logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 3 Dilema Melanda Hati Dilema Melanda Hati

"Ada Pak ganteng ..., Pak guru ganteng datang," seru para siswi kelas 6 sambil berlari menuju kelas mereka. Hana yang baru saja datang merasa heran sambil celingukan karena memang dua hari ini dia tidak ada jadwal mengajar sehingga tidak tahu tentang info terbaru di sekolah itu. Hana pun mengabaikan mereka dan lanjut berjalan menuju ruangannya. Langkah Hana begitu pelan, wajahnya kembali tertunduk menatap kosong sepanjang lorong lantai sekolah. Kejadian bersama Rasyid kemarin membuatnya kembali terus berfikir tentang lamaran itu.
"Assalamu'alaikum Ustazah!" Suara itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Perlahan Hana mengangkat wajahnya ke arah orang yang menyapanya itu.
"Wa_aaalaikum saa_aalaam warohmatullah," jawab Hana terbata-bata karena kaget. Ternyata dia adalah Rousyan, guru baru yang mereka panggil pak ganteng itu.Hana pun buru-buru mengalihkan pandangannya, gadis itu tidak berani menatap wajah Rousyan yang penuh keteduhan itu lama-lama. Dirinya takut tak bisa menjaga hati, apalagi saat ini hatinya tengah dilema. Meski begitu, tetap saja hatinya memaksa bicara menjelaskan percikan rasa yang tak dimengertinya hingga kini.
"Astaghfirullah ...," lirih hati Hana.
"Ehem ..., pagi semua ...! Ada yang lagi reunian nih." Tiba-tiba Anisa datang dari arah belakang Hana.
"Awas Pak ganteng jangan deket-deket Ustazah Hana, hati-hati ada yang marah!" ledek Anisa sambil melirik Hana yang tersipu malu.
"Anisa, ngomong apa sih?" timpal Hana merasa tak nyaman dengan ledekan itu.
"Hehe .... Cieee,calon manten marah nih. Maaf ya, Bu, becanda!" Anisa makin menggoda Hana. Dengan cepat Hana pun mencubit pinggang Anisa.
"Ooh ... Iyakah? Selamat ya Hana!" Ucapan Rousyan justru membuat Hana tertegun. Rousyan sendiri mendadak canggung.
"InsyaAllah, jika Allah izinkan. Aku sendiri belum tahu siapa jodohku," jawab Hana setelah lama terdiam.
"Loh, bukannya ...."
"Anisa, kita masuk yuk!" potong Hana sambil mengerdipkan matanya pada Anisa yang hampir keceplosan.
"Kita duluan ya, Kak Syan." Merekapun meninggalkan Rousyan yang termangu sendirian. Entah, sepertinya pria sederhana itu juga menaruh perasaan yang senada pada Hana. Matanya yang sayu terus menatap langkah Hana yang baru saja berlalu. Seperti ada rasa yang mengganggunya, hatinya terhenyak mendengar kabar Hana yang akan segera menikah.
"Kak Syan kok bisa ada di sini ya, Nis, apa dia ngajar juga?"
"Oh, iya dia baru masuk dua hari yang lalu. Di sini dia pegang mata pelajaran Bahasa Arab."
"Oh ..., jadi yang anak-anak maksud pak guru ganteng tadi Kak Rousyan?" Hana terkekeh.
"Oh ... betul itu, panjang bener oh-nya. Eh iya, Han,kalau boleh tahu memangnya kamu sama Rasyid gimana? Kok sepertinya kata-katamu tadi seolah ...." Anisa menggantungkan ucapannya takut salah menebak.
"Aku masih belum ambil keputusan, Nis. Entahlah, aku bingung!"
"Han, bukan maksudku untuk ikut campur. Tapi, baiknya kamu segera mengambil keputusan. Jangan terlalu lama menggantungkannya, kalau memang hatimu ragu ya jangan dipaksakan! Kita menikah 'kan untuk beribadah, jangan sampai kita menjalani itu dengan hati yang setengah-setengah."
"Nggak tahu lah, Nis! Aku lagi malas membahas itu. Mending kita bahas kamu," ujar Hana sambil ketawa kecil setengah menggoda Anisa. Kedua sahabat itu asyik mengobrol sambil menunggu jam pelajaran berganti.
"Hm .... Sebelumnya jangan ketawa ya! Menurutmu, Kak Syan gimana?" Pertanyaan Anisa tiba-tiba membuat dada Hana semakin sesak. Bagaimana mungkin Hana bisa ketawa mendengar itu, yang ada dia hanya bisa meringis tersenyum tipis.
"Kak Syan orangnya baik, sederhana dan bersahaja. Nggak perlu bertanya padaku, tanya murid-muridmu aja pasti pada antusias menjawabnya, hehe ...." Hana berusaha menutupi perasaannya dengan kembali menggoda Anisa.
"Jujur ya Han, dari dulu aku suka banget sama dia. Tapi, kamu tahu sendiri dia orangnya cuek banget."
"Justru yang cuek itu yang bikin penasaran, ya 'kan?" Hana terus menggoda Anisa. Merekapun saling beradu mata dan ketawa bareng.
*****
"Nduk, tadi sore Pak Hamdun ke sini. Ibu pengen tahu, sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan Rasyid?" tanya Bu Rahma saat menghampiri putrinya yang baru saja selesai muthola'ah. Hati Hana mendadak kembali tak karuan. Dia bingung harus jawab apa. Bayangannya tentang pernikahan yang selama ini dia impikan seakan telah jauh dari harapan. Laki-laki yang datang melamarnya, justru dia telah membuat hatinya ragu untuk mencoba melangkah bersama.
"Nduk, diajak ngobrol kok malah diem?"
"Eh, iya, Bu. Bu, jujur hati Hana masih bimbang. Hana ingin melangkah tapi takut salah, dan kalau Hana menolak ,apakah Hana berhak untuk itu?"
"Sebenarnya apa yang membuatmu bimbang, Nduk?"
"Sikap mas Rasyid sendiri, Bu."
"Maksudmu?"
"Kalau aku cerita, mungkin Ibu juga nggak akan percaya."
"Memangnya ada yang salah dengan sikapnya?"
Hana pun terpaksa menceritakan kejadian di cafe itu. Tapi sayangnya Ibu yang diharapkan membela dirinya justru sebaliknya.
"Mungkin saja dia tidak sengaja melakukan itu. Setahu Ibu, Rasyid itu anak yang baik dan berpendidikan."
"Tapi, kenyataannya pendidikan yang tinggi itu tidak menjamin seseorang itu menjadi tinggi pula akhlaknya."
"Terus, kamu mau menolak lamaran itu? Kalau seperti itu, artinya sama saja kamu melempar kotoran ke muka Bapakmu," ucap Bu Rahma penuh amarah.
"Dan kalau begitu, apa Hana sudah tidak punya pilihan lain Bu?" Hana kembali bertanya dengan nada sedih.
"Ibu bingung harus ngomong apa, Ibu hanya orang bodoh," tutur Bu Rahma sambil ngeluyur meninggalkan Hana. Hati Hana seperti hancur, mendengar tanggapan Ibunya. Dia hanya bisa menangis di sudut kamarnya.
Sejak saat itu, Bu Rahma jadi jarang menegur Hana. Keinginannya untuk melihat Hana segera menikah, seolah membuatnya mengabaikan perasaan putrinya. Sindiran tetangga tentang Hana yang di lontarkan padanya membuatnya terpojok hingga begitu berambisi untuk segera menerima lamaran seorang pria yang datang melamar putrinya. Apalagi Rasyid berasal dari keluarga kaya, lulusan sarjana, dan punya pekerjaan yang bagus. Baginya, ini akan menjadi nilai yang membanggakan untuk dia tunjukkan pada orang-orang yang dianggap telah mengejeknya.
"Ada apa toh Bu, dari kemarin bapak lihat kok kaya murung terus?" tanya Pak Burhan sembari menyeruput kopi buatan istrinya itu.
"Ibu nggak ngerti Pak sama Hana. Tiap ada lamaran yang datang, ada saja alasan yang membuatnya ragu terus ujungnya nggak jadi lagi nikahnya."
"Memangnya kali ini kenapa katanya? Bapak sangat mengenal Hana, selama ini dia selalu nurut apa kata Bapak."
Bu Rahma akhirnya mengulangi cerita Hana. Namun berbeda dengan dirinya, Pak Burhan justru sangat menyayangkan sikap Rasyid. Dia sangat kecewa dan menyesal sudah hampir memaksa Hana menerima lamaran itu.
"Sepertinya kita sudah salah Bu, kita terlalu menekan Hana untuk menerima lamaran Rasyid."
"Ya terus mau sampai kapan Pak, moso iya dia mau sendiri terus?"
"Ya, memangnya kenapa? Kalau memang belum sampai jodohnya, mau gimana?"
"Ya, ini Rasyid udah sampai ke rumah. Apa itu bukan berarti Allah sudah nunjukkin jalannya, Pak?"
"Bu, setiap yang datang belum tentu dialah jodohnya. Kadang seseorang sengaja Allah datangkan untuk sebuah ujian, maka dari itu Bapak selalu menyuruh Hana istikhoroh. Karena semua tidak terlepas dari kehendak-Nya. Kita harus belajar menata hati, karena terkadang kita memilih bukan karena orang tersebut pantas dipilih. Menerimalah karena Allah, dan saat kita menolakpun harus karena Allah."
"Bapak nih selalu saja belain Hana, lantas gimana dengan Pak Hamdun?"
"Itu biar menjadi urusan Bapak, insyaAllah semua akan baik-baik saja."
"Kalau begitu terserah Bapak! Yang jelas ibu capek, ibu cuma nggak mau Hana dibilang perawan tua yang nggak laku-laku."
"Perawan tua dari mana, putri kita memangnya usianya berapa? Mereka yang lebih tua dari Hana juga banyak yang belum menikah."
"Tapi pantaran Hana di sini cuma Hana yang masih sendiri."
"Ya, biarkan saja! Kita nggak perlu malu atau takut dengan pendapat orang. Yang tau anak kita ya kita sendiri." Bu Rahma kemudian terdiam, amarahnya kian redam. Hana yang pendiam bak anak pingitan, seringkali menjadi bahan gunjingan orang.
"Maafkan ya Allah, gara-gara aku Ibu dan Bapak jadi berdebat seperti itu," lirih Hana yang tak sengaja mendengar percekapan orang tuanya saat hendak ke kamar mandi.
*****
PRAAAAAANK!!!!!!!!!
Suara pecahan gelas itu terdengar dari arah kamar Rasyid.
"Haaaaaaaa ...," teriak Rasyid membuat gempar suasana rumah megah itu. Bu Sarah pun langsung berlari menujuh sumber suara itu.
"Ada apa ini?" lontar Bu Sarah. Dilihatnya kamar Rasyid yang sudah brantakan, pecahan kaca berserakan di lantai. Rasyid hanya terdiam, sepertinya gelas itu sengaja dibanting olehnya untuk melampiaskan amarahnya. Beberapa hari ini, dia sulit menghubungi Hana. Pesan singkatnya pun hanya dibaca tanpa dibalas olehnya.
"Apa ini karena Hana?"
"Bukan!" jawab Rasyid singkat.
"Jangan bohong! Ada apa emang dengan dia, sampai membuatmu marah seperti ini?"
"Sepertinya Hana bakal menolak lamaran saya, Mah."
"Apa .... Menolak? Sombong sekali dia, berani menolak kamu. Harusnya dia bersyukur, mana ada gadis biasa seperti dia dilamar pemuda berada dan berpendidikan tinggi seperti kamu."
"Dia punya kriteria sendiri, Mah tentang calon suami idamannya."
"Mau cari yang seperti apa, orang biasa saja kok banyak kriteria. Lagian kamu juga ngapain galau seperti itu, dia nggak mau ya sudah! Yang lebih pantas dari Hana juga banyak."
"Tapi Hana beda, Mah,bantu saya ya, Mah. Semua ini salah saya."
"Nggak, kamu itu kaya nggak punya harga diri. Kalau sekiranya sikap Hana seperti itu, ya harusnya kamu itu sadar kalau dia itu memang belum pantas untuk kamu."
****
"Pagi-pagi gini Bapak mau kemana?" sapa Hana pada Pak Burhan yang sudah terlihat rapih.
"Bapak mau silaturahmi ke rumah Pak Hamdun." Mendengar nama itu, Hana langsung menekuk wajahnya.
"Pak, Hana pasrah dengan keputusan Bapak. InsyaAllah Hana percaya pada Ibu dan Bapak. Yang terpenting bagiku adalah ridho kalian. InsyaAllah segala kesulitan apapun, akan menjadi mudah atas doa dan restu kalian," ucap Hana sambil berkaca-kaca. Pak Burhan langsung menarik Hana dan mendekapnya.
"Nggak, Nduk, bapak tidak seegois itu. Dari kecil bapak berusaha menjagamu sebaik mungkin, tangan ini selalu memegang erat dirimu agar tak pernah terjatuh. Lalu, bagaimana mungkin tangan ini bisa melepasmu begitu saja tanpa bapak yakin pemuda itu mampu menjagamu dengan baik."
"Tapi kan setiap orang katanya bisa berubah Pak, dan mungkin pandangan Hana pun demikian jika sudah mengenalnya lebih jauh."
"Tidak, Nduk, jika hatimu ragu jangan lantas memaksanya untuk yakin. Karena bapak pun tidak akan pernah memaksamu untuk itu." Tutur kata pak Burhan membuat air mata Hana semakin deras membasahi pipinya.
"Terimakasih ya, Pak, Hana bersyukur bisa bertumbuh di tangan orang tua yang begitu hebat."
"Nduk, kalau boleh tahu apakah sebelumnya ada seseorang yang telah mengisi hatimu?"
"Kenapa bapak bertanya seperti itu?"
"Bapak hanya ingin kamu jujur, agar ke depan bapak punya alasan saat ada orang lain datang kembali melamarmu." Hana kembali tertegun, bayangan Rousyan tiba-tiba kembali merasuk fikirannya.
"Astaghfirullah ..., tidak Hana, jangan begitu!" pekiknya.
"Hana, kamu melamun?" tegur pak Burhan.
"Maaf, Pak,Hana hanya heran dengan pertanyaan Bapak. Seseorang siapa toh Pak? Hati Hana cuma satu, yang nantinya hanya akan di isi oleh seseorang yang menjadi pilihan Allah untuk pendamping hidup Hana."
"Ya sudah, bapak pergi dulu ya!" Pak Burhan pun berlalu dengan membawa misinya sendiri. Dan Hana hanya bisa berdoa dalam hati,
"Bismillahi tawakkaltu'alaAllah."

Bình Luận Sách (67)

  • avatar
    NasribasanSamir

    mantap

    20d

      0
  • avatar
    AsrilAsril

    bagus ceritanya

    04/03/2023

      0
  • avatar
    Herlen Asya Dzifah

    sangat memotivasi

    15/02/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất