya berdoa, agar semuanya berakhir. Mungkin, jika pergi dari dunia ini, itu lebih baik bagiku.”
”Kau tak boleh bicara sembarangan Ded.”
”Itu kenyataannya.”
”Besok, aku akan melaporkan perbuatan mereka ini Ded.”
”Jangan! Jika kau melaporkannya, kau tak akan melihatku ada di sekolah ini lagi.”
”Apa maksudmu?”
”Sudahlah!” Dedi berdiri dan memakai celana birunya kembali. Dedi melangkah melewati Rahma.
”Tapi, kau harus berani menghadapi mereka Ded.”
Dedi berhenti di ambang pintu, wajahnya menoleh ke belakang. Lagi-lagi, kedua sorot mata itu bertemu.
”Aku sedang mengumpulkan keberanian itu Rahma! Tak perlu mengajariku tentang keberanian.”
”Tapi...,”
”Kalian?” Darma berdiri di depan toilet itu, memegang sebuah kunci, pak Minto di belakangnya.
”Aku mendobraknya Dar.”
”Sebenarnya ini ada apa to? Kenapa adik ini tiba-tiba terburu-buru datang meminta kunci toilet?” pak Minto bertanya penuh penasaran.
”Tidak apa-apa Pak, saya terkunci di toilet ini,” Dedi tak berucap apa-apa lagi, dia mulai melangkah meninggalkan mereka bertiga.
”Ded,” Rahma mengambil tas di dekat pintu. Tas milik Dedi.
”Ada apa?”
”Tasmu,” Rahma menghulurkan tas Dedi.
Dedi berbalik dan mengambil tas itu, lalu pergi lagi, melalui koridor-koridor. Jalannya sedikit linglung, dan seluruh seragamnya tampak kusut. Rambutnya juga terlihat acak-acakkan. Dedi terus melangkah, hingga hilang dari tikungan kearah luar sekolah.
”Katakan Rahma, sebenarnya ada apa?”
”Iya, Bapak jadi penasaran?” pak Minto ikut prihatin.
Rahma tersenyum kepada kedua orang yang memandanginya, ”Tak ada apa-apa, Dedi terkunci karena pintunya rusak. Makanya, saya terpaksa mendobraknya tadi, maaf ya Pak, pintunya jadi rusak.”
Jauh, diantara sorot mata Rahma, ada satu bagian yang tersisa kosong. Memikirkan keadaan Dedi, pastilah selain terkunci di toilet, ada penyiksaan yang dia tidak tahu seperti apa penyiksaan itu. Dan kembali, rajut benang kehidupan harus tetap disulam, tak peduli sudah seindah apapun sulamannya.
Angin kembali bertiup, seperti sediakala, menjadi saksi setiap nyata wujud kehidupan. Langit kembali pula memancar biru, matahari panas memanggang, dan mendung kadang menimpalinya.

Bình Luận Sách (97)

  • avatar
    Izz Hafizi

    Sangat terkesan, terima kasih penulis karya.. Terus hasilkan lebih banyak karya ya..

    10/06/2022

      0
  • avatar
    HOETAMAEDBERT

    mantap

    07/04

      0
  • avatar
    88Yasiman

    mantap

    01/02

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất