logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bagian 2

Selepas pertengkaran hebat yang terjadi antara dirinya dan Andini, sahabatnya. Kini ia duduk terpaku menatap sebaris nama di batu nisan yang terpampang jelas di hadapannya. Entah angin apa yang menyebabkan ia kembali berakhir di tempat yang selama bertahun-tahun menjadi tempat favoritnya untuk termenung, tempat yang menjadi saksi bagaimana kehidupan tenang yang dulu ia jalani perlahan mulai berganti alur.Meski tak bisa dipungkiri setiap kali ia harus pulang dengan mata bengkak dan penyesalan yang semakin menumpuk, namun setidaknya hanya ini yang bisa ia lakukan untuk bisa sedikit menebus kesalahnnya di masa lalu.

Tanpa ia sangka tiba-tiba hatinya kembali terasa sesak, lebih menyakitkan dari pada sebelumnya. Kilasan-kilasan masa lalu yang coba ia kubur selama bertahun-tahun kembali muncul kepermukaan. Hingga sebuah isakan pelan berhasil lolos dari bibir mungilnya yang coba ia tutup dengan sebelah telapak tangan. Ia menangis, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan.

Ia tak pernah merasa seputus asa hari ini, bahkan ketika ia dulu harus menerima kenyataan bahwa ia tak bisa mengejar impiannya sejak lama, juga ketika sang Bunda memilih untuk meninggalkan dirinya, ia tak pernah menangis. Ia masih memiliki seseorang yang akan selalu berada di sampingnya. Namun kejadian dua hari lalu kembali menampar ulu hatinya, tak dapat dipungkiri bahwa keputusan yang ia ambil sekitar tiga tahun yang lalu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Bunda... aku harus bagaimana?

Bahunya begetar hebat seiring dengan isakannya yang semakin terdengar keras. Bertahun-tahun ia bersembunyi di balik senyum yang ia tampilkan, mencoba menegaskan bahwa ia baik-baik saja. Getirnya kehidupan yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya mengajarkan ia untuk tetap tegak berdiri meski dengan hati yang nyaris tak terbentuk.

Namun hari ini ia sadar, sekuat apapun ia mencoba tegar dirinya tetaplah manusia biasa. Ada kalanya dimana ia berada pada titik terendah sehingga kadang membuat ia hampir menyerah dan mengakhiri hidupnya sendiri, tapi lagi-lagi realita kembali menyadarkan dirinya bahwa ia tak sendiri dan masih ada seseorang yang membutuhkannya saat ini.

Setelah hampir satu jam ia hanya terdiam di tengah pemakaman umum, ia menyeka air matanya kasar dan bangkit dari duduknya bersiap untuk pergi. Namun sebelum itu tak lupa ia kembali melirik batu nisan yang sudah mulai berlumut itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

Naya melangkah keluar dari TPU dengan langkah tenang tanpa ia sadari ada sepasang mata yang sedang menatapnya dengan pandangan terluka. Tak dapat dipungkiri hatinya juga sakit melihat tangisan Naya selama hampir satu jam di tempat itu. Andiri tahu, Naya tak pernah benar-benar menangis, bahkan kejadian hampir dua belas tahun yang lalu juga tak membuat ia serapuh ini. Tapi cukup satu hal yang membuat Naya seperti ini. Sebuah kabar yang ia dengar dua hari yang lalu cukup membuat seorang Naya menampakkan sisi rapuh yang ia sembunyikan selama ini.

Sosok cinta pertamanya kini terbaring lemah di rumah sakit....
@@@
Begitu sampai ke rumah sakit, Naya tak terlalu terkejut mendapati Andini telah berdiri di depan rawat inap tempat ayahnya sedang berbaring di dalamnya. Mereka berdiri dengan canggung selepas pertengkaran mereka tadi pagi.

“Elo udah balik? Gue ke kantin dulu cari makanan,” ucap Andini tiba-tiba. Naya mendongak membuat ia bertatapan langsung dengan manik mata coklat yang selama ini menjadi tempat bersandarnya, sosok sahabat yang sudah ia anggap saudaranya sendiri.
“Kamu pulang aja Din, aku tau besok kamu ada pemotretan,” Andini menggeleng pelan. “Pemotretannya sore kok Nay, gue juga udah pamit ke nyokap bakal nginep di sini malam ini.”

Kali ini Naya hanya diam tak menjawab perkataan Andini, percuma ia menentang keputusan sahabatnya yang luar biasa keras kepala itu. “Oya, di dalam masih ada dokter yang memeriksa keadaan Ayah elo.” Naya hanya mengangguk pelan begitu melihat sahabatnya sudah melangkah anggun meninggalkan dirinya.

Selepas kepergian Andini, Naya duduk di bangku yang berada di luar ruangan. Ia mengusap wajahnya pelan memandangi sosok Andini yang perlahan menghilang dari pandangan. Andaikan ia terlahir seperti gadis itu, atau paling tidak bundanya tidak pergi secepat itu, mungkin kehidupannya tak akan serumit saat ini.

Terlalu banyak kata ‘seandainya’ yang sudah bersarang dibenaknya sejak dua belas tahun yang lalu, kata yang terkadang membuat ia bertanya-tanya apakah Tuhan benar-benar sedang menguji kesabarannya.

Naya bersandar dengan mata terpejam ketika suara pintu yang dibuka masuk ke gendang telinganya. Sontak ia langsung berdiri dan menatap ke arah dokter cantik yang menatapnya lembut.

“Untuk sementara keadaan pasien masih stabil, tapi kami tetap perlu memantau keadaannya karena tekanan darah pasien belum normal,” Naya hanya mengangguk pelan mendengar pemaparan dokter cantik yang kini berdiri di hadapannya. “Untuk langkah selanjutnya kita tunggu keputusan dari Dokter Gunawan saja karena saya hanya mewakili.” Lanjutnya sambil tersenyum ramah yang juga dibalas dengan senyum sopan oleh Naya.
“Terima kasih Dokter... Pelita.” Balas Naya setelah berhasil melirik nama yang terletak di dada Snelli yang dikenakan. Dokter itu hanya mengangguk kemudian berlalu pergi diikuti oleh seorang suster yang mengikutinya dari belakang.
Selepas kepergian dokter itu, ia berbalik masuk ke ruangan hanya untuk menemui sang permata hati, sosok cinta pertama dalam hidupnya yang kini tampak terbujur kaku dengan berbagai alat medis yang melekat di tubuhnya.
Ia mendekat dan menarik kursi di sebelah bangkar lalu duduk dengan mata tak lepas menatap wajah sang ayah yang tampak tenang dengan mata terpejam. Pandangan matanya kembali mengabur seiring dengan sesak yang kembali memenuhi rongga dadanya.
Naya meraih tangan sang ayah yang terbebas dari jarum infus. Dingin. Tak lagi ia temukan kehangatan dari sosok yang kini terbaring di depannya. Ia merindukan semuanya, bagaimana tangan besar itu dulu pernah menggenggam tangan kecilnya, menyalurkan kehangatan lewat jari-jari tangannya, juga bagaimana tangan itu selalu memberikan usapan halus yang menenangkan tiap kali ia takut menghadapi teman-teman sekolah yang sering mengejeknya karena tak lagi memiliki ibu. Ia merindukan semuanya, selama dua belas tahun ia hanya hidup dalam bayang-bayang kenangan manis keluarga harmonis yang pernah ia miliki.

Seandainya saja....
Ah, selalu demikian. Kata terpahit yang ingin ia kubur dari ingatannya. Dadanya kembali bergemuruh, ia membenamkan wajahnya sambil tetap merengkuh tangan ringkih sang ayah dalam gengamannya ketika sebuah isakan pelan kembali keluar dari mulutnya.
Bahunya bergetar hebat menumpahkan segala sesak yang pernah ia simpan. Sungguh ia tak sangup kehilangan untuk kedua kalinya, melepaskan satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. Meski keberadaan sang ayah tak pernah membantu banyak hal setidaknya ia masih punya alasan untuk hidup, ia masih mempunyai tumpuan untuk mempertahankan akal sehat ketika nalurinya memaksa dirinya untuk menyerah pada keadaan.
Ayah... setidaknya jadikanlah aku sebagai alasan untuk kau bertahan meski itu menyulitkan.
@@@
Andini baru saja kembali dengan tangan menjinjing plastik berisi makanan yang sengaja ia beli untuk Naya, ia tahu bahwa sahabatnya ia belum menyentuh makanan apapun sejak kemaren. Ia melangkah ringan menuju kamar inap yang beberapa saat lalu ia tinggalkan, namun pergerakan tangannya terhenti ketika sebuah isakan tertahan terdengar di gendang telinganya.

Ia mematung dengan raut wajah yang sulit digambarkan. Pegannya pada handle pintu semakin mengeras seiring dengan sebelah tangannya yang lain juga meremas plastik yang masih berada dalam gengamannya.
Andaikan ia bisa sedikit saja menanggung beban yang Naya tanggung, setidaknya ia bisa mengurangi sedikit penderitaan sahabatnya.

Andini menghela napas pelan sebelum akhirnya memutar handle pintu dengan wajah yang sebisa mungkin terlihat tenang. “Hai Nay, gue bawa makanan nih,” ucapnya dengan nada riang sambil manutup pintu dengan pelan, dan ketika berbalik ia telah berhadapan dengan wajah tenang Naya dan sedikit senyuman yang menghiasi wajahnya. Tidak ada raut wajah sedih bahkan jejak air mata yang tampak meski jelas ia mendengar sebuah isakan beberapa saat yang lalu. Benar-benar akting yang sempurna. Naya yang tenang bahkan sangat tangguh dari luar. Siapa yang akan menyangka bahwa dibalik sikap tenang yang ia tunjukkan ada luka berdarah-darah yang coba ia simpan.

Seperti yang pernah ia bilang, Naya tak pernah benar-benar menangis. Ia selalu menyembunyikan air matanya di balik senyum hangat yang selalu ia tunjukkan. Bahkan ketika ia harus kehilangan sosok yang menyebabkan ia hadir ke dunia ini, ia hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi dengan bibir yang tak pernah berhenti menunjukkan sebuah senyum tipis yang tampak ia paksakan, meski tak dapat dipungkiri beberapa kali ia juga sering mendengar sahabatnya itu menangis diam-diam dalam kamar.

“Aku ke kamar mandi dulu, cuci muka sekalin shalat.” Andini mengangguk membiarkan sahabatnya itu menghilang di balik pintu.

Andini berjalan mendekat dan duduk di kursi yang tadi ditempati Naya. Matanya menyusuri sosok tubuh ringkih yang kini terbaring kaku dengan mata terpejam rapat di depannya.
Andini masih ingat dengan jelas bagaimana sosok pria dihadapannya pernah menjadi penyelamat ketika sang Ayah dulunya ingin menjual ia kepada lintah darat sebagai penebus hutang, ia juga menjadi saksi bisu bagaimana dulu pria itu masih terlihat gagah sebagai salah satu pengacara hebat di masanya.

Ia yang mengetahui dengan jelas bagaimana kehidupan keluarga Naya sebelum hari itu datang, hari yang mengubah kehidupan mereka seutuhnya. Hari ketika Bunda Nabila menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Sejak hari itulah Andini sadar bahwa tak akan ada lagi om Wawan yang akan membawakan ia es krim setiap minggu sore. Juga tak ada lagi sosok periang Naya kecil yang akan menemuinya dan mengajak bermain rumah barbie dengan gaya khas centil hasil terlalu sering menonton serial drama kesukaan bundanya.
Hari itu, segalanya telah berubah. Tak lagi ia temukan sosok tetangga dengan keluarga harmonis yang kadang membuat ia iri setengah mati ditengah hidupnya yang saat itu ditelantarkan ayahnya sendiri.
Semuanya telah berubah, tak hanya waktu, tapi bagaimana sebuah luka perlahan mulai tumbuh dengan terlalu.

Bình Luận Sách (74)

  • avatar
    muhammaddian

    aku mau diamond epep

    21/06

      0
  • avatar
    widyareny

    sangat menarik

    05/06

      0
  • avatar

    hebat

    04/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất