logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 10 Keterpaksaan

El dan Al
El mondar-mandir di depan kamar kedua orang tuanya sebelum sarapan. Dia ingin bertanya, apakah Arini sudah berbicara dengan Brandon tentang motor atau belum. Sejak tadi malam, rasa penasaran terus melanda.
Tak lama kemudian, Arini muncul ketika pintu kamar terbuka. Wanita itu telah rapi mengenakan gaun rumah yang biasa membalut tubuhnya sehari-hari.
“Wah, Abang udah rapi nih,” sapa Arini tersenyum lembut.
Anak itu menarik tangan ibunya menjauh dari kamar.
“Mami udah ngomong sama Papi?” tanya El tak sabaran.
Arini menggeleng pelan. “Mami belum ngomong masalah motor, Sayang. Tadi malam hanya ngobrol tentang kamu dan Al aja. Pelan-pelan dulu ya?”
Tampak raut kecewa di wajah El mendengar jawaban Arini.
“Kamu nggak boleh gitu, Prince. Mami masih berusaha ngomong sama Papi, tapi pelan-pelan.” Iin mengusap lengan El. “Sabar ya.”
“El udah sabar, Mi. Mintanya dari enam bulan lalu, ‘kan?”
“Berarti kamu harus ekstra sabar lagi. Berlatih lebih sabar ya, Sayang,” tutur Arini sembari mengusap lembut wajah putranya.
Desahan pelan keluar dari sela bibir El. Dia kemudian menganggukkan kepala pelan. Anak itu tidak berani menyanggah Arini, karena sangat menyayanginya.
“Sekarang kamu ke ruang makan dulu. Sebentar lagi Mami dan Papi nyusul. Jangan lupa panggil Al ya,” suruh Iin sebelum kembali lagi ke kamar.
El kembali naik ke lantai dua dengan langkah gontai. Ternyata keinginan untuk memiliki motor secepatnya tidak bisa diwujudkan dalam waktu yang dekat.
“Abang kenapa lesu gitu?” Tiba-tiba Al sudah berdiri di depannya lengkap dengan pakaian sekolah dan tas ransel yang menggantung di bahu kanan.
Kedua bahu El terangkat sebentar ke atas.
Alyssa memilih diam lantas menarik lengan kakaknya menuju tangga. Dia membiarkan El seperti itu hingga nanti menceritakan apa yang terjadi. Biasanya Al menjadi tong sampah, tempat mengeluarkan isi kepala pemuda itu.
Keduanya berjalan menuju ruang makan. Tak lama kemudian Arini, Brandon, Lisa dan Sandy memasuki ruangan. Semua mengambil tempat duduk masing-masing.
“Papi, Mami,” sapa El dan Al serentak kepada kedua orang tua mereka. Tak lupa juga menyapa kepada kakek dan nenek.
“Mami, aku mau dong dimasakin semur ayam,” pinta Alyssa yang mewarisi selera makan Brandon.
“Aku juga mau ayam pedas manis dong, Mi,” imbuh El yang memiliki selera perpaduan kedua orang tuanya.
“Oke, nanti sore Mami bikinin ya,” sahut Arini mengacungkan kedua jempol ke atas. Dia memalingkan paras kepada Bran dan berkata, “kamu nggak mau request, Sayang?”
Brandon menggelengkan kepala. “Nanti aja, sekarang bikin yang anak-anak mau dulu. Aku masih bisa besok-besok.”
Senyuman terbit di wajah Arini karena Bran selalu memahami situasinya.
El dan Al tersenyum usil melihat suami istri itu bergantian. Meski terkadang kesal dengan sikap over protective Bran, tapi masih terobati ketika melihat bagaimana ia memperlakukan Arini dengan sangat baik.
Suasana ruang makan hening saat mereka semua menghabiskan makanan. Setelahnya El dan AL berpamitan kepada semua yang ada di rumah.
“Gimana, Bang? Udah coba bujuk Mami belum biar ngomong sama Papi?” tanya Al ketika mereka berada di dalam mobil.
“Udah, tapi Mami belum bilang ke Papi. Katanya pelan-pelan dulu.” El melirik kepada Al sebentar. “Aku disuruh sabar lagi, Al.”
Kedua alis Al naik ke atas dengan tersenyum jail. “Jadi itu yang bikin wajah Abang ditekuk pagi-pagi?”
El mengangguk pelan, lantas mendesah.
Al memberi tepukan pelan di pundak kakaknya. “Sabar ya, Bang. Mudah-mudahan gunung es itu lekas mencair dengan kehangatan sinar mentari.”
“Huuu … sok puitis deh kamu, Dek,” cibir El disambut cekikikan oleh Al.
“Harusnya di-aamiin-kan dong, Bang. Gimana sih?” sungut Al menyipitkan mata.
“Aamiin … aamiin. Makasih ya, Dek,” ucap El mengusap puncak kepala adiknya.
“Aku mau cerita sama Abang, tapi nanti aja di sekolah,” kata Al mengerling kepada supir.
El mengangguk paham maksud perkataan adilnya.
Suasana kembali hening hingga mobil tiba di depan gerbang sekolah. Mereka berdua memasuki pekarangan beriringan.
“Mau ngomong apa, Dek?” cetus El menghentikan langkah tak jauh dari gerbang.
Mereka sampai di sekolah tiga puluh menit sebelum jam pelajaran dimulai, sehingga masih bisa berbicara sebentar.
“Abang serius suka sama Syifa?”
El berpikir sebentar sebelum mengangguk. Hanya Syifa yang mampu menarik perhatian selama ini, walau banyak gadis-gadis yang suka kepadanya.
“Tapi rasanya percuma aja sih, nggak boleh pacaran sama Papi juga.”
Al mendekatkan kepala ke telinga El. “Gak perlu pusing. Abang bisa backstreet kok.”
“Backstreet?”
“Iya. Pacaran tanpa sepengetahuan Papi.” Al kembali berbisik, “Aku bisa tutup mulut kok. Aman.”
El memundurkan kepala ke belakang dan mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dia memikirkan berapa besar kemungkinan Bran tahu jika dia pacaran sembunyi-sembunyi.
“Dicoba aja dulu, Bang. Daripada kepikiran kayak gini. Ya, ‘kan?”
“Nanti Abang pikirkan. Kamu bantu deketin Syifa dulu. Mau ya, Dek,” bujuk El tersenyum manis.
“Giliran minta bantuan senyum mautnya keluar.” Al memutar bola mata.
Mereka kembali melanjutkan langkah menuju anak tangga. Tiba di lantai dua, Al dan El kembali berdiri sebentar.
“Bang,” desis Al.
“Apa?”
“Aku mau ngomong sesuatu. Tapi janji jangan sampai Mami Papi tahu ya?” ujar Al mengacungkan jari kelingking.
“Rahasia banget ya?”
Al menganggukkan kepala cepat. “Janji dulu, baru aku ceritakan.”
El mengaitkan jari dengan kelingking Al. “Abang janji. Kamu mau ngomong apa?”
“Aku … mau lepas jilbab,” ungkap Al membuat mata El melebar nyalang, “tapi nggak di sekolah. Di luar mungkin waktu pergi ke mana gitu. Aku masih belum siap, Bang.”
“Gila kamu, Dek! Nggak bisa!!” sergah El keberatan.
“Aku belum siap. Abang tahu ‘kan sejak dulu Mami yang suruh aku pake ini?” kata Al menarik ujung kerudungnya.
“Ya, tapi tetap aja nggak boleh, Dek.”
“Aku pengin menggunakannya dari hati, bukan karena paksaan orang tua, Bang. Coba deh Abang rasakan gimana berada di posisiku?”
Al melihat ke sekeliling dan menunjuk ke arah seorang siswi yang tidak berkerudung.
“Ingin kayak gitu. Bisa lebih modis lagi. Punya gaya rambut macam-macam juga,” sambungnya kemudian.
El mendesah pelan. “Kamu yakin?”
Al menganggukkan kepala. “Tapi cuma backstreet, bahaya juga kalau Mami tahu.”
Pemuda itu memegang bahu adiknya dan melihat netra hitam itu bergantian. “Abang nggak berani menyuruh kamu. Sekarang kamu ‘kan udah gede, jadi tahu mana yang baik dan buruk buat diri kamu.”
“Pilihan ada di tanganmu sendiri, Dek. Yang penting jangan sampai menyesal di kemudian hari,” tambah El kembali menegakkan tubuh.
Al mengangguk dengan memberi senyuman tipis kepada El.
“Pikirkan dulu baik-baik, jangan gegabah,” tutur El sebelum pergi meninggalkan Al sendiri di lantai dua.
Gadis itu melihat lesu El yang sudah menghilang di ujung tangga menuju lantai tiga. Ketika ingin melangkah menuju kelas, ia bertemu dengan ketua geng Jelita.
“Pagi, Kak,” sapa Al tersenyum.
Siswi berambut sebahu itu mengamati Al sebentar. “Kamu yang kemarin di toilet ya?” tebaknya.
“Iya, Kak. Namaku Alyssa,” ucap Al memperkenalkan diri.
“Ayi,” balas ketua geng itu tersenyum miring.
“Aku … boleh gabung dengan geng kakak nggak?” gumam Al pelan, namun masih bisa terdengar oleh perempuan bernama Ayi tersebut.
Ayi menyeringai sambil menggulung rambut pendeknya dengan ujung jari.
“Boleh aja. Asal kamu lepasin ini,” tanggapnya menyentuh ujung kerudung Al dengan tangan yang lain.
Bersambung....

Bình Luận Sách (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất