logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

5. Dunia Ini Sangat Kejam Padaku

~HAPPY READING~
Lagi masih tetap sama. Mentari tetap hadir. Dan, burung-burung pun masih tetap menari. Hari ini mungkin adalah hari terus hadir silih berganti, tetapi hidup Eve tidak sama lagi.
Ia menatap dengan tatapan sayu tubuhnya. Sudah berulang kali dia mengguyur tubuhnya dengan air berharap bekas kotoran dalam dirinya menghilang, tetapi bayangan itu tetap saja melintas dalam kepalanya.
Tok ... tok ... tok ....
“Eve! Hey, anak pungut! Kau tidak memasak, hah?!” teriak Bella dari luar.
Dia membanting piring saat di dapur tidak ada makanan yang tersedia sehingga mendatangi Eve di kamarnya.
“Eve!” Bella sangat murka.
Bibi Eloise segera menghampiri putrinya yang berteriak marah. Dengan setengah mengantuk dia berjalan ke belakang, menuju kamar Eve.
“Ada apa Bella?” tanya Bibi Eloise.
“Ini, lho, Ma. Masa Eve belum masak. Aku sudah lapar,” rengek Bella.
Bibi Eloise yang dilanda rasa capek karena semalam pergi ke pesta ulang tahun anak temannya menjadi murka.
Bruk!
“Eve! Keluar!” teriak Bibi Eloise.
Pintu kamar Eve terbuka. Dia berdiri di sana dengan mata sembap, tetapi tiada yang menatapnya iba. Justru pipinya harus merasakan ngilu akibat tamparan yang kembali dilayangkan untuknya.
“Kalau kau masih ingin punya tempat tinggal, jangan menjadi pemalas!” bentak Bibi Eloise.
Eve hanya menunduk. Tidak bisa melawa wanita yang rupanya hampir sama dengan median ibunya. Dia sebenarnya berharap dirangkul setelah malam pahit yang dilaluinya di kamarnya seorang diri. Namun, percuma. Bukan mendapat belaan dia akan mendapat sengsara yang lebih ketika melaporkan kelakuan bejat pamannya.
“Sana! Kenapa kau masih diam di situ?!” Bibi Eloise menarik tanga Eve kasar dan mendorongnya ke arah dapur.
Bibir bawah Eve bergetar. Hatinya pilu, tetapi dia hanya membiarkan hujan-hujan kecil itu menghujani pipinya. Dia menahan isak tangis yang sudah hampir melolong pedih.
“Ayah, Ibu,” lirihnya memanggil kedua orang tuanya penuh kerinduan. Dia butuh perlindungan.
“Dasar anak cengen! Kedua orang tuamu mati karena mereka susah membesarkan anak sialan sepertimu!” cemooh Bella.
Eve mengusap air matanya. Dia tidak akan pernah percaya pada perkataan sepupunya. Ayahnya selalu menggendongnya sejak kecil dan selalu mengatakan bahwa ibunya sangat mencintainya. Meski kehadirannya membuat sang ibu merengut nyawa.
Dengan tertatih dia memasak untuk keluarganya. Masih pantaskah sebenarnya dia menyebutnya sebagai keluarga?
***
“Kau tidak boleh ikut!” Bella mendorong tubuh Eve saat Eve mencoba naik di belakang motornya.
“Kenapa?” Pertanyaan itu meluncur dengan suara serak.
“Kenapa, hah? Kau masih berani bertanya kenapa?! Aku tidak sudi motorku disentuh oleh anak pembawa sial sepertimu. Mulai sekarang dan seterusnya, kau harus jalan kaki!” Bella langsung memutar gasnya meninggalkan Eve yang menatapnya sorot terluka.
Dia berharap bisa akrab dengan Bella. Berharap Bella mau menerimanya sebagai adik sepupu. Memperlakukannya layaknya saudara kandung, tetapi gadis itu justru memusuhinya.
“Sepertinya jika ke sekolah dengan berlari mungkin tidak akan telat,” gumamnya.
Dia menatap kakinya yang sengaja dia bungkus dengan kos kaki panjang sampai lutut agar lembamnya tidak terlihat.
“Semangat Eve!”
Dia mulai berlari meninggalkan rumah yang sudah seperti neraka untuknya. Tidak peduli berapa tetesan keringat yang membanjiri pelipisnya. Mengabaikan setiap denyutan di seluruh persendiannya.
Bruk!
Dia tersungkur ke tanah. Matanya langsung berkaca-kaca. Ia menangis sejadi-jadinya saat tidak mampu berdiri.
Ia memukul lantai pilar jalanan. Bukan ... bukan sakitnya jatuh tersungkur yang membuatnya menangis, tetapi momen semalam yang membuatnya terisak mengabaikan tatapan beragam macam orang berlalu lalang di jalanan.
Saat dia menangis. Mata buramnya menangkap sepatu hitam mengkilat di depannya. Hanya dengan melihat dia sudah tahu bahwa pemilik sepatu itu pasti orang kaya.
Dia mengangkat wajahnya melihat seorang pria yang sangat dikenalinya berdiri di sana menatapnya datar.
“Berdirilah,” ujar pria itu.
Dia menunduk dalam.
“Apa kamu tuli?” tanyanya.
Eve meraih tangan pria itu dan mengusap air matanya. Meski isak-isak tangisnya masih terdengar.
Pria itu tidak banyak tanya. Dia hanya menggenggam lembut tangan mungil yang berada di dalam genggamannya.
“Om,” panggil Eve.
“Simpan suaramu.”
Eve bungkam. Dia hanya mengikuti ke mana saja pria berambut hitam dengan tatanan yang rapi. Sedikit poni yang menutupi alis tebalnya.
“Aku akan menyesal andai aku memilih untuk terbang ke Singapura dan mengabaikan kata hatiku,” batin pria itu.
***
“Duduk dan sarapan.” Eve menatap makanan yang hampir memenuhi meja makan berbentuk segi panjang di hadapannya.
“Om Jev, ini terlalu banyak,” ujar Eve.
“Tidak akan banyak jika kamu mau menghabiskannya," balas Jevras.
Eve langsung teringat adik-adiknya dan Ibu Brenda. Apakah pagi mereka sudah makan? Berbagai pertanyaan lainnya berkecamuk dalam pikirannya.
“Kalau kamu tidak menyukainya. Saya akan memesankan yang lain untukmu,” ujarnya membuat Eve tersentak.
“Ini sudah lebih dari cukup, Om. Hanya saja bisakah Eve memberikan untuk adik-adik Eve?” tanyanya penuh harap.
“Adik-adik?” ulang Jevras.
“Eum ... teman-teman Eve yang mengamen bersama di jalanan. Mereka sudah Eve anggap seperti adik Eve,” ujar Eve.
“Saya akan membelikan makanan lain untuk mereka. Kamu bisa memberikannya nanti,” ujar Jevras membuat Eve langsung menerbitkan senyum semeringah.
Walau hati gadis itu sudah menyimpan sejuta luka, tetapi dia masih bisa tersenyum. Dia ingin menangis, jika memang menangis bisa membuatnya lega. Akan tetapi, dia akan tersenyum jika senyum bisa mengalihkan kejamnya dunia kepadanya.
Dia akhirnya makan dengan lahap. Setelah makan, Jevras meminta Eve ke ruang tengah. Mereka duduk di sofa grey.
“Saya akan mengobati lukamu. Apa kamu bisa menarik sedikit rokmu ke atas?” tanya Jevras membuat Eve kaget.
Dia sebenarnya cemas, dan takut. Bagaimana jika Jevras melakukan hal yang sama seperti pamannya? Mengingat itu membuat matanya kembali berkaca-kaca.
“Saya berjanji hanya mengobati lututmu,” ujar Jevras seolah dapat mengetahui kekhawatiran Eve.
Dengan ragu Eve menarik roknya sedikit ke atas. Pahanya sangat putih dan mulus, tetapi sayang luka membiru di sana banyak tercetak.
Jevras hanya ingin mengobati lutut Eve karena sudah jatuh, tetapi tidak sengaja dia malah menangkap luka lain di sekitar paha dan bawah lutut Eve.
“Ini kenapa?” tanya Jevras langsung membuat Eve menarik ke bawah roknya.
“I—ini ... Eve sering jatuh saat belajar bermotor,” jawabnya berbohong.
“Oh, ya.” Eve bernapas lega saat Jevras percaya.
Dan, dia tidak tahu kalau itu hanya kalimat bibir saja. Pria itu tidak mudah dikelabui. Gerakan Eve saja sudah membuat ia tahu kalau pasti ada yang disembunyikannya.
“Aku akan mencari tahu tentangmu agar aku bisa bekerja dengan baik. Entah kemarahan apa yang akan aku terima dari Tuan Waston setelah membantalkan penerbangan secara mendadak Singapura,” batin Jevras.
“Kenapa kamu tidak datang kemarin?” tanya Jevras.
“Eve eungg ....” Eve diam memikirkan kata yang tepat untuk dia rangkai. Sebenarnya dia berencana menemuinya sebelum kejadian naas itu menimpanya hingga dia mengurungkan niatnya.
“Tiba-tiba sakit perut, Om,” bohongnya.
Jevras lagi-lagi membuat dirinya seolah percaya dengan ucapan Eve. Dia lalu mengambil dompetnya.
“Ini uang untukmu. Belilah makanan saat kamu lapar. Gunakan untuk biaya transportasi ke sekolahmu,” ujarnya memberikan begitu banyak uang kepada Eve.
“Om Jev,” lirih Eve tidak menyangka.
“Saya tidak mau melihatmu berlari lagi dan jatuh terus menerus. Tidak perlu lagi mengamen. Jika uang yang saya berikan habis, datanglah ke sini,” ujar Jevras membuat setetes liquid bening meluncur bebas di pelupuk mata Eve.
“Om Jev ....” Suaranya bergetar.
Jevras mengangkat alisnya.
“Bisakah Eve memeluk, Om?” Semakin parau.
Jevras sebenarnya sangat kaget dengan permintaan Eve. Namun, dia tahu bahwa di balik tubuh mungil itu ada beban berat yang dipikul Eve.
“Kemarilah,” pinta Jevras dengan membuka lebar-lebar tangannya.
Eve langsung masuk ke dalam pelukan pria malaikat tak bersayapnya. Dia menumpahkan tangisnya. Tangis yang semalam seolah belum usai.
“Om Jev ... dunia ini sangat kejam pada Eve, hiks,” batin Eve berteriak pilu.
***
TBC
Jejak jangan menjadi sider.

Bình Luận Sách (436)

  • avatar
    SusantoDinar

    pinjam uang dana

    6d

      0
  • avatar
    LawatiSusi

    membaca sekilas sudah seru

    6d

      0
  • avatar
    FirdausMuhammad

    cerita yang sangat menarik dan saya amat menyukainya

    9d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất