logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Tujuh

Henry stres luar biasa. UAS tinggal besok, dan materi masih banyak yang belum dia pelajari. Dia membuka buku nya random, bingung mana lagi yang perlu dia baca. Wahyu yang melihat nya hanya memutar bola mata nya. Melihat Henry yang seperti ini sudah biasa bagi nya.
“Bisa lo makan dulu itu bakso nya? Lo bisa belajar lagi nanti” Henry menggeleng, dia masih membaca buku nya dengan acak. Tidak peduli jika apa yang dia baca bisa masuk ke otak nya atau tidak. “Nggak bisa, gue bisa mati kalau gagal di semester ini”
“Belajar terus juga nggak baik buat lo”
“Lo nggak tau gimana serem nya bokap gue”
Wahyu memakan mie ayam nya, tangan nya yang masih memegang garpu menunjuk Henry santai. “Lo nggak inget gue sering kena tabokan bokap lo?”
“Lo enak pinter! Nggak usah ngebut belajar juga nilai lo bisa lulus”
Wahyu mendengus. Menaruh garpu ke mangkuk nya kasar. Dia merebut buku yang Henry baca, lalu dia simpan di samping kursi nya. “Lo nggak inget gimana kakek gue yang gila olahraga itu ngelatih gue habis-habisan sejak gue SD? Bakalan aneh kalau gue nggak pinter di bidang ini”
“Btw, Yu. Ngapain kita ngantin di fakultas kedokteran?” Henry bertanya. Dia memakan bakso nya, menyerah dengan buku yang ada di tangan Wahyu. Masa bodoh dengan nilai nya nanti. Dia bisa mencari alasan sibuk melatih Wahyu dan tidak bisa fokus belajar jika ayah mengomeli nya.
“Kantin disini enak”
“Lo pikir gue nggak tau modus bejat yang lo pikirin?”
Wahyu tertawa. Dia segera meminum es the nya saat dia rasa tenggorokan nya sedikit kering. “Lo tau ngapain tanya?”
“Lo pikir cewek sealim Nameera bakalan berani dateng ke kantin yang isi nya cowok gini? Gengsi, man! Takut bersentuhan dia. Deket sama lo kurang dari semeter aja langsung ngehindar, apalagi ke kantin berandal kayak gini”
“Siapa tau-“
“Usaha lo sia-sia” Henry menyela sebelum Wahyu menyelesaikan perkataan nya. “Lagian ini udah siang, nggak banyak orang yang bakalan ke kantin. Mereka ada kelas, belajar. Nggak kayak lo”
“Gue nggak belajar juga udah pinter. Nggak kayak lo”
Henry melotot. “Lo ngejek gue sekarang?”
Wahyu tersenyum, hanya menaikkan salah satu sudut bibir nya. Mengejek Henry.
“Hai,” Mereka menoleh bersamaan pada gadis yang sudah duduk di samping Wahyu tanpa di persilahkan.
“Siapa yang ngijinin lo duduk disitu?” Henry bertanya, tanpa menutupi nada tidak suka dari suara nya. Mata nya menilai pakaian yang dipakai Rere, kaos ketat bewarna merah menyala, lipstik bewarna merah muda yang tidak cocok dengan warna bibir nya, rambut yang dia sanggul heboh. Menor sekali.
“Wahyu yang ngijinin. Iya, kan?” Rere menumpu kepala nya dengan tangan, menatap Wahyu dari samping. Tersenyum genit.
“Aku belum ngijinin. Tapi, ya. Kamu boleh duduk disini” Wahyu menjawab. Dia bergeser menjauhi Rere pelan, berusaha agar tidak menyinggung perempuan di samping nya itu. Tangan nya mengambil buku Henry, menaruh nya di meja dekat Rere, dia gunakan sebagai batas.
“Kamu ngapain disini?” Rere bertanya. Dia melengkungkan punggung nya, membuat bagian dada nya terlihat lebih menonjol.
“Makan lah, pake nanya” Henry bergumam.
“Makan,” Wahyu hanya tersenyum. Tidak berani menoleh pada Rere –lebih tepat nya tidak mau-. Dia memakan mie nya kikuk.
“Mau ketemu aku ya?” Wahyu tersedak. Pertanyaan gila macam apa ini. Rere menyodorkan gelas es the pada Wahyu, sudah mendekatkan sedotan nya di bibir Wahyu. Namun Wahyu menolak dengan memilih minuman Henry yang ada di depan nya. Walau setelah nya dia mendapat pelototan dari si pemilik.
“Boleh aku minta nomor WA kamu? Biar gampang kalau kamu mau ketemu aku” Wahyu yang mendengar nya hampir muntah. Sedangkan Harry yang duduk di depan nya sudah menutup mulut nya dengan tangan kanan. Wahyu rasa normal jika merasa mual bagi siapapun yang mendengar nya.
“Aku kesini mau makan, mbak. Bukan mau ketemu kamu”
Wahyu mengangkat tangan nya saat melihat Nameera berjalan takut takut memasuki kantin dengan senyuman lebar di bibir nya. Wahyu berdiri, berjalan mendekati Nameera dan kedua teman nya. Agak jauh, agar Nameera merasa nyaman di dekat nya.
“Cari apa?” Wahyu bertanya. Dia sedikit memundurkan langkah nya saat Nameera mundur ke belakang, hendak mencari celah supaya dia bisa lebih jauh sedikit.
“Mau makan. Tapi kayak nya nggak jadi” Nameera menjawab dengan suara pelan, mata nya bergerak gelisah melihat sekeliling.
“Suka batagor apa bakso?”
“Tadi mau beli batagor”
“Kalian bertiga yang mau makan?” Nameera mengangguk. Wahyu mengikuti, dia menoleh ke belakang. Kantin dimana ada yang menjual batagor. “Aku pesenin dulu, kalian bisa tunggu disini”
Nameera sudah membuka mulut nya, hendak menolak. Namun dia urungkan saat Wahyu sudah tenggelam di kerumunan orang, sudah mengantri untuk membeli. Mata nya melirik Dewi dan Annisa takut, merepotkan Wahyu tidak ada dalam pikiran nya.
“Nggak pa-pa. mas Wahyu sendiri yang nawarin” Dewi menenangkan. Dia seperti nya mengerti kekhawatiran Nameera.
Nameera menunduk. Dia tidak ingin menatap orang di sekitar nya. Lalu saat suara yang dia kenal terdengar, dia mendongak. Mendapati Wahyu yang berdiri di depan nya sambil menaruh 2 kantung plastik di meja paling dekat dengan nya.
“Aku beli yang sumer. Aku nggak tau kalian suka yang pedes apa enggak” Wahyu mengusap rambut bagian belakang nya, dia tersenyum kikuk. Henry yang sedari tadi melihat nya terus tertawa, tidak seperti Wahyu sekali.
“Berapa mas? Aku ganti uang nya” Nameera sudah membuka tas nya. Hendak mengeluarkan uang sebelum Wahyu menolak nya. “Nggak usah, aku ikhlas bantuin nya”
“Lagi ngapain kak?” Annisa bertanya. Dia tidak terlalu canggung untuk menatap mata Wahyu secara langsung. Secara Annisa masih belum terlalu kuat agama nya, dia sering tergoda dengan hal yang remeh.
“Makan. Bantuin temen belajar, kasihan dia stres pas mau ujian” Wahyu menoleh ke belakang. Menunjuk Henry dengan dagu nya, lalu kembali menoleh pada Annisa. Tersenyum, sebagai sopan santun.
“Kamu enggak belajar?”
“Aku lebih suka belajar di rumah, yang tenang. Nggak berisik kayak gini” Wahyu menjawab ramah, dia berdiri bersandar pada meja. Mata nya masih menatap Annisa walau sesekali dia melirik Nameera yang sibuk menunduk.
Annisa mengangguk. Dia tersenyum tertahan saat melihat tingkah Wahyu. “Orang pinter beda kan ya”
“Enggak. Masih banyak yang lebih pinter dari aku” Wahyu merendah. Sedari kecil dia tidak pernah diajarkan untuk bersikap tinggi hati.
“Aku tadi lihat di papan pengumuman, kata nya ada turnamen renang antar kampus. Kamu mau ikut?”
“Semarang? Tapi itu tingkat-“
“Bukan. Yang di Klaten, aku denger hadiah nya lumayan” Annisa langsung menyela. Wahyu menyerngit. Dia tidak tau tentang turnamen yang ada di daerah nya, Henry tidak memberikan informasi apapun, dia juga tidak pernah melihat papan pengumuman.
“Aku nggak tau. Kapan emang?”
“Setelah ujian. 15 Desember nanti” Wahyu bingung. Tidak ada yang berbicara apapun tentang ini. Dia reflek menoleh menatap Henry, memberikan isyarat untuk mendekat dari tatapan mata nya.
Henry menurut. Dia mendekat, bersamaan dengan Wahyu yang berjalan menuju ke arah nya. Dia berujar pelan di depan Henry. “Ada lomba renang. Antar kampus”
“Trus?”
“Lo nggak bilang ke gue?”
“Pihak kampus nggak ada yang bilang ke gue. Ngapain gue ngasih tau lo?”
“Gue bisa mengajukan diri”
“Enggak. Lo harus fokus buat turnamen di Semarang nanti”
“Itu masih lama! Setengah tahun lagi! Lo nggak bakalan ngebiarin gue ngikutin lomba sebelum turnamen Semarang, kan?”
“Itu lo tau” Wahyu menendang kaki Henry. “Lo tau gue butuh duit hasil dari menangin lomba itu”
Henry berjongkok. Mengelus kaki nya sambil mendongak, menatap Wahyu jengkel. “Bokap lo lebih dari mampu buat ngebiayain hidup lo disini. Lo bolak balik dari Jakarta ke Solo tiap hari aja bokap lo sanggup bayarin!”
Wahyu mengulurkan tangan nya, meminta Henry untuk berdiri. “Bukan itu maksud gue. Gue harus mulai bisa ngandelin diri gue sendiri, bukan nya bergantung sama orang tua terus-terusan”
Henry menyambut uluran tangan nya. Dia berjalan mendekat ke arah Annisa. “Masih bisa daftar? Temen gue yang satu ini bakalan ngamuk kalau nggak ikut”
“Harus dosen yang rekomendasiin, nggak bisa daftar sendiri. Aku kira mas Wahyu ikut, nggak mungkin kan nggak ada dosen yang niat masukin dia ke turnamen”
Henry berbalik. Dia menatap Wahyu, balik menendang kaki nya. “Denger itu. Lo nggak bisa masuk kalau bukan dosen yang nyuruh”
“Gue bisa masuk. Ada dosen yang terus liatin gue sambil lari kesini” Wahyu tersenyum. Tatapan nya lurus pada dosen yang berperawakan tinggi sedang berlari ke arah nya, dengan satu kertas di tangan nya.
***
“Ha?” Tidak sopan. Tapi Wahyu tidak bisa menahan diri nya untuk tidak terperangah. Penjelasan dosen fakultas pendidikan olahraga itu membuat nya harus memutar otak nya kembali. Dia menatap ke samping, dimana Henry juga menampilkan ekspresi yang sama seperti nya.
Wahyu duduk di kantin dengan Henry dan Rere –yang entah kenapa masih setia duduk disana- dalam satu barisan. Di depan nya ada Nameera, Dewi dan Annisa yang duduk sedikit jauh dari Wahyu. Beberapa anak kampus berdiri di sekitar mereka dengan pak Fajar yang duduk di kursi tunggal, seperti pemimpin.
“Kami udah sepakat buat rekomendasiin perenang pemula, biar mereka bisa ikut berkopetisi dan mendapat pengalaman. Maka nya saya enggak bilang ke kamu sedari kemarin. Saya udah siapin beberapa orang yang bakalan ikut”
“Annisa dari fakultas kebidanan, Desi dari fakultas hukum, Fahri dari fakultas bahasa Arab” Pak Fajar menunjuk Annisa yang ada di depan Wahyu, beralih ke orang yang berambut pendek berdiri di belakang Annisa, lalu menunjuk laki-laki yang duduk tidak jauh dari mereka.
“Gilang dari kedokteran, Ayu dari sastra Indonesia, Tia dari desain interior, Faisal dari pendidikan olahraga, lalu Arga dari fakultas kamu”
“Lalu ada apa bapak cari saya?”
Pak Fajar tersenyum. Dia menyatukan tangan nya, terlihat memohon. “Latih mereka, dasar renang beberapa dari mereka lebih buruk dari yang saya pikirkan, saya sudah mendaftarkan mereka, nggak mungkin saya batalin gitu aja”
Wahyu merasa keberatan. Sebentar lagi ujian akan berlangsung, dia tidak ingin waktu nya berkurang jika dia gunakan untuk melatih orang lain. Tapi hal yang membuat dia semakin ingin mengeluh adalah ada nya 4 perempuan yang ikut dalam perlombaan. “Saya nggak bisa melatih perempuan”
“Saya tau kamu bakalan bilang gitu. Maka nya Rere dengan senang hati menawarkan diri. Dia yang akan membantu melatih yang perempuan, tapi tetap kamu yang mengawasi” Wahyu menoleh menatap Rere, lalu bergedik setelah nya saat Rere baru saja mengedipkan mata pada nya.
“Sebentar lagi ujian, nanti kalau nilai mereka kacau bagaimana?”
“Saya memilih anak didik saya yang paling pinter, nggak mungkin nilai mereka bakalan kacau cuman karena hal yang kayak gini”
“Oke. Bagaimana latihan nya? Bapak sudah nyewa tempat kolam renang buat latihan kita nanti?”
“Enggak. Saya punya tempat yang lebih baik dari kolam renang umum” Pak Fajar tersenyum. Terlihat menakutkan. Semakin menakutkan saat beliau melanjutkan perkataan nya. “Di rumah kamu. Saya denger kamu punya rumah yang ada kolam renang nya, daripada ngabisin uang buat nyewa tempat mending ke rumah kamu aja kan?”
“Pak, rumah saya bukan buat tempat latihan banyak orang. Saya nggak mau” Wahyu keberatan. Dia menjadi pihak yang dirugikan disini. Rumah adalah tempat pribadi nya, dia tidak ingin siapapun memasuki rumah nya. Apalagi di masuki oleh orang yang tidak dia kenal.
“Saya bayar! Ada hadiah bagi pihak universitas yang mendaftarkan murid didik nya. Saya kasih kamu 20% nya. Gimana?” Wahyu mengangguk lemas. Pak Fajar tau saja jika yang terus Wahyu pikirkan sedari tadi adalah uang.

Bình Luận Sách (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất