logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

4. Di manakah Pelangiku?

~HAPPY READING~
Eve menatap kartu nama yang dilemparkan Jevras kepadanya. Kartu namanya saja didesain dengan mewah. Begitu kesan pertama saat dia memegangnya. Latar hitam dipadukan tulisan gold.
“Jevras Xavier Declan. Oh, jadi ini nama panjangnya, Om Jevras,” gumamnya.
Sewaktu di sekolah dia memang hanya melihat nama depan Jevras, karena pria itu menutup cepat dompetnya. Seolah tidak mau privasinya diganggu.
“Siapa Om-om tadi, Kak?” tanya Cora.
“Dia—“ Eve bingung menjawab, karena dia dan Jevras juga bukan teman. Berkenalan pun hanya secara singkat. Gadis berusia delapan belas tahun itu akhirnya menjawab sesuai yang ada di benaknya.
“Dia itu malaikat penolong kakak,” ujarnya.
“Malaikat penolong,” beo mereka mengikuti Eve.
Eve tersenyum lebar sendiri setelah menjuluki Jevras sebagai malaikat penolong. Dia merasa Jevras selalu hadir di masa-masa sulitnya.
Pria itu memberinya makanan dan mengantarnya pulang. Bahkan dia menyelamatkannya dari niat bejat para penjahat. Andai malam itu, Jevras tidak datang. Mungkin sekarang mahkota yang ia jaga sudah direnggut paksa oleh mereka.
Tak bisa membayangkan pahitnya nasibnya jika semua itu terjadi, karena tidak akan ada yang iba padanya. Semua akan menertawakannya seolah pantas mendapatkan perlakuan buruk.
“Kak Eve, sepertinya kita pulang sekarang. Di jalan sempit menuju rumah, banyak pereman jalan yang suka malak uang. Sebelum mereka datang kita harus kembali.” Nada suara Liam terdengar cemas.
Anak itu sudah mengalami beberapa kali kehilangan uang lembaran rupiah yang sudah kusut karena mereka memintanya secara paksa.
Tubuh kecil nan ringkih seperti mereka tidak akan pernah sanggup melawan tubuh kekar sepuluh kali lipat dari tubuhnya. Hanya sekali hantaman mereka akan tersungkur ke tanah.
Tiada yang bisa mereka lakukan selain pasrah memberikan harapan terakhirnya untuk mengisi perut mereka yang sudah meronta minta diisi.
“Iya, sebaiknya kita pulang,” ajak Eve.
Dia menuntun adik-adik angkatnya itu menyeberangi jalanan. Mereka melewati jalan setapak. Sesekali bersenandung ria melepas dahaga yang sejak tadi meronta minta air.
***
“Puji syukur, uang yang kita dapatkan hari sangat banyak!” pekik Thea saat melihat dan mendengar suara uang logam bergemerincing jatuh.
“Ini semua berkat Kak Eve. Suaranya mengundang banyak orang memberi kita uang,” timpal Hazel.
“Plus karena Kak Eve sangat cantik,” imbuh Cora menambahkan.
Eve mengulum senyum tersipu malu. Dia tidak biasanya disanjung sama orang. Mereka hanya menghinanya dan menganggap benalu di keluarga Bella.
“Ini buat Kak Eve,” ujar Liam menyodorkan Eve sebagian hasil jerih payah mereka.
Eve mendorong pelan tangan Liam. Dia menggelengkan kepala tanda menolak.  Sejujurnya dia juga sangat membutuhkan uang, tetapi melihat kondisi rumah adik-adiknya dan Ibu Brenda yang sedang sakit membutuhkan obat, dia menolaknya.
“Buat kalian saja. Lain kali baru kalian boleh membagi hasil dengan kakak,” ujar Eve.
Liam dan anak-anak lainnya menatap Eve penuh haru. Padahal mereka biasanya hanya mendapat uang seratus ribu dalam sehari, paling tinggi dua ratus lebih. Namun, sekarang mereka mendapat lima ratus ribu.
“Eve, kamu sudah bekerja keras, Nak,” sela Ibu Brenda saat melihat Eve menolak.
“Lain kali saja, Bu. Eve juga senang banget hari ini bisa bareng-bareng adik-adik Eve ke jalanan.”
Dia memamerkan senyum khasnya walau ada luka lembam di pipinya. Dia terlihat hidup seolah tanpa ada beban.
“Eve pamit dulu, ya, Bu, adik-adik,” pamitnya.
“Iya, Nak. Terima kasih untuk hari ini.”
“Sama-sama, Bu.”
Mereka melambaikan tangan kepada Eve. Sebenarnya Liam dan yang lain khawatir jika Eve pulang melewati gang sempit menuju rumah mereka.
Bisa saja pereman yang suka memalak itu ada di sana. Saat menawarkan diri untuk mengantar, Eve menolak. Dia berkata akan berjalan cepat mugkin.
Gadis remaja itu berlari menahan sakit di kakinya dengan ransel yang melekat di punggungnya. Melewati rumput-rumput yang dipenuhi randa tapak yang kini terbang tertiup angin sore.
Eve menghela napas lega saat berhasil melewati gang sempit dengan selamat, walau harus dengan membiarkan buih-buih lautan membanjiri pelipisnya.
“Hidup adalah pertanyaan dan cara kita menjalani kehidupan adalah jawaban hidup. Seseorang pernah berkata begitu dan untuk itu aku akan selalu memberi cara terbaik sebagai jawaban hidupku,” batinnya ketika dia kembali berlari di jalan setapak melewati hiruk pikuk Kota New York.
***
Sekitar jam 17: 03 dia kembali ke rumah bibinya. Dia sudah mempersiapkan kemungkinan buruk menyapanya.
Dia masuk dengan rasa takut luar biasa menyerangnya. Namun, nihil. Sepertinya rumah sedang kosong. Akan tetapi, kenapa pintu tidak terkunci?
Eve mendorongnya pelan. Membuka sepatunya untuk masuk ke dalam rumah. Dia memilih ke kamarnya dan mandi karena bayangan bibinya murka ternyata hanya ilusi. Dia selamat kali ini.
Setelah mandi, dia mendengar suara ketukan di pintu. Eve segera mengenakan baju. Ia membuka pintu dan betapa terkejutnya saat tubuhnya didorong masuk oleh pamannya.
“Paman! Paman ... Paman mau apa?” tanyanya dengan suara ketakutan.
Dia mundur saat mencium aroma alkohol begitu menyengat menguar dari tubuh Paman Leto. Pria itu menatap buas ke arah Eve. Dia menarik kaki Eve membuat keponakannya menjerit ketakutan.
“Hiks, Paman, tolong lepaskan Eve,” isak Eve.
“Diam kau, Jalang Kecil!” Paman Leto menarik Eve kuat.
“Hiks ... Paman, lepaskan!”
Eve merasa sebentar lagi dunianya akan hancur.
***
Sejak tadi, pria itu menatap pergelangan tangannya tiada henti. Dia sudah menunggu dua jam, tetapi tidak ada tanda kehadiran gadis yang ditunggunya.
Padahal malam ini dia harus terbang ke Singapura. Dia harus membeli alat-alat canggih di sana untuk menciptakan teknologi canggih yang akan dikerjakan bersama Axelio.
“Selamat malam, Tuan Jevras,” sapa salah satu anggota Black Hold yang datang ke kediamannya.
“Iya, ada apa?” Pria itu langsung berdiri di dekat kopernya.
“Pesawat Anda sudah dikonfirmasi dan bisa melakukan penerbangan jam 21:30.”
“Baik, kau bisa bawa koper saya ke bagasi mobil sekarang,” titahnya.
“Baik, Tuan.”
Jevras membenarkan jasnya. Lalu, dia melangkah lebar keluar. Padahal dia jarang berada di rumahnya, lebih sering di apartemen. Namun, gadis itu malah tidak datang. Dia tidak pernah mau membawa gadis lain ke sini.
“Kenapa aku terlalu memikirkan Eve?” batinnya.
Potongan kejadian tadi sore, saat dia melihat Eve menyanyi begitu merdu dan lembut, serta tatapan polos membuat dia merasa damai.
“Sial!” umpatnya.
Dia segera menyusul bawahannya dan masuk ke dalam mobil. Sebagian dalam dirinya mengkhawatirkan Eve, tetapi di sisi lain dia adalah orang yang diberi tanggung jawab kepada Tuan Waston agar bisa meluncurkan teknologi baru bersama Axelio.
“Kita ke Bandara sekarang,” titahnya.
“Baik, Tuan.”
Mobil lamborghini gallardo itu membelai jalanan menuju bandara Internasional John F, Kennedy.
***
Di tempat lain seorang gadis menarik selimut menutupi tubuh polosnya yang penuh lembam. Dia menangis sejadi-jadinya.
“Hiks, apa salahku?” lirihnya.
Dia tidak bisa berhenti menangis. Menangisi malam kelam yang terjadi padanya. Padahal dia sudah berharap malam ini bebas dari penyiksaan. Nyatanya malah lebih parah.
Sakit yang dia rasa selama ini tidak sebanding dengan sakit malam ini dia dapatkan.
“Manakah pelangi yang engkau janjikan untukku, Tuhan? Untuk orang-orang yang sabar dalam menjalani ujian hidupnya? Di mana harus aku temui pelangiku itu, hiks?” lirih Eve dengan tangis pilu yang menghiasi kesunyian malam.
***
TBC
Jejak no sider

Bình Luận Sách (436)

  • avatar
    SusantoDinar

    pinjam uang dana

    6d

      0
  • avatar
    LawatiSusi

    membaca sekilas sudah seru

    6d

      0
  • avatar
    FirdausMuhammad

    cerita yang sangat menarik dan saya amat menyukainya

    9d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất