logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 9 Tentang Perasaan

Elfarehza dan Alyssa
El termenung menunggu Al di depan gedung. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang mampu mencuri perhatiannya. Selama ini El tidak pernah dekat dengan siswi manapun, berbeda dengan Brandon dulu saat seusianya.
“Lama banget sih, Dek,” keluh El begitu melihat Al keluar dari pintu gedung.
“Tadi aku … ngobrol sama teman dulu,” sahut Al.
Mereka berdua sekarang melangkah menuju gerbang. Mobil pasti sudah standby di sana.
“Eh, sebentar,” tahan El menarik tangan adiknya.
Kening Al berkerut bingung. “Ada yang ketinggalan?”
Senyuman terbit di bibir El. “Jadi namanya Syifa ya?”
Al memutar bola mata malas. “Aku udah jawab dari tadi, Bang. Namanya As-syifa Syauqiyyah, satu kelas sama aku.”
“Kamu dekat nggak sama dia?”
Gadis itu menyenggol lengan El sambil mengerling usil. “Abang suka ya sama dia? Aku bilangin Papi loh.”
El panik seketika, lantas memegang tangan Al. “Jangan bilang Papi dong, Dek. Nggak seru nih kamu.”
“Bercanda kok, Bang. Habis dari tadi kepo mulu. Tanyain Syifa terus,” cibir Al jail.
Dia menarik napas panjang sebelum meneruskan perkataannya. “Aku nggak terlalu deket sama dia. Kenal karena satu kelas doang. Anaknya pendiam dan nggak banyak ngomong.”
“Oya? Biasanya tipe kayak gitu pasti nggak punya pacar,” tebak El percaya diri.
“Huuu … belum tentu. Biasanya yang diam-diam itu suka menghanyutkan, Bang.”
El memangku kedua tangan di depan dada. Mata cokelatnya mengecil sesaat.
“Feeling Abang sih, dia nggak begitu.”
Al berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Abang udah mulai terserang virus nih.”
“Virus apaan?”
“Ya virus cinta dong, masa virus zombie.”
Bibir El melengkung ke bawah. “Kayaknya belum deh, Al. Masih tahap suka, belum cinta.”
“Syukurlah. Bahaya ketahuan Papi kalau Abang sampai pacaran.” Al menakut-nakuti kakaknya.
“Jangan sampai Papi tahu. Ini rahasia kita berdua,” pinta El dengan tatapan memelas.
Al mendesah pelan, lalu menganggukkan kepala. “Nasib jadi orang baik, nggak tega lihat nih muka,” celetuknya menunjuk wajah sang Kakak.
“Ke mobil sekarang yuk. Kasihan supir pasti lama nungguin kita,” ajak Al menarik tangan El.
“Jangan bahas ini di mobil juga ya, Al.”
“Kenapa? Takut supir ngadu?” selidik Al, “aduh, Bang. Selama ini kita cerita di mobil juga nggak sampai ke Papi dan Mami kok. Artinya supir bisa dipercaya, ‘kan?”
El mengangguk pelan. Dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Al. Sejauh ini curhatan dan keluh kesah mereka di mobil tidak pernah sampai ke telinga Brandon dan Arini.
“Tetap aja kudu hati-hati, Al. Papi kalau marah suka serem.”
“Sereman juga Mami lagi marah.”
Pemuda itu tertawa pelan. “Tapi seramnya kalau marah sama Papi. Kita nggak pernah dimarahin kayak gitu.”
Mereka berdua cekikikan ketika ingat betapa menyeramkannya Arini marah kepada Brandon.
“Untung Papi bucin ya, Bang.”
El mengangguk cepat. “Kalau Mami udah marah sampai nggak berkutik.”
“Eh, Bang.” Langkah mereka kembali berhenti tepat di dekat gerbang.
“Kenapa, Dek?”
“Nggak mau coba minta Mami bujuk Papi? Biasanya Papi nurut tuh kalau Mami yang ngomong.”
“Minta apa?”
“Ya motor dong, Bang. Tumben lemot?” ledek Al gemas.
El terdiam seperti berpikir. “Ntar Mami marah.”
“Coba aja dulu,” saran Al.
“Entar deh. Abang pikirin dulu.”
Keduanya kembali bergerak menuju mobil yang sudah menunggu di dekat gerbang sekolah.
Lima belas menit kemudian, mobil sedan keluaran BMW tersebut tiba di pekarangan keluarga Harun. El dan Al keluar lantas bergegas masuk ke rumah.
“Mami udah di rumah?!” seru El dan Al serentak begitu melihat Arini duduk di ruang keluarga.
“Lagi kepengin pulang cepat aja, biar bisa tunggu kalian datang,” sahut Iin sambil membentangkan kedua tangan, menyambut kedua buah hatinya.
El dan Al langsung mempercepat langkah memeluk Arini. Sebuah kecupan diberikan bergantian di kening mereka satu per satu.
“Gimana perasaan kalian hari ini?” tanya Iin melihat mereka bergantian.
“Baik banget, Mi,” jawab El semringah.
“Princess gimana?”
“Biasa aja. Kayak sebelum-sebelumnya,” tanggap Al.
“Papi udah pulang belum, Mi?” Giliran El yang bertanya sekarang.
“Belum. Masih di kantor. Lagi banyak kerjaan katanya.”
El manggut-manggut. “Aku mandi dulu ya. Nanti ada yang mau diomongin sama Mami.”
Arini tersenyum penuh makna. “Kayaknya ada kabar baik nih. Kamu ceria banget hari ini.”
“Entar aja ya, Mi. Aku mandi dulu.” El kembali berdiri lantas bergegas ke lantai dua.
“Aku juga mau ke kamar ya, Mi,” pamit Al disambut anggukan kepala oleh Arini.
Wanita itu memandangi kedua buah hatinya yang menghilang di ujung bagian atas tangga.
***
“El.” Terdengar suara Arini memanggil di sela ketukan pintu kamar.
“Ya, Mi,” sahut El segera melangkah menuju pintu.
Senyuman mengembang di wajah sang Ibu ketika pintu terbuka lebar. Dia menatap putranya dengan penuh kelembutan.
“Boleh Mami masuk?”
“Kamarku selalu terbuka untuk Mami tercinta,” ujar El menarik tangan Iin masuk ke kamar.
Wanita itu mengusap lembut puncak kepala El sambil berdecak.
“Kamu ini pintar banget merayu, sama kayak Papi.”
“Oya?” El kemudian duduk di pinggir tempat tidur.
Arini mengangguk. “Papi kamu suka begitu tuh. Trus nurun ke Bang Farzan, sekarang kamu juga.”
El menatap lekat Iin sambil tersenyum. “Habis Mami cantik banget sih. Makanya Papi jadi bucin.”
Iin tertawa mendengar perkataan El. “Kamu ternyata udah besar sekarang ya?”
Anak laki-laki itu menundukkan kepala malu-malu.
“Kamu mau ngomong apa sama Mami?” tanya Arini.
“Janji nggak marah kalau El ngomong ya, Mi?”
Arini mengangguk lagi. “Mami nggak marah kok.”
El hening sesaat, sementara Iin menunggu putranya berbicara. Dia memandang wajah anak itu dengan saksama.
“Kenapa sih Papi sering larang aku dan Al pacaran? Padahal dulu Papi juga pacaran.”
Senyum usil terbit di wajah Iin.
“Ada yang kamu suka ya?” tebaknya.
Kening El berkerut ketika tidak melihat ekspresi marah atau sejenisnya dari Arini.
“Mami nggak marah?”
“Buat apa marah? Menyukai seseorang itu wajar, Sayang. Tandanya kamu punya perasaan. Yang bikin bahaya, kalau kamu nggak bisa mengendalikan perasaan itu.”
“Maksud Mami?”
Arini mengambil tangan El, lantas memberi usapan lembut di punggung tangannya.
“Perasaan dalam diri manusia itu beragam. Sedih, marah, benci, suka dan lain-lain.” Dia berhenti sebentar lantas mengambil napas panjang. “Marah wajar, ‘kan?”
El manggut-manggut.
“Nah yang nggak wajar itu marah berlebihan. Artinya kamu nggak bisa lagi mengendalikan perasaan kamu sendiri. Rasa sedih juga begitu. Kita boleh sedih atas duka, tapi nggak boleh berlebihan. Sama halnya dengan perasaan suka dan cinta.”
Pemuda itu memilih diam mendengarkan perkataan Arini hingga selesai.
“Kalau merasakan suka dengan seorang perempuan, artinya hati kamu masih berfungsi. Normal. Tapi kalau kamu nggak bisa mengendalikan perasaan bisa bahaya. Ada banyak contoh di luar sana. El tahu, ‘kan?”
“Ada yang stress karena putus cinta, bahkan bunuh diri. Ada juga yang dibunuh karena … hamil duluan,” sahut El menurunkan suara di ujung kalimat.
“Sekarang kamu tahu kenapa Papi larang kamu pacaran, ‘kan?”
“Tapi, Mi. El nggak bakalan kayak gitu. Nggak macam-macam juga.”
“Semua orang pada awalnya juga berpikiran sama kayak kamu, El. Tapi pada akhirnya nggak bisa lagi mengendalikan perasaannya, sehingga keluar dari jalur yang seharusnya.” Arini menatap lembut El sambil mengusap pinggir kepalanya.
“Zaman sekarang udah berubah, Sayang. Nggak sama lagi dengan waktu Mami dan Papi dulu.” Iin kembali menarik napas panjang.
“Mami nggak akan larang El berteman dengan siapapun. Termasuk dengan orang yang kamu sukai, asal jangan sampai melewati batas,” sambungnya kemudian.
Kepala El bergerak ke atas dan bawah dengan pelan, paham maksud perkataan Arini. Dia hanya diberikan izin berteman, bukan berpacaran.
“Mi,” desis El.
“Kenapa, Sayang?”
“Bantu bujuk Papi biar mau belikan motor ya? El pengin banget pake motor ke sekolah,” pinta El dengan tatapan memelas.
Arini tersenyum lembut sehingga kedua lesung pipi terlihat. “Insya Allah, nanti Mami coba ya. Tapi mungkin butuh waktu yang lama. Kamu tahu gimana keras kepalanya Papi, ‘kan?”
“Tahu kok. Makanya minta tolong sama Mami, karena lunaknya cuma sama Mami doang.” El nyengir kuda.
Arini menyipitkan mata, kemudian berdecak. Sebuah kecupan diberikan di kening El.
“Mami coba dulu ya.”
“Makasih ya, Mi.”
“Anything for you, Dear,” sahut Iin sambil berdiri. “Mami ke kamar Al dulu. Kayaknya lagi ada yang dipikirkan deh.”
El kemudian mengantarkan Iin sampai pintu. Dia melihat sang Ibu menghilang di balik pintu kamar Al yang ada di sebelah kamarnya.
“Semoga aja Mami berhasil membujuk Papi,” gumamnya sambil menangkup tangan di dada.
Bersambung....

Bình Luận Sách (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất