logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Menghapus bukti

Setelah semua orang bubar dan pergi, aku mengambil tas Ibu lalu memasukkan baju yang sudah diacak-acak Mama tadi ke dalam tas. Kemudian menuntun Ibu ke kamar belakang, mengambil obat lalu mengoleskan luka di siku dan tangannya.
Terlihat Ibu menahan perih akibat obat yang dioleskan. Hatiku begitu terenyuh tak terasa air mata menetes dan bobol menahannya. Aku sudah bersalah pada Ibu hingga dia harus tersiksa begini karena aku.
"Yu, kenapa kamu menangis?" tanya Ibu sambil memegang pipiku.
"Maafkan Ayu, Bu! Selama ini Ayu nggak pernah menjenguk Ibu dan Ibu juga harus menerima siksaan di sini demi Ayu," ucapku menatap Ibu sedih.
Ibu mengelap air mataku dan tersenyum. "Sudahlah, Yu! Ibu nggak apa-apa, Ibu lebih senang dengan begini bisa lebih dekat kamu."
Kembali aku terisak dan memeluk Ibu. Beliau mengelus lembut punggungku. Tubuh kurus Ibu begitu terasa saat dipeluk, sudah setahun juga aku tidak pernah bersua dengan Ibu, itu karena Mama yang melarang pulang atau aku menerima konsekuensinya.
Selesai mengolesi obat, aku meletakkan baju Ibu di lemari dan menyimpan tasnya. Di kamar ini Ibu tidur sendiri karena disebelahnya adalah kamar Bi Inem. Ibu tidak masalah ditempatkan di kamar pembantu, lebih nyaman katanya.
Keluar dari kamar Ibu, aku bergegas menuju ruang kerja. Terlebih dahulu melihat ke lantai atas, kedua pintu dalam keadaan tertutup pasti Mama dan Mas Lucky masih didalam. Aman, aku masuk ke ruangan yang mirip kantor.
Begitu tiba di meja, aku membuka laptop dan menghubungkan ke CCTV. Untung saja rekaman itu belum diambil Mas Lucky. Dengan kemampuan yang tersembunyi, mengotak-atik untuk mengambil data dari laptop lalu kupindahkan ke ponselku.
File berpindah cepat dan selesai, aku langsung menghapusnya dari laptop. Bukti rekaman bisa dipakai sewaktu-waktu nanti. Aku tersenyum puas dan saat mataku tertuju pada layar, terlihat Mas Lucky keluar dari kamar Mama dan berjalan turun.
Aku harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum Mas Lucky curiga. Masih ada jarak sebelum suamiku sampai jadi aku keluar dan menyelinap ke dapur. Pura-pura mengambil minum untuk Ibu.
Saat berpapasan dengan Mas Lucky, dia menatap tajam lalu pandangannya tertuju ke tanganku yang memegang gelas. "Untuk Ibu!" kataku ketus sambil melengos pergi.
Syukurlah, Mas Lucky tidak curiga. Aku membawa gelas air ke kamar Ibu dan melihatnya sudah tertidur. Ibu pasti lelah karena tubuhnya sakit akibat ditendang Mama. Aku menghampiri Bi Inem di kamarnya.
"Bi Inem, boleh Ayu masuk?" kataku seraya mengetuk pintu.
"Masuk aja, Non!" jawab Bi Inem dari dalam.
Bi Inem sedang melipat pakaian. Melihatku masuk, Bi Inem berlutut. "Apa yang Bibi lakukan?" kataku kaget lalu menyuruhnya bangun.
"Maafkan Bibi, Non! Bibi nggak bisa bantu saat Ibu Non Ayu tadi disakiti Nyonya. Bibi takut dipecat, Non!" sesalnya memohon.
"Sudahlah, Bi! Ayu nggak menyalahkan, sebaliknya Ayu ingin minta tolong Bi Inem. Mau kan?"
"Apa itu, Non? Asal nggak buat Nyonya marah," cetusnya berharap.
"Bi Inem bisa buatkan Ibu minuman jamu kan, kasihan Ibu pasti tubuhnya luka di dalam," kataku sedih.
"Oh, itu gampang! Bibi akan buat, tapi apa nggak sebaiknya dibawa ke dokter aja Non?" tanya Bi Inem heran.
"Ibu nggak mau, Bi! Lagian, Ayu nggak ada uang. Bibi taulah selama Ayu tinggal di sini, Ayu nggak pernah pegang uang."
"Pakai uang Bibi aja, mau?" tawarnya.
"Nggak usah, Bi! Terima kasih, oh ya udah Ayu mau ke kamar dulu. Jangan lupa jamu Ibu," pintaku.
Bi Inem mengangguk dan mengantar keluar kamar. Bi Inem menuju dapur, sedangkan aku naik ke lantai atas untuk mandi. Selesai mandi, aku duduk menyisir dan memakai bedak. Mas Lucky masuk dengan wajah masam.
Aku tak pedulikan dan terus bercermin. Mas Lucky terus menatapku seperti ingin bicara tapi ragu. Membalikkan badan lalu memandangnya tak berkedip.
"Ada apa? Kenapa menatapku terus?" tanyaku menaikkan alis.
"Mas tadi dari ruang kerja memeriksa CCTV, kok nggak ada ya!" jawabnya gugup dan salah tingkah.
Aku mendengus dalam hati, pasti kamu mau menghapus rekaman itukan Mas. Untung saja tadi aku cepat memeriksa dan memindahkannya.
"Apanya yang nggak ada? Apa Mas mau melihat siapa yang jadi maling sebenarnya? Yakin Mas nggak terkejut nanti atau Mas udah tau?" tanyaku menjebaknya.
"Eh, eng-nggak kok! Mungkin memang benar rusak. Ya udah, nggak usah dibahas lagi. Mas mau mandi dulu," katanya sambil masuk ke kamar mandi.
Aku tertawa dalam hati, terus sajalah kamu membohongiku Mas. Satu bukti sudah ada di tanganku, tinggal mencari bukti perselingkuhan kalian. Sengaja aku masih menyuruh Ibu tinggal di sini untuk memuluskan rencanaku.
Ya, aku punya rencana untuk menghancurkan mereka. Jangan mereka pikir selama ini aku diam mengalah itu karena takut. Aku hanya mencari waktu yang tepat dan Ibulah yang membuat rencanaku berjalan.
Mas Lucky tidak pernah tau siapa aku sebenarnya. Karena sebelum menikah aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan. Namun, baru beberapa bulan bekerja karena fitnah seseorang membuatku dipecat.
Setelah dipecat, aku membantu Ibu berjualan di pasar. Saat itulah aku ketemu dengan Mas Lucky sedang belanja. Aku membantunya memilih sayur segar, sejak saat itu dengan berbagai alasan Mas Lucky kerap datang ke pasar.
Sebulan perkenalan, Mas Lucky melamar dan mengajakku menikah. Akan tetapi, Mamanya tak merestui hubungan kami. Oleh karena itu kami tetap menikah dengan sederhana di rumahku.
Mas Lucky tidak pernah tau kalo aku ini pernah bekerja di perusahaan. Karena dia tak pernah bertanya, Mas Lucky taunya aku penjual sayur di pasar. Sekarang itu sangat menguntungkan diriku, jadi Mas Lucky tidak curiga aku yang menghapus rekaman CCTV itu.
Tanpa menunggu Mas Lucky siap mandi, aku turun ke bawah lagi melihat keadaan Ibu. Pasti jamu buatan Bi Inem sudah siap dimasak. Sebelum ke dapur aku ke kamar Ibu, ternyata Bi Inem lagi menyuapi Ibu minum jamu.
Ibu tersenyum kala aku nongol. "Gimana, Bu jamunya?" tanyaku sambil duduk di kursi yang terletak dekat tempat tidur.
"Enak, Bi Inem pandai membuatnya," puji Ibu melirik Bi Inem.
Bi Inem tersipu malu. "Ibu bisa aja, saya dulu memang penjual jamu saat di kampung."
"Pantas, tapi kenapa nggak jual jamu lagi Bi?" tanyaku ingin tau.
"Saya nggak mau tinggal di kampung lagi karena suami saya menikah lagi dengan janda muda. Sakit hati saya setiap ketemu dia, makanya saya merantau kemari sebagai pembantu," jelas Bi Inem dengan mata berkaca-kaca.
Aku menggeleng mendengar kisah hidup Bi Inem. Semua lelaki sama saja tidak muda tua suka selingkuh. Ibu beruntung karena almarhum Bapak tetap setia hingga meninggal.
Saat asyik mengobrol terdengar teriakan Mama memanggil Bi Inem. "Inem ... Di mana kamu?" Seketika wajah Bi Inem pucat pasi.

Bình Luận Sách (205)

  • avatar
    Denn

    sangat seruu sekali ceritanya

    21/08

      0
  • avatar
    GawolRini

    Bagus ceritanya

    20/07

      0
  • avatar
    Sasmita Bhizer

    bagus

    06/04

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất