logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

❝ Melawan Badai ❞ || 37

"Hei! Sembarangan saja kamu ya!"
Anila berlari pada hamparan rumput itu. Aldrich telah merasa tubuhnya kembali pulih, mengejar Anila.
Yang dikerjar malah tertawa cekikikan.
Pagi telah tiba, matahari semakin naik beberapa kaki.
Aldrich dan Anila memutuskan untuk menatap langit beberapa saat, tertidur diatas rerumputan itu. Mereka hanya ingin merasakan bagaimana angin damai menerpa dengan musiknya, dan rumput akan menari karenanya.
"Hahaha... Haha ... Kamu ini lucu sekali ya, Al." Anila mengawali pembicaraan. Matanya masih lurus menatap ke langit.
"Hahaha ... Andai saja kehidupan seperti ini, setiap waktu tidak perlu menunggu," gumamnya.
"Hah? Kau mengatakan sesuatu?"
"Eumh... Tidak... Aku hanya bilang, aku lapar, haha."
"Aku pun. Gampang lapar sekali aku sekarang, jika terlalu banyak menggunakan kekuatanku."
"Maka, jangan gunakan... biar tidak lapar," bisik Aldrich.
"Tch! Ih! Kau ini! Terus aku harus membiarkanmu berdarah-darah menyusuri Padang rumput, begitu? Haha...dramatis sekali..."
"Oh Ya! Aku baru ingat sesuatu. Semalam apa yang terjadi? Mengapa dirimu sampai terluka separah itu."
"Tidak ada."
"Tidak mungkin. Ayolah katakan... Atau aku akan mencari tahu sendiri melalui Indra perasaku!" gertak Anila.
Ya ia hanya mengertak Aldrich, ia tahu, kekuatannya tidak sedalam itu, sampai mampu membaca pikiran orang lain. Kekuatannya hanya seperti mampu merasakan apa yang akan terjadi.
"Hh! Keras kepala," maki Aldrich lirih.
"Tidak ada apa-apa, kau sendiri kenapa tiba-tiba pingsan, tiba-tiba tidak sadarkan diri, tiba-tiba begini, begitu, serba tiba-tiba!" Aldrich gantian yang bersungut geram. Seharusnya ia yang berhak memaki atas hal ini. Bukan bagaimana, dan mengapa ia malah yang diwawancarai.
"Al...." Anila terduduk, ia menatap Aldrich yang masih berbantalkan lengan, fokus ke langit.
"Aku tidak tahu, mengapa... Semalam itu... Saat-, saat aku... Menatap rembulan indah itu-, aku merasa aneh, seperti tiba-tiba tidak dapat bernapas, tidak dapat bergerak, dan jantungku sangat kesakitan layaknya dihujami pisau," jelasnya gugup.
"Hmm... kan, aku bilang apa?! Semuanya serba tiba-tiba," dengus Aldrich bangga.
"Apanya yang tiba-tiba? Kau sekarang katakan, sebenarnya apa kelanjutannya?" seloroh Anila tidak terima.
"Kau di tolong oleh cahaya rembulan."
"Hah?! Tidak usah bergurau, aku sudah bercerita benar, dan kau membohongiku." Anila mencebilkan bibirnya, ia ingin merajuk.
"Na..." panggil Aldrich lembut. Anila yang dipanggil sama sekali tidak mau menoleh kepadanya.
"Ih marah... jangan marah dong..." Aldrich berusaha mencari muka nila.
Anila membuang kembali mukanya; mengalihkan pandangan dari Aldrich.
"Baiklah, baiklah... aku akan cerita..." Aldrich menyerah, ia mulai menjelaskannya perlahan padanya, saat angin lembut beberapa kali menerpa tubuh mereka.
Dengan santainya Aldrich terus berkisah, yang nyatanya setiap kisah itu ia sengaja tutup-tutupi bahwa mereka sampai di tempat itu dengan pemberitahuan rembulan yang menolongnya, begini dan begitu. Satu hal yang Aldrich upayakan Anila tetap tidak mengetahuinya, yakni, soal Lencana itu.
"Maafkan aku, aku harus tetap menyembunyikan hal ini darimu, Na. Sampai aku sendiri tahu siapakah Prince Mereya itu.. Entah mengapa... aku merasa dia ada hubungannya dengan kutukanmu," kata Aldrich dalam hati. Suara yang menyisakan keheningan di antara mereka.
"Hey, kok diem, lantas bagaimana? Jadi kau terluka karena menggendongku kemari?" Anila yang masih terbawa perasaan melontarkan banyak tanya. Hatinya berulang kali berdesir saat ia tahu apa yang dilakukan Aldrich semalam. Sungguh jika boleh jujur, ia merasa sangat terharu.
"Berarti semalaman dia tidak tidur dan membawaku kemari? Betapa lelah dan sakit tubuhnya...."
Anila mengerjap, memejamkan matanya beberapa saat, ia hanya ingin merasakan apakah Aldrich masih baik-baik saja atau tidak.
Seandainya jika diibaratkan apakah nyawanya yang masih menggantung pada jiwanya masih dapat impas jika digunakan untuk membayar jasa temannya itu? Aldrich perhatian penuh padanya sampai tidak berdasar. Sungguh tak pantas jika ia berpikir demikian. Ia lebih dari teman, sahabat, atau keluarganya sekalipun.
Gemuruh guntur tiba-tiba terdengar, mendung berarakan datang berduyun-duyun, menggelapkan lingkungan sekitar obrolan mereka yang terhenti.
Suara yang menggelegar membuat Anila dan Aldrich terkesiap.
"Sepertinya hendak hujan lebat," simpul Aldrich.
"Tidak... ini bukan sekedar hujan... tapi..."
Angin berderu kencang dari arah selatan mereka yang duduk di terjang angin itu yang berembus layaknya sekumpulan tawon, melintasi tubuh mereka begitu saja.
"Tapi, BADAI. Akan ada badai!!" seru Anila kencang.
Daun-daun berjatuhan hebat.
"Kita harus mencari tempat berlindung, Na!" saran Aldrich panik. Ia beranjak bersama Anila, meski tubuhnya beberapa kali meminta berbalik arah mengikuti angin, mereka tegap menahannya.
"Kemana?" ucap Anila berteriak, dalam kondisi seperti ini, jika tidak berteriak, ya, tidak akan terdengar.
"Kita coba ke arah sana!" Mereka berjalan menerpa angin, gemuruh guntur tidak kunjung reda, bermacam sedang memanggil hujan agar tiada hentinya.
Beberapa menit telah berlalu, Namun, mereka belum menemukan apa pun selain seperti kembali berputar-putar di tempat itu saja, padahal mereka sudah menjauh beberapa meter dari tempat mereka tadi duduk.
"Sekarang bagaimana? Sedari tadi kita tidak menemukan apa-apa selain pohon oak dan rumput liar ini!"
Mendung semakin pekat. Gemuruh guntur juga tak mau kalah dengan suara angin, mereka bersahutan tiada henti.
Petir berkilauan keluar dari awan yang paling pekat.
Hujan turun dengan lebat.
DAR!
Menyambar tanah di sekitar mereka.
"Gawat, Na, petir! Bagaimana sekarang? Kita tidak dapat keluar juga dari tempat ini, tidak ada jalan!–"
"Diamlah dulu! Akan aku pikirkan sesuatu." Anila bergeming sesaat. Sedang Aldrich sudah sangat khawatir akan hadirnya awan hitam itu yang berjalan semakin mendekat.
"Kita berteduh sementara di bawah pohon itu!" seru Anila, menunjuk sebuah pohon oak di seberang mereka.
"Tapi, Na?"
Belum Aldrich sempat menolaknya, Anila telah menyambar tangan Aldrich dan membawanya berlari kebut mendekati pohon itu.
Berselang dengan hantaman petir yang menyambar lokasi mereka tadi berdiri.
Baju mereka belum apa-apa sudah kuyup, sebab lebatnya air yang jatuh bersama dengan angin.
"Aku hanya takut Na, dalam fisika... ya meski aku tidak suka pelajaran itu, di sana pernah dijelaskan bahwa ketika badai jangan berteduh dibawah pohon, itu juga termasuk berbahaya, pohon dapat menghantarkan petir."
"Iya... aku pun sedang memikirkan cara lain, agar kabur dari badai ini." Anila menatap intens pada awan hitam itu, ia tampak sangat waspada mengawasinya jika tiba-tiba mendekat.
"Ya! Aku tahu harus apa!" Anila berlari kembali ke tengah padang rumput itu.
"Na!" Aldrich memekik histeris.
"Diam di sana!"
Awan itu sungguh tidak wajar, ia seperti hendak mengincar apa saja yang ada. Kemudian mengambil habis energinya, dan meninggalkan sambarannya dalam keadaaan tidak berdaya.
Awan itu berbalik, benar ia mendekati Anila.
"Hati-hati, Na!"
Hujan dan angin menerpa tubuh Anila. Meski demikian, hal tersebut justru malah membuat Anila tampan sangat elegan dengan sikapnya yang begitu tenang.
Aldrich hanya mampu membatu doa, dengan sebuah harapan, agar suatu saat, semoga ia-lah yang akan di posisi Anila, dengan berani menghadapi bencana demi melindunginya.
Ia berharap memiliki kekuatan luar biasa juga, supaya ketika terjadi hal seperti ini, ia dapat menjadi hero-nya. Tapi apalah daya? Ia hanya manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan lebih selain daripada cinta dan kesetiaan.
DAR!
Petir besar menyambar, membuat ruang padang itu seperti dijepret kamera foto. Petir itu menghanguskan anak pohon oak hingga tumbang.
Aldrich semakin membelalakkan matanya.
"Gawat, Na, petir! Bagaimana sekarang? Kita tidak dapat keluar juga dari tempat ini, tidak ada jalan!–"
"Diamlah dulu! Akan aku pikirkan sesuatu." Anila bergeming sesaat. Sedang Aldrich sudah sangat khawatir akan hadirnya awan hitam itu yang berjalan semakin mendekat.
"Kita berteduh sementara di bawah pohon itu!" seru Anila, menunjuk sebuah pohon oak di seberang mereka.
"Tapi, Na?"
Belum Aldrich sempat menolaknya, Anila telah menyambar tangan Aldrich dan membawanya berlari kebut mendekati pohon itu.
Berselang dengan hantaman petir yang menyambar lokasi mereka tadi berdiri.
Baju mereka belum apa-apa sudah kuyup, sebab lebatnya air yang jatuh bersama dengan angin.
"Aku hanya takut Na, dalam fisika... ya meski aku tidak suka pelajaran itu, di sana pernah dijelaskan bahwa ketika badai jangan berteduh dibawah pohon, itu juga termasuk berbahaya, pohon dapat menghantarkan petir."
"Iya... aku pun sedang memikirkan cara lain, agar kabur dari badai ini." Anila menatap intens pada awan hitam itu, ia tampak sangat waspada mengawasinya jika tiba-tiba mendekat.
"Ya! Aku tahu harus apa!" Anila berlari kembali ke tengah padang rumput itu.
"Na!" Aldrich memekik histeris.
"Diam di sana!"

Bình Luận Sách (72)

  • avatar
    NurallyAbi

    mantapppppppp bosquhhhh

    3d

      0
  • avatar
    RaihanMuhammad

    bagus

    12/06

      0
  • avatar
    AzfarNares

    bagussss sekali saya sukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasaaaawwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaqaaaaaaaaaaqaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekaliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

    22/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất