logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Lima

Tubuh Wahyu remuk keesokan pagi nya. Untuk mematikan alarm ponsel yang ada di nakas aja susah, apalagi untuk bangun dan bergegas untuk kuliah. Dia menggaruk perut nya, lalu mengelus nya pelan saat perut nya berbunyi. Dia lapar.
Wahyu melirik jam dinding nya. Sudah jam 9 lebih. Ada kelas jam 10 nanti. Dia lelah, punggung nya masih sakit, kepala nya juga terasa pusing, belum lagi hawa dingin menyergapi nya karena dia melepas baju nya semalam.
Wahyu keluar kamar dengan ponsel di tangan nya. Dia berdiri di depan kolam renang, mendial kontak Arga, menghidupkan mengeras suara, lalu dia taruh di meja pinggir kolam. Wahyu merentangkan tangan nya, melakukan pemanasan. Ini sudah genap dua hari, jadi bermain air tidak menjadi masalah bagi nya.
“Halo?” Arga menjawab nya.
“Bisa ijinin aku? Aku masuk angin kayak nya, masuk nanti sore kalau pak Fadli ngajar”
“Sakit?”
Wahyu mengangkat satu kaki nya ke atas, kepala nya dia toleh ke samping. “Hm, bisa ijinin kan?”
“Bisa, kalau di tanya aku cuman bilang masuk angin ya”
Wahyu selesai dengan peregangan singkat nya. Dia berjongkok, menyentuh air kolam lalu dia usapkan terlebih dahulu ke dada. Wahyu masih sayang jantung yang dia miliki.
Wahyu memasuki kolam, berenang satu meter lalu berhenti saat Arga belum memutuskan sambungan nya. “Nameera bilang mau datang kesini”
Wahyu menepi, berdiri di pinggir kolam. “Ngapain?”
“Nyariin kamu, kata nya mau ngembaliin baju kamu yang kemarin”
“Minta dia dateng nanti sore aja”
“Aku udah bilang kamu ada kelas jam 10 nanti, kayak nya sebentar lagi dia dateng”
Wahyu gelagapan. Dia langsung keluar dari air, berjalan masuk ke rumah mengambil handuk, lalu keluar lagi untuk mengambil ponsel nya. “Aku berangkat sekarang, kalau Nameera udah disana tahan dulu”
“Kata nya kamu sakit”
“Enggak sesakit itu ternyata, aku mandi dulu sebentar” Wahyu mematikan sambungan nya. Melepas celana basah nya di dapur lalu masuk ke kamar mandi luar, kamar mandi yang sering dia gunakan setelah dia berenang.
Wahyu keluar 5 menit kemudian dengan handuk yang melilit pinggang nya. Dia berlari ke kamar nya, memakai celana panjang nya dan memakai kaos putih polos dengan bagian depan yang sengaja dia masukkan ke dalam celana.
Tangan nya dengan cekatan memilah buku di meja nya, memasukkan nya di tas lalu keluar rumah. Mengunci pintu rumah lalu berlari menuju gerbang, membuka gerbang nya agar cukup untuk mobil nya keluar.
Masuk ke mobil lalu meninggalkan pekarangan rumah nya. Membiarkan gerbang nya masih terbuka. Dia selalu melakukan nya sejak dia menempati rumah itu. Tidak ada yang berani memasuki rumah nya, kolam renang ada di dalam, pintu depan selalu dia kunci –dengan kata lain tidak pernah dia buka- dan Wahyu selalu keluar lewat pintu garasi, mungkin cuman anak kecil yang bermain petak umpet di lingkungan sekitar.
Wahyu mengambil sisir yang ada di dashbor, merapikan rambut nya yang sudah sedikit lebih panjang. Berkaca di kaca spion, menghapus butir butir air yang masih menetes dari rambut nya. Wahyu memasuki gerbang universitas, memarkirkan mobil nya lalu keluar dengan tas yang tersampir di bahu nya.
Dia tersenyum. Menyapa orang yang menyapa nya terlebih dahulu tadi. “Hai Wahyu”
“Hai,” Wahyu tersenyum. Bahkan jika orang yang menyapa nya adalah mahasiswi yang berniat menggoda nya secara terang terangan, Wahyu masih membalas sapaan nya.
“Ada kelas?” Wahyu menoleh. Dia mengangguk, tersenyum sebagai bentuk sopan santun. Walau otak nya berpikir keras kenapa Rere senior dari fakultas kedokteran bisa nyasar di koridor pendidikan olahraga.
“Gimana bahu kamu?” Wahyu sudah mempercepat jalan nya, tapi Rere masih berusaha menyimbangi nya.
Wahyu mengendik, menggerakkan bahu nya enteng. “Udah baik”
“Udah kamu olesin salep tiap hari?”
“Udah” Bohong. Wahyu hanya mengolesi nya setiap pagi dan siang karena meminta Arga untuk membantu nya. Tidak sepenuhnya bohong sih, yang penting dia sudah mengoleskan nya.
“Kamu make kaos polos aja udah keliatan keren, gimana kalau kamu make baju yang biasa nya di pakai anak-anak yang lain, pingsan semua kaum hawa disini” Wahyu hanya diam. Rere melantur. Wahyu berpakaian seperti layak nya remaja lainnya. Memakai kemeja trend dan sepatu keluaran terbaru. Dan tidak ada yang pingsan saat kaum hawa melihat nya berpakaian dengan mencolok.
Wahyu sudah hampir tiba di kelas nya, tapi senior nya itu masih tetap berjalan di dekat nya. Wahyu berhenti di depan pintu kelas, Rere juga ikut berhenti mengikuti nya. Wahyu mengangkat alis nya, menatap Rere heran. “Mbak mau kemana?”
Rere tertawa sok malu-malu, tangan nya memukul manja bahu Wahyu lalu menutup mulut nya, sok anggun dengan mata yang melirik nya malu. Wahyu yang kaget dengan reaksi nya mundur selangkah. “Jangan manggil mbak lah, masih muda loh aku. Panggil Rere aja”
“Tapi mbak udah semester 7, umur nya udah-“
“Umur hanya angka, nggak perlu kamu ributin” Rere menyela. Dia hampir menyentuh bahu Wahyu lagi namun gagal karena Wahyu sudah lebih dahulu menghindar.
Wahyu menjauh lagi saat Rere tertawa tidak jelas. Dia mengedarkan pandangan nya, memang banyak orang yang tidak memperhatikan interaksi mereka, tapi tidak sedikit dari mereka yang menatap nya sambil berbisik bisik dengan teman nya.
Wahyu menghembuskan napas. Mengeluh. Gosip dengan nama nya di dalam akan bertebaran sebentar lagi.
Wahyu menunduk, menolak berbicara lebih jauh lagi dengan Rere. Dia memutari tubuh Rere, lalu masuk ke kelas nya cepat. Duduk di bangku nya, tidak memperhatikan suasana kelas nya. Dia mengeluarkan buku dan bolpen, lalu mendongak hendak berbicara dengan Arga.
Perhatian nya teralih pada dua perempuan berjilbab besar di samping Arga. Cukup jauh, mereka berdua berdiri menempel pada dinding. Fakultas nya memang laki-laki semua, ada perempuan, tapi bisa di hitung jari.
Wahyu berdiri, mendekat pada Nameera yang menatap sekeliling takut, tidak hanya dia, Dewi yang berdiri di samping nya juga menatap sekeliling was was. Bagi mereka, kelas Wahyu adalah gudang nya dosa. Bersentuhan, berbicara dengan intens, menatap teman Wahyu lama dan mereka akan berdosa.
“Kata Arga mau balikin baju aku” Wahyu bersuara lebih dulu. Menerima saat Nameera menyerahkan kantung plastik pada nya. Dia menunduk dan berjalan keluar kelas menyeret tangan Dewi, terlihat sekali jika dia tidak nyaman dengan lingkungan kelas yang dia masuki.
Belum sampai Nameera melewati pintu, salah satu orang yang melintas di depan kelas menghadang nya. Tersenyum lalu menunduk, mencoba membuat kontak mata dengan Nameera.
“Tatap mata aku, baru aku bolehin pergi. Kata nya cewek kayak kamu nggak berani liat mata cowok lebih dari 5 detik” Kurang ajar. Wahyu berdiri, berjalan mendekati Nameera di ikuti Arga dan sohib nya- Doni.
Wahyu membuka lebar pintu kelas nya. Mendorong pelan laki-laki yang berani berucap kurang ajar dengan Nameera. “Nggak sopan ngomong gitu sama perempuan, apalagi perempuan seperti mereka”
“Aku ra butuh wong sok jagoan kayak kowe” Wahyu menggeram. Bahasa lokal. Dia tidak mengerti apa yang laki-laki di depan nya bicarakan. “Indonesia, please”
“Kamu nggak bisa nyari ribut di depan kelas orang lain, jadi kamu balik aja. Aku nggak mau ada masalah sama fakultas orang lain” Wahyu berbicara. Arga dan Doni sudah mengambil alih kendali. Dia mendorong laki-laki itu pelan, menyuruhnya menjauh.
Tipe orang jawa yang Wahyu sukai, tidak suka saat ada yang menganggu perempuan lalu membereskan nya tanpa kekerasan. Walau lebih banyak di luaran sana yang menantang ribut dan memicu pertengkaran hanya karena menjaga kehormatan bagi setiap perempuan.
Wahyu berbalik saat mendengar suara berisik di belakang nya. Mereka bertengkar, Doni yang mengepalkan tinju nya dan laki-laki itu mencengkeram kerah leher nya.
Wahyu mengusap leher nya. Dia meringis, temperamen orang Solo dan Jakarta sama saja. Mudah tersulut emosi. Lagipula mereka masih remaja, jadi Wahyu memaklumi nya saja.
***
Wahyu mengantar Nameera dan Dewi keluar dari gedung fakultas nya, mengawasi agar tidak ada yang mengganggu mereka lagi. Fakultas olahraga memang kebanyakan laki-laki, makanya banyak yang beranggapan jika fakultas nya isi nya berandalan semua.
Walau Wahyu tidak akan menyangkal saat melihat Doni dan laki-laki itu saling beradu tinju tadi.
“Disini aja nganterin nya mas, maaf ngerepotin” Wahyu yang sedari tadi menunduk, kini mendongak. Melirik Nameera yang berdiri di depan nya.
“Nggak sekalian ke gedung kamu? Di depan masih jurusan pendidikan olahraga” Wahyu masih menawarkan diri. Dia tidak suka jika Nameera di goda laki-laki lain, apalagi pendidikan olahraga itu laki-laki nya kebanyakan orang yang tidak beres. Suka menggoda perempuan yang lewat di depan mereka, walau tidak semua yang seperti itu.
“Nggak usah, aku ada kenalan disana. Jadi kalau ada apa-apa aku bisa minta bantuan nya dia” Nameera menolak lembut. Dia masih tersenyum walau mata nya tidak tertuju pada nya.
“Nanggung. Aku anterin aja” Wahyu memaksa. Tangan Nameera terangkat, meminta Wahyu tidak mendekat dengan cara halus, dia mundur selangkah, hampir menabrak Dewi yang berdiri di belakang. “Nggak usah mas. Kamu kan ada kelas, nanti kalau ketinggalan gimana?”
Wahyu melirik jam tangan nya. 10 menit lagi dosen yang mengajar akan datang, beliau tidak suka mahasiswa yang terlambat. Wahyu masih ingin lulus semester ini, jadi dia menurut saja.
Nameera sudah berbalik, berjalan beberapa langkah lalu berhenti. Dia berbalik lagi, raut wajah nya terlihat panik. Wahyu yang melihat nya terdiam, mengangkat alis nya. “Payung!” Nameera berucap.
Wahyu tertawa mendengarnya, dia memasukkan tangan nya di saku celana. Tersenyum pada Nameera yang menatap nya cemas berharap Wahyu tidak marah pada nya. “Kamu simpan aja, aku masih punya banyak stok payung. Lagian payung yang kemarin payung lama, jaga-jaga kalau hujan waktu musim penghujan tahun lalu”
“Aku ganti-“
“Nggak usah,” Wahyu menyela.
“Kamu beli payung kan make uang. Nggak boleh, aku ganti pokok nya”
“Yang bilang pake daun siapa? Lagian itu payung hadiah. Kamu nggak lihat di atas nya ada tulisan olimpiade renang?” Wajah Nameera memerah, dia berdeham, mengusap lengan nya yang mendadak merinding saat melihat Wahyu tersenyum di depan nya.
Nameera sempat melihat tulisan olimpiade di payung yang Wahyu beri kemarin, saat di rumah, di depan orang tua nya, terutama ayah nya. Saat beliau bertanya, Nameera dengan kikuk menjawab pemberian dari kakak senior nya.
“Sebagai ganti nya, boleh aku minta yang lain?”
“Apa?”
Wahyu mengeluarkan ponsel nya, menjulurkan nya pada Nameera. “Boleh minta nomor WA kamu?”
Nameera diam, dia menatap ponsel Wahyu lama. Setelah nya dia mengatupkan tangan nya, tersenyum sekilas lalu berbalik, berjalan dengan lengan yang menggandeng lengan Dewi.
Nameera menolak nya. Di tempat umum. Dimana banyak orang yang melihat kelakuan nya. Wahyu malu, alih alih berbalik menuju kelas nya, Wahyu malah tertawa. Nameera terlalu sulit untuk nya. Nameera seperti membiarkan nya dekat namun memberi batasan bening yang tidak bisa Wahyu tembus jika bukan atas kemauan Nameera sendiri.
Teman satu kelas Wahyu yang melihat tingkah nya di belakang tertawa. Terlalu keras. Sengaja untuk mengejek si bocah kota.
Wahyu mendengar nya. Tapi dia membiarkan nya sebentar, mata nya masih mengikuti langkah kaki Nameera. Lalu saat Nameera sudah menghilang di kerumunan orang, Wahyu berbalik. Menyimpan ponsel nya di saku celana nya terlebih dahulu, lalu berlari mengejar teman-teman nya.

Bình Luận Sách (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất