logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 11 Forgetness

Arini dan Brandon
Arini meregangkan tangan ke atas setelah mempelajari beberapa proposal kerja sama proyek pembangunan resort. Dia mengurut pundak yang terasa pegal. Hari ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pagi hari ada tiga meeting, setelah istirahat makan siang disambut dengan beberapa dokumen proyek dan proposal yang harus dipelajari.
Tilikan mata cokelat lebarnya beralih ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 15.00. Sesaat kemudian Iin teringat dengan janji yang telah diucapkan kepada El dan Al untuk membuatkan masakan kesukaan mereka.
“Astaghfirullah, kayaknya nggak bisa pulang cepat,” gumamnya pada diri sendiri.
Wanita berparas cantik itu segera meraih tas dan mengambil ponsel dari sana.
“Lho kok ponselnya nggak ada?” desis Iin panik.
Dia mencari di dalam laci, tetap tidak menemukan ponselnya. Di atas meja juga tidak ada.
“Apa gue nggak bawa dari pagi ya?” desahnya pelan.
Tangannya kemudian beranjak mengambil gagang telepon kantor di sisi kanan meja kerja. Baru saja ingin menekan tombol, Arini kembali termangu karena tidak ingat dengan nomor ponsel El dan Al. Sejak dulu, dia malas menghafal nomor telepon. Hanya nomor Brandon yang tersimpan di dalam memorinya.
“Bran,” cetusnya langsung berdiri.
Dia harus ke ruangan Brandon yang ada di lantai dua belas. Satu-satunya cara untuk menghubungi El dan Al sekarang adalah dengan menggunakan ponsel Bran.
“Saya mau ke ruangan Bapak dulu. Kalau ada yang cari hubungi ke extension Pak Brandon aja ya,” ucap Iin kepada sekretarisnya.
“Baik, Bu,” sahut sang Sekretaris.
Wanita itu segera langkah menuju lift yang akan mengantarkannya ke ruangan Bran. Tak perlu menunggu lama, lift langsung terbuka. Iin menekan tombol angka dua belas. Beberapa saat kemudian, pintu lift kembali terbuka. Kakinya melangkah ringan ke ruangan Komisaris Utama.
“Bran ada di dalam, Pak Habib?” tanya Iin kepada pria yang telah mengabdikan diri selama delapan belas tahun menjadi sekretaris Bran.
“Ada, Bu. Hari ini tidak ada jadwal meeting,” jawab Habib.
“Makasih ya, Pak.”
Arini membuka pintu ruangan dan melihat Brandon sedang tersenyum lebar melihat ponsel. Matanya menyipit curiga mendapati suaminya seperti itu.
“Nah, ini Kakakmu datang,” kata Bran sambil menggamit Iin agar mendekat ke arahnya.
Kening wanita itu berkerut bingung. “Apa sih?”
Brandon mengarahkan ponsel kepada Iin, sehingga wajah orang yang sedang melakukan video call dengannya terlihat. Tergambar jelas kelegaan di paras wanita itu. Ternyata dugaannya salah.
“Hai, Dek. Pa kabar?” Dalam hitungan detik ponsel Bran berpindah tangan.
Mereka berdua kini duduk berdampingan di sofa panjang berbahan kulit dengan kualitas premium.
“Kakak nggak pa-pa, ‘kan? Tadi aku telepon ke ponsel Kakak nggak diangkat-angkat, jadinya VC ke ponsel Mas.” Tampak raut khawatir di wajah Farzan.
Anak itu sekarang tumbuh menjadi pria yang tampan, mirip dengan Brandon dulu. Hanya saja masih kalah tinggi dari Kakaknya.
Arini tersenyum lebar. “Kakak baik-baik aja. Tadi lupa bawa handphone, baru aja nyadar.”
“Tuh dengar sendiri, ‘kan? Kalau kenapa-napa pasti Mas yang tahu duluan,” komentar Bran.
Farzan nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala.
“Gimana kuliah, Dek?” tanya Iin.
“Biasa, Kak. Makin susah ternyata,” jawab Farzan dengan wajah berkerut, “bakalan lama nih mendekam di sini.”
“Makanya kuliah yang serius di sana, Zan. Jangan keluyuran. Hati-hati dalam bergaul,” tutur Brandon.
“Iya, Mas. Ini aja aku fokus terus belajar, sampai lupa udah berapa lama jadi jomlo,” canda Farzan terkekeh.
Mereka berbincang selama beberapa saat, sebelum panggilan berakhir.
Bran menatap lekat wajah istrinya yang tampak lebih lelah dari biasa. “Kamu beneran nggak pa-pa, Sayang?”
“Dih, kamu jadi ikutan parno nih gara-gara Farzan.”
“Bukan gitu. Capek banget tuh wajah.” Bran membelai lembut wajah istrinya.
“Kiss dulu dong biar capeknya hilang,” pinta Iin sambil memajukan bibir ke depan.
Bran tertawa pelan, lantas mulai bermain dengan bibir mungil istrinya. Inilah yang biasa mereka lakukan untuk menghilangkan stres di tengah kesibukan pekerjaan. Terkadang jika lelah, pria itu yang mencari Arini ke ruangannya.
Senyuman tergambar di paras keduanya setelah tautan bibir terlepas. Hormon stress hilang seketika setelah aktivitas barusan.
“Kok bisa lupa bawa handphone sih, In?” bisik Bran memandang mata cokelat Iin bergantian.
“Mungkin karena buru-buru jadinya lupa masukin ke tas.”
Desahan pelan keluar dari bibir Bran. “Belakangan ini kamu sering lupa, Sayang.”
“Sibuk karena kerjaan banyak, jadinya gampang lupa,” kata wanita itu beralasan.
“Kayaknya kita butuh piknik deh, In. Gimana kalau jalan-jalan ke Raja Ampat aja?” usul Bran.
“Raja Ampat?”
Bran menganggukkan kepala. “Iya, sekalian mewujudkan honeymoon yang sempat tertunda. Kamu masih ingat nggak rencana kita dulu? Sampai sekarang belum kesampaian.”
“Bran?” Mata Arini melebar.
“Kenapa? Kita harus coba, Sayang. Ganti suasana.”
“Masa kita bercinta di pinggir pantai sih?” Iin menggelengkan kepala.
Dulu waktu awal-awal menikah, Brandon pernah merencanakan bulan madu ke Raja Ampat. Dia ingin melakukan sesuatu yang ekstrim, bercinta di pinggir pantai. Tentu saja Arini keberatan, khawatir jika ada yang mengintip.
“Kenapa nggak?” goda Bran tersenyum nakal.
“Anak-anak pasti nanti ikut.”
“Kita coba aja ajak mereka dulu, kalau nggak mau kita aja yang pergi berdua.” Jari telunjuk Brandon bergerak dari pangkal hingga ujung hidung istrinya. “Kamu harus refreshing. Aku nggak mau kamu kenapa-napa, Sayang.”
Arini tersenyum lembut, lantas memberi kecupan singkat di bibir Bran. “Makasih udah ada untukku sampai sekarang. Kita udah melewati saat yang berat sebelumnya. Aku nggak mau bikin kamu khawatir lagi, Bran.”
Brandon menganggukkan kepala, kemudian menarik Arini ke dalam pelukan. “Ke pantai yuk,” bisiknya.
“Aku udah janji mau masak makanan kesukaan anak-anak hari ini, Sayang. Besok aja ya.”
Pelukan melonggar, sehingga mereka kembali berhadap-hadapan sekarang.
“Ya udah, besok kita ke pantai. Paling nggak kamu bisa refreshing sebentar lihat laut.”
“Iya, Suamiku sayang.”
“Pulang sekarang?”
“Yuk! Aku ke ruangan dulu ambil tas. Tadi ke sini pengin pinjam ponsel kamu buat telepon anak-anak.” Arini langsung berdiri.
“Barengan aja, In. Sekalian turun ke bawah juga.” Bran bergerak menuju meja kerja mengambil tas.
Mereka berdua berjalan beriringan ke luar ruangan.
“Pak Habib, tolong kosongkan schedule dalam minggu depan. Saya mau honeymoon dulu sama Iin,” ujar Bran begitu tiba di luar ruangan.
“Siap, Pak. Nanti saya atur,” sahut Pak Habib.
“Salam buat istri dan anak-anak ya, Pak,” pungkas Arini sebelum meninggalkan sekretaris Bran sendirian.
Suami istri itu segera beranjak menuju lift.
“Pak Habib masih segar ya. Padahal umurnya udah nggak muda lagi.” Iin memecah keheningan ketika mereka berada di dalam lift.
“Begitulah. Belum mau pensiun juga. Katanya suntuk di rumah nggak ada kegiatan.”
“Syukurlah. Daripada kamu cari sekretaris baru lagi,” balas Iin menyipitkan mata.
“Apaan itu maksud tatapan kamu?” selidik Bran dengan kening berkerut.
Sesaat kemudian pria itu tertawa. “Ya Allah, In. Kamu takut kalau aku cari sekretaris wanita yang muda?”
Arini memutar bola mata, lantas mencubit pinggang suaminya.
Bran tertawa geli merasakan sengatan semut di pinggang. Semenjak kenal dengan Iin, bagian tubuh yang satu itu kerap menjadi sasaran empuk sang Istri. Ibarat samsak yang selalu menjadi sasaran pukulan seorang petinju.
Setelah mengambil tas dari ruangan, kedua suami istri itu bergerak menuju lobi karena supir telah menunggu di depan pintu masuk gedung.
Sepuluh menit kemudian, mereka tiba di kediaman keluarga Harun di daerah Menteng Dalam. El dan Al menyambut kehadiran kedua orang tuanya di rumah.
“Mami, Papi,” sambut mereka melihat Iin dan Bran memasuki rumah.
“Hai Prince dan Princess, gimana hari ini?” tanya Arini memberi pelukan untuk mereka satu persatu.
“As always, Mi.” El bersuara.
“Aku hari ini ulangan dapat nilai A+ loh, Mi,” jawab Al bangga.
“Wow! Princess Mami emang terbaik. Pertahankan ya, Sayang.”
“Papi beruntung kalian mewarisi kecerdasan Mami. Anak juara nih,” puji Bran merangkul bahu istrinya.
“Aku kayaknya turunin Papi deh,” celetuk El tersungut.
“Kamu kebanyakan main, El. Papi dulu juga gitu tuh. Belajar banyak main, sering tidur juga di kelas,” komentar Arini menahan tawa.
El nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala.
“Mami ke kamar ganti baju dulu, habis itu bersiap bikin makanan yang kalian request tadi pagi,” desis Iin.
“Papi ikut Mami ke kamar juga ya. Sampai jumpa di meja makan, Prince dan Princess,” pamit Bran mengekor di belakang istrinya.
Begitu tiba di kamar, Arini langsung mencari keberadaan ponselnya. Embusan napas lega keluar dari sela bibir ketika melihat gadget pipih itu tergeletak di atas nakas.
“Bener, ketinggalan di sini,” lirihnya sambil geleng-geleng kepala.
Dia memeriksa ponsel barangkali ada sesuatu yang penting atau telepon dari orang tuanya di kampung. Mata cokelat itu menjelajah layar ponsel beberapa saat.
“Ya ampun, Sayang.” Arini menepuk kening sendiri.
“Kenapa, In?” Bran membalikkan tubuh ketika ingin membuka kemeja.
“Aku lupa kirim uang buat Ayu bulan ini.” Dia menyodorkan ponsel kepada Bran.
Pria itu membaca pesan yang dikirimkan oleh Ayu, ibu kandung Farzan. Brandon kembali memandangi Arini dengan raut bingung, karena tidak biasanya ia lupa hal penting seperti ini.
Bersambung....

Bình Luận Sách (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất