logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Empat

Tidak ada yang tidak mengenal Wahyu. Muhammad Wahyu Dirgantara.
Hampir satu universitas mengenalnya. Atlet renang yang sudah sering wira-wiri di tv dan koran lokal maupun majalah olahraga. Laki laki yang memiliki tubuh tinggi berotot dan berkulit putih, belum lagi iris mata nya yang bewarna coklat terang keturunan dari ayah nya membuat nya semakin di kenal.
Semua orang membicarakan nya. Apa yang dia lakukan, pertandingan apa yang dia ikuti, piala mana saja yang sudah dia dapatkan. Bahkan di pertandingan terakhir Wahyu, banyak mahasiswi yang rela datang untuk melihat nya memakai celana renang nya saja.
Semua orang juga tau jika Henry semester 5 yang satu jurusan dengan Wahyu, rela ikut pindah kemari satu tahun yang lalu untuk melatih Wahyu lebih dekat.
Lalu saat insiden Wahyu terjatuh sampai melukai punggung nya, satu universitas gempar. Mereka bergosip sana sini menanyakan keadaan Wahyu dan alasan apa dia sampai terjatuh. Mereka masih ingat bagaimana geger nya Henry yang langsung berlari kelimpungan menuju klinik saat tau Wahyu terjatuh.
“Nam?” Nameera mendongak, tersenyum pada Annisa yang memanggil nya tadi. “Ada apa?”
“Kak Wahyu bagus ya, atlet, kata nya udah nyewa rumah sendiri, baik lagi” Annisa tidak bisa menahan diri nya sendiri untuk tidak bergosip. Terserah kalau dia mau bergosip, hanya saja dia harus tau jika bergosip di depan Nameera itu sia-sia, percuma. Karena Nameera tak akan menanggapi nya.
“Bagus tapi shalat masih bolong-bolong buat apa?” Dewi menimpali dengan nada sarkas. Tangan nya mengotak atik ponsel nya, mencari bahan materi yang akan mereka pelajari nanti nya.
Nameera memang tidak merespon, tapi dia mendengarkan. Dia pikir Wahyu adalah umat yang taat, karena itu yang dia lihat kemarin saat Wahyu duduk di samping nya. Dia seperti tidak masalah saat Nameera menjauh, tidak bertanya kenapa bersikap dingin seperti laki-laki pada umum nya, Wahyu bahkan menjaga jarak di belakang nya agar tidak menimbulkan fitnah.
“Dia atlet, maka nya nggak ada waktu buat shalat” Annisa masih berusaha membela.
Dewi berdecak. “Shalat paling lama berapa menit sih? Paling mentok juga 10 menit, segitu sibuk nya sampai nggak shalat?”
Nameera diam. Dia ingin menimpali, tapi tidak ingin Annisa semakin mengajak nya bergosip nanti. Dia menunduk, membaca buku di tangan nya.
“Aku denger dia deketin kamu, Nam” Nameera mendongak, menatap Annisa. Lalu menggeleng, menyangkal.
“Aku juga liat, waktu kemarin aku sama Dewi bilang mau ke kantin terus ninggalin kamu sendiri, kak Wahyu deketin kamu kan?”
Nameera masih menggeleng. “Dia cuman duduk disana”
“Tapi ngajak ngobrol juga kan?” Nameera semakin panik. Koridor waktu itu memang sedikit ramai, tapi tidak mungkin mereka bisa melihat jika Nameera berkesempatan mengobrol dengan Wahyu. Lagipula suara Nameera terlalu kecil untuk di dengar. Mereka tidak mungkin bisa mendengar nya juga kan?
“Dia basa basi tanya nama kamu kan?” Nameera gelagapan. Mereka mendengar nya.
Annisa tertawa, dia merangkul pundak kecil Nameera, menenangkan. “Gosip nya udah santer, yang sabar ya”
Padahal dia sudah mengatur jarak nya. Bagaimana bisa masih ada yang beranggapan jika dia dekat dengan Wahyu?
“Kamu nggak suka sama dia?” Annisa bertanya. Dia penasaran luar biasa. Annisa memang sudah sering mendengar banyak laki-laki yang berusaha mendekati Nameera dan mereka berhenti berusaha saat Nameera tidak menunjukkan rasa ketertarikan sama sekali.
Berbeda dengan kali ini. Ini Wahyu. Atlet renang nomor satu di hati perempuan yang berusaha mendekati Nameera beberapa hari terakhir. Tidak menyerah bahkan saat Nameera hanya menjawab seadanya saat Wahyu bertanya.
Nameera menggeleng. “Mas Wahyu emang baik, tapi enggak kalau suka”
“Kamu nggak mau pacaran sama dia, Nam?”
“Bisa di gampar bapak aku kalau beliau tau” Nameera menjawab dengan candaan. Ayah nya tidak pernah bermain tangan dengan keluarga nya. Jika ada yang salah, di tegur. Bukan dengan mengayunkan tangan.
“Kalau di lamar?”
“Cowok fakultas bahasa Arab aja di tolak, apalagi yang nggak taat agama kayak mas Wahyu” Dewi yang menjawab. Dia memang selalu begitu. Tidak suka saat ada orang yang meminta serius padahal diri mereka masih belum benar sepenuhnya.
“Nggak taat agama gitu banyak yang suka, gimana kalau taat nanti? Yang ada dosen yang udah bersuami ikut suka lagi”
“Astagfirullah Annisa, jaga ucapan nya” Nameera dan Dewi menegur bersamaan.
“Ngeyel, udah ada satu dosen bersuami yang suka sama dia. Genit mulu, sering ke fakultas olahraga pakai alesan lewat padahal mau liat kak Wahyu doang”
“Siapa?” Dewi mendapat delikan dari Nameera karena menanggapi ucapan Annisa.
“Bu Sarti”
Dewi tertawa. Dosen bahasa yang sudah berumur di akhir 30-an itu rela berjalan jauh demi melihat laki-laki yang usia nya terpaut jauh dari nya. Nameera yang mendengar nya hanya tersenyum, tidak sampai hati untuk tertawa.
***
Sudah jam 1 lebih, dan Nameera belum melakukan shalat wajib nya.
Dosen yang mengajar memundurkan kelas nya, beralasan ada keperluan yang penting lalu datang terlambat. Tidak memberikan ijin kepada mahasiswa nya untuk shalat atau pun ke kamar mandi. Takut mereka akan kabur ke kantin kata nya.
Koridor sudah sepi, memang karena ini jam dosen mengajar. Jadi hanya sedikit mahasiswa yang masih berkeliaran di koridor.
Nameera berjalan cepat melewati gedung fakultas olahraga. Dia tidak ingin bertemu dengan Wahyu, takut gosip tentang nya akan kembali beredar.
“Nameera” Nameera berhenti, dia berbalik. Mendapati Wahyu berdiri di depan pintu kelas sambil tersenyum ke arah nya. Nameera hanya mengangguk sopan.
“Mau kemana?” Wahyu bertanya. Tidak berniat memperpendek jarak di antara mereka. Tau jika Nameera tidak ingin dia melakukan itu.
“Mau ke mushola mas, telat shalat”
Wahyu mengangguk mengerti, dia memandang langit. Sudah mendung sedari tadi, suara gemuruh sudah terdengar, tapi tidak kunjung hujan. Karena itu dia lebih memilih berdiam di kelas bersama teman teman nya.
“Bawa payung? Mau hujan soal nya”
Nameera menggeleng. “Enggak mas, kalau hujan aku masih bisa teduh di mushola”
“Aku bawa payung, mau pinjam punya ku dulu?”
Nameera menggeleng, menolak. Dia tersenyum sopan. Mengingat pembicaraan nya tadi dengan kedua teman nya, Nameera memberanikan diri untuk bertanya. “Kamu udah shalat?”
Wahyu tercenung, dia mengusap tengkuk nya, canggung. “Belum”
“Mau jadi imam ku?”
Wahyu gelagapan. “Nggak kecepetan?”
Nameera menyerngit. “Ini bahkan udah telat buat shalat, enggak bisa di undur lagi”
Wahyu yang mendengar nya tertawa. Ahh, imam shalat. Wahyu memikirkan hal yang lain tadi. Wahyu mengangguk, mengambil tas dan jaket nya lalu membiarkan Nameera berjalan lebih dulu, dia mengikuti dari belakang.
***
Wahyu benar benar menjadi imam. Hanya mereka berdua, mahasiswa lain nya berada di teras mushola. Tidak di perbolehkan berada di dalam jika tidak untuk shalat. Dia berada di shaf paling depan, sedangkan Nameera berada paling belakang.
Setelah selesai, Wahyu berbalik. Melihat Nameera yang duduk bertasbih dengan mukena putih yang di pakai nya, mata nya terpejam, bibir nya bergerak merapalkan pujian untuk tuhan nya.
Wahyu mengusap wajah nya, menyadarkan diri nya sendiri. Dia berdiri, melepaskan kopiah lalu dia letakkan di lemari. Berjalan menuju teras mushola. Hanya ada beberapa orang, sisa nya sudah pergi entah kemana karena hujan sudah turun sejak Wahyu memulai shalat.
Wahyu menunduk, membacakan doa atas kenikmatan karena sudah di berikan hujan lalu mengusap kedua tangan nya di muka. Wahyu duduk di teras, bersandar di dinding. Hujan nya terlalu lebat, dia bahkan sampai terkena percikan air hujan nya.
Suara gemuruh terdengar, di susul kilat dan petir setelah nya. Begitu terus berulang-ulang.
Wahyu mengeluarkan ponsel nya, mencabut batrei nya lalu dia masukkan kembali ke tas nya. Terlalu berbahaya jika membiarkan ponsel menyala saat ada hujan disertai petir seperti ini.
Sudah lebih dari 30 menit, dan Nameera belum keluar dari mushola. Merasa ada yang tidak beres, Wahyu melongokkan kepala nya ke dalam, mendapati Nameera yang duduk di pojok mushola masih dengan mukena yang dia kenakan tadi. Kepala nya tertunduk, kedua tangan nya menutupi telinga, lalu dia berjengit saat suara petir bergema di ruangan.
Wahyu berdiri, mengambil tas nya lalu berjalan mendekati Nameera. Dia duduk di depan nya, masih menjaga jarak.
“Nameera?” Wahyu memanggil. Tidak ada sahutan. Nameera malah semakin mengeratkan tangan nya, menutup telinga nya lebih kencang.
“Nameera? Ini Wahyu” Wahyu merangkak mendekat, dia berhenti saat Nameera mendongak ke arah nya. Mata nya basah, hidung nya memerah, suara isakan samar dia dengar.
Wahyu duduk bersila, menatap Nameera yang masih takut takut menatap nya. “Kamu kenapa?”
Suara petir terdengar, Nameera menunduk lagi. Isakan nya semakin keras. Nameera tidak pernah menangis saat hujan, karena biasa nya dia akan di temani kedua teman nya saat di kampus dan ayah nya saat di rumah. Berbeda dengan sekarang, tidak ada orang di sekitar nya, tidak ada orang yang mengajak nya berbicara. Dia takut dengan suara petir, hanya itu.
Wahyu mengerti. Dia berdiri, berjalan menuju lemari lalu mengambil salah satu al-Qur’an, setelah nya kembali duduk di depan Nameera, sedikit lebih dekat dari yang tadi.
Wahyu membuka al-Qur’an yang di pegang nya, membacakan al-Fatihah lalu berlanjut ke surat al-Baqarah. “Bismillahirrahmanirrahim…”
Wahyu membacakan nya dengan suara keras, dia tidak peduli. Asal suara nya bisa lebih terdengar daripada suara petir dan kilat yang masih terlihat. Asal Nameera mendengar apa yang dia bacakan dan bisa sedikit lebih tenang.
Nameera menengadah, masih menekuk lutut nya, dia bersandar di dinding yang ada di belakang nya. Wajah nya kacau, Wahyu tidak sengaja melihat anak rambut yang keluar dari dahi Nameera, jadi dia segera menunduk kembali, sibuk membacakan ayat al-Qur’an.
Hujan masih belum berhenti sampai satu jam ke depan, tapi kilat dan suara petir sudah hilang. Nameera juga sudah tertidur, masih dengan posisi meringkuk bersandar di dinding.
Wahyu tidak berani menatap lebih jauh, Nameera tidak dalam kondisi yang baik sekarang.
Jadi dia membuka tas nya. Mengambil kemeja yang baru saja di kembalikan Arga tadi, dia berjalan pelan mendekati Nameera. Menutupi wajah nya dengan kemeja yang dia miliki, meninggalkan payung lipat di samping nya.
Lalu dia keluar mushola. Berjalan menuju parkiran, memasuki mobil nya lalu menghidupkan mesin. Wahyu menghidupkan pemanas, dia hanya terkena hujan sedikit. Yang dia butuhkan hanya mandi setelah dia sampai di rumah.

Bình Luận Sách (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất