logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Diam-diam Diperhatikan

Elfarehza
Netra cokelat El melihat Arini dan Brandon bergantian ketika sedang duduk di meja makan. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, namun kembali tertutup. Dia memilih menandaskan sarapan terlebih dahulu, sebelum berbicara dengan kedua orang tuanya.
“Papi.” El bersuara ketika melihat Bran menyeka sudut bibir dengan serbet.
“Kenapa, El?” Brandon mengalihkan pandangan kepada putranya.
“Belikan motor dong, Pi. Masa aku ke sekolah dianterin supir terus?” desisnya takut.
Bran mendesah pelan lantas meletakkan serbet di atas meja. Mata sayunya menatap lekat El.
“Kamu masih belum cukup umur untuk dibelikan motor, El.”
“Teman-temanku semua pakai kendaraan sendiri ke sekolah. Cuma aku aja yang masih dianterin supir. Belikan ya, Pi,” pinta El dengan sorot memelas.
Brandon menggeleng tegas. “Papi udah bilang sebelumnya, ‘kan? Kamu dibelikan kendaraan setelah cukup umur.”
“Tapi, Pi—”
“Nggak ada tapi, El! Sekali Papi bilang A ya harus A, nggak bisa ditawar lagi! Mengerti?” tegas Bran.
Arini hanya diam mendengar perkataan suaminya. Dia hanya mengusap punggung Bran seakan mencoba menenangkan.
“Belikan saja, Bran. Toh kamu dulu juga pakai motor sendiri ke sekolah. Antar jemput Arini juga,” komentar Sandy mengerling ke arah Iin.
“Benar, Bran. El sebentar lagi kelas dua belas, pasti butuh kendaraan sendiri juga ke tempat les,” imbuh Lisa.
“Nggak bisa, Ma Pa. Kondisi di jalanan sekarang beda dengan dulu. Peraturan semakin ketat, belum lagi diberlakukan ganjil dan genap juga. Razia pun makin sering,” sanggah Bran beralasan.
“El akan ikuti peraturan, Pi.” Elfarehza masih kekeh minta dibelikan sepeda motor.
“Kamu nggak tahu situasi sekarang, El. Semua udah berubah.” Brandon masih bersikeras dengan pendapatnya.
Arini memejamkan mata sambil menggelengkan kepala, memberi kode agar El tidak lagi menyanggah. Dia khawatir jika Bran marah sebelum mereka berangkat ke sekolah.
Al memilih diam mendengar perdebatan di meja makan pada pagi hari ini. Dia larut dengan pikiran sendiri.
“Berangkat sekarang ya, Prince dan Princess. Mami antar ke depan.” Arini berdiri lantas mengulurkan tangan kepada kedua buah hatinya.
Dia harus bertindak untuk menyelamatkan keadaan. Iin tidak ingin Bran marah pagi-pagi, karena bisa memengaruhi mood El dan Al dalam belajar.
“Maksud Papi baik, El. Papi nggak mau kamu nanti kenapa-napa di jalan. Lihat aja sekarang banyak pengendara yang ugal-ugalan, ‘kan?” tutur Iin ketika tiba di pintu rumah.
El hanya mengangguk lesu, lantas bersalaman dengan Arini. Al juga melakukan hal yang sama berpamitan kepada ibunya. Mereka berdua langsung menaiki mobil sedan yang telah standby di pekarangan rumah.
“Alasan Papi dibuat-buat nggak sih, Al? Kayaknya nggak percaya banget sama aku,” kata El setelah duduk di dalam mobil.
Alyssa mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu, Bang. Papi itu sering larang ini itu. Mami juga diam aja. Padahal menurut cerita Nenek dan Kakek, mereka dulu sering ke sekolah pake motor sebelum Papi punya SIM.”
El mendesah keras dengan wajah mengerucut. “Abang diledekin terus sama anak-anak karena masih dianterin ke sekolah, Al.”
Gadis itu hanya menepuk pundak belakang kakaknya. Suasana mobil kembali hening.
***
Alyssa
Al sedang memasang sepatu setelah menunaikan salat Zuhur. Setelahnya dia duduk termenung di bangku musala beberapa saat sambil menatap nanar ke arah kelas sebelas yang ada di seberang. Keinginan untuk bergabung dengan geng populer di sekolah masih menggelayuti hatinya.
Sementara, seorang pemuda duduk di bangku yang ada di tempat pintu keluar jamaah laki-laki. Dia memandang Al yang masih termanggu, asik dengan pikiran sendiri. Sebuah senyum kagum terbit di paras tampan itu melihat siswi cantik rajin menunaikan salat wajib.
“Kayaknya ada yang lihatin kamu dari tadi tuh, Al,” ujar seorang siswi duduk di samping Al tanpa disadari.
Al terkesiap lantas mengalihkan pandangan kepada siswi berambut ikal, panjang sepunggung. Keningnya berkerut tidak paham dengan maksud perkataan gadis yang juga teman satu kelas Alyssa.
Gadis itu mengerling ke arah pintu masuk jamaah laki-laki. Tilikan mata hitam kecil Al berpindah ke tempat yang dimaksud. Dia melihat seorang pemuda sedang tersenyum menyapa dirinya. Alyssa hanya menanggapinya dengan ekspresi datar.
“Anak rohis (Rohani Islam) tuh. Tumbenan dia senyum sama cewek. Biasanya beuh dingin banget kayak es, padahal ganteng loh,” komentar Ulfa.
Al merekam penampilan pemuda yang dimaksudkan ulfa. Rambut rapi selaras dengan pakaian yang licin tanpa kerutan.
“Kamu sejak kapan duduk di situ?” tanya Al tidak menanggapi perkataan Ulfa barusan.
“Sejak kamu melamun. Mikirin apa sih serius banget?”
Al mengangkat bahu. “Mau turun ke bawah sekarang nggak?”
“Nggak mau ngobrol dulu?” goda Ulfa menyikut lengan Al.
Netra Al menyipit sebentar, lantas tergelak. “Apaan sih? Nggak kenal juga.”
Keduanya berdiri, bersiap melangkah menuju tangga.
“Kirain kenal, kemarin itu aku lihat kamu ngobrol sama dia.” Ternyata Ulfa masih kepo.
“Kapan ya?” Kening Al kembali berkerut.
“Itu waktu selesai salat Zuhur. Kamu lupa?”
Bola mata Al terangkat ke atas ketika berusaha mengingat kapan bertemu dengan pemuda tersebut.
“Oh, iya. Aku baru inget.” Al melihat Ulfa sebentar. “Dia cuma kasih mukena yang ketinggalan di atas bangku kok.”
“Feeling aku nih ya, Al. Dia itu tertarik sama kamu loh.” Ulfa menaik-naikkan kedua alis ke atas.
Al mengibaskan tangan sambil berdecak. “Nggak mungkin. Anak rohis ‘kan nggak ada yang pacaran.”
“Siapa bilang? Duh siapa itu namanya aku lupa. Pokoknya dialah, pacaran backstreet tuh. Tapi nggak kayak yang lain sih.”
“Lagian kalau dia suka, nggak akan ngaruh kali. Aku aja nggak dibolehin pacaran sama Papi,” tanggap Al duduk di kursi ketika tiba di kelas.
“Bisa backstreet, Alyssa,” kata Ulfa gemas.
Al menggelengkan kepala. “Serem kalau ketahuan sama Papi. Bisa-bisa ….” bisik Al sambil mengarahkan jari telunjuk ke leher.
“Kalau gitu sahabatan aja kayak Papi dan Mami kamu dulu. Sweet banget ‘kan kalau sampai nikah nanti.”
“Kamu aja gih yang kayak gitu. Aku nggak mau. Gelay,” canda Al terkekeh.
Keduanya terdiam beberapa saat ketika Al kembali larut dengan pikirannya.
“Eh, Fa. Geng Jelita. Kriteria buat deketin mereka apa ya? Kayaknya seru tuh bisa deket, bisa belajar modis juga.”
Ulfa bergidik mendengar pertanyaan Al. Kepalanya menggeleng cepat.
“Nggak ada tempat buat anak kayak kita, Al.”
“Kenapa?”
“Menurut info yang aku denger, mereka nggak akan mau bergaul dengan siswa yang nggak selevel dengan mereka,” tutur Ulfa setengah berbisik.
“Maksudnya secara materi?”
Kepala Ulfa kembali berputar ke kanan dan kiri. “Bukan begitu maksudnya. Secara materi udah jelas kamu lebih kaya dari mereka.”
“Trus apa dong?”
“Penampilan, Al. Mereka maunya terima orang-orang yang tampil modis kayak mereka. Rok pendek dan ketat. Baju juga sama.” Ulfa mendekatkan kepala ke telinga Al, lantas berbisik, “Di luar sekolah, penampilan mereka parah banget.”
“Parah gimana?” Al semakin penasaran.
“Tanktop dan hotpants. Kamu mau pakai baju kayak gitu?” tanya Ulfa membuat wajah Al mengernyit ngeri.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya, jika ikut berpenampilan seperti itu? Jiwa remaja Al memberontak, menginginkan kebebasan dalam berekspresi, termasuk ekspresi dalam penampilan.
Desahan pelan keluar dari sela bibir Alyssa ketika melihat kerudung yang menutupi kepala sejak masih berusia lima tahun. Jauh dari lubuk hati terdalam, dia belum siap mengenakannya.
Bersambung....

Bình Luận Sách (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất