logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

3. Mengamen

Byurr!
“Bangun anak pemalas!”
Eve segera bangun dari tidurnya dan menahan ringis merasa kepalanya sangat berdenyut. Dia merasa linglung, tetapi berusaha bangun.
Wajah galak Bibi Eloise menjadi santapannya pagi ini. Ia melihat gayung yang dibawa bibinya untuk mengguyur tubuhnya. Padahal dia sudah dingin dan pagi-pagi buta begini dibangunkan dengan air dingin pula.
“Masuk ke dalam! Masak!” titahnya.
“I—iya, Bi.”
Eve bergegas masuk ke dalam sebelum bibinya murka dan melayangkan pukulan kedanya. Tubuhnya sudah penuh luka lembam yang belum sembuh. Takut bila jumlah lukanya malah bertambah parah.
Eve menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Setelahnya menyapu dan membereskan sisa puntung rokok di atas meja. Itu ulah pamannya.
Dia menyimpan sapu di tempat semulanya. Kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk mandi. Lalu, dia memakai seragamnya.
Eve mendekat ke meja makan. Dia sebenarnya lapar, tetapi dia tahu diri untuk tidak bergabung di sana karena mendapat sisa makanan saja sudah membuat dia bersyukur.
“Kau makanlah!” Bella meletakkan nasi di atas piring tanpa lau pauk. Lalu, mendorongnya selayak memberikan makanan pada anjing.
Eve menunduk mengambilnya. Dia membawanya ke belakang dan duduk di lantai depan dapur menikmati sesuap nasi yang diberikan.
Setelah makannya habis. Dia segera mencuci piringnya dan keluar mencari Bella.
“Bibi, Bella ke mana?” tanyanya.
Bibi Eloise yang sedang memberi warna pada kukunya menjawab cuek. “Bella sudah berangkat. Kau terlalu lama,” terangnya tanpa merasa bersalah.
“Bagaimana ini? Jarak sekolah di rumah sekitar 15 kilometer,” batinnya.
Dia akhirnya pamit dan keluar. Mau naik bus umum, tetapi tidak ada uang untuk membayar biayanya. Angkutan bus juga memerlukan kartu bus.
Ada yang tidak perlu menggunakan kartu bus, tetapi harganya dua kali lipat. Dia tidak punya cukup uang membayarnya.
Uang sisa dari Jevras masih tersimpan rapi di sakunya. Dia tidak mau memakainya sembarangan karena dia bisa mati kelaparan jika uang itu habis.
“Aku jalan kaki saja,” putusnya.
Dia berlari kecil, saat napas terengah-engah. Dia sejenak berhenti memegang lutut. Lalu, melanjutkannya kembali.
***
Sosok pria yang sedang memperbaiki kacamata yang bertengger manis di hidungnya saat lampu merah. Dia menoleh ke samping dan melihat sosok gadis mungil yang dikenalinya sedang berlari di jalan setapak.
Manik matanya terus melihat ke sana sampai gadis itu menyeberangi zebra crossing. Melihat Jevras sibuk melihat ke sana, Draco yang duduk di sampingnya ikut menoleh.
“Kau ingin menyekap anak SMA? Apa itu putri dari Tuan Gilbert?” tanya Draco.
Tuan Gilbert adalah salah satu tersangka yang ikut membocorkan data cabang perusahaan Waston Crop di Miami.
“Bukan, dia bukan anak Tuan Gilbert. Dan, aku tidak ingin menyekapnya,” pukas Jevras.
“Lalu, kenapa kau memperhatikannya seolah dia adalah targetmu?” tanya Draco. Pria ini masih penasaran dengan temannya ini.
“Hanya pernah berpapasan,” seloroh Jevras.
Dia menekan pedal gas dalam-dalam setelah lampu hijau. Dia akan mengantar Draco ke klien Mr. Waston. Sedangkan dia harus mengurus beberapa hal sebelum ke Singapura untuk membeli beberapa alat canggih yang dibutuhkannya.
***
“Jangan lupa untuk meminta anggota Black Hold mengenakan earpiece yang sudah aku buat. Ada di ruang atas bagian dekat lab.”
“Lalu, kau tidak memberikannya padaku?” tanya Draco.
“Kau bisa mengambilnya sendiri,” ujar pria itu membuat Draco menghela napas.
Dia turun dari mobil dan terpaksa hanya memakai earpiece lama. Membiarkan Jevras pergi. Dia langsung masuk ke dalam gedung.
***
“Pak, tolong buka pintunya, Pak. Saya jalan kaki menempuh 15 kilometer,” pinta Eve memelas. Dia menangkup tangan di depan dadanya.
“Saya minta maaf, Eve. Akan tetapi, peraturan sekolah sudah begini,” ucap satpam.
Bibir atas Eve jatuh membentuk lengkungan ke bawah. Dia sudah berlari padahal menembus hiruk pikuk kota New York yang sedang ramainya kendaraan mewah berlalu-lalang.
Dia duduk di dekat tembok menatap sepatu usangnya. Pantas saja Bella memberinya makanan. Gadis itu sudah punya niat jahat untuk meninggalkannya.
Dia menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Tidak tahu harus ke mana, karena kalau pulang dia akan mendapat pukulan oleh bibinya.
Dia berdiri menyusuri jalanan dengan pandangan sayu. Tidak tahu ke mana kakinya akan membawanya pergi dari sekolahnya.
Dia melihat segerombolan anak-anak di jalan tengah bernyanyi sambil memainkan alat musik. Eve mendekat membuat mereka menatap ke arahnya.
“Apa aku boleh ikut mengamen seperti kalian?” tanya Eve.
Anak-anak itu saling menatap satu sama lain sebelum mereka mengangguk. Mereka membawa Eve ke rumahnya yang sebenarnya lebih bisa dianggap kubu.
“Kak Eve, perkenalkan ini Ibu kami, namanya Ibu Brenda,” ujar salah satu di antara mereka yang berambut ikal.
“Halo, Bu. Saya Eve ingin ikut mengamen. Apakah boleh?” ujar Eve.
“Halo, Nak. Baiklah, kamu boleh ikut. Ibu senang kalau mereka mendapat teman baru. Kamu bisa menjaga mereka karena Ibu khawatir ketika mereka harus di jalanan setiap hari,” ujar Ibu Brenda.
“Iya, Bu. Eve akan menjaga mereka,” ujar Eve.
Eve berbaur dengan baik dengan mereka. Mereka menjelaskan kepada Eve tentang cara mengamen. Namun, Eve tidak ada bakat memainkan alat musik.
“Kakak tidak tahu cara bermain gitar,” ujar Eve.
“Tidak apa-apa, Kak. Liam bisa bermain gitar,” ujar anak berambut ikal itu sambil menunjuk pria kerempeng di dekatnya.
“Benar kata, Thea, Kak. Liam sangat pintar dalam bermain gitar,” timpal gadis berponi itu.
Liam terlihat tersipu melihat teman-temannya memujinya di depan Eve. Dengan semangat Eve meminta Liam untuk memetik senar gitar.
Pria itu memainkan gitarnya dengan lihat. Petikan yang dihasilnya begitu menenangkan. Lembut dan merangsang emosi haru.
Prok! Prok!
Eve bertepuk tangan setelah pitikan terakhir terdengar. “Kakak bisa menyanyi. Akan tetapi, tidak pernah melakukannya di depan umum. Apakah kalian mau mendengarnya?” tanya Eve tersipu malu.
“Mau!” Mereka tampak antusiasi.
Eve mulai menyanyi dan sungguh suaranya menghipnotis. Begitu syahdu dan merdu. Tidak disangka dia memiliki bakat menyanyi yang luar biasa.
Ibu Brenda yang menyaksikan itu ikut senang. Anka-anaknya—ralat, anak angkatnya yang dia temukan di jalan begitu akur dan senang hadirnya Eve memberi mereka semangat dalam menjalani hidup.
Sudah bertahun-tahun mereka tinggal di tanah kosong ini dengan gubuk miliknya. Menjalani hari-hari dengan mengamen. Wajah polos itu membawa senyum semeringah saat uang recehan memenuhi gelas yang dibawanya.
“Sekarang kita ke jalanan lagi. Hari sudah sore, pasti banyak konglomerat pulang!” seru Cora.
Thea, Liam, da Hazel mengangguk setuju. Eve ikut bersiap-siap. Dia mengganti bajunya dengan baju pemberian Ibu Brenda.
Walau kebesaran di tubuhnya, tetapi sudah lebih baik daripada dia mengenakan seragam sekolah di tengah jalan. Bisa-bisa dia di-DO dari sekolahnya.
“Bu, kami pamit, ya,” pamit Eve.
“Hati-hati, Nak.”
“Iya, Bu. Ayo kita  berangkat.”
Ibu Brenda mengantar mereka sampai ke depan. Selanjutnya wanita paruh baya itu masuk ke dalam. Dia sakit sehingga tidak bisa ikut mengamen.
Lagipula keempat anaknya tidak akan membiarkannya ikut mengamen. Mereka tidak tega melihat orang yang sudah merawatnya sejak kecil ikut terpontang-panting di jalan demi sesuap nasi.
***
Langit kemerah-merahan tanda sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Namun, tidak untuk wajah-wajah polos di jalanan yang sedang bernyani ria.
Mereka menyingkir di tepi jalan setapak saat lampu hijau dan kembali lagi setelah lampu merah. Dan, di sini mereka menghampiri mobil hitam mengkilat.
Mereka hanya menebak-nebak di balik kemudi itu pasti orang berdompet tebal. Eve tidak menyandari mobil itu miliki pria yang sejak tadi kini menatapnya dengan keterkejutan.
“Kenapa dia mengamen?” gumam pria itu.
Dia menurunkan setengah kaca mobilnya. Thea segera menyodorkan gelas tempat uang. Namun, pria itu tidak memberinya uang, melainkan fokus menatap ke arah Eve.
Bola matanya hampir keluar melihat pria yang dikenalnya. Dia mendekat dan menyengir khasnya.
“Om Jevras,” sapanya.
“Eve, kenapa kamu mengamen?” tanya Jevras.
Tadi pagi dia melihat gadis itu lari dan sore ini dia malah menemukannya di jalan mengamen. Sungguh dia tidak tahu bagaimana sebenarnya hidup gadis ini.
“Harusnya dia istirahat dengan pipi lembam seperti itu malah berada di jalan sore-sore begini,” batin Jevras.
“Om jalanlah,” ujar Eve menarik teman-temannya yang sudah dianggap seperti adik sendiri.
Ting!
Jevras mengumpat kecil saat bunyi klakson saling bersahutan di belakangnya. Dia ingin memberi uang kepada Eve dan anak-anak polos itu yang kini menatapnya bingung.
Namun, dia tidak memiliki uang cash. Terpaksa dia hanya melempar kartu namanya kepada Eve dan beruntung gadis itu menangkapnya.
“Datanglah ke situ!”
Jevras menutup kaca mobilnya dan menekan pedal gas. Dia melihat di kaca spion Eve membolak-balik kartu namanya.
“Apa aku harus mencari tahu tentangnya? Akan tetapi, kenapa aku harus melakukannya?” batin Jevras.
Dia mengacak rambutnya frustrasi. Setiap kali dia melihat wajah ayu Eve, dia merasa selalu ingin memberikan sesuatu kepada gadis itu. Apalagi saat mengingat wajah Eve yang menahan lapar.
Dia tersentak. “Apa dia tidak makan lagi? Ah, sudahlah,” batin Jevras.
***
TBC
Jangan lupa jejak, ya.

Bình Luận Sách (436)

  • avatar
    SusantoDinar

    pinjam uang dana

    6d

      0
  • avatar
    LawatiSusi

    membaca sekilas sudah seru

    6d

      0
  • avatar
    FirdausMuhammad

    cerita yang sangat menarik dan saya amat menyukainya

    9d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất