logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Herman Fernandes

"Lo denger enggak sih gue ngomong apa?" tanya Heni dengan penuh amarah. "Herman!" teriaknya karena tak ada jawaban dari yang bersangkutan.
"Apaan lagi? Gue sibuk nih, cepetan mau ngomong apa?" ucap Herman santai dan tidak peduli.
" Kenapa lo enggak nunggu gue? Sekarang gue pulang sama siapa coba?" Nada suara Heni menurun.
"Kan gue enggak pernah bilang bakalan nganterin lo pulang sekolah tiap hari. Gue bukan sopir pribadi lo, Hen."
Rengekan Heni tidak mempan pada cowok satu itu.
"Tapi kan lo cowok gue. Dan biasanya kita selalu pulang bareng," ucap Heni dengan memelas.
"Baru juga empat kali kita pulang bareng. Udah ah, gue males ngomongin hal itu, gue banyak urusan lain, nih." Herman tidak tahan mendengar rengekan Heni.
"Lo kok ngomong gitu sih? Urusan lo apa aja sampai enggak punya banyak waktu nunggu gue?"
Herman mulai jengkel. Muak mendengar Heni memperpanjang topik tunggu-menunggu." Jadi lo maunya apa? Putus? Oke, kita putus."
Sambungan telepon terputus. Herman menekan pemutar musik dan seketika mobilnya ramai. Herman sampai terlonjak karena kaget mendengar musik yang tiba-tiba mengalun dengan volume besar. Salah sendiri karena tidak mengurangi volumenya sebelum dimatikan.
Kirana mendadak berhenti. Bunyi tamparan yang dia dengar bukan ilusi atau khayalan semata. Seseorang memang ditampar dengan keras. Kirana memundurkan langkahnya dengan pelan.
Dua siswa terlihat berdiri di samping kelas. cewek dan cowok yang sering lalu-lalang di sekolah bersama-sama. Pasangan yang dianggap cocok oleh siswa lain. Huruf dari nama depannya sama, jumlah huruf nama panggilannya aja yang berbeda sih. Yaitu Herman dan Heni.
Kirana memeluk bukunya semakin erat. ngapain mereka?
"Dasar jahat lo, Her! Dulu bilangnya cinta sama gue, sekarang lo minta putus dengan gampang," ucap Heni sambil memukul-mukul Herman dengan lemah. Itu tidak menimbulkan rasa sakit malah Herman merasa biasa saja.
"Maaf, Hen. Sepertinya saat gue nembak lo, gue salah ngomong. Gue enggak cinta-cinta amat. Hari ini gue sadar. Makanya gue mau kita putus, ya?" usul Herman sambil tersenyum tipis.
Heni mendongak dan menyerang Herman dengan tatapan marah. Tangannya memukul dengan brutal." JAHAT, JAHAT, JAHAT! GUE NYESEL JADI PACAR LO!"
"Karena lo nyesel, ya udah, kita putus," ucap Herman semakin santai.
Heni berhenti memukul. Tenaganya tenggelam dalam tangis tersedu-sedu. Herman berjalan melewatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Lagi pula Heni sendiri yang memutuskan menerima Herman jadi pacar. Herman tidak pernah memaksanya. Konsekuensi dari pacaran adalah putus. Heni harusnya berlapang dada menerima itu. Siapa suruh jadi pacarnya.
"Herman!" panggil Heni. Air mata yang memenuhi kelopak matanya, kini lenyap setelah diusap dengan kasar. Tapi matanya jadi bengkak.
Herman memutar tubuhnya."Apa lagi"
Sepatu kiri Heni mendarat di wajahnya dan satu lagi harus puas hanya mengenai perutnya. Saat Herman pulih dari rasa kaget, Heni sudah berlari pergi hanya dengan kaos kaki.
"Urgh, dasar sial!" Ucap Herman ketika memunguti sepasang sepatu Heni. Kemudian berjalan ke tempat sampah dan membuangnya dengan kasar.
Sorotan mata Kirana dengan satu alis yang lebih tinggi dari alis yang satunya, membuat Herman terperanjat ke belakang. Sambil memegang dadanya, Herman berseru," Bikin kaget aja lo, untung di keluarga gue nggak ada riwayat penyakit jantung."
Kirana memutar matanya kemudian memalingkan wajah sebelum kakinya lanjut melangkah. Tontonan dua orang putus tadi terasa lebay dalam benak Kirana.
Herman menatap kepergian Kirana dongkol. Dikacangi setelah dilempari sepatu, membuat suasana hatinya makin buruk. Tapi di sisi lain, ada misi yang harus dia selesaikan minggu ini. Setelah putus dari Heni, pencarian pacar baru akan iya mulai saat jam istirahat.
Rutinitas paling menyenangkan menurut Herman adalah memasukkan beberapa nama cewek ke dalam daftar mantan yang iya putuskan kirang dari seminggu.
Ketika Herman memasuki kelas, Tiara ikut berjalan di sampingnya.
"Pasangan HH resmi bubar hari ini?" tanyanya antusias.
Herman mengangkat bahu tidak peduli.
Tiara terkekeh sambil mengamati penampilan Herman. Ada bekas sepatu di seragamnya. Tiara menutup mulutnya dan berpindah ke depan Herman. Hermn refleks berhenti.
"Ini apa? Lo dilempar Heni pakai seaotu, Her?" Tiara tertawa lebar.
Herman menunduk dan melihat bekas sepatu Heni tercetak sempurna di bajunya. Ia lupa membersihkan bekas-bekas tanah itu. Dengan sigap Herman membersihkan bekas itu sembarangan. Tangannya menepuk-nepuk bajunya sambil melangkah ke kursinya.
Tiara mengekor dan ikut duduk di kursi Adit yang berada di samping Herman."Adit kapan masuk sekolah lagi, yaa? Lama-lama gue kangen sama tuh anak. Kita ke rumah sakit sepulang sekolah ya, her."
"Ngapain ke rumah sakit kalau Adit-nya enggak ada di sana?"Herman mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis.
Tiara menoleh pada Herman."Memangnya Adit udah keluar dari rumah sakit? Kalau gitu kita ke rumahnya aja."
Herman berdesis, mood-nya ingin menulis jadi buyar karena Tiara terus-terusan bicara."Adit lagi di jalan. Bentar lagi dia akan muncul di kelas," ucapnya lalu lanjut menulis.
"Oh ya? gumam Tiara. Ia bergeser lebih deket pada Herman dan mencodongkan kepalanya ke buku yang Herman isi." lo lagi nulis apa, sih?"
Herman meletakkan pulpennya dan mendorong kepala Tiara menggunakan satu jari."Gue lupa mengerjakan tugas matematika. Tapi otak gue enggak bisa mikir kalau lo ngomel
di samping gue."
"Otak lo dasarnya memang buntu, Her." Tiara bangkit dan menuju kursinya.

Angel Melambaikan tangan dengan semringah ketika melihat Kirana memasuki kelas.
"Bahagia amat hari ini, Njel," ucap Kirana sambil meletakkan tasnya ke atas meja dan mengeluarkan buku serta Pulpen." Ada hujan mangga manis pagi ini ya?" Ledeknya. Angel seorang fanatik mangga.
Angel beringsut mendekati Kirana." Gue ketemu Adit di depan sekolah, Kir. Dia enggak sakit lagi, dia masuk sekolah hari ini." Angel sangat antusias.
"Bagus dong kalau gitu. Lo sebagai wakilnya enggak perlu lagi mengambil alih tugas-tugasnya."
"Gue enggak apa-apa kalau masalah itu. Sebagai wakil ketua OSIS, gue memang sepantasnya menggantikan dia di waktu-waktu tertentu.
Kirana mengangguk setuju lalu membuka buku catatannya, hanyut dengan apa yang ia tulis.
Dua menit kemudian Angel menyenggol lengan kirinya." Serius banget, Kir? Nulis apa?"
"Mengerjakan tugas matematika. Kalau enggak salah hari ini ada mata pelajaran itu, kan?" ucap Kirana sambil terus berkutat dengan rumus-rumus.
"Iya, jam sebelas ada matematika. Akhir-akhir ini lo sering ngerjin tugas rumah di sekolah. Lo tulis di kertas kecil dan tempelin depan cermin, supaya enggak lupa lagi."
"Gue enggak lupa, Njel." Kirana nyengir.
"Jadi kenapa lo ngerjain tugasnya di sini? Di hari yang sama dengan waktu pengumpulan."
"Semalam gue enggak mood kerjain tugas, bawaannya pingim tidur."
"Lo kerjain tigas di pengaruhi mood sekarang? Bukan karena nilai?" tanya Angel dengan satu alis terangkat.
Di kelasnya, tujuan semua siswa hanya satu dapat nilai tertinggi. Wajar kalau mereka begitu disiplin mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru-guru . Mood lagi baik atau buruk seharusnya tidak mempengaruhi tugas. Karena nilai di atas segala-galanya.
Kirana berpikir sebelum menjawab dengan cengiran lebar,"Demi nilai pastinya."
"Kalau kelakuan lo kayak gini terus, nilai lo akan turun drastis dibanding semester lalu."
Seketika Kirana mengatupkan tangannya kedepan."Ya Tuhan, jangan biarkan hal itu menimpaku."
Angel heran dengan kepala menggeleng.
"Dasar Buronan Senin!" umpat Angel.
Kirana menyipitkan matanya." Tahu dari mana lo nama lain gue?" ucapnya dengan nada bergurau. Iya sudah meletakkan pulpennya.
"Angel tertawa geli."Jadi itu beneran ya? Gue kira cuma hoax."
"Begitulah. Mau tanda tangan gue, enggak?" goda Kirana. Dia tidak menyangka kalau status sebagai buronan hari Senin membuatnya merasa jadi artis.
"Iiihhh, tanda tangan jelek lo buat apaan, bisa gue tiru dengan mudah."
Inilah hebatnya Angel. Selain menjabat sebagai wakil ketua OSIS dan teman mengobrol paling asyik menurut versi Kirana, dia juga jago meniru tanda tangan orang lain. Dulu saat penerimaan anggota PMR, surat izin ikut kegiatan itu ditandatangani olehnya, bukan orang tuanya.
Perilaku yang tidak patut dicontoh tapi bisa dilakukan kalau kepepet. Saat itu, Angel juga kepepet, orang tuanya berada di luar kota, tidak ada kesempatan meminta tanda tangan mereka. Lagi pula yang terpenting adalah mereka menyetujui kegiatan Angel ikut PMR.
"Udah ah, Jangan bahas tanda tangan, gue masih merasa bersalah karena melakukan tindakan penipuan itu. Terutama setiap kali ketemu Kak Ernes," ucap Angel.
Kak Ernes adalah senior yang dulu bertugas menerima surat izin anggota baru PMR. Angel membohongi Kak Ernes dengan tanda tangan tiruan yang ia buat.
"Gara-gara tanda tangan doang, lo nyesel sampai segitunya. Gue tiap minggu membolos tapi santai-santai aja tuh," ucap Kirana pelan.
"Lo, gue, beda, sayanggg," balas Angel sambil mencubit dengan geas pipi Kirana."Warga negara yang baik san Buronan Senin jangan disama-samakan."
"Lama-lama gue jadi kesal dikatai Buronan Senin,"ucap Kirana muram.
Angel tertawa kecil lalu berkata,"Dasar Buronan Senin!"

Bình Luận Sách (241)

  • avatar
    AshaPrincess

    serasa nya cerita ini bagus,sebab dari awal bacaan saya jalan cerita nya menarik..bagaimana kesudahan hidup kirana dan herman..lanjutkn saja bacaan nya..ok

    29/01/2022

      6
  • avatar
    Devi Framsisca

    bagud banget

    16d

      0
  • avatar
    HidayatGiyan

    bagus

    21d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất