logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Tiga

Wahyu buru buru mengancingkan celana panjang nya, memasukkan buku yang berserakan di meja nya lalu dia masukkan ke tas nya, membiarkan air mengalir di wajah nya lalu jatuh di tubuh bagian atas nya.
Membiarkan celana bagian pinggang nya basah, Wahyu menyambar kaos lengan panjang di gantungan pintu lalu berlari menuju garasi rumah nya. Dia sudah terlambat, Arga baru memberitahu nya jika kelas di majukan pagi ini.
Memasuki mobil yang di berikan ayah nya –waktu dia memenangkan turnamen besar sebelum lulus SMA-, Wahyu menyalakan mesin nya. Memakai kaos nya, mengemudi cepat memasuki gerbang universitas.
Dia mengigit jari telunjuk nya, ini kelas yang penting bagi nya, Wahyu tidak bisa melewatkan nya begitu saja.
Ini memang kesalahan nya, dia tidak membuka grup chat whatsApp nya. Semalam dia terlalu sibuk mengerjakan makalah, lalu tertidur setelah mandi singkat.
Wahyu memarkirkan mobil nya di parkiran, berlari cepat menuju gedung fakultas nya dengan tas yang dia genggam di tangan kanan nya. Beberapa orang menatap diri nya. Masa bodoh dengan penampilan, dia hanya membasuh tubuh nya singkat dan sikat gigi tadi. Dia bahkan tidak punya waktu untuk menyisir rambut nya.
Dia hampir sampai, menaiki tangga di belokan terakhir Wahyu memelankan lari nya. Dia reflek menghindar saat Nameera berjalan di depan nya dengan gamis hijau pudar nya, membuat nya harus melepaskan tas yang sedari tadi dia genggam lalu berakhir dengan tubuh nya yang terjatuh di tanah. Satu meter dari ketinggian nya semula.
Wahyu mendongak, mendapati Nameera yang berdiri di tempat nya tadi dengan raut wajah cemas, tidak berbeda dengan teman yang sedari tadi berjalan sejajar dengan Nameera.
Suasana riuh. Mahasiswi berteriak nyaring, mahasiswa yang ada di sekitar mendekati nya. Membantu nya berdiri, menanyakan bagaimana keadaan nya lalu membopong nya menuju klinik.
Punggung berharga nya yang memar kemarin terasa semakin sakit, belum lagi rasa malu yang dia terima karena menjadi pusat perhatian dengan cara yang lagi lagi konyol.
***
Wahyu membuka kaos yang dia pakai, berdiri di belakang cermin dengan kepala menoleh ke belakang, mengecek separah apa luka yang ada di punggung nya.
Memar di bahu kanan nya –memar lama insiden dinding kolam- dan ada memar baru di bahu kiri nya. Belum lagi luka sobekan di bagian tengah punggung nya yang masih mengeluarkan darah, mungkin karena terkena batu tajam saat dia terjatuh tadi.
“Bisa kamu duduk?” Petugas klinik itu tersenyum sambil menunjukkan tas P3K di tangan nya. Rambut nya yang panjang terurai membuat nya terlihat cantik. Dia masih muda, Wahyu mengira dia adalah senior dari fakultas kedokteran.
Wahyu menurut, dia duduk di ranjang membelakangi petugas.
“Nama ku Rere, semester 7 di fakultas kedokteran” Wahyu nggak peduli. tapi demi menjaga sopan santun nya, Wahyu juga memperkenalkan diri nya. “Wahyu, semester 3 jurusan pelatihan olahraga”
Wahyu merasakan rasa perih di punggung nya, berganti dengan hawa dingin saat Rere menutupi luka nya dengan kapas. Wahyu berjengit saat Rere menyentuh bahu nya, tidak sakit, dia hanya terkejut dengan sentuhan Rere.
“Bisa kamu gerakin lengan kamu?” Wahyu menurut, dia mengangkat kedua lengan nya, lalu berputar pelan. Tidak terkilir, hanya rasa sakit karena memar yang dia rasakan. Wahyu bernapas lega, dia masih ingin bertanding nanti.
“Nggak ada yang terkilir, cuman memar, diolesin salep 3 hari nanti udah sembuh. Tapi aku saranin luka terbuka yang ini jangan terlalu lama terkena air dulu. Paling enggak 2-3 hari, agak dalam soal nya” Dua hari tanpa berenang. Wahyu sudah merasa bosan sekarang.
Rere mengoleskan salep di bahu Wahyu pelan, sengaja. “Kamu ambil pelatihan olahraga kan? Karena itu otot kamu terbentuk?”
Wahyu melengos saat mendengar perkataan genit Rere, apalagi jari jemari perempuan itu menyentuh otot bisep nya. Wahyu membiarkan, dia terlalu malas bergerak, mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Rere tadi.
“Aku pernah lihat kamu di koran olahraga, kata nya kamu udah jadi atlet waktu SMP” Wahyu hanya tersenyum, dia enggan membalikkan badan saat Rere sudah selesai mengobati nya. Tangan nya bermain di layar keyboard. Mengetikkan pesan pada Henry untuk meminjamkan nya baju yang dia punya.
“Terus kenapa mutusin buat kuliah disini? Kampus sini emang bagus, tapi bukan nya lebih enak kalau kuliah di dekat rumah?” Rere ikut duduk di ranjang, mereka saling memunggungi. Siapapun yang melihat pasti akan mengira mereka memiliki hubungan lebih, apalagi bilik yang mereka tempati tertutup tirai.
“”Disuruh sama bokap” Rere tersenyum kegirangan, berbanding terbalik dengan Wahyu yang sudah bermuka melas, ingin Henry untuk cepat datang. Wahyu ingin segera berpakaian, dia tidak ingin memakai kaos kotor yang dia kenakan tadi. Apalagi Wahyu merasakan Rere melirik tubuh nya berkali kali.
“Wahyu?” Oh. Great. Suara laki-laki yang dia nantikan terdengar. Wahyu turun dari ranjang, menyibak tirai lalu menyengir saat melihat Henry di hadapan nya dengan dengan kemeja flanel merah garis hitam di tangan nya.
Wahyu mengambil nya, memakai nya cepat lalu menepuk bahu Henry. “Thanks”
“Gimana punggung lo?” Henry bertanya, raut wajah nya tegang. Punggung bagi seorang perenang itu terlalu berharga.
“It’s oke. Cuman nggak bisa renang 2 hari, bisa gue tahan”
“Ada yang terkilir?” Wahyu menggeleng.
“Bahu lo gimana?”
Wahyu mengangkat kedua bahu nya, “Cuman memar”
“Ayo ke rumah sakit”
Wahyu mengangkat alis nya, “Ngapain?”
“Rontgen, punggung lo terlalu berharga”
Wahyu menghela napas, dia berbalik. Mengangkat kemeja nya sampai bahu, membiarkan Henry melihat nya sendiri. “Gue nggak pa-pa”
Henry memutar kepala nya, dia menendang pantat Wahyu, menurunkan kemeja nya lalu meminta nya berbalik. “Lihat situasi, Nameera sama temen nya disini”
Wahyu terdiam, lalu menutup wajah nya dengan kedua tangan nya, mengintip sedikit dari sela jari tangan nya. Tiga perempuan berjilbab berbeda sedang duduk di kursi yang di sediakan, di depan nya. Dan salah satu dari mereka adalah Nameera. Menatap nya dengan pipi memerah.
Wahyu menurunkan tangan nya, berdeham pelan, dia menarik kursi lalu duduk di hadapan mereka, sedikit jauh. “Ada apa?”
Henry menghampiri nya, menoyor kepala nya keras lalu berlari keluar klinik. Wahyu terdiam, dia menutup mata nya, apa yang baru saja di lakukan Henry di depan Nameera?!
“Maaf,” Nameera berucap lirih. Wahyu membuka mata nya, menatap ke depan. Nameera menunduk, tangan nya saling tertaut memainkan ujung jilbab nya.
“Kenapa?” Wahyu bertanya. Dia jatuh dengan sendiri nya. Tidak ada yang perlu di minta maafkan. Jika kakek nya yang mantan pelatih atlet melihat nya, beliau akan memarahi nya habis-habisan karena berani melukai punggung nya -bahkan jika itu tidak sengaja-.
“Kamu jatuh karena hindarin aku, maaf…” Nameera semakin menundukkan kepala nya. Wahyu tersenyum menenangkan, walau Nameera tidak akan melihat nya. “Bukan salah kamu, cuman memar. Nggak ada seminggu nanti juga hilang”
“Kata mas Henry tadi, bahaya kalau punggung atlet terluka” Nameera mencicit. Rasa bersalah menyergapi nya sedari tadi. Karena itu dia menunggu di klinik, meminta bantuan kedua teman nya untuk menemani nya, agar tidak menjadi kesalahpahaman nanti.
Wahyu hampir berdecak saat Nameera memanggil Henry dengan sebutan ‘mas’. Dia hampir membuka mulut nya untuk memprotes, tapi dia menahan diri. “Kalau aku lulus aku bukan atlet lagi, jadi nggak usah khawatir lagi”
“Kamu harus di periksa nanti”
Wahyu mengangguk, “Iya, nanti. Sama Henry”
“Kamu bilang ke mas Henry nggak perlu ke rumah sakit tadi” Wahyu tersenyum. Nameera cukup keras kepala bagi perempuan taat agama seperti nya.
“Aku ke rumah sakit nanti, sama dia”
Nameera diam, dia mendongak sekilas, lalu menunduk kembali. “Kalau ada apa-apa gimana? Terkilir misal nya?”
“Di Solo kan tukang urut nya udah bagus”
“Nggak boleh di urut aja, punggung itu penting, apalagi buat perenang kayak kamu” Wahyu menunggu, menunggu Nameera memanggil nya ‘mas’ lagi seperti kemarin. Dia mengigit bibir bawah nya, gemas.
“Kak” Salah satu teman nya memanggil. Dia melirik Nameera yang masih menunduk, memberi kode untuk Wahyu agar mengucapkan kata yang meyakinkan jika dia baik baik saja.
Wahyu masih diam, dia hanya tersenyum pada teman Nameera. Memandangi Nameera yang duduk di tengah dengan kepala menunduk, lalu tangan Nameera terangkat, mengusap mata nya, dia menangis. “Maafin aku, mas”
Hal yang ingin dia dengar sudah Nameera ucapkan, Wahyu tersenyum.
“Mau ikut aku ke rumah sakit?” Nameera mendongak. Mata nya sudah memerah, pipi nya basah, dia mengigit bibir nya, menahan isakan agar tidak keluar.
“Huh?”
Wahyu tersenyum memperlihatkan gigi nya. “Mau ikut ke rumah sakit? Biar kamu tau kalau aku baik baik aja”
Nameera menatap kedua teman nya. Meminta persetujuan, lalu mendapat anggukan dari kedua nya. “Boleh aku bawa temen aku?”
Wahyu mengangguk. Dia mendial nomor Henry, menelepon nya meminta nya untuk pergi ke parkiran.
***
Henry berdecak kesal di kursi kemudi, Wahyu duduk di sebelah nya dengan satu kaki dia angkat di kursi, menikmati radio yang sedang menyiarkan pertandingan renang tingkat SMA. Nameera duduk di kursi belakang di apit kedua teman nya.
Suasana canggung, hanya Wahyu saja yang terlihat rileks karena sedang fokus dengan siaran yang di dengar nya.
“Nama kalian siapa?” Henry melihat dari kaca spion, bertanya pada para perempuan yang duduk di belakang.
“Annisa” Perempuan berisik yang tadi sempat memanggil Wahyu.
“Nameera” Perempuan pendek yang masih berusaha menetralkan suara nya yang terdengar bergetar.
“Dewi” Perempuan kalem, sedikit jutek karena dia tidak pernah tersenyum. Setidak nya pada orang asing yang sedang berbicara pada nya saat ini.
“Lo apain ini anak sampai mau ke rumah sakit?” Henry bertanya. Dia kesal, hanya saja heran lebih mendominasi saat Wahyu menelepon nya, meminta nya untuk mengantar ke rumah sakit. Biasa nya Henry harus mengancam dulu untuk membujuk nya.
“Nameera nangis, maka nya dia mau kak” Annisa menjawab. Wahyu sok tidak mendengar. Dia langsung membuka pintu mobil saat sudah sampai di rumah sakit. Masuk terlebih dahulu, Henry menyusul. Mensejajarkan langkah nya dengan Wahyu. 3 perempuan mengikuti mereka dari belakang.
Wahyu mendaftar. Mengatakan keperluan nya, lalu di persilahkan untuk menunggu sebentar. Dia duduk di kursi tunggu, mata nya melihat sekeliling. Dia tersenyum saat melihat salah satu dokter berjalan ke arah nya.
“Kamu lagi?” Nama nya Dokter Yanto. Tapi Wahyu lebih sering memanggil nya pak Pak Anto.
“Apalagi sekarang?” Wahyu berdiri saat Pak Anto berdiri di depan nya. Wahyu mendekat, berbisik di telinga Pak Anto. Setelah nya amarah Pak Anto langsung keluar pada Henry. “Cuma jatuh loh ini, ngapain minta rontgen?!”
“Dia perenang loh, pak. Jangan ngeremehin dong!”
“Ya tapi nggak sesering ini. Kemarin kamu seret Wahyu kesini cuman karena ini anak nabrak dinding kolam kan?!” Wahyu berjalan lebih dahulu ke dalam ruangan saat nama nya terpanggil. Dia malu, Nameera mendengar nya. Dan pak Anto dengan enteng nya mengatakan kesalahan yang dia lakukan kemarin.
***
Pak Anto menggelengkan kepala nya, raut wajah nya terlihat tegang. 5 orang yang berdiri di hadapan nya ikut merasakan ketegangan, tidak terkecuali Wahyu. Dia tidak ingin berhenti berenang saat ini.
“Ada masalah?” Henry bertanya, memberanikan diri karena sejak tadi tidak ada yang bersuara.
Pak Anto menghembuskan napas, mata nya masih belum teralih dari hasil rontgen yang ada di tablet di tangan nya.
“Nothing. Kalian bisa pulang” Pak Anto tersenyum lalu berjalan pergi.
Wahyu yang mendengarnya menatap Henry. “Apa gue bilang?” Lalu setelahnya mendapat tendangan dari Henry.
Wahyu menatap Nameera yang berdiri tidak jauh dari nya, tersenyum menenangkan. “Aku baik baik aja kan? Nggak usah khawatir”

Bình Luận Sách (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất